Almost Broken

By inesiapratiwi

3.3M 63.7K 13.6K

[Seri Ke-2 Annoying Boy] [SUDAH TERBIT] ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| T... More

25
26
27
28
29
30
31
33
34
35
Penjelasan (SUDAH DITERBITKAN)

32

43.3K 2.9K 353
By inesiapratiwi

Obat rindu hanya bertemu. Namun jika untuk bertemu saja tak mampu, jangan salahkan lagi jika sudah tak ada rindu.

.
.
.

Keduanya berjalan dengan langkah cepat di koridor kelas menuju ruang rapat. Dengan tumpukan berkas-berkas di tangan mereka. Salah satu diantaranya Nampak memasang wajah kesal.

"Padahal udah di tahun terakhir. Masih aja gue dibudakin," keluhnya.

"Dibudakin dan dipercayai. Kadang seseorang memang nggak bisa membedakan arti keduanya."

"Tapi kalau ini sih memang beneran dibudakin. Masa harus ketua dan wakilnya yang turun tangan dan ngubek-ngubek nyari berkas sebanyak ini, sih!" Sambil membenarnya letak berkas yang dibawanya, dia melanjutkan kekesalannya. "Padahal gue senior lho ini, senior!"

"Umur lo juga nggak lebih tua daripada gue."

"Bangga banget situ jadi tua?"

"Asyraf! Mitha!"

Percakapan mereka terhenti saat seseorang memanggil nama mereka dari belakang. Lantas keduanya pun menghentikan langkah dan berbalik. Nampak seorang cowok berkacamata bulat dengan bingkai hitam berlari kea rah mereka.

Setelah sampai di depan Asyraf dan Mitha, cowok itu mengatur napasnya lalu berbicara. "Udah dicari. Tetep nggak ketemu."

Asyraf Nampak menghela napas. "Ya udah, masuk aja. Tolong sekalian bawain berkas yang dibawa Mitha."

Cowok itu mengangguk dan mengambil tumpukan berkas di tangan Mitha ke tangannya. Setelah berkas itu beralih padanya, dia kembali berjalan menuju ruang rapat dengan langkah cepat. Diikuti Asyraf dan Mitha.

"Thankyou," ucap Mitha kepada Asyraf.

Asyraf tak menanggapi. Dia justru mengubah topik pembicaraan. "Gimana persiapan sidangnya?"

"Lancar!" jawab Mitha sambil mengacungkan ibu jarinya dan tersenyum. "Optimis pasti lulus."

Asyraf mengangguk.

Sejak pertemuan mereka di ruang rapat lima bulan yang lalu, keduanya kini menjadi dekat. Asyraf sudah tidak lagi menjauhi Mitha, sudah tidak lagi mengasingkan Mitha. Mereka benar-benar telah menjadi teman.

"Ah, tapi pasti pas wisuda nanti lo nggak bakal bisa dateng, kan?"

"Iya. Gue harus pulang. Gue harus ketemu Veera."

Mitha mengangguk-angguk sambil tersenyum. "I know. And I forgive you."

"Tapi gue selalu punya feeling dia nggak pulang tahun ini."

"Kenapa gitu?" Mitha menoleh ke arah Asyraf yang wajahnya telah berubah menjadi layu. "Kok sekarang elo jadi sering main hati gini, sih? Biasanya selalu pakai logika."

Asyraf mengangkat kedua bahunya. "Just the feeling."

"Jangan berprasangka buruk dulu. Berdoa aja yang baik-baik dulu." Mitha kembali menoleh ke arah Asyraf. "Jangan baper terus. Kayak cewek aja!" ucapnya sambil menjulurkan lidahnya dan tertawa. Sebelum mendapati lirikan tajam dari Asyraf, Mitha pun sudah memutuskan untuk lari menjauh dari Asyraf menuju pintu ruang rapat yang di dalamnya sudah berkumpul anggota himpunan mahasiswa Indonesia sambil terus tertawa.

Dari tempatnya, Asyraf terdiam. Entah sejak kapan dia baru menyadari kalau bukan lagi tawa milik Veera yang selalu dia dengar. Bukan lagi wajah Veera yang dia lihat, dan bukan lagi kedua mata Veera yang menatapnya.

Namun, tetap ada satu hal yang belum dan tidak akan pernah berubah. Debaran di dalam dadanya hanya milik Veera. Hanya senyum, tawa, wajah dan mata milik Veera yang mampu mendebarkannya.

Hanya Veera. Sampai kapanpun.

❤❤❤

Setelah merapikan materi ujiannya, Asyraf keluar dari perpustakaan. Matanya melirik jam di tangan kirinya yang menunjukkan pukul delapan malam. Pantas saja perutnya sudah terasa sangat lapar.

Sejak pukul tiga sore berada di dalam perpustkaan untuk mempelajari bahan dan materi untuk ujiannya besok, Asyraf sama sekali belum mengisi perutnya. Dia baru makan satu kali sebelum mengikuti kelas siang tadi, itupun tidak dihabiskannya karena terlambat.

Maka sekarang cowok berkemeja flannel merah yang kancingnya dibiarkan terbuka membungkus kaos putihnya itu memutuskan untuk berjalan keluar kampus untuk mencari makan sebelum kembali ke asrama.

Di perjalanan, Asyraf menangkap sosok Mitha yang berjalan sendirian tak jauh di depannya. Dengan pakaian tidur ditutupi jaket berwarna merah muda, Mitha berjalan dengan kedua tangan yang disembunyikan di saku jaket. Asyraf pun kemudian berjalan lebih cepat berniat untuk menyusul Mitha.

"Mau ke mana?" tanyanya dengan nada datar tepat ketika langkahnya sudah sejajar dengan Mitha.

Sontak Mitha menghentikan langkahnya dan memegangi dadanya yang berdebar kaget. Juga merutuki Asyraf yang sudah membuatnya kaget. "Sukses! Sukses bikin gue jantungan!" serunya kesal.

Namun Asyraf tak merespon apapun. Tidak merasa bersalah sama sekali. Dia pun kembali melanjutkan langkahnya diikuti Mitha.

"Habis dari mana, kok masih bawa tas begitu?" tanya Mitha setelah berjalan bersebelahan dengan Asyraf.

"Perpustakaan."

"Belajar buat ujian, ya? Aah... akhirnya sekarang gue udah nggak perlu lagi ngerasain ujian!" Mitha mengangkat kedua tangannya ke atas, tanda kebebasan karena sidangnya minggu lalu telah dinyatakan lulus oleh penguji.

"Bukannya mau ambil master?"

Mitha menggeleng-geleng. Membuat rambutnya yang dikuncir kuda bergerak ke kanan-kiri. "Mau pulang aja, istirahat. Mau kerja, nyari uang dulu."

"Katanya mau jadi dosen."

Kali ini Mitha tak mau menjawab. Dia sudah tidak mau membahas hal itu lagi. Karena sebenarnya menjadi dosen bukanlah keinginan murninya. Itu adalah kemauan orangtuanya.

"Eh, lo mau ke mana?" tanya Mitha mengalihkan pembicaraan.

"Cari makan."

"Sama. Gue juga mau cari makan di deket stasiun MRT Botanics Garden."

"Kenapa jauh banget?"

Mitha memamerkan deretan giginya. "Pengin aja. Nanti naik dari stasiun Kent Ridge. Mau ikut?"

Asyraf menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Mitha. "Pakai sandal, pakai baju tidur begini?" Matanya memperhatikan Mitha dari bawah sampai atas.

"Nggak apa-apa, lah. Nggak ada yang kenal ini," jawabnya terkekeh. "Mau ikut, nggak?"

Setelah diam dan berpikir cukup lama, akhirnya Asyraf mengangguk. Tidak ada salahnya mencoba makanan yang belum pernah dirasakannya. Dan mereka pun berjalan beriringan menuju stasiun MRT Kent Ridge.

Menurut Asyraf, berjalan bersama Mitha tidak seperti berjalan bersama Veera. Jika Veera selalu berceloteh mengenai hal apapun kepadanya selama bersama Asyraf, Mitha sama sekali tidak. Mitha bukan tipe gadis yang sering berbicara. Mitha lebih banyak diam atau berbicara hal umum saja.

Dan itu membuat Asyraf merasa lega. Karena dia juga bukan orang yang banyak bicara kepada oranglain. Kecuali pada Veera.

Asyraf menghentikan langkahnya tiba-tiba begitu mendengar ponselnya berbunyi. Dan senyumnya seketika mengembang ketika melihat nama yang tertera di layar ponselnya adalah nama Veera. Dengan segera ia menerima panggilan itu tanpa berpindah tempat. "Halo, good morning, New York!" sapa Asyraf kepada Veera.

Di sebelahnya, Mitha mau tidak mau ikut menghentikan langkahnya. Dan begitu dia mendengar kata New York, dia pun langsung paham dengan siapa Asyraf berbicara.

"Halo, good night, Singapore!" Veera menyempatkan menguap. Membuat Asyraf semakin tersenyum lebar, membayangkan wajah imut khas bangun tidur kekasihnya. "Aku baru bangun, nih," kata Veera lagi.

"Nggak ada kelas pagi?" tanya Asyraf sambil melanjutkan langkahnya kembali.

"Udah nggak ada. Nanti jam satu aku ada ujian terakhir. Semalem aku belajar sampai jam dua pagi, maaf ya LINE kamu nggak dibales lagi."

"Nggak apa-apa. Kamu jangan begadang terus, dong. Belajar ingat waktu, jangan terlalu di forsir. Jaga kesehatan."

Di balik selimutnya, Veera tersenyum mendengar teguran dan suara khawatir Asyraf. Dia sudah sangat merindukan laki-laki tampan perebut hatinya itu.

Sudah hampir satu tahun dia berada di New York. Meninggalkan Indonesia, dan meninggalkan Asyraf. Dan sudah hampir tiga tahun juga mereka menjalani hubungan jarak jauh. Suka duka sudah mereka lewati bersama. Jatuh bangun sudah mereka rasakan bersama.

Teruntuk dua insan yang tengah memendam rindu dibentang oleh jarak ratusan kilometer, Veera selalu berdoa supaya malaikat-malaikat di langit mau mengamini pertemuan mereka suata hari nanti.

Kepada hati yang terpenjara sepi, semoga saja ia mau terus bertahan disesaki rindu. Memendam terlalu lama hingga seluruh udaranya hanya bernamakan rindu.

Veera sadar betul, di dalam hubungan jarak jauh, jika setiap kali jarak yang tercipta semakin membentang, maka sebanyak itu pula tembok besar bernama bosan tumbuh meninggi ke atas. Semakin memisahkan dua buah sisi yang tidak lagi berpijak di belahan bumi yang sama. Menutupi pengelihatan yang mampu mengawali pengkhianatan.

Meskipun begitu, Veera masih tetap berharap kalau tembok itu tetap tidak akan tumbuh sampai ke langit. Sehingga meskipun mereka sudah berada di belahan bumi yang lain, dipisahkan tembok tinggi, mereka masih tetap berada di langit cinta yang sama.

Langit itu akan tetap lebih kuat dibandingkan dengan apapun yang berada di bawahnya. Sekalipun itu ada tembok rasa bosan atau pagar dari orang ketiga yang menghalangi.

Dan untuk saat ini, Veera masih tetap yakin kalau cinta mereka masih tetap yang paling kuat dibandingkan dengan apapun. Karena hanya itu yang saat ini mereka butuhkan untuk bisa tetap terus bertahan dan berjuang. Hanya cinta yang tersisa.

"Iya, sayang, iyaaaaa. Btw, kamu lagi di mana, sih, kok berisik?"

Asyraf melihat ke sekelilingnya. Posisinya saat ini berada di pinggir jalan raya, suara kendaraan yang berlalu-lalang menjadi latar suara dari percakapannya dengan Veera. Dan ketika matanya tak sengaja melirik ke arah Mitha, dilihatnya gadis itu tengah berjalan sambil memperhatikan gedung-gedung di sampingnya. Seolah-olah berniat untuk tidak menguping atau berpura-pura tidak mendengar pembicaraannya dengan Veera.

"Aku lagi mau cari makan," jawab Asyraf kemudian.

"Makan sama siapa? Duh..., makan sendirian lagi, ya? Ahh, coba aja kalau aku ada di sana, pasti setiap hari aku yang nemenin kamu makan."

Untuk menjawabnya, lagi-lagi Asyraf harus diam terlebih dahulu. Entah mengapa saat ini dia merasa tengah berada di situasi yang sungguh tidak mengenakkan. Rasanya ingin berbohong untuk kali ini saja. Tapi, berbohong bukanlah sifatnya.

"Kasian, banget, sih. Coba aja kalau aku keterima di sana, kamu nggak akan makan sendirian terus. Maaf, ya, Raf." Veera berbicara lagi ketika Asyraf tak kunjung juga membuka suaranya.

"Bukan. Jangan minta maaf." Asyraf baru bersuara kembali. Dia kemudian berdeham untuk mulai menjawab yang sejujurnya. Meski bagaimanapun, Veera berhak tau dengan siapa dia saat ini. "Malam ini aku nggak sendiri. Aku makan sama Mitha," ucap Asyraf sambil mengepalkan tangan kirinya. Menahan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata.

Di sampingnya, Mitha langsung memutar kepalanya ke arah Asyraf dengan ekspresi kaget serta heran begitu mendengar namanya disebut. Entah mengapa ada sesuatu yang aneh di dalam dadanya. Seperti perasaan cemas, tak enak, malu dan sungkan. Entah kepada siapa dan karena apa.

Dan di belahan dunia lainnya, di balik selimut putihnya, Veera menutup mulutnya rapat-rapat. Matanya tak berkedip sedikitpun. Seluruh tubuhnya terasa lemas dan mendadak dingin. Entah mengapa di dadanya juga terdapat perasaan aneh yang mendadak muncul. Seperti perasaan iri, cemburu, marah dan khawatir. Entah kepada siapa dan karena apa.

"Mitha siapa? Mitha yang mana?" Dengan suara yang hamper serak, Veera mencoba meyakinkan bahwa Mitha yang disebutkan Asyraf bukanlah Mitha yang dia kenal. Meskipun kemungkinan itu rasanya sangat kecil.

Asyraf membuang napasnya dengan kasar. Masih merasa serba salah. "Mitha teman kamu."

Perasaan-perasaan yang mendadak muncul di hati Veera semula, kini semakin memporak-porandakan hatinya. Airmatanya perlahan-lahan mulai menetes dengan mudahnya.

Ingatannya pun kembali ke saat-saat dimana dulu dia pernah dan bahkan sering mencoba mendekatkan Asyraf dengan Mitha. Bertujuan untuk menjadikan Mitha sebagai mata-matanya. Kini usaha itu akhirnya berhasil, karena Asyraf sudah tidak lagi menjauhi Mitha. Tapi mengapa kini justru perasaan khawatir yang hinggap di hatinya?

Ataukah Veera sudah merasa menyesal telah mendekatkan Asyraf dengan Mitha?

Ataukah memang keputusan mendekatkan Asyraf dengan Mitha memang keputusan yang sejak awal sudah salah?

"Kenapa bisa sama Mitha?" Dengan susah payah, Veera menahan suaranya agar tidak terdengar bergetar. Namun nyatanya usahanya gagal. Asyraf tetap mendengar getaran dan isakannya.

"Tadi kami nggak sengaja ketemu di jalan. Jangan salah paham, sayang." Asyraf pun memutuskan untuk berjalan ke tempat yang lebih sepi, menjauh dari Mitha agar bisa lebih leluasa berbicara dengan Veera.

"Kenapa kalian jadi deket?"

"Sayang, jangan nangis, please. Kami satu himpunan, dia wakilku, lagipula kamu juga yang dulu mendekatkan kita, kan? Jangan mikir yang macam-macam." Asyraf mencoba menenangkan Veera, meskipun ia sendiri pun merasa kacau.

Veera terisak semakin keras. "Aku nyesel pernah berusaha mendekatkan kalian. Aku nyesel nggak ada disamping kamu setiap hari. Aku iri sama dia. Raf... kamu masih sayang aku, kan?"

Asyraf langsung mengacak rambutnya. Kepalanya menggeleng-geleng seolah dia benar-benar sedang berbicara langsung dengan Veera. "Jangan mikir macam-macam. Aku sayang kamu. Masih dan akan selalu kamu. Bukan yang lain. Please, trust me."

Kalimat-kalimat itu seolah membangkitkan Veera kembali, meskipun kekhawatiran masih belum juga menghilang dari hatinya.

Berulang kali Asyraf menarik dan membuang napasnya dengan cepat. Mendengar suara isakan Veera membuatnya semakin merasa di posisi menyulitkan. Dia pun jadi merasa menyesal telah membuka dirinya kepada Mitha sehingga menyakiti Veera seperti ini.

"Veera, kalau kamu memang nggak suka, aku bisa menjauh lagi dari dia. Nggak masalah, karena aku cuma mementingkan kamu. Dan kalau kamu masih terus nangis begini, aku bisa-bisa terbang ke sana sekarang juga."

"Jangan," cegah Veera di sela tangisnya. "Jangan menjauh lagi, kamu berhak dekat dengan siapapun. Dan jangan ke sini, aku tau kamu besok ada ujian. Aku nggak apa-apa kok."

"Kalau kamu begini mana bisa aku tenang." Asyraf hampir saja menggeram.

Veera lekas menghapus bekas airmatanya dan mencoba menghentikan tangisannya. Berulang kali dia menarik napas dan membuangnya untuk menenangkan kembali dirinya. "Nggak apa-apa. Aku percaya kamu, Raf." Mungkin untuk saat ini aku memang masih bisa percaya kamu, nggak tau kalau nanti, lanjut Veera di dalam hati.

"Aku masih dan tetap menjaga kepercayaan kamu. Jadi jangan mikir macam-macam." Asyraf mengusap-usap wajahnya. "Mungkin emang udah waktunya kita ketemu. Kalau aku nggak bisa ke sana sekarang, berarti kamu yang harus pulang semester ini."

Baru saja airmata itu terhenti, kini mulai menetes lagi. Veera kembali terisak saat harus mengatakan sesuatu yang mungkin akan semakin memperkeruh keaadan mereka saat ini. Tapi cepat atau lambat, dia memang harus mengatakannya.

"Raf, aku nggak bisa pulang libur musim panas tahun ini."

"Veer..." Di tempatnya, Asyraf menggeleng-gelengkan kepalanya dengan rahang yang mengeras.

"Maafin aku. Aku harus ngambil kelas di musim panas, supaya bisa cepet lulus. Maaf, Raf..." Isakan Veera semakin lama semakin kencang. Sekencang kepalan tangan Asyraf yang menandakan emosinya.

"Satu tahun kita nggak ketemu, Veer. Kamu keterlaluan."

Begitu saja, Asyraf langsung memutuskan sambungan telepon mereka secara sepihak. Tanpa mau lagi mendengar alasan-alasan klasik dan tangisan basi dari Veera. Dia sudah kelewat marah dan kecewa. Ternyata feeling nya memang benar.

Ketika Asyraf tengah duduk dengan wajah tertunduk menahan kesal sambil berteriak dan tangan yang dikepal kencang, seseorang datang di hadapannya. Ikut berjongkok di depannya dengan wajah khawatir.

"Are you ok? What's going on?"

Asyraf pun mengangkat kepalanya dan diam menatap Mitha yang juga menatapnya penuh rasa iba dan khawatir. Tetapi Asyraf sama sekali tak membuka mulutnya ataupun merespon dengan gerakan tubuhnya. Membuat Mitha mengangguk dan tersenyum tipis. Sadar akan posisinya saat ini.

"Oke, sorry kalau gue jadi pengganggu buat kalian. Mendingan lo balik aja, istirahat. Gue mau cari makan dulu."

Ketika Mitha berdiri dan berbalik hendak meninggalkan Asyraf, langkahnya tiba-tiba terhenti saat mendengar suara Asyraf memanggil namanya. Mitha lantas memutar kembali tubuhnya dan menatap Asyraf dengan bingung.

"Gue ikut," ucapnya sambil berdiri.

Mitha pun hanya bisa mengangkat kedua bahunya dengan raut bingung dan kembali melanjutkan langkah mereka menuju stasiun MRT Kent Ridge dalam diam.

Dan tanpa Asyraf sadari, keputusannya itu mungkin akan memperparah segalanya di kemudian hari.

❤❤❤

Bersambung....

Selamat malam minggu, selamat bergalau ria :p

Continue Reading

You'll Also Like

3.1M 261K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
412K 26.6K 51
JANGAN DISIMPAN, BACA AJA LANGSUNG. KARENA TAKUT NGILANG🤭 Transmigrasi ke buku ber-genre Thriller-harem. Lantas bagaimana cara Alin menghadapi kegi...
3.6M 172K 63
[SEBELUM BACA YUK FOLLOW DAN VOTE SETIAP CHAPTER SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN BUAT AUTHOR YANG CAPE CAPE MIKIR ALURNYA, YA WALAU MUNGKIN ADA YANG GAK M...
1.7M 122K 81
[Brothership] [Not bl] Setiap orang berhak bahagia, meskipun harus melewati hal yang tidak menyenangkan untuk menuju kebahagiaan. Tak terkecuali Erva...