Ulah Sahabat

2.6K 422 63
                                    

Jakarta, 2016.

Ayah tidak rugi mempunyai anak sepertimu. Aku harap sifat sepertimu bisa diandalkan.

Fajar menghela napas panjang saat mengingat ucapan ayahnya. Sebenarnya dia malas menuruti permintaan ayahnya, dia bukan orang yang sebaik itu. Kalau saja bukan karena Jingga, dia tidak akan sudi membantu ayahnya. Persetan dengan perusahaan yang akan bangkrut! Dia lebih senang ayahnya jatuh bangkrut, tapi bukan berarti dia tega menghancurkan perusahaan yang telah dibangun ayahnya. Dia tidak akan meluncurkan strategi-strategi jahat untuk menghancurkan perusahaan ayahnya, dia lebih memilih menghindar agar hatinya tidak mendendam. Lagi pula, kalau perusahaan ayahnya bangkrut, dia bisa mendapat perhatian lebih dari ayahnya.

Kekanak-kanakan? Tidak, tentu saja tidak. Bagi Fajar, sebuah keiginan untuk mendapat kasih sayang dan perhatian lebih dari orang tua tidak memandang umur. Sejak kepergian ibunya karena sebuah penyakit, Soekotjo selalu mengabaikan kehadirannya. Dia hanya diguyur dengan uang dan fasilitas tanpa sebuah perhatian dan kasih sayang dari ayahnya. Tiap kali Fajar merengek minta ditemani atau bermain, ayahnya langsung memanggil baby sitter untuk menemani Fajar. Soekotjo selalu sibuk dengan perkembangan perusahaan tanpa menghiraukan anak semata wayangnya.

Sikap Soekotjo yang seperti itu sanggup membentuk karakter pendendam seperti yang dimiliki Fajar. Namun, Fajar berbeda, dia lebih suka menghasut seseorang untuk membalas rasa sakit yang ia rasakan. Dia ingin tangannya terlihat bersih meskipun berkali-kali melakukan kesalahan yang sanggup memecah belah pertemanan. Fajar akan selalu menjaga image baik tentang dirinya, menjaga kesempurnaan dirinya di mata semua orang yang mengenalnya. Tampan, loyal, baik dan murah senyum, bukankah itu hal yang sempurna untuk mendapat perhatian? Perhatian yang tak pernah ia dapat dari ayahnya.

Fajar memasukkan beberapa kemeja ke dalam koper berukuran besar, besok pagi dia harus segera bergegas terbang ke Surabaya. Soekotjo sudah mempersiapkan semuanya dengan sangat cepat sehingga dia bisa langsung melaksanakan tugasnya. Mata cokelat Fajar menyapu tiap sudut apartemen nyaman miliknya, memandang satu persatu interior minimalis yang menghiasi sudut kamarnya. Sudah hampir enam tahun dia tinggal di sini—apartemen pemberian ayahnya. Dinding-dinding kamar yang bersaksi atas malam penuh resah memikirkan hatinya. Saat itu dia tidak menyadari semuanya, saat itu dia ingin melupakan kebimbangan hatinya dan saat itu dia tidak percaya dengan perasaannya. Hingga nama kota Surabaya disebut oleh ayahnya, membuat hati Fajar tersentak; sepotong hatinya memang sedang dibawa Jingga tanpa ia sadari.

Sudut bibir Fajar melengkung ke atas dengan sempurna ketika mengingat nama itu. Tiba-tiba dia teringat dengan pesan yang ia kirim kepada Jingga tadi siang. Fajar mulai meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas lalu melemparkan pantatnya ke atas kasur empuk. Alisnya tertukik dan dibarengi dengan embusan napas panjang saat pesannya hanya dibaca oleh Jingga tanpa dibalas.

Apa Jingga masih membencinya?

Dia juga belum menerima laporan tentang persetujuan pertemanan yang ia kirim.

Apa Jingga tidak mau bertemu dengannya?

Fajar rasa, Jingga tidak akan bisa menghindarinya karena dia tahu di mana Jingga bekerja. Bukankah menyenangkan jika memberi syok terapi untuk Jingga? Hitung-hitung sebagai obat rindu.

Fajar Anjarseno Soekotjo.
Hai Jingga, kamu lupa denganku?

Fajar mengirimkan pesan sekali lagi kepada Jingga. Dia meletakkan ponselnya ke atas kasur lalu kembali mengemasi baju-bajunya. Berharap  Jingga segera membalas pesannya, meskipun harus membaca caci makian dari wanita itu.

Surabaya, 2016.

"Aduh ... si buldoser itu ngapain ke sini lagi?" bisik Dedi sambil menekan tombol dispenser yang ada di dapur.

Big Size I'm In Love [Open PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang