Don't Hate Me

بواسطة cupcandystripe

9K 810 218

Soonyoung tidak melihat ada cinta sedikitpun di mata Seokmin untuknya. Bisakah Soonyoung hidup tanpa adanya c... المزيد

Chapter One
Chapter Two
Not An Update, Notice! But Read Below!
Chapter Three
Chapter Five
Chapter Six

Chapter Four

997 116 32
بواسطة cupcandystripe

"Akhirnya kau datang juga, Tuan Lee Seokmin. Ini sudah dua minggu lebih dan kau baru datang."

"Sebenarnya apa maumu?" tanya Seokmin dengan sengit.

Wen Junhui melirik Chan yang ada digendongan Seokmin. Ia menatap bocah itu dengan penuh minat.

"Istrimu kembali?"

"Bukan urusanmu!"

Junhui tertawa. Seokmin menutup telinga putranya dengan telapak tangannya saat Chan memeluknya terlampau erat. Pria yang duduk sok santai di depan Seokmin itu mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi tembam Chan yang mencuri pandang pada Junhui.

"Jangan sentuh anakku!"

"Kenapa? Ibunya saja tidak mau kau menyentuh Chan." Junhui menyeringai.

"Dia sudah memberiku kesempatan! Jangan ganggu kehidupan keluargaku!"

"Well..Bagaimana menurutmu setelah melihat ini? Kau pikir kau masih pantas menjadi suami Soonyoung?"

Pria itu melempar sebuah amplop yang sama seperti diterimanya semalam. Seokmin menatap amplop itu dan Junhui secara bergantian. Dengan tatapan tajam yang terlihat mengerikan. Dengan satu tangannya Seokmin meraih amplop itu dan membukanya. Lembaran foto. Mata Seokmin melebar melihat foto-foto itu.

"Bagaimana menurutmu? Kau masih pantas bersanding dengan Soonyoung?"

"Kau merekayasa foto ini!"

"Merekayasanya? Itu 100% asli, Lee Seokmin."

"Orang tuaku tidak mungkin melakukan hal seperti ini!"

"Karena kau menghormati kedua orang tuamu?" Junhui tertawa remeh. "Bahkan kedua orang tuamulah penyebab kematian kedua orang tua Soonyoung. Kau tidak pantas bersanding dengan Soonyoung. Bisa saja kau berniat membunuhnya juga."

"Tutup mulutmu, Wen Junhui!"

"Kau marah? Bukannya kau tidak pernah menganggapnya?" Junhui kembali menyeringai. "Dan panggil aku sunbae, Lee Seokmin."

.

.

Sore itu Soonyoung memutuskan untuk jalan-jalan keluar. Jenuh karena dari beberapa hari yang lalu hanya berdiam diri di dalam rumah pasangan Seungcheol dan Joshua. Pasangan yang bahagia hingga membuat Soonyoung iri sekaligus bersyukur. Joshua menikah dengan Seungcheol bahkan sebelum sekolah menengah atas namun hingga saat ini mereka belum diberi momongan. Mereka berdua tidak berniat mengadopsi anak meski mereka sudah berumur kepala tiga. Lebih tua 2 tahun daripada Seomin.

Sayangnya nasib Joshua berbanding terbalik dengan nasibnya. Hidupnya bahagia. Suami yang selalu menerima dan mencintainya. Yang membuat Soonyoung paling iri adalah Seungcheol selalu ada disaat Joshua membutuhkannya. Tidak seperti dirinya yang selalu sendirian. Ah tidak. Ia masih memiliki Channya. Channya yang lucu. Channya yang selalu berceloteh riang. Channya yang selalu berlari-lari senang. Channya yang tidak bisa diam barang sedetik saja jika sudah menonton kartun favoritnya. Soonyoung menghela napasnya. Sekarang Channya berada jauh dari jangkauannya.

Soonyoung menatap langit sore kejinggaan yang indah. Warna kesukaan Chan karena bocah itu tidak bisa menemukan warna indah itu di kapur warna warni dan krayonnya. Pemuda itu terduduk di bangku salah satu taman dan menangis. Ia merindukan Channya. Anaknya. Buah hatinya. Mutiaranya.

"Maafkan, Eomma." Soonyoung memeluk dirinya sendiri dengan air mata yang masih mengalir.

"Eomma merindukan Chan. Chan baik-baik saja dengan Appa kan?"

Pemuda manis itu menyeka air matanya dengan jari-jarinya. Teringat dengan celoteh Chan yang bergelayut manja di lengannya saat ia menangis dulu.

'Eomma menangis karena Chan nakal?'

'Tidak.'

'Lalu kenapa?'

'Tidak apa-apa.'

'Eomma jangan sedih.. Chan sedih juga kalau Eomma sedih. Ini coklat kesukaan Eomma! Kata Kakek Seo kalau Chan sedih Chan harus makan coklat! Eomma makan juga, ya!'

Soonyoung merogoh saku jaketnya. Ada sebungkus choco bar milik Chan di sana. Dengan mata berkaca-kaca Soonyoung membuka bungkusnya dan menggigit ujungnya. Mengunyahnya pelan dan perasaannya menjadi lebih baik. Sebenarnya Soonyoung tidak terlalu suka dengan coklat tapi hanya karena Chan ia rela memakan berbungkus-bungkus coklat yang akan membuat mulutnya lengket.

Matanya menatap lagit yang berwarna jingga keunguan. Sebentar lagi hari akan benar-benar gelap dan Soonyoung masih terlihat enggan meninggalkan tempatnya sekarang. Masih ingin menikmati suasana tenang di sore hari lebih lama lagi.

"Haruskah aku kembali ke sana?" Soonyoung bertanya pada dirinya sendiri dan pada langit yang mulai menggelap.

.

.

Seokmin menjalankan mobilnya dengan perlahan. Sedikit tidak fokus dengan jalanannya. Beruntungnya jalanan cukup sepi sehingga tidak ada yang mengganggu perjalanannya. Chan sendiri berada dipangkuan Seokmin yang menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Bocah itu menatap Seokmin yang terlihat melamun. Tangan kecilnya meraih dasi pria itu dan menariknya dengan pelan. Mencari perhatian ayahnya.

"Ah.. Ada apa, Channie?" tanya Seokmin sambil menatap Chan yang juga terlihat murung.

"Eomma?"

Seokmin menghela napas berat saat mendengar Chan mencari ibunya. Bocah itu terlihat akan rewel lagi tapi ternyata bocah itu hanya mendengus dan beringsut ke jok belakang. Mendekati mainan-mainannya yang berserakan di belakang. Seolah bocah itu ingin mendiamkannya yang hanya menghela napas.

"Eomma.."

Bocah itu berdiri dan menempelkan wajahnya di kaca jendela mobil. Membuat Seokmin tersenyum kecil melihat polah anaknya yang kelewat lucu itu. Kali ini Chan memukul-mukul kaca mobil. Seokmin menatap keluar jendela. Hujan rintik-rintik mulai turun. Beberapa orang tampak berlari-lari mencari tempat berlindung.

"Ayo kita pulang. Lalu kita minum coklat hangat." kata Seokmin seraya menjalankan mobilnya.

Menghiraukan teriakan Chan yang ternyata menunjuk Soonyoung terguyur hujan sendirian di taman.

.

.

Junhui memayungi Soonyoung yang menatap tanah dengan pandangan kosong. Membuat pemuda itu mendongak saat air hujan tidak lagi mengenai tubuhnya yang sudah basah kuyub. Pria itu mengulurkan tangannya pada Soonyoung dan diterima dengan senang hati oleh pemuda itu. Junhui menyampirkan jasnya di bahu kecil Soonyoung.

"Kenapa kau bermain hujan-hujanan?" tanya Junhui sambil menuntun Soonyoung menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan.

"Aku sedang mencari udara segar. Tahu dari mana kalau aku ada di sini?"

"Joshua hyung." Junhui memeluk tubuh basah Soonyoung. "Tadi aku bertemu dengan Chan."

"A-anakku? Bagaimana keadaannya, hyung? Dia sehat kan? Apa dia kurus?"

"Hei hei tenang, Kwon Soonyoung. Chan baik-baik saja."

Soonyoung menghela napasnya lalu masuk ke dalam mobil saat Junhui mendorongnya untuk masuk. Di dalam mobil Junhui memberikan sebuah handuk kering dan Soonyoung menerimanya untuk mengeringkan rambutnya yang basah.

"Ikut pulang ke rumahku saja, ya. Minghao sudah menyiapkan makan malam."

"Tidak tidak. Aku pulang ke rumah Joshua hyung dan Seungcheol hyung saja."

Junhui tertawa renyah saat melihat wajah panik Soonyoung yang terlihat lucu di matanya.

"Hei, Minghao butuh teman mengobrol. Lagipula umur kalian tidak terlalu jauh." kata Junhui. "Minghao memang pemalu dulu tapi kurasa kalian akan bisa cocok satu sama lain. Karena dia juga sama sepertimu."

Soonyoung mengerutkan keningnya tidak mengerti. Junhui mengulurkan satu tangannya dan mengacak rambut Soonyoung yang basah.

"Maksudku.. Dia juga yatim piatu sepertimu."

"Ah.. Aku mengerti sekarang."

.

.

"Silahkan masuk, gege, hyung." kata pemuda seperti peri hutan dengan senyum yang kelewat manis.

"Ah, Minghao Sayang." Junhui memeluk tubuh kecil Minghao dengan sayang.

"Ayo, aku sudah menyiapkan makan malam istimewa untuk kita semua."

Junhui mengecup ujung hidung Minghao. "Antarkan Soonyoung ke kamar dulu, Sayang. Dia baru saja hujan-hujanan."

Minghao tertawa renyah dan membimbing Soonyoung menuju kamarnya. Soonyoung mengikuti Minghao dalam diam. Kepalanya tertunduk karena lelah dan pusing. Kepalanya terasa berdenyut-denyut dan serasa akan pecah. Soonyoung memijit keningnya pelan.

"Ini kamarmu, hyung." Minghao membukakan pintu sebuah kamar untuk Soonyoung.

"Terima kasih, Minghao."

Pemuda peri itu mengangguk, masih dengan senyuman manis yang tercetak di bibirnya. Soonyoung masuk ke dalam kamar yang tertata rapi itu. Sendirian lagi saat Minghao menutup pintu untuk membiarkan dirinya berbenah diri. Pemuda manis itu terduduk di belakang pintu dan menggigil. Bukan menggigil karena dingin - Soonyoung sudah mati rasa sejak turun dari mobil Junhui. Ia merindukan anaknya. Anaknya yang sekarang berada jauh darinya. Yang bahkan tidak bisa ia peluk dengan leluasa lagi.

"Channie.." bibir pucat Soonyoung bergumam. "Eomma rindu pada Chan.."

Soonyoung terkulai lemas setelahnya. Matanya membuka dan menutup dengan pelan sebelum akhirnya tidak bisa bangun.

.

.

"Seungcheol hyung?"

"Hai, Seokmin. Sudah lama kita tidak bertemu, ya." Seungcheol menepuk pundak lebar Seokmin. "Wah, anak lucu ini siapa?"

Seokmin mengusak rambut Chan yang sedang bergelayut manja di kakinya. Menempel seperti koala. Sungcheol terkekeh melihat tingkah bocah itu dan berjongkok. Menyamakan tinggi badan mereka. Seungcheol mengulurkan tangannya dan menyubit pipi tembam bocah itu.

"Dia anakku, hyung." kata Seokmin sambil menggendong Chan yang memekik takut dan memukul tangan Seungcheol.

"Lalu di mana istrimu?"

Pria itu menghela napas lelah. Kembali teringat pada Soonyoung yang belum juga ditemukan. Beruntung sekali Chan tidak pernah rewel meskipun tidak pernah melihat Soonyoung selama beberapa hari ini. Ah pernah walaupun hanya beberapa kali.

"Aku tidak tahu." kata Seokmin sambil berusaha melepaskan tangan Chan yang menarik dasinya.

"Bagaimana bisa? Kau ini aneh sekali."

Seokmin tersenyum kecut. Dia tidak tahu harus mencari Soonyoung di mana dan kemana lagi. Tidak mungkin ia bisa menemukan Soonyoung dengan cepat. Pemuda itu terlalu pintar dan Seokmin kewalahan jika Soonyoung sudah seperti ini. Ia memandang Chan yang memajukan bibirnya karena kesal. Beberapa hari belakangan Chan sering kesal padanya. Kadang bertingkah sangat menyebalkan dan kadang bertingkah sangat manja. Untungnya Seokmin tidak pernah kelepasan marah.

"Hei, Manis. Ayo ikut Paman Seungcheol jalan-jalan." ajak Seungcheol sambil menunjukkan gambar sebuah taman bermain dari ponsel pintarnya.

"Ote od.." gumam bocah itu sambil menunjuk ponsel Seungcheol.

"Dengan Paman Joshua, ya. Biar Appa dengan Paman Seungcheol."

Bocah itu memekik senang dan berusaha melepaskan diri dari gendongan ayahnya. Ia mengulurkan tangan kecilnya pada Seungcheol yang terkekeh.

"Joshua sayang, dia mau pergi." kata Seungcheol sambil melambaikan tangannya pada Joshua yang mendekati mereka.

"Nanti dia merepotkanmu, hyung." tolak Seokmin.

"Tidak akan. Joshua suka sekali dengan anak-anak. Dia pasti tidak akan merepotkan Joshuaku."

"Kami akan bersenang-senang. Kau kelihatan tidak baik. Jadi beristirahatlah." kata Joshua sambil menimang Chan seperti anaknya sendiri.

Chan memeluk tubuh Joshua dan melambaikan tangan pada ayahnya yang hanya melongo. Anak itu terlihat nyaman digendongan pria asing seperti Joshua. Sebelumnya Chan hanya mau digendong olehnya. Itu berdasarkan pengalamannya tinggal dengan Chan selama sebulan. Sebulan tanpa Soonyoung. Sebulan yang berat karena Chan sering menangis tengah malam dan mengigau mencari ibunya.

"Sepertinya dia merasa nyaman dengan Joshuaku."

Seokmin mengangguk. "Ah, kebetulan sekali kita bertemu di rumah sakit. Kau sakit, hyung?"

"Tidak. Salah satu kerabatku sakit dan dirawat di sini."

"Oh, benarkah?"

Sekarang Seungcheol yang mengangguk. "Kalau kau sendiri sedang apa di sini?"

"Anakku tidak mau makan beberapa minggu ini. Aku membawanya ke sini untuk memeriksakannya karena dia mulai kurus sekali. Beruntungnya dia hanya tidak nafsu makan saja."

"Begitu.. Kau tahu tadi Joshua memaksaku mendekatimu untuk menggendong anakmu. Awalnya aku mengira orang asing ternyata dirimu." Seungcheol tertawa pelan. "Boleh kami merawatnya beberapa hari di rumah?"

.

.

"Soonyoung.. Chan ada di sini.."

Pemuda manis yang tengah terbaring tidak berdaya itu membuka matanya perlahan. Matanya melebar saat mendapati anaknya sedang duduk di sampingnya. Air matanya merebak dan ia berusaha untuk bangun tapi tidak mampu. Tubuhnya terlalu lemas dan ia bahkan tidak bisa menggerakkan ujung jarinya. Air matanya semakin deras.

"Eomma Chan.."

Bocah itu memeluk ibunya yang tidak berdaya dan menangis. Memukuli perut ibunya dengan kepalan tangan kecilnya. Soonyoung mengumpulkan semua tenaganya dan mengusap kepala Chan dengan pelan. Joshua memilih untuk tetap berdiri di samping ranjang Soonyoung. Lalu membantu pemuda itu untuk duduk bersandar. Setelah Soonyoung dapat duduk dengan nyaman Joshua mendudukkan dirinya di sofa. Mengamati ibu anak itu.

Soonyoung memangku tubuh kecil Chan dan membawa anak itu kedalam pelukan hangatnya. Menciumi pipi dan puncak kepala anaknya berulang kali. Air matanya masih terus mengalir sedangkan Chan tidak lagi menangis. Anak itu memeluk ibunya dan memainkan jari kurus ibunya. Chan mendongak kemudian mengamati wajah ibunya yang sangat pucat. Tangannya terulur untuk menyentuh pipi ibunya yang tidak lagi tembam seperti dulu. Ibunya sangat kurus.

"Eomma Chan sakit?"

"Tidak. Eomma tidak sakit, Channie. Ah, kenapa Channie kesayangan eomma kurus sekali? Anak eomma nakal hmm.. Tidak mau menurut pada Appa."

"Chan tidak nakal.. Mmh.. Eomma yang nakal!"

Bocah itu menangis lagi. Kali ini sambil meremas pakaian rumah sakit Soonyoung dengan erat lalu menyembunyikan wajahnya di dada Soonyoung. Soonyoung memeluk Chan dan membiarkan pakaiannya basah oleh air mata dan ingus anaknya. Ia hanya bisa menepuk punggung anaknya yang bergetar. Ini memang salahnya jadi ia tidak akan memarahi Chan - karena Soonyoung memang tidak pernah marah apalagi memarahi Chan.

"Soonyoung?" panggil Joshua dari tempatnya duduk.

"Ya, hyung?"

"Cepatlah sehat."

"Aku sudah sehat." Soonyoung tersenyum.

Dari senyuman Soonyoung kali ini Joshua tahu kalau pipi pucat Soonyoung lebih terlihat merona sekarang. Mungkin memang keputusan yang tepat dengan membawa Chan untuk menemui pemuda yang sudah seminggu tidak mau membuka matanya dan juga tidak mau makan meski sudah dipaksa. Soonyoung memang pemuda keras kepala tapi Joshua tahu bagaimana caranya meluluhkan hati saudara sepupunya itu. Joshua mengabadikan moment itu dengan kameranya. Ia akan menunjukkannya nanti pada Seungcheol.

Saat ini baik Soonyoung maupun Chan sedang tertawa bersama. Entah apa yang mereka tertawakan yang pasti wajah Soonyoung menjadi lebih berwarna daripada sebelumnya. Padahal sebelumnya Soonyoung sudah terlihat seperti mayat hidup dan tampak tidak akan pernah membuka matanya lagi. Chan berdiri dipaha Soonyoung dan melonjak-lonjak senang. Setelah itu anak itu memeluk leher Soonyoung dengan erat. Masih dengan tawa renyah bocah itu.

"Kenapa, Channie?" tanya Soonyoung masih dengan senyuman terpasang di wajahnya.

"Pulang." jawab Chan sambil mempererat pelukannya. "Rumah Appa, Eomma."

"Hmm.."

"Hmm.."

"Sekarang, Eomma." Chan menatap ibunya.

"Nanti, oke?"

Chan mengangguk. Bocah itu kembali duduk dipangkuan Soonyoung dan memeluknya. Saat itu juga Soonyoung mendengar perut anak itu berbunyi. Chan menyembunyikan wajahnya ke dalam pelukan Soonyoung yang tertawa ringan. Joshua mengedipkan matanya pada Soonyoung yang mengangguk dan keluar dari ruang rawat Soonyoung. Berniat membelikan makanan untuk keduanya sekaligus membiarkan anak ibu itu bercengkerama lebih lama tanpa terganggu. Walaupun sebenarnya Joshua memang tidak penah mengganggu acara Soonyoung yang sedang bahagia.

.

.

Seokmin memandangi lembaran foto di tangannya. Foto-foto dari Junhui yang membuatnya naik darah sekaligus membuatnya khawatir. Ia sudah memastikan keaslian foto itu dan 100% bukan rekayasa. Seokmin menjambaki rambutnya sendiri. Frustasi dengan keadaan yang membelitnya. Ia bisa lebih leluasa sekarang karena Chan sedang berada di rumah Seungcheol saat ini.

Pria itu meraih sebuah map gelap dan membukanya. Di dalamnya ada berkas-berkas persetujuan antara perusahaannya dan perusahaan milik keluarga Soonyoung. Lalu ada juga surat wasiat dan juga surat penyerahan warisan. Seokmin meneliti surat-surat itu. Dari analisa kepolisian semua berkas itu sudah dibuktikan keabsahannya. Benar-benar tulisan tangan dari orang tua Soonyoung. Tapi mengerutkan keningnya bingung saat membaca surat penyerahan warisan. Ada dua berkas dengan nama wali dan penerima yang berbeda. Seokmin membenahi kacamatanya.

Penerima : Kwon Soonyoung

Wali sementara : Wen Junhui

"Tanpa tanda tangan?" Lalu Seokmin meneliti berkas yang bertanda tangan.

Penerima : Lee Seokmin

Wali sementara : -

Seokmin menelitinya berulang kali hingga pandangannya terasa berputar. Ia mendapatkan warisan yang seharusnya diterima oleh Soonyoung. Pantas saja selama ini ia merasa aneh dengan perusahaannya yang tiba-tiba biwa dengan mudahnya mengambil alih perusahaan keluarga Soonyoung. Seokmin meletakkan kepalanya di atas meja. Selama ini ia memang menguasai kekayaan Soonyoung. Bodohnya ia tidak sadar saat Soonyoung membentaknya dulu. Pemuda manis itu ahli waris sesungguhnya tapi tidak mendapatkan bagian sepeserpun.

"Maafkan aku, Soonyoung."

.

.

"Kim Mingyu."

Mingyu mengangkat wajahnya dan melihat Wonwoo duduk di depannya. Pemuda bertaring itu menyimpan data tugasnya dan menatap Wonwoo. Wonwoo balas menatap Mingyu. Kemudian keduanya saling diam tanpa ada yang memulai pembicaraan. Keheningan mereka hanya diisi dengan suara detikan jam dinding yang ada di ruang makan. Berlalu cukup lama sampai akhirnya Mingyu buka suara.

"Ada apa, Jeon?" tanya Mingyu.

"Aku khawatir pada Soonyoung. Apakah dia baik-baik saja. Apakah dia tinggal ditempat yang aman. Apakah dia bisa makan dengan baik. Dan masih banyak lagi. Kulihat kau tidak khawatir sama sekali. Kau terlihat tenang-tenang saja tapi aku tahu kau menyembunyikan sesuatu dariku."

Mingyu membatu mendengar kata-kata Wonwoo. Ia berdeham pelan dan berusaha menetralisirkan detak jantungnya yang berdetak beratus kali lipat lebih cepat hingga membuatnya kesulitan bernapas. Tangannya meraih segelas air dan meminumnya dengan cepat. Tingkah aneh Mingyu membuat Wonwoo semakin curiga. Tapi Wonwoo menunggu hingga Mingyu menjawabnya.

"Soonyoung baik-baik saja. Tapi aku tidak lagi menghubunginya apalagi mengkhawatirkannya karena dia ada di tangan yang tepat sekarang. Maafkan aku, Jeon."

Wonwoo menghela napasnya lega. Sama leganya dengan Mingyu yang tidak lagi menyimpan semuanya sendiri. Wonwoo sangat tahu kalau Mingyu termasuk orang yang bisa memegang janji dan menjaga rahasia dengan baik. Hanya saja pemuda tinggi itu akan terlihat sedikit gelisah setiap saat jika ia menanggung sesuatu yang berat dan Wonwoo menyadarinya belum lama ini.

"Dia dengan Junhui hyung?" tanya Wonwoo sambil menggambar gambaran tidak terlihat di meja.

"Joshua hyung." jawab Mingyu.

Wonwoo mengangguk dan melirik Mingyu dari sudut matanya.

"Kau masih menyukai Soonyoung?"

Mingyu menatap Wonwoo. "Aku mulai mundur perlahan, Jeon. Dia kelihatan sangat mencintai Lee Seokmin ketimbang aku. Kau sendiri?"

"Aku sudah mundur sejak dulu. Karena aku rasa aku bukanlah yang baik untuknya. Aku juga tidak bisa membuatnya bahagia."

"Nasib kita sama."

"Tidak juga. Aku sedang menunggu seseorang membuka hatinya untukku. Sepertinya dia juga membutuhkanku."

"Membutuhkanmu? Astaga.. Sejak kapan rasa percaya tinggimu setinggi itu, Jeon?"

"Kau ingin tahu?"

Mingyu tertawa geli sambil menggelengkan kepalanya. Wonwoo mendengus tidak suka dan membuang mukanya. Malas menonton Mingyu yang sedang menertawainya. Setelah menyelesaikan tawanya yang lama dan membuatnya sakit perut, Mingyu terbatuk dan mengembalikan fokusnya pada Wonwoo yang tidak terlihat baik. Wajah muram Wonwoo membuatnya sedikit menciut. Aura hitam seolah mengelilingi tubuh kurus Wonwoo.

"Aku hanya bercanda, Jeon. Jangan dimasukkan ke dalam hati."

Wonwoo memutar bola matanya malas dan meninggalkan Mingyu yang menatapnya heran. Membanting pintu kamarnya lalu mengunci kamarnya dari dalam hingga membuat Mingyu sedikit terlonjak karena terkejut. Untungnya Mingyu memiliki respon yang bagus sehingga dia tidak jatuh dari kursi yang didudukinya atau kalau tidak ia harus merelakan pantatnya mencium lantai.

.

.

"Halo manis." sapa Junhui pada Chan yang sedang sibuk dengan mainan barunya.

Chan mendongak dan menjerit takut. Bergegas memeluk Soonyoung yang sedang menghabiskan sarapan paginya. Soonyoung terkejut dan terbatuk-batuk. Junhui dan Minghao dengan tanggap membantu Soonyoung. Minghao menggendong Chan - yang awalnya tidak mau digendong - sedangkan Junhui membantu Soonyoung untuk minum.

"Kau membuat anak manis ini takut, ge." ujar Minghao sambil terkekeh dan mengayunkan tubuh ringan Chan. "Wajah Paman Junhui menyeram kan, ya?"

"Wen Minghaoku yang cantik dan manis.. Suamimu ini tampan. Sejak kapan aku menyeramkan?"

"Kau menyeramkan disaat tertentu. Buktinya Chan ketakutan saat dia melihatmu."

Junhui memasang wajah sedih dan mendapat pukulan sendok di keningnya. Dari Soonyoung yang muak melihat wajah saudara sepupunya itu. Kali ini Junhui mengaduh kesakitan karena Soonyoung memukul lumayan keras. Dihadiahi dengan suara tawa yang berasal dari Chan dan Minghao.

"Kenapa kalian menertawakanku, huh?"

"Hyung, kau ini sudah mulai tua. Masih tetap saja bertingkah seperti bocah 4 tahun. Anakku saja terkalahkan oleh sikapmu." cibir Soonyoung.

"Ya ya terserah pada kalian saja lah." Junhui menghembuskan napasnya. "Bagaimana keadaanmu?"

"Baik. Sepertinya nanti aku sudah bisa pulang."

"Baguslah. Kau akan mengajak Chan juga kan?"

"Ya. Lalu besok aku akan kembali ke Yeoso-do. Aku akan tinggal di sana lagi."

"Tunggu sampai semuanya selesai dan hiduplah dengan tenang di sana. Lalu kau bisa kembali ke sini lagi untuk mengambil hakmu."

"Tidak. Biarkan saja, hyung." Soonyoung tersenyum melihat keakraban Minghao dan Chan yang sedang bercanda. "Aku akan hidup dengan jerih payahku sendiri."

"Baiklah. Tapi kau tidak akan kembali padanya kan?"

"Tidak. Tapi Chan akan kembali padanya."

"Apa kau gila?"

Soonyoung menghela napas dan menatap Junhui dengan senyum. "Tidak. Tapi Chan tidak bisa lepas dari ayahnya. Aku akan ke sini sebulan sekali untuk menjenguknya dengan bantuan Joshua hyung."

.

.

Chan tertidur dipelukan Soonyoung. Sore ini ia sudah diperbolehkan pulang dan dijemput ramai-ramai oleh saudara sepupunya. Seungcheol, Joshua, Junhui, dan Minghao. Awalnya perjalanan mereka bisa dikatakan tidak diam lalu menjadi diam karena bocah yang tadinya sangat bersemangat tertidur karena lelah berceloteh dengan paman-pamannya. Minghao dan Joshua sedang sibuk memotret wajah lucu bocah yang sedang tertidur dengan bibir terbuka yang sangat persis dengan Soonyoung.

"Soonyoung Kecil! Astaga, Minghao.. Dia ini lucu sekali." celoteh Joshua sambil berusaha menahan diri untuk tidak mencubit pipi anak itu.

"Iya, hyung! Uhh.. Aku gemas!" Minghao menggigit bibirnya gemas dan menggeleng-gelengkan kepalanya

Soonyoung tertawa. Ia memeluk dan mencium Chan berulang kali karena ini adalah saatnya ia akan berpisah dengan anaknya. Ia akan kembali ke Yeoso-do dan Chan akan tetap tinggal dengan ayahnya di Seoul. Air matanya menggenang. Ia mungkin tidak mungkin sanggup tinggal seorang diri lagi. Tapi keadaan memang tidak bisa mendukungnya.

"Hyung, apa rumahku dulu masih ada?" tanya Soonyoung pada Joshua dan Junhui.

"Rumahmu dijual 3 tahun yang lalu oleh salah satu orang suruhan ayah suamimu. Tapi aku dan Seungcheol hyung berhasil membelinya lagi lewat salah satu kolegaku. Barang-barangnya masih utuh. Kau ingin ke sana?"

"Siapa yang menempatinya?"

"Untuk sementara aku meminta beberapa orang untuk menempati rumahmu."

"Aku akan tinggal di sana dulu sebelum kembali ke Yeoso-do. Baru besok aku akan berangkat."

"Kita sampai. Jangan menoleh, Youngie. Nanti kau kabur lagi." kata Seungcheol.

Soonyoung mengangguk dan mengangsurkan Chan kepada Joshua dengan lembut. Ia menyempatkan diri untuk menggenggam tangan kecil Chan sebelum Joshua turun. Seungcheol dan Joshua turun. Mereka membawa tas-tas milik Chan pula. Mengembalikan anak itu pada ayahnya.

"Hah.. Aku sebenarnya malas ke rumah musuhku. Tapi mau bagaimana lagi." ujar Junhui seraya menyandarkan punggungnya.

Soonyoung dan Minghao hanya saling pandang dan sama-sama mengendikkan bahu. Kemudian mereka melihat keluar jendela. Seokmin dengan pakaian rumahan membuat Soonyoung terpaku. Wajah pria itu terlihat lelah tapi bahagia saat Chan sudah berada didgendongannya. Seokmin membungkuk dan entah apa yang mereka bicarakan sampai akhirnya Seungcheol dan Joshua kembali ke dalam mobil. Soonyoung menatap rumah itu mulai jauh karena Seungcheol mengarahkan mobil itu untuk pulang.

"Dia terlihat lelah." kata Soonyoung.

"Dia bilang kalau ada beberapa urusan yang membuatnya tidak bisa tidur dengan tenang." sahut Seungcheol sambil melihat Soonyoung dari kaca spionnya.

Soonyoung hanya mengangguk lemas.

.

.

"Appa.."

Seokmin membuka matanya dan melihat Chan untuk mengawali harinya. Seminggu yang lalu ia selalu bangun sendirian dan sekarang Channya sudah kembali. Seokmin memeluk Chan lalu merapatkan selimutnya. Anak itu memberontak dan turun dari kasur. Seokmin terkekeh kemudian ikut bangun untuk mengikuti Chan yang keluar dari kamar. Bocah itu berlari-lari kecil sambil menyanyi riang. Entah menyanyikan apa yang pasti selalu bisa membuat Seokmin tersenyum.

"Eomma! Chan bangun!" teriak bocah itu senang.

Tiba-tiba Seokmin terpaku di tempatnya. Ia tidak lagi mengikuti Chan yang berlari menuju dapur. Masih mencerna makna dari teriakan Chan barusan.

'Soonyoung?'

Pria itu menyusul Chan dan menggendong anak itu. Melangkahkan kaki-kaki panjangnya menuju dapur. Dari arah dapur Seokmin bisa mendengar suara alat masak beradu. Kakinya terayun semakin cepat. Sampai di sana Chan meminta untuk turun dari gendongannya. Seokmin menurunkan Chan dan membiarkan bocah itu berlari mendekati seseorang yang sedang sibuk di dapurnya.

"Eomma! Appa dan Chan sudah bangun!" celoteh anak itu riang sambil memeluk salah satu kaki seseorang itu.

"Baguslah kalau begitu. Sekarang Chan dan Appa harus menunggu Eomma selesai memasak di meja makan. Oke?" katanya sambil tersenyum.

'Soonyoung?'

Bocah itu mengangguk dan melepaskan pelukan koalanya. Berlari menuju Seokmin dan menarik jari pria itu untuk duduk di meja makan. Di sana sudah ada secangkir kopi dan segelas susu. Kopi untuknya dan susu untuk Chan. Seokmin membantu Chan untuk duduk kemudian mendudukkan dirinya di samping Chan.

'Tuhan, jika memang ini mimpi aku tidak ingin bangun. Aku ingin menjalani hidup harmonis selayaknya keluarga yang lain. Bahkan kau boleh mengambilku saat ini juga karena mungkin aku tidak akan bisa merasakannya lagi. Tuhan.. Jika memang ini mimpi maka jangan putus mimpi ini dengan mimpi yang lainnya. Cukup mimpi ini saja sampai aku bangun nanti.'

"Sarapan siap!" Soonyoung membawa menu sarapannya ke meja makan. "Channie, habiskan dulu susunya."

"Makan, Eomma." rengek bocah itu.

"Hmm.. Appa juga belum meminum kopinya. Habiskan dulu, hyung." Soonyoung melempar senyum manis.

'Ya Tuhan.. Dia terlihat begitu nyata.'

"Hyung, kau melamun?"

'Suaranya juga. Aku merindukan suara lembut ini.'

"Appa?" panggil si kecil Chan.

"Appamu ini kenapa? Astaga, kau baik-baik saja kan?" tanya Soonyoung dengan wajah panik.

"Soonyoung.. Apa kau nyata?"

.

.

Halo, Sour di sini. Khusus kali ini saya post dua chapter. Akun ini tidak akan saya hapus.

Tolong Vote dan Comment ya!

Dukungan kalian sangat berarti buat saya.

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

2.1M 32.1K 47
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
7.1M 348K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
1.7M 85.3K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
1.3M 128K 49
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...