stardust (n.h)

By aishaandriana

434 25 15

((a spin-off from The Lucky One)) all she think about is how to help him and see him smiling widely. all he t... More

2.
3.
4.
5.
6.

1

189 10 12
By aishaandriana

Satu sore di bulan Maret. Sore itu jalanan London tidak terlalu padat seperti pada hari-hari sebelumnya. Entah mengapa alasannya, yang pasti hari itu tetap sibuk bagi para penduduk kota besar tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada Tia.

Kala itu, ia sedang dalam perjalanan pulang ke flatnya. Flat yang kini hanya ditempati oleh dirinya sendiri. Biasanya Gi, kakaknya, hanya datang sesekali untuk mengunjunginya. Alasannya sederhana, Gi sudah memiliki tempat tinggal baru bersama Harry. Beberapa bulan lalu saat Harry sedang tur, Gi masih tinggal bersama Tia. Ketika grup musik itu memutuskan untuk rehat atau hiatus, Gi pun pindah dan tinggal dengan Harry.

Tia sekarang sudah biasa hidup sendiri. Berbulan-bulan tanpa Gi membuatnya memaksakan diri untuk hidup mandiri. Ia tidak bisa bergantung pada kakaknya terus menerus, walaupun sebenarnya Gi tidak keberatan sama sekali. Tapi sesekali Gi menggodanya untuk mencari pasangan untuk menggantikan Gi kalau-kalau Gi tidak bisa membantunya.

Tia tidak pernah menanggapi usul Gi dengan serius. Berulang kali kakaknya itu berusaha mendekatkannya pada Niall, teman satu grup Harry, tapi Tia hanya mendengarkan dan mengiyakan agar kakaknya berhenti bicara. Sudah lama gadis itu tidak bertemu dengan Niall dan ia tampak tidak ada masalah dengan hal tersebut.

Setelah Gi dan Harry bertunangan dan Harry harus pergi tur, Tia sudah jarang menghabiskan waktunya dengan Niall. Niall juga harus pergi tur berbulan-bulan, sama seperti Harry. Awalnya, Tia kesal tapi ia tidak punya alasan kuat untuk kesal. Tia bukan siapa-siapa, Tia hanya salah satu teman Niall. Dan sejak tur dimulai, Niall sangat jarang memberinya kabar. Perlahan-lahan Tia terbiasa dengan rasa kesalnya. Tapi setiap memikirkan Niall, dengan cepat kekesalannya datang.

Harusnya Tia sudah berada di flatnya sejak sepuluh menit yang lalu, tapi karena latihannya selesai lebih lama dari yang ia perkirakan, ia masih harus duduk di dalam tube. Kereta bawah tanah itu memang cepat, tapi Tia sudah tidak sabar untuk menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Gadis berambut gelap itu cukup lelah dengan jadwalnya akhir-akhir ini.

Beberapa menit setelah Tia menggerutu dalam hati, keretanya berhenti. Tia menengok ke jendela dan ia menghembuskan napas lega. Keretanya berhenti di tempat tujuannya dan ia segera turun. Suara gemuruh terdengar tepat saat Tia menginjakkan kakinya di stasiun itu. Kedengarannya di luar sedang hujan sehingga ia berjalan dengan cepat ke arah tangga untuk mencari tahu.

Benar saja, tangga yang paling atas sudah basah. Tia menggerutu lagi, merutuki nasibnya hari ini. Sudah terkena omelan dari pelatihnya, ia harus basah-basahan untuk sampai ke rumah. Kemudian gadis itu mencari payung lipatnya di dalam tas dengan tergesa-gesa.

"Sial." kata Tia kesal. Hari ini ia tidak membawa payung sama sekali, ia meninggalkan payungnya di flatnya. Ia baru ingat kalau kemarin ia memakainya saat ingin pergi mencari makan.

Tia pun bingung. Haruskah ia menerjang hujan dan pulang dengan keadaan basah kuyup atau menunggu hujan yang kelihatannya akan berhenti beberapa jam lagi dan menunda rencana tidurnya jadi lebih lama lagi? Sambil berpikir, matanya menerawang jauh ke jalanan yang basah dan sepi. Hanya segelintir orang yang memutuskan untuk melawan derasnya hujan saat itu, tentunya dengan payung. Satu hal yang benar-benar dibutuhkan Tia sekarang.

"Kau butuh payung?"

Suara itu familiar dan itu membuat Tia reflek menoleh ke si pemilik suara.

"Niall?"

Niall berdiri di samping Tia, tersenyum lebar sambil mengulurkan tangannya yang memegang sebuah payung. "Kau butuh payung atau tidak?"

Tia masih syok. Tidak menyangka ia akan bertemu dengan pria itu. Di waktu seperti ini dan di sebuah stasiun kereta bawah tanah. Pria itu terlihat sedikit berbeda dengan topi macam detektif yang ia kenakan, sisanya ia sama seperti Niall yang terakhir kali dilihat Tia.

"Hai?" Niall melambaikan tangannya berulang kali di depan wajah Tia.

Tia mengerjap dan menyadari apa yang dilakukannya. "Sejak kapan kau ada di sini?"

"Kurasa sejak aku keluar dari kereta yang sama denganmu?" Niall malah bertanya balik.

Mendapati kehadiran Niall, Tia tiba-tiba jadi kesal. Jauh di dalam hatinya, ia masih kesal pada pria itu. Pria itu mengabaikannya hampir satu tahun. Berbulan-bulan Tia tidak tahu tentangnya kecuali tentang ia dalam masa hiatus dan kelelahan seusai tur. Itu pun ia tahu dari Gi, bukan dari Niall langsung.

"Lebih baik aku menerobos hujan tanpa payung daripada harus memakai payung darimu." Tia mendengus, ia mencoba terdengar biasa saja tapi sepertinya gagal.

Niall mengerutkan alisnya. "Kau yakin? Hujannya lebat sekali, memang kau tidak mau buru-buru pulang?"

Tia sudah membayangkan dirinya mandi air panas lalu meringkuk di dalam selimut tebalnya sampai ia tertidur. Ia sebenarnya ingin menerima tawaran Niall, tapi tawaran itu dari Niall. Pria yang entah masih menganggapnya teman baik atau bukan, yang sama sekali tidak ada niat untuk menghubunginya.

Tia menggeleng menjawab pertanyaan Niall.

"Aku bawa dua payung, kalau kau memang tidak mau berada dalam satu payung denganku." Niall mengeluarkan satu payung lagi dari tas ransel kecil yang ia pakai.

Lagi-lagi Tia menggeleng.

"Ya sudah, kalau tidak mau, aku pergi ya," Niall memasukkan lagi payung yang baru saja ia keluarkan. "Aku tunggu di flatmu sampai kau datang."

Mata Tia melebar. Berharap ia tidak salah dengar kalau Niall akan berkunjung ke flatnya. Niall berjalan ke atas tangga, bersiap membuka payungnya. Terpaksa, Tia mengejar pria itu dan menahannya.

"Apa maksudmu kau menunggu di flatku?" Tia memicingkan matanya menatap Niall.

Niall tersenyum kecil. "Aku memang sedang dalam perjalanan menuju flatmu."

"Untuk apa pergi ke flatku?"

"Menemuimu, memang mau apa lagi?" jawab Niall santai.

Tia mendesah malas. "Memangnya aku mau menerimamu di flatku?"

"Entahlah, tapi aku tidak masalah kalau harus menunggumu di depan pintu sampai kau mau mempersilahkanku masuk."

Tia mendengus sebal mendengar jawaban Niall. Lagi-lagi ia harus berdebat dengan pria itu. Ia kira hidupnya yang seperti itu telah usai.

"Aku tidak mau menerimamu di flatku."

Niall hanya mengangkat bahunya. "Terserah kau. Aku sudah bilang aku tidak masalah menunggumu di depan pintu flatmu sampai kau membukakannya untukku. Lagipula, kelihatannya aku yang sampai duluan di flatmu, jadi sudah pasti aku menunggumu."

Niall melirik ke arah hujan di luar. Tia semakin kesal mendengar Niall. Kali ini ia berada di posisi yang tidak menguntungkan dan pria itu tahu Tia tidak bisa mengalahkannya.

"Sudahlah, ayo pulang denganku," Niall merogoh tasnya lagi. "Ambil saja payung ini, lalu kita pulang."

Niall meraih tangan Tia dan meletakkan payung itu di tangan Tia dengan paksa. Tia memandang payung itu. Akhirnya ia menghembuskan napas panjang dan menyerah. Ia membuka payung itu dan berjalan menembus hujan. Meninggalkan Niall di belakang.

Niall berhasil mengejar Tia dan menyamakan langkahnya dengan gadis itu. Ia berjalan di bawah payung miliknya, sesekali menoleh ke arah Tia. Yang ditatap tidak menatapnya balik. Tia hanya memperhatikan jalan di depannya. Ia tidak mau melihat wajah Niall dan menahan emosinya lagi. Hal yang terpenting sekarang adalah sampai ke flat dan menutup pintunya rapat-rapat untuk Niall Horan.

Tia harus lebih cepat melangkah daripada Niall. Ia harus meninggalkan pria itu. Ia sudah merencanakan jikalau ia sudah sampai di gedung flatnya. Tia akan melemparkan payungnya jauh dan langsung berlari ke pintu flatnya. Ia sudah menggenggam kuncinya erat-erat di dalam kantong jaket hoodie yang ia kenakan. Harus bersiap sebelum rencananya gagal. Setelah membuka kunci pintunya, dengan segera Tia akan menutup pintunya.

Tia tersenyum sendiri memikirkan rencananya. Beberapa meter lagi ia sampai. Ia tidak peduli sedari tadi Niall menunggunya mengajak bicara. Kalau saja tidak hujan, mungkin Tia tidak harus bertemu dengan pria ini dan menerima bantuannya.

Mereka pun sampai di gedung flat Tia. Sesuai rencana, Tia melemparkan payungnya tidak peduli. Ia langsung masuk gedung tersebut dan menaiki tangga. Sebelumnya, ia mendengar Niall berteriak protes terhadap sikapnya. Tapi Tia enggan menggubrisnya. Ia berlari menaiki tangga dan dengan cepat membuka kunci pintu. Rasanya Tia ingin berteriak girang saat sudah masuk ke dalam flat.

Tepat ketika Tia hendak menutup pintu, pintu itu tertahan oleh sebuah tangan. Tia membelalakkan kedua matanya. Sontak saja ia mendorong pintu itu, mengabaikan fakta bahwa tangan itu tangan seorang pria yang sudah pasti lebih kuat darinya.

"Hei, Niall! Kau mau aku menjepit tanganmu sampai putus?" Tia sedikit menaikkan volume suaranya.

"Kau tidak akan bisa, Tiara." jawab Niall sambil tetap menahan pintu itu.

Lama sekali mereka berada dalam momen itu dan tentunya hasil akhirnya sudah tertebak. Niall berhasil masuk ke dalam flat Tia. Rasa puas tampak sangat jelas di wajah Niall.

"Terima kasih sudah mau mempersilahkanku masuk, Nona Campbell." ujar Niall sarkastik, ia tersenyum lebar menatap Tia.

Tia mengerucutkan bibirnya, mengumpat dalam hati. Ia terlihat sangat sebal dengan Niall. Tangannya disilangkan ke depan dada sambil menatap tajam pria itu. "Mau apa sih kau datang kemari?"

Niall masih mengembangkan senyumnya. "Akhirnya kau bertanya juga."

Niall melepas topinya yang basah dan duduk di sofa dekat Tia tanpa menunggu dipersilahkan. Ia mengabaikan tatapan Tia yang seolah-olah sebentar lagi Tia akan membunuhnya.

"Kau bisa menjawab pertanyaanku dulu, sebelum kau mendaratkan tubuhmu di atas sofaku." kata Tia.

"Kita bisa mengobrol dengan cara yang lebih baik, Ti. Seperti sambil diselingi minum teh?"

Tia sudah tidak tahan lagi dengan Niall. "Aku tidak mengerti apa yang terjadi padamu, Niall Horan. Berbulan-bulan kau melupakan keberadaanku, mengabaikanku, mungkin kau sudah berhenti menganggap aku ini temanmu. Tiba-tiba kau muncul begitu saja di depan wajahku dan sekarang kau menyuruhku membuatkan teh untukmu. Aku bisa gila kalau harus menghadapimu seharian."

Niall menyadari sikap Tia. Ia pun akhirnya berhenti bermain-main dan menjawab dengan serius.

"Aku ingin minta maaf padamu."


-----------------------------------------

HAI

SAYA KEMBALI HAHAHA

sesungguhnya, cuma mau nulis karena libur aja. kalau hari biasa alias hari-hari kuliah, udah susah mau nulis. gak cuma karena ga ada ide sih, ide mah udah ada di laptop, tinggal nulis, tapi waktunya aja. kayak kalo buka wattpad tuh ada rasa bersalah aja. "kenapa sih lo ga belajar aja sa instead of buka wattpad?"

eh tp ujungnya buka youtube HAHA

udah deh gitu aja.

eh tunggu, fyi ini cerita Tiall yang akhirnya aku jadi buat! (yeaay) pemerannya udah pasti fokus ke niall sm tia ajaa. tp mgkn ada gi + harry few times. dan tentunya ada pemeran baru. terus mungkin aku bikin settingnya post the lucky one aja ya. jadi ini kehidupannya tia setelah Gi udah tunangan sm Harry.

JGN LUPA VOTE + COMMENT.

kamsahamnida

Continue Reading

You'll Also Like

281K 30.8K 33
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ° hanya karangan semata, jangan melibatkan...
200K 19.2K 71
Freen G!P/Futa • peringatan, banyak mengandung unsur dewasa (21+) harap bijak dalam memilih bacaan. Becky Armstrong, wanita berusia 23 tahun bekerja...
230K 18.9K 93
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
657K 27.4K 48
Tiba-tiba punya 3 kakak ganteng? °°°° Jean Willona. Gadis yang dibesarkan oleh seorang singel mother tanpa sosok ayah. Namun, saat bundanya meninggal...