Eureka #RemembertheFlavor

By Cendarkna

29.1K 2.6K 255

"Kalau kamu es krim di kedai ini, kamu cocoknya jadi blue ocean." "Oh ya?" Aku mengangguk. "Blue ocean yang s... More

DUA
TIGA

SATU

16.5K 1K 85
By Cendarkna

Untuk kesekian kali aku bermain dengan kesenyapan.

Waktu semakin mengejar-ngejar bagaikan menggeluti bayangan yang sendu. Sedang hujan menampar jalan beraspal, trotoar, atap mobil, bahkan jiwaku. Aku terperangkap di balik kaca jendela, menyanggama lalu-lalang kota Surabaya lengkap dengan bising kendaraan yang samar-samar terselimuti alunan piano melagukan "Una Mattina" yang menggelegak di seantero tempat. Entah berapa detik kuhabiskan di malam muram ini, dihibur royal peach yang telah terhidang di dalam gelas berkaki panjang.

Ah! royal peach! Es krim favoritmu. Lidahku yang kelu barangkali memprotes. Hanya untuk mengingatmu, kenapa harus dia yang dikorbankan?

Saat mataku menyapu buah ceri di atas gundukan es krim yang perlahan melumer itu, memoriku dikilas balik. Perlahan-lahan yang tersembul dalam sudut pikiranku adalah wajahmu. Lantas, buku bersampul biru yang abstrak. Dan bayangan-bayangan lain mengekor bagai menghamba sang pemilik waktu.

Lima tahun berlalu, tapi es dalam hatiku tak kunjung roboh. Seandainya waktu mempersilakan aku menungganginya dan jatuh tepat di atas pusaran lima tahun lalu, akan kuhapus namamu. Kuhapus wajahmu. Kuhapus segala hal tentang dirimu. Adakalanya, rindu dan cinta yang tersemat dalam dada menekan tubuhku sampai tersudut. Aku tak ingin mereka kembali lagi. Tidak untuk sekarang.

Tetapi tetap saja. Kenangan menari lincah dalam kepalaku. Memelesat ke kanan, kiri, depan, belakang, berloncatan, dan kembali mendekam di pojok pikiranku bagai anak kecil yang tak diperbolehkan lagi bermain. Lantas suara pertama muncul.

"Hamka? Bagus."

Dan terceburlah aku menyelami lagi lamunan tak berkesudahan ini. Aku menjelma lagi menjadi setangkai dandelion kecil dalam genggamanmu. Waktu itu, kau datang secara tiba-tiba, duduk di depanku.

Aku menarik dagu bersitatap denganmu. Tenggelam bersama kedalaman dan kehangatan di kedua matamu.

"Ya. Tenggelamnya Kapal van der Wijck."

"Saya sudah baca buku itu dan menyukainya. Makanya, saya pinjam berkali-kali dari perpustakaan."

Lantas kau membagikan sekelumit cerita mengenai buku tersebut kepadaku. Aku mendengar dalam diam. Meskipun jantung berpacu laksana genderang perang yang ditabuh. Tak henti-hentinya menjerit-jerit diikuti bisikan batinku mengatakan: Eureka! Aku telah menemukannya!

Itu adalah kata yang pernah diteriakkan Archimedes untuk menandai penemuannya.

Setelah sekian lama, aku telah menemukannya, sebentuk hati berwarna merah jambu yang berpendaran di atas kepalamu. Dengan kepiawaianmu bertutur kata, senyum ramah, dan pengetahuanmu itu, aku menemukannya pada dirimu. Benakku berbisik, barangkali dengan melabuhkan kapalku di dermagamu, aku bisa meninggalkan bayang-bayang pantai di ujung utara atau selatan. Pantai yang gersang dan penuh pengkhianatan.

Eureka!

Sejak pertemuan di perpustakaan dan obrolan tentang buku-buku, ingin kulempar jangkar secepatnya untuk memeluk dermagamu. Aku lelah berlabuh di dermaga dan pantai asing. Kau dengar aku? Aku juga lelah berlayar nun jauh, terpontang-panting di tengah samudra, singgah di pantai-pantai yang tak pernah memberiku jawaban atas segala pertanyaan tentang... apa itu cinta?

Dan kita dekat. Sedekat kabut yang menyalami bintang-gemintang di angkasa raya. Terlihat dekat kalau dilihat dari bumi, kan? Tetapi nyatanya jarak keterpisahan kabut dengan bintang amatlah jauh. Seperti halnya kita. Hatiku berbisik mengatakan bahwa kau dan aku adalah sepasang sayap yang harus segera dipasang pada seekor merpati dengan tali merah pada paruhnya. Tetapi kenyataannya, hatimu seakan berjarak sangat jauh dariku.

Mungkin aku yang terlalu bodoh menganggap hatimu mampu bertemu denganku, berkaitan erat, bagaikan gembok yang telanjur terkait di pagar besi Pont des Arts.

Aku terlalu larut dalam ilusi. Meski kaki dan tangan kita sama-sama berayun bersampingan, nyatanya Tuhan tidak berminat membuatmu menarik tanganku dan menyimpannya dalam genggaman jemarimu.

Suatu ketika, kau mengajakku mampir ke sebuah tempat yang menurutmu menyajikan es krim terlezat di kota ini. Kita sama-sama sepakat bahwa ajakan ke luar ini sebatas diskusi tentang Hamka bersama sepasang sejoli yang enggan disatukannya dalam satu dimensi kata-kata. Tentu aku masih mengingat baju apa yang kukenakan. Baju apa yang kau kenakan. Juga aroma tubuhmu yang lekat dalam penciumanku. Hingga detik ini!

Selama menunggu pesanan, kita memulai menggelar diskusi panjang soal buku. Aku memprotes akhir kisah Zainuddin dan Hayati yang tak disatukan Hamka. Balada yang dihadapi terlalu muram dan kejam. Kukatakan kepadamu bahwa aku membenci akhir yang tidak bahagia dalam sebuah cerita.

"Aku suka bukunya. Tapi nggak suka sama ending-nya. Soalnya kebiasaan baca cerita yang happy ending."

Lantas kau mentertawai protesan konyolku. "Happy ending ibarat jalan keluar pembaca saat di kehidupan nyatanya nggak bisa ngedapetin itu. Justru sad ending yang merepresentasikan kehidupan nyata tuh yang bagus."

Ah, tamparan telak pada wajahku! Kau benar-benar kurang ajar. Dengan tuturan lembut, kau ucapkan kata-kata itu, seakan memberi pernyataan bahwa aku butuh pelarian dari kehidupan yang sebenarnya. Menyedihkan, mungkin yang kau maksud begitu, meskipun kau tak berniat mengatakannya.

Akan tetapi aku tak akan menampik tuduhanmu, seandainya benar.

Pesanan kita sampai di meja. Mataku yang lapar menjarah copacobana yang terhidang di dalam gelas berleher panjang di hadapanku. Sedang kau tak puas dengan satu royal peach, memesan pula affogato al caffe yang terhirup begitu nikmat sampai di tempatku. Secangkir kopi dan es krim kesukaanmu yang kadang menjadi menu pilihanku tiap berkunjung ke kedai ini.

Demi mengingatmu.

"Happy ending itu oase di tengah gurun." Aku masih mempertahankan pendapatku. Satu sendok suapan pertama tersorong masuk ke mulut. Cita rasa pisang yang menagihkan menari lincah bersama lidahku. "Semacam kebahagiaan buat pembaca. Kan alasan kebanyakan orang suka baca tuh buat pelarian dari kehidupan nyata mereka."

Kau mengangguk membenarkan. Sendok kecil dalam cangkir affogato al caffe kau mainkan. "Biar pembaca sadar dan bisa berpikir realistis kalau hidup tuh bukan cerita romantis yang harus berakhiran bahagia. Dari novel Hamka aku jadi belajar." Kau berhenti memutar-mutar sendoknya. "Kadang Tuhan iseng mempertemukan dan memasang-masangkan manusia bukan untuk disatukan, melainkan untuk belajar."

Aku bergeming menggeluti ucapanmu. Membiarkan kata-kata itu berhamburan di dalam kepala. Obrolan seputar novel Hamka tak lagi berlanjut. Kau sempat sibuk sementara waktu dengan ponsel untuk membalas pesan-pesan yang berbondongan masuk, sedangkan aku lebih senang menyibukkan diri dengan pikiran-pikiran abstrak.

Mataku tetap tak berpindah darimu. Kutekuri wajahmu yang kini menjadi anestesi bagiku setelah menjejakkan kaki pada dermaga dan pantai yang salah.

Kau memasukkan ponsel ke dalam saku dan menatapku. Lantas menyelipkan senyum simpul. Betapa lihai kau mainkan gejolak perasaan ini. Lututku terasa lemas setiap bersipapas dengan senyum yang membayangi wajah elokmu.

"Kalau kamu adalah es krim di kedai ini, aku rasa kamu cocoknya jadi black and white sundae." Tiba-tiba kamu melemparkan kalimat itu di antara sesapan es krim yang melintasi bibirmu.

Sebelah alisku terangkat. "Kenapa bisa begitu?"

"Orang asing yang nggak kenal kamu nggak akan bisa nebak pikiran kamu. Kamu bisa menyisihkan diri dari putih ke hitam di waktu-waktu tertentu. Tergantung lingkungan di sekitarmu. Kamu bisa jadi sangat putih; ramah, nyenengin, asik. Bisa juga sangat hitam; gloomy, penyendiri, dan jutek. Tapi dirangkum dalam satu rasa dan sikap: manis."

Suara tawaku yang gemerincing sempat menyita perhatian pengunjung lain. "Kamu pengamat jitu, ya?"

"Cuma nebak."

Menebak apanya kalau bisa sedalam itu memahami karakterku? Perutku jadi bergolak. Berkali-kali malaikat di atas pundakku menari riang membawa pom-pom mengatakan bahwa kau benar-benar menyukaiku. Tapi aku menampik dalam hati. Mengingatkan diriku sendiri bahwa kau adalah sebuah kapal yang juga berlayar jauh dan menambatkan diri pada dermaga lain.

Benarkah demikian? Aku harap begitu.

"Kalau kamu es krim di kedai ini, kamu cocoknya jadi blue ocean."

"Oh ya?"

Aku mengangguk. "Blue ocean yang sangat dalam. Seperti pendalamanmu yang juga susah ditembus."

Tawamu berderai di meja. "Apa lagi?"

Aku ingin berkata bahwa blue ocean juga menggambarkan karaktermu yang sangat romantis, dinamis, tenang, dan menarikku ke dalam pusaran, tapi lidahku kelu. Kalimat itu menjadi mubazir di kepalaku.

"Aku cuma bisa nebak sampai sana." Hanya itulah penutup yang dapat kuberikan untukmu.

Sebab sekali lagi aku teringat bahwa kau pun adalah sebuah kapal yang melemparkan jangkar di dermaga lain.


*to be cont*


Halooo saya datang datang membawa cerita pendek bekerja sama dengan @PenerbitHaru buat promosi novel yang akan datang, Remember the Flavor

Bakal diupdate setiap hari sampai tiga kali

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 87.1K 46
Di satukan oleh keponakan crush Kisah seorang gadis sederhana, yang telah lama menyukai salah satu cowo seangkatannya waktu sekolah dulu, hingga samp...
2.7K 511 21
"Semuanya akan baik-baik saja." - Setelah mati dan bangkit kembali sebagai sesuatu yang berbeda, Eka menjalani pemulihan agar bisa kembali sep...
996K 111K 51
Virtexxion Valec FR tiba-tiba terbangun disebuah kamar rumah sakit, dirinya yakin bahwa ia bertransmigrasi ke Novel yang ia baca sebelum kecelakaan. ...
5.1K 781 5
jae;wendy there are no accidental meetings between two souls.