Re-Tied

Autorstwa kinky_geek

4.6M 104K 4.9K

[SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS] [SUDAH TERBIT] Pemenang Wattys Award 2016 kategori "PENULIS PERTAMA KALI" #3 Th... Więcej

Blurb [teaser]
SATU
DUA
TIGA
EMPAT
LIMA
ENAM
DELAPAN
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS
Flirting
Pre-Order tahap 1
Open PO Re-Tied
info pengiriman
halo.

TUJUH

142K 7.2K 439
Autorstwa kinky_geek

Hamish Daud as Christian Nathaniel 😗

Aku mengamati saat Christian menabur banyak lada di steak-nya. Satu kebiasaannya yang tidak berubah dan ternyata masih kuingat.

"Harusnya kamu dikasih tarif karena selalu ngabisin lada," ledekku.

Dia terkekeh. "Enak, tahu. Pedes-pedes panas gitu. Kayak mulut kamu kalau lagi ngamuk."

"Sialan!" aku melempar gumpalan tisu ke arahnya.

Dia mengelak, seraya tertawa lebih keras.

"Biasa aja kali ketawanya. Keselek garpu, tahu rasa," dengusku.

Dia tersenyum, mulai memakan steak-nya.

Aku sangat suka mengamati rahang laki-laki saat mereka mengunyah. Perempuan lain menyukai six pack, aku lebih tertarik pada rahang kokoh. Kesukaan yang aneh, ya? Radit beberapa kali sampai tersedak kaget gara-gara aku sering iseng mencium atau menggigit rahangnya saat dia sedang mengunyah. Untung sekarang aku duduk berhadapan dengan Christian.

"Jadi..." Christian kembali bersuara saat steak-nya sudah berkurang setengah porsi. "Apa yang bikin seorang Juwita Ayudiah yang dulu bilang nggak mau nikah sebelum 30 tahun, berubah pikiran nikah di umur... 26 kurang 2 bulan?"

"I was drunk, then said yes," jawabku, asal.

Senyum miring itu muncul lagi. "Nikah sama siapa jadinya?"

Aku menggulung spagetiku, lalu melahapnya. "Namanya Radit, senior waktu kuliah. Ketemu lagi pas kerja."

"Bankir juga?"

Aku mengangguk. "Udah enak tapi dia jabatannya. Kacung level tinggi. Nggak sebawahan aku. Yah... buat jajan lipstik Chanel- ku tiap bulan cukuplah."

"Kasihan amat suami kamu. Gajinya habis di lipstik," ledeknya.

"Dia juga suka kok ngacak-ngacaknya."

"Sableng!"

Aku tertawa. Kami lalu bertukar cerita tentang apa saja yang terjadi selama 8 tahun ini.

Aku dan Christian mulai pacaran saat kami di tahun kedua SMA. Lulus SMA, Christian meneruskan sekolah Hukum di Yale University, sementara aku menetap di sini. Kami sepakat kalau LDR hanya menghabiskan waktu untuk sesuatu yang sudah kita tahu akan berakhir buruk, jadi memutuskan berpisah.

Siapa yang mengira kalau si berandal yang kupacari dulu ternyata memiliki otak genius dan bisa mendapatkan beasiswa di Yale? Aku yakin guru-guru kami dulu juga mengira sudah terjadi kesalahan besar.

Aku sendiri tidak pernah tahu kalau Christian cerdas. Dia selalu menyalin PR-ku, sering bolos, tidur di kelas. Tapi setiap ujian, nilainya selalu lebih tinggi dariku. Kupikir itu karena dia membuat contekan. Jadi aku benar-benar kaget saat dia memberitahu tentang Yale. Dan setelah itu, standar laki-laki yang menjalin hubungan denganku tidak lagi sama. Sayang, aku tidak lagi mendapatkan yang seperti dia, setidaknya sampai Radit yang datang.

"Kamu sendiri gimana?" tanyanya.

"Gini-gini aja," jawabku. "Kuliah, lulus, kerja, nikah."

Dia berdecak. "Oke. Aku mau nanya usil. Udah punya anak?"

"Belum. Baru juga setahun," balasku. "Santailah, pacaran dulu, kumpulin duit dulu. Udah puas, baru deh bahas."

"Mau nunggu berapa tahun emang?"

"Kepo ah kamu. Udah kayak ibu-ibu komplek," cetusku. "Kamu sendiri?"

"Belum nikah." Dia menunjukan kesepuluh jarinya yang bebas dari cincin. "Amerika bikin aku patah hati."

"Ditinggal kabur pacar, ya?" ledekku.

Dia hanya tersenyum, tapi bukan senyum menawan yang diperlihatkannya sejak tadi. Sepertinya tebakanku tidak terlalu meleset.

"Sori..." ucapku.

"Santai aja," balasnya. "Aku emang nggak cocok sama bule. Disuruh sama yang lokal aja." Dia kembali tertawa. "Kalau ada temen kamu yang jomlo, boleh dikenalin."

Aku diam sebentar. "Ada sih, tapi nggak buat main-main, ya?"

Dia mengerjap. "Becanda, Wi... emang kamu biro jodoh apa?"

Aku mengerdikan bahu. "Beneran ada satu sahabatku yang masih jomlo. Forever alone banget deh dia. Kalau kamu mau, nanti beneran aku kenalin."

"Cantik nggak?"

Aku bercecak. "Dasar cowok," dengusku. "Bentar..." Aku menyalakan ponsel, berniat menunjukan foto Artha. Kupikir akan mendapat serbuan chat dari Radit, ternyata nihil. Entah mengapa, itu sedikit membuatku kecewa. Tapi aku segera mengabaikannya, kembali pada niatku membuka folder foto dan mencari foto terbaru Artha. "Nih, yang rambut pixie cut."

Christian meraih ponselku. "Ini satu geng kamu?"

Aku mengangguk. Itu foto yang kami ambil saat berkumpul kemarin.

"Yang lain udah nikah semua selain dia?"

Aku kembali mengangguk. Di foto itu menampilkan Artha sedang memangku Audri, aku memangku Zac, Dee memegang gelas lemonade-nya, dan Gina yang memegang tongsis. Christian memperbesar foto itu, mengamati wajah Artha lebih jelas.

"Iya, cakep. Mau deh."

"Oke, nanti aku kabarin ya. Kita double date."

Gantian dia yang mengangguk. "Boleh banget tuh."

Aku tersenyum, melanjutkan makanku.

"Ini suami kamu?"

Aku mendongak, menatap layar ponselku yang sekarang menampilkan foto Radit yang kuambil diam-diam saat dia sedang sibuk dengan laptopnya di ruang tengah. Aku berdiri di sebelahnya, mengambil fotonya dari samping, sisi terbaik Radit saat difoto. Garis rahang yang tegas, hidung mancung, dan bibir tipis. Menawan.

"Iya, itu suamiku."

"Orangnya serius banget, ya, kayaknya?"

Tidak ada nada menghina di pertanyaan itu, jadi aku juga menanggapinya dengan santai. "Dibandingin aku sih bertolak belakang banget. Dia diem, aku berisik. Dia kaku, aku pecicilan. Perbedaan itu asyik. Bikin imbang."

Dia mengembalikan ponselku. "Terlalu banyak perbedaan juga bisa bikin chaos," gumamnya, seraya melanjutkan makannya.

Aku ingin bertanya maksudnya, namun melihat reaksinya seolah tidak ingin membahas itu, aku mengurungkan niat, dan memilik ikut kembali makan.

**

Aku belum pernah merasa bersyukur untuk kehadiran segala drama-drama India yang muncul di TV. Kali ini, aku bersyukur. Itu seperti menjadi tombol off bagi ibu mertuaku. Beliau jauh lebih serius saat menonton acara itu daripada saat menceramahiku. Pokoknya, kalau segala serial Bollywood itu muncul, saat itulah hidupku terasa damai dan tentram. Aku bisa pulang pukul sembilan malam tanpa mendapat ceramah karena beliau terlalu fokus pada TV.

Radit sudah di kamar, sedang membaca buku sementara TV menyala tanpa suara. Dia hanya melirikku sekilas, lalu kembali pada bukunya.

"Hai," sapaku.

Dia hanya berdeham.

Aku meletakkan hand bag di meja rias, lalu menghampiri sisi tempat tidurnya. "Masih marah?"

Dia tidak menanggapi, masih fokus dengan bukunya.

Aku menyandarkan kepala di bahu, memeluk pinggangnya. Saat dia masih diam, tanganku bergerak masuk ke balik kausnya. "Maaf, deh..." ucapku.

Dia masih mengabaikanku.

Oke. Aku melakukan usaha terakhir. Kalau masih gagal, lebih baik aku mandi dan tidur. Tanganku yang tadi meraba dadanya, bergerak turun, menyelinap ke balik celana piyama yang dia kenakan. Baru saat itu dia beraksi, menutup bukunya dengan suara cukup keras. Aku menahan senyum. Laki-laki dan kejantanan mereka. Terlalu mudah untuk dikendalikan.

Tapi ternyata aku memuji diri terlalu tinggi. Belum sempat benar-benar melancarkan aksi, Radit lebih dulu menggulingkanku hingga terlentang, sementara dia membungkuk di atasku. Kedua tangannya mencengkram bahuku, menahan supaya aku tidak bergerak.

"Lain kali, kalau aku bilang nggak boleh, berarti nggak boleh. Jangan coba-coba bantah. Aku suami di sini. Aku kepala keluarga. Kalau kamu nggak mau lihat aku marah, jangan ulangi lagi."

Aku terpaku mendengar nada dingin dan tatapan tajamnya yang tidak pernah kulihat sebelum ini. Membuatku benar-benar terdiam, tidak bisa membantah.

"Ngerti?"

Kepalaku otomatis mengangguk.

"Bagus." Dia melepaskan bahuku, berguling dari atasku, seraya turun dari kasur. Tanpa menoleh lagi, dia membawa bukunya meninggalkan kamar.

What the hell is going on?

Aku terpaku lama di posisiku, terlalu shock atas serangan barusan. Begitu tersadar, aku bangkit duduk, turun dari kasur, menuju kamar mandi. Aku mandi lebih lama dari biasa, masih dalam proses menenangkan diri. Begitu kulitku mengkisut di bawah shower, aku baru keluar. Radit sudah kembali ke posisi tempat tidurnya, menonton TV. Kali ini, aku tidak berniat menganggunya lagi. Aku memakai pakaian dengan cepat, lalu naik ke sisi tempat tidurku, memunggunginya.

Aku sudah pernah mengalami berbagai emosi saat berhadapan dengan Radit. Senang, sedih, marah, kecewa, putus asa, semua sudah pernah kurasakan. Tapi baru kali ini aku merasakan emosi baru.

Takut.

Benar kata orang. Jangan membangunkan singa tidur jika tidak mau menghadapi cakarnya. Sekarang, sang singa tidur sepertinya sudah bangun, dan kapan pun dia bisa mencakarku.

Aku menarik selimut lebih tinggi dari biasa, seolah mencoba berlindung di sana.

Ternyata aku tidak mengenal Radit sama sekali.

**

Aku nyaris tidak bersuara sama sekali selama berada di mobil Radit yang melaju pelan menuju bandara. Hari ini ibu mertuaku kembali ke Jogja, penerbangan pertama. Radit mengajakku ikut mengantar, sekalian kami ke kantor nanti. Aku mengikuti saja. Sementara suami dan ibu mertuaku mengobrol, aku membisu dengan pandangn terarah ke luar jendela.

"Mas-nya diurusin ya, Wi. Jangan ditelantarkan terus sama pekerjaan. Inget, loh. Tugas utama kamu itu tetap sebagai istri. Kerjaan kamu itu cuma sampingan."

"Iya, Bu."

Setelah cipika-cipiki yang terlalu kaku, ibu mertuaku berjalan menuju ruang keberangkatan. Aku dan Radit kembali ke tempat parkir.

"Kenapa sih?" tegurnya, saat kami sudah setengah perjalanan meninggalkan bandara. "Diem banget."

Aku meliriknya sekilas. "Kamu pernah mukul perempuan?"

Dia tidak langsung menjawab.

Shit.

Begitu mobilnya sampai di depan gedung kantorku, aku sudah akan langsung turun. Tapi Radit menahan.

"Nggak pernah," jawabnya.

"Hampir?"

Dia menghela napas. "Aku bukan malaikat, Wi. Aku manusia biasa. Punya emosi. Bisa marah. Aku cuma punya pengendalian diri yang bagus, makanya bisa diem sama semua yang kamu lakuin selama ini. Karena menurutku itu masih di batas yang bisa aku toleransi."

Aku diam.

"Tapi kemarin, itu di luar batas toleransiku. Kamu jalan sama laki-laki lain, mantan pacar kamu, padahal udah jelas aku larang."

"Pertama, aku sama dia cuma makan siang, bukan jalan. Sebagai teman, bukan mantan pacar. Dan aku nggak suka cara kamu ngomong dengan nada sok perintah itu. Aku istri kamu, bukan bawahan kamu lagi."

Tatapan tajamnya kembali. "Jadi kamu berniat ulangi lagi yang kemarin?"

"Aku nggak bilang gitu!"

"Satu hal yang paling nggak bisa aku toleransi, pasanganku jalan sama laki-laki lain, di luar urusan pekerjaan. Jadi, aku bilang sekali lagi, jangan diulangi."

Aku mengernyit. "Who are you? Psycopath?"

Dia meraih belakang kepalaku hingga aku tertarik ke arahnya, lalu mencium bibirku dengan kasar. "Aku suami kamu," ucapnya. "Nanti aku jemput. Telepon jam berapa pun kamu selesai."

Aku melepas seatbelt, dengan kesal turun dari mobil tanpa menanggapi ucapannya. Aku sama sekali tidak menoleh ke belakang saat melangkah masuk ke gedung. Begitu berada di dalam lift, rasa kesalku perlahan mereda.

Tiba-tiba aku teringat dengan apa yang pernah dikatakan Dee, saat aku bertanya alasannya menolak Radit.

"Lo ngerasa nggak sih kalau dia tuh punya kecenderungan posesif?"

Aku menggelengkan kepala, mengenyahkan pikiran buruk itu dari benakku. Wajar saja, kan, seorang suami keberatan, sampai sedikit emosi, mengetahui istrinya makan siang dengan teman laki-laki slash mantan pacar si istri? Malah itu seharusnya menjadi tanda bagus bagiku. Sudah lama aku berharap mendapat reaksi dari Radit, merasa lelah dengan sikap cueknya. Dan semalam aku mendapatkan yang kumau.

Hanya saja reaksinya sedikit berlebihan dari yang kuharapkan, jujur saja. Aku membayangkan dia hanya cemburu-cemburu lucu, seperti yang sering kulihat di drama komedi. Tidak sampai... menyerangku.

Apa itu bisa dikatakan menyerang?

Kepalaku makin pusing saja memikirkannya. Untunglah lift segera berhenti di Lantai kantorku. Bekerja selalu berhasil membuatku tetap waras. Stress yang membuat waras. Bingung? begitulah pokoknya. Jika tidak bekerja, aku uring-uringan. Karena itulah aku menolak tegas keinginan Radit supaya aku berhenti bekerja. Aku membutuhkannya.

Terutama saat kepalaku sedang terasa ingin meledak gara-gara masalah pribadi seperti sekarang. Bekerja membantuku mengalihkan pikiran, membuatku kembali tenang.

Aku baru duduk di kursi kerja, ketika bunyi ponselku terdengar. Sebuah chat.

Christian Nathaniel: another lunch? Aku belum dapet kabar tentang temen kamu.

Aku sampai lupa mengabari Artha tentang Christian. Tawaran itu membuatku tertarik. Tapi untuk sekarang, aku benar-benar tidak ingin menambah perkara dengan Radit. Aku masih tidak tahu apa yang akan dilakukannya kalau aku membangkang. Lagi. Apa pun itu, sepertinya tidak akan terlalu bagus. Aku tidak berminat mengambil risiko.

Me: sorry. Semalem dibikin sibuk suami. Jadi lupa ngabarin dia. Aku kabarin sekarang deh ya. Haha

Christian Nathaniel: TMI, Juwita. Zzz. Okay. Gimana lunchnya?

Me: gak dulu ya. Kerjaan numpuk. Nanti kalau udah ada tanggapan positif dari Artha, aku kabarin.

Christian Nathaniel: Ok then. Nice to meet you again, Wi.

Aku sudah mengetik, "nice to meet you again, too, Chris..", tapi kuhapus lagi, dan ganti hanya mengirim, "see you". Setelah itu, aku men-silent ponselku, siap mulai bekerja. Kemudian aku menepuk jidatku sendiri, kembali meraih ponsel. Tidak ada balasan dari Christian, tapi bukan itu tujuanku. Aku menulis chat untuk Artha. Mengatakan ada laki-laki yang ingin kukenalkan padanya.

Artha: ogah. Yang lo jodohin pasti aneh-aneh bentuknya. I'm single and very happy, thanks.

Sialan dia. Aku membalas cepat.

Me: gak, dodol. Kali ini kualitas super. Garansi seumur hidup.

Artha: siapa namanya?

Me: Christian. Pengacara. Mantan pacar gue pas SMA.

Artha: YANG DAPET BEASISWA YALE? MAUUUUU!!

Me: monyet lo emang, meragukan gue. Ya udah, gue kasih kontak lo ke dia, ya?

Artha: what should I do? Kalian bertiga ngasih standar tinggi buat calon laki gue. Gina dapet tukang minyak, Dee dapet tukang bangunan, lo dapet tukang kredit. Gue juga mau tukang yang keren dong...

Aku tertawa.

Me: tukang parkir noh. Udah ah, mau kerja. Bye~

Sebelum kembali menyimpan ponselku di tas, aku mengirim kontak Artha ke Christian. Dia tidak langsung menanggapi. Tidak mau memikirkannya, aku menyimpan ponselku dan mulai bekerja.

**    

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

732K 134K 34
Satu saat nanti, aku akan berhenti mencintai kamu. [CERITA INI DILARANG DIPLAGIAT]
4.9M 66.2K 14
(PUBLISHED by PT ELEX MEDIA KOMPUTINDO on March 31, 2021) **THIS WORK IS PROTECTED BY COPYRIGHT - UU HAK CIPTA NO 28 TAHUN 2014** -NO PART OF THIS W...
12.1K 1.3K 5
Resep: Romcom dewasa. Anjuran baca: Saat sendiri, sekali sehari dan kocok sebelum baca. Peringatan: Tidak dianjurkan untuk anak-anak di bawah 18 tah...
143K 25.8K 40
Park Chanyeol dihadapkan pada keadaan yang membuatnya terjepit dan memutuskan untuk melakukan hal gila. Ditengah teror yang dilakukan segelintir fans...