Keputusan

2.8K 446 11
                                    

Jakarta, 2016.

Bibir Fajar terus menyunggingkan senyum samar di sepanjang perjalanan. Otaknya terus memuntahkan ingatan-ingatan yang yang tersimpan rapi dan hampir tak tersentuh.

Saat itu, dia masih belum menyadari kalau separuh hatinya dibawa pergi oleh Jingga, mencoba menyingkirkan bayangan Jingga yang terus menyinggahi malamnya—mengelak tentang rasa. Tidak percaya kalau kagum itu adalah rasa yang mulai berkecambah.

Penyangkalan itu terpatahkan saat dia pindah ke Jakarta—setahun setelah lulus SMA. Fajar pindah ke Jakarta atas paksaan ayahnya yang saat itu baru saja bercerai dengan istri kedua. Tentu saja perceraian itu berakar darinya, Fajar tidak ingin diduakan oleh ayahnya, baginya kehadiran ibu tiri akan semakin menambah jarak antara dirinya dengan ayahnya. Di Jakarta, dia mencoba membuka hatinya untuk orang lain, dia memilih anak dari rekan kerja ayahnya utuk dijadikan pacar.

Menurut Fajar, memiliki kekasih yang sederajat dengannya tidak akan menjadikan dirinya sebagai boneka. Namun, pemikiran berbanding terbalik dengan kenyataan dan pada dasarnya wanita semua sama, mereka memanfaatkan semua yang dimiliki seorang laki-laki. Luna tidak memiliki pemikiran seperti Jingga, mantan pacarnya itu sama sekali tidak bisa mengerti dirinya. Setelah putus dari Luna, Fajar memutuskan melajang hingga sekarang. Dia tidak sudah tidak berselera lagi mencari pasangan karena dia membutuhkan sosok seperti Jingga. Fajar yakin kalau tidak akan ada wanita yang bisa menandingi Jingga.

Dan ketika kata Surabaya menelisik indra pendengarannya, rasa itu buncah dengan tiba-tiba. Kenangan demi kenangan tumpah ruah memenuhi ruang ingatan. Hatinya bergejolak menggemuruhkan rasa yang meletup-letup—tidak sabar mendengar kabar tentang Jingga. Rindu. Fajar merindukan pipi tembam itu, merindukan tatapan penuh menelisik itu dan rindu dengan tawa membahana Jingga. Mengakui hatinya yang sudah jatuh, sejatuh  jatuhnya kepada Jingga.

Langkah kaki Fajar terhenti saat berada di pintu masuk Djournal Coffe—tempat pertemuannya dengan Cebi. Bola matanya bergulir ke sana kemari untuk meneliti satu persatu orang yang ada di kedai kopi ternyaman di Jakarta. Dari kejauhan dia melihat seorang laki-laki berpostur tinggi sedang melambai ke arahnya dari bagian outdoor kedai kopi itu. Matanya menyipit, memastikan pengelihatannya.

"Jar, Fajar!" seru laki-laki itu dengan antusias.

Fajar benar-benar terperangah dengan tampilan Cebi yang sangat berbeda saat ini. Dulu tinggi Cebi hanya sebatas pundak Fajar hingga sebutan Cebi alias cebol mini melekat di dalam diri Cebi. Rasanya ... nama itu sudah tidak cocok disandang lagi oleh Cebi.

"Cebi?" tanya Fajar dengan nada yang tidak percaya. Dia tidak menyangka kalau Cebi tingginya hampir sama dengan dirinya. Perubahan yang sangat fantastis.

"Yoi, Mas Bro!" balasnya sambil membalas uluran tangan Fajar—tanda sapaan. "Kenapa? Ganteng, ya?" lanjutnya dengan alis yang naik turun.

Fajar hanya terkekeh menanggapinya, sedikit tidak setuju karena dia merasa kalau wajah Cebi tidak berubah, hanya postur tubuh saja yang berubah.

"Ayo, duduk!" Fajar mengangguk dan menuruti permintaan Cebi. "Mau pesen apa?" tanya Cebi.

"Enggak, nanti aja aku pesen sendiri."

"Ah ... apaan sih, aku pesenin, aku yang traktir. Suka apa?"

Fajar menggulirkan bola mata ke atas. "Apa aja, deh. Yang penting kopi." Sejujurnya Fajar sedang tidak ingin memesan apa-apa. Dia hanya ingin mendengar kabar Jingga, hanya itu tujuan utamanya.

"Tunggu bentar, ya." Cebi langsung bangkit dari kursinya dan pergi menuju kasir.

Fajar melemparkan pandangan ke arah luar kedai kopi. Kakinya bergoyang-goyang karena sudah tidak sabar ingin mengobrol dengan Cebi—kebiasaan ketika dia merasa tidak sabar. Sekali lagi, Fajar bukan orang yang ramah, dia tidak terlalu suka bercengkerama, dia lebih senang menikmati kesendirian dan kesunyiannya. Dan sejujurnya, kalau bukan karena Jingga dia pasti malas bertemu dengan Cebi.

Big Size I'm In Love [Open PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang