Revenge Of Love

By HarlizaPurnomowati

123K 9K 622

Bagaimana perasaanmu ketika suamimu meminta ijin untuk menikah lagi? Marah? Benci kepada suami? Ingin membunu... More

Bab I Confenssion
BAB II: EMERGENCY CALL
BAB III BAD NEWS
BAB IV : AGREEMENT
BAB V : REFUSING
BAB VI : THE WEDDING
BAB VII : INTERFERENCE
BAB VIII : THE STEP MOTHER
BAB IX : AN ADVICE
BAB X : BREAKING ONE BOND
BAB XI : PAINFUL
BAB XII : GUARDIAN
BAB XIII : SQUABBLE
BAB XV DIVORCE?
BAB XVIThe Heiress
BAB XVII Shaking Calm

BAB XIV TIME FOR REVANGE

8K 718 27
By HarlizaPurnomowati

Bapak dan Ibu nunggu kalian datang hari ini, jam berapapun sesempat kalian

Pesan singkat mertuanya hanya sependek itu, tetapi Niken sudah mulai mengerti apa yang terjadi nanti. Dengan menyebut kata kalian, dia sudah menebak bahwa Heri pun juga diperintahkan untuk datang.

"Pergilah, biar kuantar dan nanti kujemput kalau sudah selesai," dorong Malika yang semalam tadi menginap di rumahnya. Setelah melihat amarah laki-laki yang sudah dia nikahi lima belas tahun itu, jelas Niken tidak merasa dirinya aman sendirian di rumah. Karena itu Malika meminta ijin suaminya untuk bisa menginap menemaninya di sini. Untunglah anak-anak semalam menginap di rumah kakek dan neneknya. Tidak terbayang jika semalam mereka ada di sini.

"Aku tidak mau mas Heri marah-marah lagi dan bikin drama di sana," cetus Niken galau.

"Heri tidak akan berbuat kurang ajar terhadap orang tuanya, terutama kepada ibunya. Bukankah dia selalu bersikap baik kepada ibunya?" tanya Malika menegaskan, mengingat sifat Heri yang baik bertahun-tahun lampau.

Niken mendesah. "Kamu tidak akan menyangka perubahan sikapnya belakangan ini."

"Kenapa? Dia mulai kurang ajar juga sama orang tuanya?" tanya Malika ingin tahu, tatapan matanya penuh selidik kepada Niken.

Niken mengangkat bahu. "Aku siap-siap dulu, mungkin memang harus segera diselesaikan, aku capek kalau terus-terusan seperti ini," lanjutnya sambil berdiri dan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Mandi dan bersiap-siap untuk ke rumah mertuanya, itu rencananya pagi ini.

Malika mendesah, menatap punggung sahabatnya yang kemudian tertelan pintu kamar. Dia pun segera berdiri dan masuk ke kamar tamu. Mandi dan bersiap pergi.

Dan kemudian di sinilah Niken satu jam kemudian, berdiri di depan pagar rumah mertuanya. Debu yang mengiringi kepergian Malika dengan mobilnya masih tersisa. Pintu pagar sudah terbuka, mobil milik Heri pun sudah terparkir rapi di depan rumah. Tetapi suasana rumah tampak lengang, padahal ada kedua anak Niken di sana.

Setelah menghela napas panjang dan menata hatinya, Niken masuk ke halaman rumah sambil mengucapkan salam.

"Niken! Masuk, Nak!" Ibu Pranoto, mertuanya, segera keluar menyambutnya. Kemudian mendadak memeluknya erat.

"Maafkan Ibu, Maafkan ibumu ini yang tidak bisa membuat suamimu menjadi setia kepadamu dan anak-anak," lirih ibu mertuanya berucap, isaknya ada di sela-sela ucapan maaf itu.

Niken tertegun mendengarnya, kemudian dengan lembut mengelus punggung ibu mertuanya. Dia terkejut mendengarnya, karena dia merasakan ucapan itu bentuk dari ketidakberdayaan.

"Bu, ajak Niken masuk. Jangan di luar, malu dilihat orang," tegur Pak Pranoto yang sudah berdiri di depan pintu ruang tamu.

Ibu mertuanya seperti tergugu, kemudian melepaskan pelukannya dari Niken. "Masuk, Ken," ajaknya sambil menggenggam jemari menantunya dengan erat.

Kemudian Niken mencium tangan ibu mertuanya dan menuntunnya masuk ke dalam rumah. Di depan rumah dia berhenti dan melakukan hal yang sama kepada bapak mertuanya.

"Sehat, Pak?" tanya Niken basa-basi. Sejujurnya dia tidak enak hati karena sejak pernikahan Heri dengan Iva, dia tidak pernah lagi menengok mertuanya. Selain karena dia tidak ingin terluka dengan berkunjung ke rumah ini, dia juga mulai disibukkan dengan segala pesanan kue buatannya.

"Alhamdulillah selalu sehat," jawab bapak mertuanya, senyum letih terukir di sana.

Niken melirik ke dalam ruang tamu. Ada Heri dan istri mudanya yang duduk berdempetan di sofa panjang ruangan tersebut. Wajah mereka yang sepertinya tenang, tidak bisa menutupi gejolak kecemasan keduanya.

Iva dengan perut besarnya, wajahnya mulai penuh dengan kerutan kecemasan dan tidak lagi berseri lagi, berbeda dari beberapa bulan lalu, sebelum mereka menikah dan meminta ijin kepada Niken.

Berapa usia kandungannya? Tujuh bulan? Delapan bulan? Tanya Niken mengira-ngira dalam hatinya. Bukankah biasanya perempuan hamil selalu terlihat cantik dan berseri? Kenapa dia tidak? Kilatan kedengkian tiba-tiba mampir di benaknya.

Buru-buru ditepisnya kedengkian itu. Dia ke sini karena mertuanya dan sekaligus menjemput anak-anak. Bukan untuk berkelahi lagi dengan suaminya dan istri mudanya itu.

"Anak-anak mana, Bu?" tanya Niken memastikan.

"Dari tadi pagi dijemput sama Nak Aga, mau diajak berenang," jawab ibu mertuanya.

Niken paham. Hari iniakan ada pembicaraan serius, dan Aga serta Malika adalah satu-satunya sahabat keluarga yang dikenal baik oleh kedua mertuanya, diminta tolong untuk membawa anak-anak jauh dari sini.

"Ayo duduk. Kamu sudah sarapan?" tanya Pak Pranoto kepada menantunya.

"Sudah, Pak. Bapak dan Ibu sudah sarapan?" Niken kembali bertanya setelah menjawab pertanyaan Pak Pranoto.

Kemudian dia duduk, di sebelah ibu mertuanya. Posisi yang aneh, karena Heri dan Iva duduk di tengah, seolah mereka sedang menghadapi vonis hari ini.

"Sudah, Bapak dan Ibu sudah sarapan," pembicaraan basa-basi antara menantu dan mertua masih berlanjut, sedang Iva menampakkan wajah tidak suka dengan adegan keakraban tersebut.

Niken melirik Iva. Jemari istri muda suaminya itu erat mencengkram lengan Heri. Wajah suaminya itu pun tampak tegang, seolah ada bom C4 yang sedang ada di kaki dan lehernya.

"Baiklah, kita mulai saja," cetus Pak Pranoto dengan suara dalam dan berwibawa.

Niken menyimak dengan takzim. Ibu mertuanya melingkarkan lengannya ke lengan Niken, segera dibalas dengan tepukan hangat ke punggung tangan mertuanya.

"Heri, coba bapak tanya, yakinkah kamu sudah bisa adil kepada kedua istrimu setelah pernikahan ini berjalan?" Pak Pranoto langsung bertanya kepada anak laki-lakinya itu.

Heri yang tidak menyangka akan ditanya terlebih dulu, jelas gelagapan. Dia ternganga lama dan baru bisa mengatur nafasnya tiga menit kemudian.

"Saya...saya rasa, saya bisa," jawabnya terbata-bata dan tidak yakin. Laki-laki itu melirik Niken, tetapi istri pertamanya sama sekali tidak menoleh kepadanya.

"Benarkah? Lalu kenapa ketika Niken dan Nay sakit, kamu tidak mendampingi mereka?" Pak Pranoto bertanya kembali kepada Heri.

Lagi, Heri gelagapan sebelum bisa menjawabnya.

"Itu...itu karena Iva sakit juga, Pak," jawab Heri.

"Oh ya? Lalu kenapa kamu tidak menghubungi Bapak atau Ibu supaya bisa menjaga Niken dan anak-anak? Kenapa May malah menelpon Aga dan Rendy?" Pak Pranoto masih mengejar soal yang sama kepada anak laki-laki satu-satunya itu.

Heri makin gelagapan dengan pertanyaan demi pertanyaan yang diberikan oleh bapaknya itu.

"Itu salah Niken, Pak. Seharusnya dia menyuruh May untuk menelpon Bapak dan Ibu, bukan kedua laki-laki rese tersebut," Heri mencoba berkelit.

Dan Heri sedang melakukan serangan bunuh diri saat itu juga. Pak Pranoto langsung menggebrak meja.

"Kamu tahu kondisi Niken dan Nay saat itu? May hanya mengingat orang-orang yang akhir-akhir dekat dengan mereka, dan orang itu sayangnya bukan kami! Tahu kenapa? Karena kamu yang menjauhkan kami dari istri dan anakmu yang sah!" Ledakan amarah itu langsung menyerang Heri.

"Dan kamu! Saya tahu kamu hamil! Tapi jangan manja! Kamu bisa minta tolong orang tuamu yang masih lengkap kalau memang saat itu sakit!" lanjut Pak Pranoto sambil menuding telunjuknya ke arah Iva.

"Menantu saya ini sudah yatim piatu! Dia yang harusnya lebih diprioritaskan oleh suaminya!" Pak Pranoto masih mengungkapkan amarahnya.

Iva, lagi-lagi tidak paham situasi hati orang lain, berdiri bermaksud melawan perkataan pak Pranoto.

Heri mencoba memberi isyarat kepada istri mudahnya itu untuk diam meski sia-sia pada awalnya.

"Saya hamil, Pak! Dan saya juga istri dan menantu sah Bapak. Kenapa bapak dan ibu lebih berpihak kepada Niken?" protes perempuan itu.

Pak Pranoto diam kemudian duduk. Sejurus kemudian menatap wajah menantu keduanya itu.

"Bagi saya dan ibunya Heri, istri dan menantu kami Cuma Niken, tidak ada yang lain," tegasnya pelan, dalam dan menohok hati Iva.

Iva langsung terduduk dan sengungukan di sebelah Heri yang langsung memeluknya, mencoba menenangkannya.

Niken merasakan cengkraman Bu Pranoto di lengannya semakin kuat. Diliriknya ibu mertuanya itu, ternyata pipi wajah anggun itu sudah basah oleh air mata. Niken pun merubah posisi duduknya, langsung dipeluknya perempuan berusia senja itu dengan lembut.

"Kami tidak pernah menghandiri pernikahan kalian, karena memang kami tidak pernah setuju dan menganggap kamu merupakan bagian dari keluarga kami," sekali lagi, Pak Pranoto menegaskan ucapannya kepada Iva.

"Tapi...tapi saya mengandung anak mas Heri," protes Iva lirih, di sela-sela tangisnya yang tiba-tiba keluar.

Niken menatap Iva iba meski di satu sisi ada rasa nyaman dihatinya mendengar ucapan bapak mertuanya barusan.

"Anakmu tetap merupakan cucu kami," balas Pak Pranoto tenang. Iva semakin nelangsa, dia menangis meraung-meruang mendengar ucapan bapak mertuanya itu. Heri memeluknya erat dan menenangkannya sekuat tenaga.

"Pak, jangan begitu kepada istri saya," protes Heri dengan suara lemah, berusaha membela Iva di depan Pak Pranoto.

Pak Pranoto menghela napas. "Untuk itulah bapak dan ibu memanggil kalian hari ini."

Heri, Niken dan Iva yang masih sengungukan, diam menunggu perkataan Pak Pranoto selanjutnya.

"Semalam kalian bertengkar lagi kan?" Pak Pranoto menatap wajah Niken dan Heri bergantian.

Niken dan Heri kompak menjawab. "Iya Pak, Maaf."

"Apa yang kamu rasakan setelah Heri menikah dengan perempuan ini, Ken?" tanya Pak Pranoto.

"Maaf Pak, jujur saya merasa tidak tenang dan tidak nyaman," jawab Niken lugas.

Pak Pranoto mengangguk mendengarnya.

"Kenapa?" kali ini Heri yang bertanya, nafasnya menderu, seolah menekan amarah yang tiba-tiba muncul.

Niken menghela napas panjang. "Setiap saya dan anak-anak membutuhkanmu, kamu tidak ada, Mas. Dan setiap mas Heri datang selalu terjadi keributan dan percecokan, bahkan terkadang di depan anak-anak."

"Itu karena kamu selalu melawan dan bersama si Rendy itu," sentaka Heri kesal.

"Kenapa bawa-bawa orang lain di sini?" potong Pak Pranoto dengan suara yang dalam.

"Karena memang Rendy selalu mengganggu hubungan kami, Pak," jawab Heri sebal.

"Bukankah Rendy, Malika dan Aga sudah bertahun-tahun bersahabat dengan Niken, bahkan sebelum kalian menikah? Kenapa baru diributkan sekarang kalau Rendy selalu ada buat istri dan anakmu? Bukankah seharusnya kamu yang intropeksi mengapa bisa seperti ini?" tanya Pak Pranoto bertubi-tubi, heran dengan sikap Heri..

Heri diam tidak bisa menjawab. Dia merasa seperti ditampar oleh bapaknya itu.

Suasana hening untuk sekian lama sampai Pak Pranoto kembali memecahkan kebisuan.

"Setelah melihat semua ini, untuk itulah bapak dan ibu memanggil kalian, dan kami dengan berat hati meminta kalian berdua bercerai," ucap Pak Pranoto dengan suara berat. Kali ini Bu Pranoto langsung pecah tangisnya.

Heri menatap wajah bapaknya tidak percaya. Dan entah mengapa Niken merasa beban beratnya langsung terangkat seketika begitu mendengar ucapan mertuanya.

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 150K 31
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
1.2M 63.2K 50
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
6.5M 332K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
688K 1.3K 15
WARNING!!! Cerita ini akan berisi penuh dengan adegan panas berupa oneshoot, twoshoot atau bahkan lebih. Untuk yang merasa belum cukup umur, dimohon...