Sandi's Style

By sirhayani

4.7M 231K 8.9K

SELESAI ✔️ "Lo tahu percepatan gravitasi bumi berapa? Sembilan koma delapan meter per sekon kuadrat. Dan gue... More

PROLOG
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 15
BAB 16
BAB 17
BAB 18
BAB 19
BAB 20
BAB 21
BAB 22
BAB 23
BAB 24
BAB 25
BAB 26
BAB 27
BAB 28
BAB 29
BAB 30
BAB 31
BAB 32
BAB 33
EPILOG
up: Safa's Story (Sekuel Sandi's Style)

BAB 14

130K 6.9K 25
By sirhayani

__

Sepanjang perjalanan tadi, Safa hanya bisa terheran melihat Sandi yang tak banyak bicara. Terakhir kali mereka mengobrol saat Sandi datang ke kelas Safa untuk menjemputnya. Dan di sinilah mereka sekarang, di depan sebuah rumah bergaya klasik yang letaknya jauh dari pusat kota. Safa tidak tahu siapa pemilik dari rumah itu. Ia melihat Sandi mengambil sebuah kunci dari dalam tasnya. Safa mengerutkan kening saat melihat Sandi membuka pintu itu. Jantungnya berdegup kencang saat bahwa hanya ada mereka berdua di sini. "Sandi, ini rumah siapa?"

Sandi meliriknya sesaat, tetapi tidak membalas pertanyaan yang ditujukan padanya. Dia terus melangkah memasuki rumah itu. Tidak ada pilihan lain saat ini yang muncul di benak Safa selain mengikuti Sandi.

"Bi! Bibi!"

Teriakan Sandi membuat Safa menatap cowok itu dengan mata mengerjap. "Bibi?" tanya Safa.

Sandi menatapnya lalu mengangguk. "Yang selalu bersihin rumah ini, dia selalunya lewat pintu belakang."

Safa tidak membalas perkataan Sandi lagi. Dia melihat seorang wanita paruh baya yang datang sambil berlari kecil ke arah Sandi.

"Iya, Den. Saya tadi baru aja mau pulang." Bibi beralih menatap Safa sambil tersenyum. "Sore, Non."

"Sore," jawab Safa singkat sambil tersenyum canggung.

"Saya pulang dulu, ya, Den. Anak saya nangis di sebelah," kata Bibi. "Nggak ada kakaknya, jadi nggak ada yang jagain lagi."

Sandi mengangguk mengerti. "Iya, nggak apa-apa kok."

"Ya sudah, saya ke sebelah dulu. Permisi, Den." Bibi kembali menatap Safa. "Non."

Safa tersenyum tipis. "Iya," balas Safa. Ia memerhatikan Bibi yang makin menjauh. Safa tak sengaja melihat beberapa guci yang tersusun rapi di pinggir dinding kayu. Matanya lalu beralih menatap sebuah papan tulis kecil yang tergantung di dinding.

"Itu papan tulis udah ada dari gue kecil. Masih Bibi rawat sampai sekarang." Safa mendongak untuk menatap Sandi. Cowok itu tersenyum lirih seraya berjalan menuju papan tulis. Safa melihat seperti sebuah tulisan dari tangan murid SD.

Lauh Mahfuzh

"Gue tahu istilah itu waktu gue kelas tiga SD, yang kasih tahu gue itu Bokap." Sandi menatap Safa. "Ini rumah lama keluarga gue," kata Sandi pelan. Sandi menghembuskan napas pelan. "Banyak kenangan di sini. Dan lo tahu kenangan itu nggak cuma tentang kebahagian, tetapi juga tentang kesedihan."

Safa terdiam. Ditatapnya Sandi yang memasang raut tenang, tetapi tidak dengan suaranya. "Gue tahu," balas Safa. Dia memilih untuk lebih memerhatikan papan tulis di depannya itu dibanding Sandi.

Sandi lalu terkekeh. Mereka berdua masih setia berdiri memandang tulisan cakar ayam itu. "Lauh mahfudz setahu gue itu buku catatan takdir. Semua takdir kita udah tercatat di sana. Dan setahu gue, ada takdir yang bisa diubah, dan ada juga yang nggak bisa, seperti kematian, rezeki, dan..." Sandi menggantungkan kalimatnya. Cowok itu menatap Safa sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. Safa merasa dia dipandangi. Dan saat dia menengok ke kanan, Sandi memajukan kepalanya hingga Safa spontan menarik kepalanya mundur. "Dan jodoh," lanjut Sandi sambil terus memerhatikan Safa.

Safa mundur selangkah. "G—Gue tahu kok," jawabnya gugup sambil memegang tali tas ranselnya.

"Itulah. Seharunya gue tahu pertanyaan gue sudah terjawab selama ini. Kenapa cowok dan cewek yang pacaran sampai terhitung tahunan, ujung-ujungnya mereka bukan jodoh." Sandi terkekeh. "Mereka macarin jodohnya orang."

Safa mnggigit bibir bawahnya. "Terus kita?" Safa menunduk sambil memukul pelipis kirinya. Bego!

"Mudah-mudahan kita jodoh," jawab Sandi yang kembali berhasil membuatnya diperhatikan oleh Safa. "Atau lo mau kita putus?"

"Hah?" Safa terdiam kaku di tempatnya. Dia tidak bisa mengeeluarkan kata-kata untuk menjawab pertanyaan itu.

"Nggak ah, gue nggak mau." Sandi tersenyum tipis. "Karena gue mau elo di sisi gue."

Gombal. Entah kenapa, Safa selalu mendengar Sandi seperti itu. Tetapi ujung-ujungnya, Safa diam-diam tersenyum mengingat semuanya.

Safa tak sengaja membaca sebuah kata yang ada di papan tulis itu.

Polisi

Letaknya paling bawah dan tulisannya sangat kecil sehingga Safa susah mendapatnya. Safa teringat dengan foto kecil Sandi yang memakai baju polisi. "Cita-cita lo polisi, ya?" tanya Safa.

Sandi mengangguk. "Itu cita-cita kecil gue. Dulu, gue selalu seneng ngelihat Bokap pakai seragam polisi, walaupun jarang."

"Bokap lo polisi?" tanya Safa. Safa baru tahu.

"Iya." Sandi menghembuskan napasnya.

"Safa?" panggil Sandi dengan suara pelan dan lirih yang membuat Safa mengerjap. Mereka bertatapan. Safa meneguk ludahnya. Baru bibir cewek itu terbuka, ingin mengeluarkan kata-kata, tetapi ia mengatubkan bibirnya kembali. Safa kini melihat sisi Sandi yang lain.

"Ya?" Safa menaikkan kedua alisnya. Dia berhasil mengeluarkan kata-kata itu.

"Ada yang bilang, menangis adalah cara terbaik untuk meredakan emosi. Tapi, terakhir gue nangis tiga tahun lalu. Udah lama banget." Sandi terkekeh. "Gue seolah-olah mati rasa dalam hal ini, bukan emosi, sayang, suka, atau cinta. Tapi, perasaan nyaman dalam keluarga."

Kalimat terakhir itu mampu membuat Safa mengerti. Walau diam, tetapi cewek itu sadar, masih ada banyak kisah hidup Sandi yang tidak dia ketahui. Begitupun dengan Sandi, masih banyak kisah hidup Safa yang belum ia ketahui.

μη

"Muka lo bonyok gitu, yakin nggak mau obatin dulu di dalem? Nyokap bokap lo entar heran, lagi." Safa menatap Sandi yang duduk di kursi kemudi. Cowok itu hanya menggeleng lalu tertawa.

"Lo perhatian, jadi tambah sayang."

Sialan! Padahal dalam hati, Safa tidak bermaksud lain selain... ah, cewek itu memang bisa dikatakan perhatian pada Sandi. "Ya udah, gue masuk dulu," kata Safa kikuk. Cewek itu membuka pintu mobil setelah melihat Sandi mengangguk.

Safa memasuki rumahnya, seperti biasa, Sandi tidak akan pergi lebih dulu sebelum Safa benar-benar masuk ke rumah. Perlakuan yang membuat Safa... tersenyum.

"Dianterin dia?"

Safa mendongak. Ia mendapati Ilham berdiri di ambang pintu sambil menatap keluar gerbang. "Iya," jawab Safa singkat.

"Kenapa lo nerima dia?" tanya Ilham lagi. "Istimewa. Gitu?"

Safa terdiam cukup lama hingga bahunya terangkat. "Nggak tahu."

"Ya udah." Kali ini suara Ilham merendah. "Siap-siap aja LDR kalau lo nggak mau putus."

Safa memandang Ilham heran. "Kakak serius mau pindah dari sini?" tanya Safa.

"Lebih tepatnya kita bertiga, lo, gue, dan Mama. Eh, Bibi juga ikut."

Safa mendengus. "Kenapa sih Kakak ngotot banget? Mama aja nggak maksa aku buat pindah. Lagian, ini tempat tinggal kita dari dulu, rumah Papa juga dan—"

"Kenapa sih, lo masih mikirin orang yang justru nggak mikirin kita?" tanya Ilham. Menohok.

Safa menatap Ilham dengan tatapan nanar. "Nggak mikirin gimana sih, Kak? Papa pasti mikirin kita di sana."

"Lo tahu dia di mana? Nggak 'kan?" tanya Ilham. Dia menatap Safa lekat. "Dengerin gue! Papa udah pergi dari rumah ini, Papa ngekhianatin Mama. Lo tahu gimana sakitnya Mama waktu denger kabar Papa hamilin perempuan lain di luar nikah? Lo mungkin ngerasain hal yang sama, tapi Mama lebih sakit dari perkiraan lo. Lo lihat sekarang, Mama hancur. Gue sampai kewalahan peringatin dia buat balik jadi perempuan baik-baik. Apa sekarang? Lo bisa lihat sendiri."

Perkataan yang panjang itu membuat air mata Safa bertumpuk di pelupuk matanya. Dia tidak ingin menangis sekarang. "Tapi, kenapa Kakak pengen pergi dari rumah ini? Kita tinggal di sini udah lama, Kak. Dari kita kecil."

Ilham berdecak. "Iya. Dan kita punya banyak masa lalu di sini. Lo tahu? Salah satu cara untuk ngeluapin itu adalah dengan nggal ngelihat semua yang berhubungan dengan masa lalu. Kita butuh suasana baru untuk memulai hidup tenang, terutama Mama," Ilham menggantung kalimatnya. "Gue pengen Mama balik kayak dulu dan ngelupain Papa sepenuhnya."

Safa menutup matanya dengan kedua tangan. Pertahanannya roboh. Dia menangis sesenggukan.

Ilham pindah ke sofa yang diduduki Safa. Cowok itu merangkul adiknya. Menenangkannya.

μη


thanks for reading!

love,

sirhayani

Continue Reading

You'll Also Like

84.4K 6.9K 65
Perjalanan kisah cinta Gara seorang naval architect muda dengan Arunika mahasiswi magang yang bekerja membantunya. Siapa sangka pertemuan takdir itu...
984K 94.9K 35
(SUDAH SELESAI DAN MASIH TERSEDIA SECARA LENGKAP) LARA DAN SEMESTANYA YANG KEHILANGAN RASA Kisah-kasih itu bukan soal indera yang sempurna, tetapi te...
4.4M 258K 61
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
65.9K 1.1K 2
[Series 2] "Dia itu my girl friend bukan my girlfriend. Jaraknya cuma sebatas spasi, tapi beda arti." -Johnatan Ivander- *** "Hukum negara kita terla...