Big Size I'm In Love [Open PO]

By Anie_SK

80.4K 8.2K 669

[Open PO] ° ° ° Memiliki berat badan lebih bukanlah satu hal yang diinginkan oleh Jingga. Rasa kurang percaya... More

Kilas Balik
Asa
Jatuh untuk Pertama Kali
Keputusan
Sosial Media
Pelemparan Kotak Pensil
Maksud Terselubung
Pertemuan
Halo
Awal Ketakutan Jingga
Kekhawatiran Aryo
Asumsi
Goyang Gergaji Sang Adik
Kecewa
Malam Pentas Seni Bag.1
Malam Pentas Seni Bag. 2
Pernyataan Terbuka Fajar
Inggo Si Mak Comblang
Tumbang
Test Mic; Nasib Babang Fajar
INFO PENERBITAN
Vote Cover
OPEN PRE-ORDER

Ulah Sahabat

2.6K 422 63
By Anie_SK

Jakarta, 2016.

Ayah tidak rugi mempunyai anak sepertimu. Aku harap sifat sepertimu bisa diandalkan.

Fajar menghela napas panjang saat mengingat ucapan ayahnya. Sebenarnya dia malas menuruti permintaan ayahnya, dia bukan orang yang sebaik itu. Kalau saja bukan karena Jingga, dia tidak akan sudi membantu ayahnya. Persetan dengan perusahaan yang akan bangkrut! Dia lebih senang ayahnya jatuh bangkrut, tapi bukan berarti dia tega menghancurkan perusahaan yang telah dibangun ayahnya. Dia tidak akan meluncurkan strategi-strategi jahat untuk menghancurkan perusahaan ayahnya, dia lebih memilih menghindar agar hatinya tidak mendendam. Lagi pula, kalau perusahaan ayahnya bangkrut, dia bisa mendapat perhatian lebih dari ayahnya.

Kekanak-kanakan? Tidak, tentu saja tidak. Bagi Fajar, sebuah keiginan untuk mendapat kasih sayang dan perhatian lebih dari orang tua tidak memandang umur. Sejak kepergian ibunya karena sebuah penyakit, Soekotjo selalu mengabaikan kehadirannya. Dia hanya diguyur dengan uang dan fasilitas tanpa sebuah perhatian dan kasih sayang dari ayahnya. Tiap kali Fajar merengek minta ditemani atau bermain, ayahnya langsung memanggil baby sitter untuk menemani Fajar. Soekotjo selalu sibuk dengan perkembangan perusahaan tanpa menghiraukan anak semata wayangnya.

Sikap Soekotjo yang seperti itu sanggup membentuk karakter pendendam seperti yang dimiliki Fajar. Namun, Fajar berbeda, dia lebih suka menghasut seseorang untuk membalas rasa sakit yang ia rasakan. Dia ingin tangannya terlihat bersih meskipun berkali-kali melakukan kesalahan yang sanggup memecah belah pertemanan. Fajar akan selalu menjaga image baik tentang dirinya, menjaga kesempurnaan dirinya di mata semua orang yang mengenalnya. Tampan, loyal, baik dan murah senyum, bukankah itu hal yang sempurna untuk mendapat perhatian? Perhatian yang tak pernah ia dapat dari ayahnya.

Fajar memasukkan beberapa kemeja ke dalam koper berukuran besar, besok pagi dia harus segera bergegas terbang ke Surabaya. Soekotjo sudah mempersiapkan semuanya dengan sangat cepat sehingga dia bisa langsung melaksanakan tugasnya. Mata cokelat Fajar menyapu tiap sudut apartemen nyaman miliknya, memandang satu persatu interior minimalis yang menghiasi sudut kamarnya. Sudah hampir enam tahun dia tinggal di sini—apartemen pemberian ayahnya. Dinding-dinding kamar yang bersaksi atas malam penuh resah memikirkan hatinya. Saat itu dia tidak menyadari semuanya, saat itu dia ingin melupakan kebimbangan hatinya dan saat itu dia tidak percaya dengan perasaannya. Hingga nama kota Surabaya disebut oleh ayahnya, membuat hati Fajar tersentak; sepotong hatinya memang sedang dibawa Jingga tanpa ia sadari.

Sudut bibir Fajar melengkung ke atas dengan sempurna ketika mengingat nama itu. Tiba-tiba dia teringat dengan pesan yang ia kirim kepada Jingga tadi siang. Fajar mulai meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas lalu melemparkan pantatnya ke atas kasur empuk. Alisnya tertukik dan dibarengi dengan embusan napas panjang saat pesannya hanya dibaca oleh Jingga tanpa dibalas.

Apa Jingga masih membencinya?

Dia juga belum menerima laporan tentang persetujuan pertemanan yang ia kirim.

Apa Jingga tidak mau bertemu dengannya?

Fajar rasa, Jingga tidak akan bisa menghindarinya karena dia tahu di mana Jingga bekerja. Bukankah menyenangkan jika memberi syok terapi untuk Jingga? Hitung-hitung sebagai obat rindu.

Fajar Anjarseno Soekotjo.
Hai Jingga, kamu lupa denganku?

Fajar mengirimkan pesan sekali lagi kepada Jingga. Dia meletakkan ponselnya ke atas kasur lalu kembali mengemasi baju-bajunya. Berharap  Jingga segera membalas pesannya, meskipun harus membaca caci makian dari wanita itu.

Surabaya, 2016.

"Aduh ... si buldoser itu ngapain ke sini lagi?" bisik Dedi sambil menekan tombol dispenser yang ada di dapur.

"Ayah apaan, sih?! Nggak boleh gitu, Jingga jarang-jarang galau kayak gini," sergah Jesti sambil meletakkan potongan kue ke atas piring. "Lagi pula, dia bisa diandalin jaga anak."

Dedi menoleh ke arah Jingga yang sedang bermain dengan anaknya sambil meneguk air putih. "Rempong banget jadi cewek. Tinggal nurutin kemauan calon suami kelar masalah. Kayak dia paling cantik aja."

Mata Jesti melotot ke arah Dedi, dia tidak suka kalau Jingga dihina. "Ayah itu nggak tahu perasaan seorang wanita karir. Meskipun aku ibu rumah tangga, aku cukup tahu bagaimana rasanya," omelnya sambil melengos dan berjalan keluar dari dapur.

Dedi hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatak, dia bingung dengan cara pemikiran wanita zaman sekarang.

Jesti tersenyum lebar saat melihat Jingga sedang bermain puzzle dengan anak perempuannya di ruang tengah. Khanza—anak Jesti—senang sekali kalau Jingga bertandang ke rumahnya. Kehadiran Jingga secara tidak langsung membawa tawa di dalam keluarganya. Tingkah Jingga yang konyol selalu menjadi bahan tertawaan anaknya. Sahabatnya satu ini benar-benar penghibur sejati sejak SMA.

"Tante ... kue pelangi buatan mama enak lho. Tadi Khanza bantuin mama buat kue ini." Khanza menghentikan tangannya yang sibuk merangkak puzzle Frozen untuk mengambil kue yang sudah diletakkan di dekat mereka.

Jingga bertepuk tangan lirih untuk mengapresiasi hal baik yang dilakukan Khanza. "Wah ... Kanzha anak yang pinter!"

"Iyha ... Khanza ghak mau mhama jadhi keong mas," ucap Khanza dengan mulut yang penuh makanan.

Jingga dan Jesti saling menatap dan menahan tawa. Ternyata dongeng ngawur yang diceritakan Jingga sanggup mempengaruhi tingkah bocah empat tahun ini. Jingga sering kali diminta Khanza untuk menceritakan dongeng rakyat yang Jingga sendiri sudah lupa bagaimana ceritanya. Jadi, Jingga terpaksa menceritakan dongeng-dongeng itu dengan imajinasi ngawurnya. Menghubungkan judul dongeng itu dengan sifat jelek Khanza supaya Khanza bisa memahami maksudnya. Dan ... ternyata berhasil meskipun ceritanya melenceng jauh.

Khanza mengambil sepotong lagi untuk Jingga. "Ini buat Tante, kalau kurang Tante bisa ambil lagi."

Jingga terbahak melihat Khanza yang sudah tidak pelit lagi. Ya ... Jingga memang pintar dalam membual.

"Anak Mama yang pintar." Jesti mengacak pucuk rambut anaknya. "Kenapa ke sini?" tanya Jesti langsung ke topik permasalahan.

Jingga menghela napas panjang saat mengingat ucapan Aryo kepadanya tadi siang. "Pernikahan diundur."

Jesti juga ikut menghela napas panjang mendengar jawaban dari Jingga. Dia tidak kaget lagi mendengar kabar itu karena dia sudah memprediksi semuanya. Aryo dan Jingga sama-sama keras kepala, tidak ada yang mau mengalah. "Sampai kapan?"

Pundak Jingga terangkat sekilas, "Entahlah, mungkin akan berakhir dengan  pembatalan." Dia mulai memakan rainbow cake buatan Jesti.

"Hush! Nggak boleh bilang gitu! Ucapan adalah doa."

Mata Jingga melirik ke arah Khanza yang mulai sibuk merangkai puzzle lagi. "Sepertinya aku harus bersiap dengan hal yang terburuk."

Tiba-tiba ponsel Jingga berdenting, denting khas pemberitahuan Facebook Messenger. Dia meraih ponsel lalu tiba-tiba matanya melotot dan kunyahannya terhenti.

"Kenapa?" tanya Jesti yang heran melihat tingkah Jingga.

Jingga menelan kue itu dengan susah payah. "Kamu masih ingat Fajar?"

Bola mata Jesti berputar ke atas, "Fajar ... teman SMA kita?" Jingga mengangguk antusias. "Kenapa?"

Jingga langsung menunjukkan  layar ponselnya kepada Jesti. "Dia tiba-tiba kirim pesan ke aku."

"Wah ... ternyata dia ingat sama kamu. Bagus dong!"

"Bagus, bagus! Ini itu kayak ancaman tahu nggak? Dia itu seakan-akan meneror aku setelah tujuh tahun hilang begitu aja!"

"Dia itu anak yang baik, Ingga. Jangan negatif thinking gitu!"

Jingga berdecih, "Dia itu cuma pencitraan aja! Semua nggak akan percaya kalau nggak tahu kenyataannya. Hanya orang cermat yang tahu busuknya dia!"

Kepala Jesti menggeleng berkali-kali, dia heran kenapa Jingga begitu membenci Fajar sampai sekarang. "Balas, gih!"

"Apa?"

"Dibalas, Jingga."

"Nggak sudi!" Jingga melempar ponselnya ke atas karpet lalu memakan sepotong lagi kue buatan Jesti.

"Nggak boleh jahat kayak gitu. Oke, kalau dulu dia pernah berbuat salah kepadamu, bisa saja sekarang dia mengakui kesalahannya dan dia ingin meminta maaf kepadamu. Setiap orang bisa berubah Jingga dan nggak ada salahnya memberi kesempatan untuk orang yang mau berubah ke arah lebih baik."

Jingga masih tidak menggubris perkataan Jesti, dia tetap menikmati kuenya.

Khanza yang sedari tadi menguping pembicaraan dua orang dewasa itu mulai angkat bicara, "Nanti Tante nggak disayang Allah, lho! Tante mau masuk neraka?"

Jesti menahan tawa saat mendengar celetukan anaknya, sedangkan Jingga melirik ke arah Khanza dengan mulut yang mencebik. Dia menyesal telah memberikan petuah-petuah kepada anak berumur empat tahun yang kelewat pintar ini.

"Tuh, Khanza aja tahu masa' tante Ingga kalah sama Khanza."

Khanza mengangguk dengan tatapan menuntut ke arah Jingga. Dia sedang menunggu niat baik Jingga untuk bisa memaafkan orang lain seperti cerita yang diceritakan kepadanya.

Mata Jingga melirik berkali-kali ke arah Khanza, dia tidak nyaman mendapat tatapan menghakimi dari bocah ini. Dengan berat hati dan rasa dongkol yang mendidih, Jingga meraih ponselnya lalu mengetik sebuah balasan.

Jingga Rahmadiyah.
Maaf, ini siapa?

Jingga tersenyum puas melihat balasan yang ia kirim. Lebih baik seperti ini daripada berbasa-basi dengan psikopat. Lalu, tidak lama kemudian ponsel Jingga berbunyi lagi.

Fajar Anjarseno Soekotjo.
Aku teman SMA-mu. Kita dulu satu kelas.

Jingga berdecih, tanpa harus diingatkan dia sudah ingat. Dia melempar lagi ponselnya lalu kembali mengambil sepotong kue lagi.

"Ckck ... kamu itu keras kepala banget, sih!" Jesti meraih ponsel Jingga. "Ya Allah ... kamu itu kejam, Ingga!"

"Bodo!"

Lalu, sebuah seringaian terukir di bibir Jesti. Dia mulai mengetik pesan balasan untuk Fajar.

Jingga Rahmadiyah.
Oh ... iya ingat : )

Fajar Anjarseno Soekotjo.
Syukurlah, bagaimana kabarnya?

Jingga Rahmadiyah.
Alhamdulillah baik.

Fajar Anjarseno Soekotjo.
Bisa tolong diterima pertemananku?

Jesti mengangguk samar lalu tanpa diketahui Jingga, dia sudah menerima pertemanan yang dikirim Fajar.

"Awas kalau kamu balas pesannya!"

Jesti menggeleng, "Enggak, aku cuma lihat profilnya aja, kok." Jingga manggut-manggut percaya dengan kebohongan sahabatnya.

Fajar Anjarseno Soekotjo.
Terima kasih  :)

"Dia kerja di advertising juga, lho. Tapi, di Jakarta, sih." Jesti berusaha terlihat senormal mungkin.

Jingga Rahmadiyah.
Sama-sama : )

Fajar Anjarseno Soekotjo.
Kalau aku ke Surabaya, boleh ngobrol sebentar?

Jingga Rahmadiyah.
Dengan senang hati.

Fajar Anjarseno Soekotjo.
Siapa tahu aku bisa menggantikan posisi calon suamimu.

Mata Jesti langsung mendelik melihat pesan yang dikirim Fajar, bulu kuduknya meremang membaca pesan itu.

Apa maksudnya? Fajar suka dengan Jingga?



Continue Reading

You'll Also Like

343K 23.8K 36
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...
4.6M 431K 27
Setiap orang pasti pernah melakukan satu kesalahan besar. Kesalahan yang membuatnya menyesal bahkan sampai bertahun-tahun kemudian. Bagi Gadis, kesal...
193K 9K 72
"Nikah atau potong gaji ?!" Pertanyaan yang terus Khayla dengar setiap kali bertemu bosnya, Arhan. Jika kalian berpikir, Arhan itu semacam om-om berp...
1.8M 219K 68
"Daripada galau tiap hari, kenapa nggak nikah sama gue aja? You know me. I'm a good man. Cowok kampret takut komitmen gitu buat apa dipertahanin?" -S...