My Older Crush (Yunjae Fanfic...

By KsatriaBajaBintang

81K 4.6K 192

Kim Jaejoong adalah seorang gadis berusia 18 tahun. Ia bersahabat dengan Jung Junsu sejak masuk SMA. Perlahan... More

Info
My Crush
Jaejoong the Secret Admirer
I Want to Stop the Time
Matchmaking
The Scenario
Confused
Our Marriage
Our First Date
Lovers in Bali
Jun Jihyun
The End of the Beginning

Our Honeymoon

6.1K 351 14
By KsatriaBajaBintang

Chapter 9

Yunho merasa sangat lega. Kekhawatirannya selama ini sirna sudah. Ia tidak perlu lagi mengkhawatirkan Jihyun. Wanita itu baik-baik saja tanpa dirinya. Kini ia bisa menjalani biduk rumah tangganya bersama Jaejoong dengan tenang. "Selamat tinggal!" Ia kini bisa memulai hidupnya yang baru dan berusaha untuk mencintai wanita yang ditakdirkan untuk menjadi pendamping hidupnya, yaitu Jaejoong.

.

.

.

Jihyun merasa sesak di hatinya. Tidak mudah baginya untuk merelakan pria yang dicintainya. Namun, itulah yang harus ia lakukan. Ia harus melepaskan Yunho untuk menjadi milik wanita lain. Ia harus melakukan itu demi kebahagiaannya sendiri. Ia tidak boleh terus terpaku pada masa lalu. Ia harus terus melangkah ke depan.

Jihyun menghembuskan nafas beratnya. Ia merasa bahwa dirinya sudah melakukan tindakan yang sangat benar. "Semangat, Jun Jihyun! Semangat!" Ia merasa yakin bahwa dengan semangat yang dimilikinya, masa depan yang indah akan menanti dirinya. Ia merasa yakin bahwa Tuhan akan mengganti Yunho dengan pria yang jauh lebih baik, seorang pria yang tercipta hanya untuknya.

.

.

.

Jaejoong merasa sangat gelisah. Ia tidak bisa tidur. Ia sangat mengkhawatirkan Yunho. Suaminya itu belum pulang juga. Ia mulai berpikir yang tidak-tidak. Semoga saja Yunho pergi karena urusan pekerjaan, bukan untuk menemui kekasihnya.

Jaejoong belum merasa memiliki Yunho, walaupun statusnya sekarang adalah sebagai Ny. Jung Yunho. Secara hukum ialah yang paling berhak atas pria itu. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa jika sudah berurusan dengan masalah perasaan. Ia tidak bisa memaksa Yunho untuk memberikan cinta kepadanya.

Jaejoong merasa sangat lemas dan tidak bertenaga. Sepertinya ia hanya bisa pasrah dan menunggu Yunho pulang. "Aku tidak bisa mencegahmu jika kau ingin kembali kepadanya. Jika hidup bersamaku membuatmu menderita, aku rela untuk mengalah. Asalkan kau bahagia, apa pun akan kulakukan. Sejak awal pernikahan ini memang tidak benar. Pernikahan ini tidak seharusnya terjadi."

Jaejoong berusaha untuk tidak menangis. Ia harus tegar dalam menghadapinya.

Setelah lama menunggu, akhirnya Jaejoong mendengar suara mobil Yunho. Ia mengintip sedikit melalui jendela. Suaminya itu sudah pulang. Ia pun segera bersiap untuk berpura-pura tidur.

Yunho memasuki kamarnya. Ia melihat Jaejoong terpejam di atas tempat tidur. Ia juga melihat segelas susu di atas meja dan piyama yang sudah disiapkan oleh Jaejoong untuknya.

Yunho merasa sangat lelah. Ia perlu untuk menenangkan pikirannya. Ia pun pergi ke kamar mandi untuk berendam air hangat.

Sambil berendam Yunho banyak berpikir. Ia memikirkan cara untuk melangkah ke tahap selanjutnya dalam hubungannya dengan Jaejoong. Selama hampir sebulan pernikahan, hubungan mereka sama sekali tidak ada perkembangan. "Apa yang harus kulakukan? Ia masih sangat muda, seusia dengan anakku."

.

.

.

Setelah mengenakan piyama yang disiapkan oleh Jaejoong untuknya, Yunho meminum susu di atas meja. Susu tersebut sudah dingin. Namun, ia tetap meminumnya untuk menghargai usaha Jaejoong. Sebelum berbaring di atas tempat tidur, ia menatap wajah Jaejoong sejenak. "Polos dan imut."

Seperti biasa Yunho berbaring memunggungi Jaejoong. Ia pun memejamkan matanya.

Jantung Jaejoong berdegup kencang. Ia harus menunggu beberapa lama sampai Yunho tertidur agar ia bisa memeluk pria itu.

Setelah menunggu sekitar dua puluh menit, Jaejoong membalikkan tubuhnya menghadap Yunho. Ia disuguhi pemandangan punggung Yunho yang terlihat kekar. Ia sudah sangat tidak sabar untuk memeluk punggung itu. Namun, tiba-tiba saja Yunho berbalik. Mata pria tersebut masih terpejam.

Jantung Jaejoong serasa berhenti seketika. Ia mulai bingung karena Yunho kini berbaring menghadap dirinya. Apa yang harus ia lakukan? Ia semakin terkejut saat Yunho yang tertidur tiba-tiba menarik tubuhnya ke dalam dekapan pria itu. Ia tidak bisa bergerak sekarang karena Yunho mengunci tubuhnya.

Yunho menarik kepala Jaejoong untuk bersandar pada dadanya. Kedua lengan kekarnya memeluk erat pinggang dan punggung Jaejoong.

Jaejoong merasakan hangatnya tubuh Yunho. Rasanya seperti mimpi bisa berada dalam pelukan pria itu. Andaikan saja Yunho melakukannya secara sadar, ia pasti akan merasa sangat bahagia. Akan tetapi, ia cukup tahu diri. Ia tidak berani untuk berharap banyak. Bisa seperti ini saja ia sudah sangat bersyukur. Ia bisa tidur nyenyak sambil tersenyum malam ini.

.

.

.

Pagi ini Jaejoong tak henti-hentinya tersenyum. Ia terbangun dalam pelukan Yunho. Semua itu bukanlah mimpi. Yunho benar-benar memeluknya semalaman.

"Kuperhatikan sejak tadi kau terus saja tersenyum. Kau bahkan bersenandung sambil memasak." Ny. Jung menggoda Jaejoong.

Jaejoong terkejut oleh pernyataan Ny. Jung. Ia sama sekali tidak menyadarinya. "Eh?" Ia merasa sangat malu. Wajahnya merona merah.

"Bagaimana kencan kalian kemarin?" Ny. Jung semakin menggoda Jaejoong.

Jaejoong menjadi salah tingkah. "Uhm,... baik-baik saja." Ia tidak bisa menyembunyikan senyumannya.

"Kalian pergi ke mana saja?" lanjut Ny. Jung.

"Kami berjalan-jalan ke mall, membeli pakaian, menonton film di bioskop, dan makan ramyun di pinggir jalan." Jaejoong berusaha untuk menghindari tatapan ibu mertuanya.

Ny. Jung tertegun sejenak. Putranya sering membawa Jihyun untuk makan ramyun di pinggir jalan. Ramyun adalah makanan kesukaan mantan kekasih Yunho itu. Ia sangat mengkhawatirkan putranya. Rupanya Yunho masih berada dalam bayang-bayang Jihyun. "Kau teruskan saja memasak dengan Bibi Hwang. Ibu ada perlu sebentar."

.

.

.

Ny. Jung mengetuk pintu kamar putranya. "Yunho, ini ibu. Ibu perlu berbicara denganmu."

Yunho baru saja selesai mengenakan kemeja dan celana panjangnya. Ia membukakan pintu untuk ibunya. "Silakan masuk, Bu! Apa yang ingin ibu bicarakan denganku?"

"Kita bicara di ruang kerjamu. Aku tidak ingin Jaejoong tiba-tiba masuk atau mendengar percakapan kita," ujar Ny. Jung.

Yunho mengerutkan keningnya. Ia merasa penasaran. Apa yang ingin dibicarakan oleh ibunya? Mengapa Jaejoong tidak boleh mendengar hal itu? Namun, ia tidak banyak bertanya. Ia mengikuti ibunya menuju ruang kerjanya.

.

.

.

"Apa yang ingin ibu bicarakan denganku?" Yunho tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ia segera bertanya setelah ia menutup pintu ruang kerjanya.

"Mengapa kau mengajak Jaejoong makan ramyun di pinggir jalan?" Raut wajah Ny. Jung menampakkan kekhawatiran.

"Memangnya kenapa?" Yunho bisa menebak arah pembicaraan ibunya.

"Yunho, apakah kau masih memikirkan Jihyun?" tanya Ny. Jung. "Itu adalah tempat kencan favoritmu dengan Jihyun."

Yunho tersenyum. "Ibu, tenanglah! Ibu tidak perlu khawatir." Ia berjalan mendekati ibunya dan membawa ibunya untuk duduk di atas sofa yang berada di ruang kerjanya. Ia kemudian menggenggam kedua tangan ibunya.

"Jangan sakiti Jaejoong, Yun! Lebih baik kau menceraikan dia secara baik-baik daripada kau memperlakukannya seperti itu." Ny. Jung menatap mata putranya.

Yunho menggenggam tangan ibunya semakin erat. "Aku berjanji bahwa aku tidak akan menyakitinya, Bu. Mulai sekarang aku tidak akan lagi memikirkan Jihyun dan akan berusaha untuk mencintai istriku, Jaejoong."

Ny. Jung merasa sedikit lega setelah mendengar ucapan Yunho, tetapi hal itu belum bisa menghilangkan kekhawatirannya secara penuh. "Aku sangat menyayanginya sama seperti aku menyayangi Jun-chan. Sebelum bertemu dengan Jaejoong, Jun-chan adalah anak yang pemurung dan senang menyendiri. Jaejoong telah membawa keceriaan pada hidup putrimu itu. Setelah Jaejoong hadir di dalam hidupnya, Jun-chan tidak lagi bersedih dan meratapi nasibnya yang tidak mempunyai seorang ibu."

"Ya, aku tahu," angguk Yunho. "Jaejoong juga lah yang membuat hubunganku dengan Jun-chan menjadi lebih baik. Dulu aku tidak terlalu dekat dengan putriku itu. Aku bahkan sempat berpikir bahwa anakku sendiri membenci diriku."

"Jun-chan hanya menginginkan perhatian darimu. Ia sangat haus akan kasih sayang," timpal Ny. Jung.

"Setelah berteman dengan Jaejoong, sifatnya banyak berubah. Ia mulai bisa bersikap terbuka kepadaku. Jaejoong memiliki keluarga yang lengkap yang mendidiknya dengan baik. Ia mengajarkan hal yang diajarkan oleh kedua orang tuanya kepada Jun-chan. Jun-chan mulai bisa menghormatiku sebagai ayahnya," lanjut Yunho. "Aku bersyukur Jaejoong hadir di tengah-tengah keluarga kita."

"Ibu bisa merasa sedikit lega karena kau mau menerimanya. Ibu sangat khawatir. Ibu tahu kau pasti sangat terluka dan bersedih karena harus berpisah dengan Jihyun. Pasti tidaklah mudah bagimu untuk menjalani hal ini." Ny. Jung membelai kepala putranya.

"Terima kasih karena selama ini ibu selalu mendukung semua keputusanku. Ibu tidak pernah sekali pun menentang keputusan yang kuambil, walaupun ibu tahu bahwa hal itu kurang baik. Ibu selalu memercayaiku apa pun yang terjadi," ujar Yunho.

"Kau adalah putraku. Aku sangat mengenal sifatmu. Aku percaya kepadamu. Aku percaya bahwa kau akan berusaha untuk membangun rumah tangga kalian dengan baik," balas Ny. Jung.

"Sejujurnya aku tidak tahu apa yang harus kulakukan kepada Jaejoong. Aku tidak pernah berhubungan dengan gadis semuda Jaejoong." Yunho berterus terang. Ia berharap bahwa ibunya dapat memberikan saran kepadanya.

Ny. Jung cukup heran oleh pengakuan Yunho. "Perlakukan saja ia sebagai wanita dewasa! Jangan pandang ia sebagai anak kecil! Ia bukanlah sekedar teman putrimu lagi, tetapi ia adalah istrimu. Kau sudah pernah menikah sebelumnya. Kau pasti tahu cara memperlakukan istrimu."

"Hmm,..." Yunho tampak berpikir. "Aku berpikir untuk mengajaknya pergi berbulan madu. Bagaimana menurut ibu? Aku khawatir ia akan takut kepadaku dan menolak untuk pergi berdua bersamaku."

Ny. Jung terkekeh. "Ia mencintaimu. Ia pasti mau pergi berbulan madu bersamamu. Kupikir bulan madu akan membuat hubungan kalian menjadi lebih dekat."

.

.

.

Setelah mengantarkan Jaejoong dan Junsu ke kampus, Yunho menahan Jaejoong. "Tunggu! Jangan pergi dulu!"

Jaejoong keheranan. Ia mengerutkan keningnya. Ia merasa sangat gugup sekarang. "Ada apa?" Ia melirik Junsu sekilas.

"Jun-chan, kau pergilah ke kelas duluan!" Yunho memerintahkan putrinya dengan nada tegas. "Ayah ingin berbicara sebentar dengan ibumu."

Junsu menyeringai tipis. "Oh, aku mengerti." Ia pun segera menyingkir. "Sampai bertemu di kelas, Bu!"

Jaejoong memandang kepergian Junsu. Ia tidak ingin Junsu meninggalkannya berdua dengan Yunho. Detak jantungnya menjadi tak karuan.

"Jaejoong,..." Yunho menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya.

"Ya?" Jaejoong menunggu Yunho untuk melanjutkan kata-katanya. Ia melihat ke sekelilingnya, masih sepi.

"Bagaimana jika kita pergi berbulan madu akhir pekan ini?" Yunho khawatir Jaejoong akan menolaknya. "Aku tidak akan memaksamu. Jika kau tidak mau, tidak apa-apa."

Seketika rona merah menghiasi kedua pipi Jaejoong. "Aku mau," lirihnya.

Yunho tidak bisa mendengar suara Jaejoong dengan jelas. "Apa? Aku tidak bisa mendengarmu."

Jaejoong menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa sangat gugup. "Aku mau!" teriaknya. Ia kemudian memelankan suaranya lagi. "Aku mau pergi berbulan madu bersamamu." Ia merasa sangat malu.

Yunho tersenyum. Ia merasa lega karena Jaejoong tidak menolaknya. "Baiklah kalau begitu. Aku akan segera mengatur keberangkatan kita. Kita akan pergi Jumat sore dan pulang Minggu malam." Sebenarnya ia tidak menduga bahwa Jaejoong akan menerima ajakannya. "Uhm, sekarang aku akan pergi dulu ke kantor."

Jaejoong mengangguk. "Sampai jumpa!" Ia membalikkan tubuhnya dan hendak menyusul Junsu ke kelas, tetapi tiba-tiba Yunho menarik lengannya dan kemudian menciumnya.

Jaejoong membelalakkan matanya. Ia tidak menyangka bahwa Yunho akan menciumnya di depan gerbang kampus. Walaupun sekarang masih pagi, tetap saja sudah ada beberapa orang yang berlalu-lalang di sana.

Yunho tidak sekedar mengecup bibir Jaejoong. Ia mengisap dan melumat bibir Jaejoong. Ciuman mereka semalam di dalam mobil belumlah cukup untuknya. Setelah sekitar dua menit ia baru melepaskan Jaejoong. Ia melihat ke sekelilingnya. Ia tidak peduli bahwa ada beberapa orang yang lewat di sekitar mereka. "Aku pergi dulu. Kau juga pergilah ke kelas! Sebentar lagi kuliah akan dimulai."

Jaejoong berdiri mematung di depan gerbang kampus. Ia masih tidak memercayai apa yang baru saja terjadi. Yunho menciumnya di kampus. Ia melihat ke sekelilingnya. Beberapa mahasiswa memandang heran ke arahnya. Ia merasa sangat malu. Ia pun segera berlari ke kelas. "Jun-chan!"

.

.

.

"Ceritakan kepadaku apa yang terjadi!" Junsu membawa sahabatnya ke sebuah kafe di sekitar kampus untuk membeli es krim setelah kuliah pagi. Hari ini hanya ada satu mata kuliah. "Wajahmu memerah dan kau tersenyum seperti orang gila."

Jaejoong memegangi kedua pipinya. "Ayahmu mengajakku pergi berbulan madu." Hatinya berbunga-bunga.

"Benarkah?" tanya Junsu.

Jaejoong mengangguk dengan imutnya. "Hu'um. Apa yang harus kulakukan, Jun-chan? Aku sangat gugup."

Junsu tersenyum. Ia ikut berbahagia atas kebahagiaan Jaejoong. "Bukankah itu bagus sekali? Sepulang kalian berbulan madu, aku berharap aku akan mendapatkan adik," candanya. Ia tertawa.

Wajah Jaejoong semakin memerah. "Bagaimana ini? Aku sangat gugup. Bagaimana jika kau ikut dengan kami?"

Junsu menggeleng. Ia menolak. "Tidak bisa. Kalian harus menghabiskan waktu berduaan saja saat berbulan madu."

"Ayolah!" Jaejoong berusaha untuk membujuk Junsu. "Kasihanilah aku!" Ia mengedip-ngedipkan matanya agar Junsu luluh.

"Tidak mau!" tegas Junsu. "Lebih baik aku mengerjakan hal lain daripada ikut kalian berbulan madu. Memangnya apa yang kau takutkan? Itu adalah kesempatanmu untuk menaklukkan ayahku. Buatlah ia tergila-gila kepadamu! Selama ini kalian belum pernah melakukannya, bukan? Saat berbulan madu kau harus berhasil membuat ayah melakukan hal itu kepadamu. Jika kalian tidak melakukan hal itu saat berbulan madu, berarti bulan madu kalian gagal dan rumah tangga kalian tidak aman."

Jaejoong mulai panik mendengar penuturan Junsu. Benarkah rumah tangganya akan terancam bubar jika mereka tidak melakukannya pada saat bulan madu? Bagaimana ini? Bagaimana jika Yunho enggan untuk menyentuhnya?

"Kau harus mengeluarkan semua pesonamu dan buatlah ayahku tergila-gila oleh pesona yang kau miliki." Junsu tampak sangat bersemangat untuk memanas-manasi Jaejoong.

.

.

.

Junsu mengajak Jaejoong pergi berbelanja untuk kebutuhan bulan madu Jaejoong. Pertama-tama ia mengajak Jaejoong untuk mengunjungi toko pakaian wanita.

"Aku baru membeli lima potong pakaian kemarin. Sepertinya aku tidak perlu membeli pakaian baru lagi," ujar Jaejoong.

Junsu tidak menghiraukan perkataan Jaejoong. Ia membawa Jaejoong ke bagian pakaian dalam. "Ayahku sudah lama menduda. Ia pasti sangat berharap banyak darimu. Kau harus bisa memuaskannya dan menghapuskan dahaganya selama ini." Ia mulai memilih-milih lingerie untuk Jaejoong.

"Jun-chan, apakah aku perlu memakainya?" Jaejoong menunjuk lingerie yang sedang Junsu pegang, sebuah lingerie berwarna merah berbahan transparan.

"Apa ini kurang terbuka?" Junsu memilih-milih lingerie yang lain.

"Apa? Kurang terbuka?" Jaejoong mengambil lingerie merah itu dari tangan Junsu. "Ini bahkan tidak bisa menutupi apa pun."

Junsu menatap Jaejoong. "Bahkan nanti kau tidak akan mengenakan apa pun."

Jaejoong merasa sangat malu membayangkan dirinya mengenakan lingerie merah itu. "Ayahmu akan berpikir bahwa aku berniat untuk menggodanya jika aku mengenakan benda ini."

"Bukankah itu bagus?" Junsu masih memilih-milih lingerie.

"Ia akan berpikir bahwa aku adalah gadis nakal." Jaejoong cemberut.

"Hal yang sangat bagus jika seorang istri bersikap nakal dan menggoda suaminya," ujar Junsu. "Yang penting kau tidak seperti itu kepada lelaki lain. Ayah tahu bahwa kau adalah gadis baik-baik."

"Aku malu," rengek Jaejoong.

"Jae, ia adalah suamimu. Kau tidak perlu malu kepadanya. Tidak ada yang perlu kau tutupi darinya." Junsu memberi pengertian.

"Dadaku kecil dan tubuhku tidak seksi. Aku merasa tidak percaya diri untuk menunjukkannya kepada ayahmu." Jaejoong mengaku.

Junsu menghela nafas. "Payudaramu bahkan lebih montok daripada punyaku."

"Akan tetapi, pantatku rata, tidak seperti punyamu," lanjut Jaejoong.

"Jika pelayananmu memuaskan, hal itu tidak akan menjadi masalah," balas Junsu.

"Bagaimana aku bisa memuaskannya? Aku bahkan belum pernah melakukannya." Jaejoong terus saja berkelit.

"Menjadi yang pertama bagimu saja ayahku pasti sudah sangat senang. Kurasa itu cukup. Ia tidak akan terlalu menuntut macam-macam dari perawan sepertimu." Junsu sudah hampir kehabisan kata-kata untuk membalas Jaejoong.

"Mengapa kau begitu paham dengan hal semacam ini, Jun-chan?" Jaejoong bertanya sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Eh?" Junsu mengedip-ngedipkan matanya dan memalingkan wajah. Ia merasa sedikit malu.

Setelah membeli lingerie, pakaian dalam, dan beberapa potong pakaian, Junsu membelikan Jaejoong paket perawatan tubuh. Jaejoong masih memiliki waktu beberapa hari untuk melakukan perawatan tubuh.

.

.

.

Semenjak Jaejoong menjadi istri ayahnya, Junsu sangat jarang pulang kuliah bersama Jaejoong. Ibu tirinya itu akan langsung pulang setelah kuliah berakhir, sedangkan ia lebih memilih untuk mengejar Yoochun. Hampir setiap hari ia mengamati Yoochun.

Yoochun mengikuti lomba karya ilmiah di kampus dan ia keluar sebagai pemenangnya. Sebagai pemenang ia mendapatkan tiket pesawat pulang pergi ke Bali, Indonesia.

Junsu turut bergembira karena Yoochun keluar sebagai pemenang dalam lomba karya ilmiah di kampus. "Kebetulan sekali ayah dan Jaejoong pergi berbulan madu akhir pekan ini, sehingga aku bisa pergi mengikuti Yoochun Sunbae ke Bali. Hihihi..."

Changmin, yang selama ini selalu berusaha mendekati Junsu, mendengar rencana Junsu untuk mengikuti Yoochun ke Bali. Ia merasa khawatir Junsu pergi sendirian ke Bali untuk mengikuti Yoochun. "Junsu, apakah kau yakin bahwa kau akan mengikuti Yoochun Sunbae ke Bali? Apakah kau berani pergi ke negeri asing sendirian?"

Junsu terkejut karena Changmin ternyata mengetahui rencananya. "Bagaimana kau tahu bahwa aku akan mengikuti Yoochun Sunbae ke Bali? Apakah kau menguping saat aku mengatakan hal itu?"

"Aku tidak sengaja mendengarnya," bohong Changmin. Ia memang sengaja mengikuti Junsu.

"Mengapa aku harus takut pergi sendirian ke luar negeri? Bukankah ada Yoochun Sunbae?" Sebenarnya ia belum pernah bepergian sendiri ke luar negeri. Kali ini ia berniat mengikuti Yoochun ke Bali dengan bermodal nekat.

"Akan tetapi, ia tidak akan tahu bahwa kau pergi mengikutinya," balas Changmin.

"Ini bukan pertama kalinya aku pergi ke luar negeri. Aku pasti akan baik-baik saja." Junsu tidak ingin lagi mendengar ocehan Changmin. Ia pun pergi meninggalkan Changmin.

.

.

.

Changmin terus memikirkan Junsu. Ia sangat mengkhawatirkan gadis itu. Ia tidak bisa membiarkan Junsu pergi tanpa ada yang menjaga. Namun, ia bingung bagaimana caranya ia mencegah kepergian Junsu ke Bali untuk menyusul Yoochun. Gadis itu terlalu keras kepala dan selalu berbuat semaunya.

Changmin tidak mempunyai pilihan lain. Ia memutuskan bahwa ia harus mengikuti Junsu ke Bali untuk menjaga gadis itu, gadis yang disukainya. Ya, ia akhirnya menyadari bahwa ia menyukai Junsu. Ia selalu merasa senang jika Junsu senang dan ia akan merasa sedih jika gadis itu bersedih.

Changmin menyadari bahwa Junsu sangat terobsesi kepada Yoochun. Hampir mustahil baginya untuk membuat Junsu berpaling dari Yoochun kepadanya. Namun, ia percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Ia akan membuat Junsu melihat dirinya. Ia akan membuat Junsu luluh dengan caranya sendiri.

Changmin membongkar celengannya. Ia menghitung uang di dalamnya. Jika digabungkan dengan uang tabungannya di bank, ia sudah bisa membeli tiket pesawat pulang pergi ke Bali.

.

.

.

"Ke mana kita akan pergi?" Jaejoong bertanya kepada suaminya. Saat ini mereka sudah berada di bandara internasional Incheon. Sampai saat ini Yunho belum memberi tahu tujuan mereka.

"Kita akan pergi ke Bali." Yunho membawakan koper Jaejoong. Semua urusan perjalanan bulan madu mereka, seperti visa, tiket pesawat, penginapan, dan lain-lain ia serahkan kepada asistennya.

"Oh." Jaejoong tidak bisa berkomentar.

"Apakah kau pernah pergi ke sana?" Setelah check in dan menyerahkan koper mereka untuk diangkut ke dalam bagasi, ia menggandeng lengan Jaejoong.

Jaejoong menggeleng. "Belum. Aku belum pernah pergi sejauh itu. Aku hanya pernah sekali pergi ke luar negeri, yaitu ke Jepang."

"Bali lebih indah daripada Jeju. Kau pasti akan menyukainya," ujar Yunho.

Asalkan bersamamu, aku pasti menyukainya. Jaejoong terkekeh.

Perjalanan dari Korea ke Bali memakan waktu sekitar tujuh jam. Jaejoong tidak pernah berduaan bersama Yunho selama itu, kecuali saat tidur pada malam hari. Ia merasa bingung dan canggung. Hatinya terasa berbunga-bunga.

Sama halnya dengan Jaejoong, Yunho pun kebingungan. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Jika ia mengajak Jaejoong untuk mengobrol, topik apa yang akan mereka bicarakan? "Uhm, bagaimana kuliahmu? Apakah kau mengalami kesulitan?"

Jaejoong menggeleng. "Semuanya baik-baik saja."

Tentu saja kuliahnya baik-baik saja. Ia adalah anak yang sangat pandai. Sepertinya Yunho perlu mencari topik lain untuk dibicarakan, topik mengenai masa depan pernikahan mereka. "Kau ingin punya berapa anak?"

Jaejoong cukup terkejut oleh pertanyaan Yunho. Ia tidak mengira bahwa Yunho akan menanyakan hal itu. Ia masih kuliah semester pertama, sama sekali belum memikirkan hal itu. "Terserah kau saja. Aku sama sekali belum memikirkannya."

Yunho memaklumi hal tersebut karena Jaejoong masih berstatus sebagai mahasiswa. "Untuk saat ini mungkin kau tidak perlu memikirkannya. Fokus saja dengan kuliahmu dulu. Suatu hari nanti aku ingin mempunyai anak laki-laki." Ia tersenyum membayangkan dirinya menggendong anak laki-laki.

Jaejoong juga memaklumi keinginan Yunho untuk memiliki anak laki-laki karena sekarang Yunho hanya mempunyai seorang anak perempuan. "Aku tidak keberatan untuk merawat anak sambil kuliah. Jika perlu, aku bisa mengambil cuti atau berhenti kuliah."

Yunho terkejut oleh penuturan Jaejoong. Tentu saja ia tidak ingin Jaejoong berhenti kuliah. Jaejoong adalah gadis yang sangat pandai, potensinya tidak boleh disia-siakan. "Aku tidak ingin kau berhenti kuliah. Jika mau, kau bisa melanjutkan pendidikanmu sampai S2 atau S3. Aku akan mendukungmu."

Jaejoong menggeleng. "Aku adalah seorang istri sekarang. Tugasku yang paling utama adalah mengurus keluargaku."

"Aku tidak suka mengekang istriku untuk tinggal di rumah dan hanya mengurus anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Aku ingin istriku mengembangkan potensinya. Kau adalah gadis yang sangat pandai. Sayang sekali jika potensimu tidak dimanfaatkan," ujar Yunho.

"Akan tetapi, aku juga ingin berbakti kepadamu sebagai seorang istri yang baik," balas Jaejoong.

"Kau masih bisa menjadi istri yang baik sambil mengembangkan potensimu. Apa cita-citamu setelah lulus kuliah nanti?" tanya Yunho.

"Uhm,..." Jaejoong merasa ragu untuk mengatakan cita-citanya kepada Yunho.

"Katakan saja! Kau tidak perlu takut." Yunho membelai kepala Jaejoong.

"Uhm, sebenarnya aku ingin menjadi seorang peneliti. Aku berencana untuk melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi." Jaejoong menatap mata Yunho. Ia takut suaminya itu marah.

Yunho sama sekali tidak marah. Ia justru tersenyum. Mata sipitnya hanya terlihat sebagai dua garis mendatar saat ia tersenyum. "Kejarlah cita-citamu! Anakku akan sangat beruntung karena mempunyai ibu sepertimu."

Mata Jaejoong berkaca-kaca. Ia tidak menyangka bahwa Yunho akan mendukung cita-citanya. "Benarkah? Apa kau sama sekali tidak marah?"

"Tentu saja aku tidak marah. Sayang sekali jika kau harus mengubur cita-citamu hanya karena alasan pernikahan," ujar Yunho.

"Terima kasih, Yunho!" Jaejoong merasa senang sekali.

"Sekarang sudah malam. Tidurlah jika kau sudah merasa mengantuk!" Yunho menepuk bahunya, mengisyaratkan Jaejoong untuk menyandarkan kepala pada bahunya.

Dengan sedikit malu-malu Jaejoong menyandarkan kepalanya pada bahu Yunho. Ia merasa senang sekali.

Yunho kemudian menarik Jaejoong ke dalam pelukannya. Ia mendekap Jaejoong dengan erat. "Tidurlah! Aku akan membangunkanmu jika kita sudah hampir sampai."

.

.

.

Yunho banyak berpikir selama perjalanan di dalam pesawat. Ia memikirkan masa depannya bersama Jaejoong. Ia mencoba untuk memetakan rencana jangka pendek dan jangka panjang dalam hubungannya dengan Jaejoong. Ia sudah berjanji kepada dirinya, Jihyun, juga ibunya bahwa ia akan membahagiakan Jaejoong.

"Jae, kita sudah hampir sampai." Yunho menepuk-nepuk pipi Jaejoong.

"Hmm..." Jaejoong menggumam dalam tidurnya. "Bangunlah, Sayang!" Ia terus menepuk-nepuk pipi Jaejoong.

Akhirnya, Jaejoong membuka kedua matanya. Ia terdiam sejenak untuk mengumpulkan nyawanya.

"Sebentar lagi kita akan mendarat." Yunho membantu Jaejoong untuk mengenakan sabuk pengaman.

.

.

.

Setelah turun dari pesawat, Jaejoong masih mengantuk. Mereka sampai di Bandara Ngurah Rai pada tengah malam. Matanya masih setengah terpejam dan ia berjalan sedikit sempoyongan.

Yunho memeluk tubuh Jaejoong dengan erat. Ia tidak ingin Jaejoong terjatuh. Tadi Jaejoong kuliah sampai sore, setelah itu mereka langsung pergi ke bandara. Istrinya itu pasti sangat kelelahan.

Yunho membantu Jaejoong untuk masuk ke dalam taksi. Mereka akan pergi ke rumah pantai yang telah ia pesan di Nusa Dua. Selama tinggal di Bali mereka menyewa sebuah rumah pantai.

"Tidurlah kembali jika kau masih mengantuk!" Yunho kembali menyandarkan kepala Jaejoong pada bahunya. "Perjalanan ke penginapan akan menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit."

.

.

.

Setelah menempuh perjalanan dengan taksi sekitar tiga puluh menit, akhirnya Yunho dan Jaejoong sampai juga di penginapan. Mereka menyewa sebuah rumah pantai.

"Jae, ayo bangun! Kita sudah sampai. Kau bisa melanjutkan tidurmu di dalam penginapan." Yunho kembali menepuk-nepuk pipi Jaejoong. Akan tetapi, istrinya itu tidak bangun juga. Jaejoong hanya menggumam dalam tidurnya.

Yunho mulai kebingungan. Bagaimana caranya ia membangunkan Jaejoong? Apakah ia harus menggendong Jaejoong? Ia pun bermaksud untuk mengangkat tubuh Jaejoong dari dalam taksi.

"Aku bisa berjalan sendiri." Jaejoong menolak untuk digendong oleh Yunho. Ia keluar dari dalam taksi dengan sempoyongan. Hampir saja ia terjatuh. Untung saja Yunho segera menyangga tubuhnya.

Saat berjalan menuju rumah pantai, Jaejoong kembali terlelap. Ia sangat mengantuk.

Yunho kembali bingung. Istrinya itu tidak ingin digendong, tetapi berjalan juga tidak bisa. Ia pun mencium bibir Jaejoong. Ia mengisap bibir Jaejoong sampai gadis itu terbangun.

Jaejoong terkejut karena Yunho menciumnya. Kedua matanya terbuka lebar.

"Aku akan menggendongmu jika kau tidak mau bangun juga," gertak Yunho.

Jaejoong tidak ingin digendong di tempat umum. Ia akan merasa malu. Ia tidak suka menjadi pusat perhatian. Ia pun memaksakan diri untuk membuka matanya lebar-lebar.

Yunho terus memegangi Jaejoong sambil berjalan menuju rumah pantai mereka. Saat mereka sudah hampir sampai di rumah pantai, tiba-tiba Jaejoong kembali terlelap.

Yunho hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Jaejoong. Ia sama sekali tidak merasa kesal. Justru sebaliknya, ia tersenyum. Menurutnya tingkah Jaejoong itu sangat lucu dan menggemaskan.

Yunho menghela nafas. Sepertinya sang istri tidak bisa diajak kompromi lagi. Ia pun tidak mempunyai pilihan lain selain menggendong Jaejoong memasuki rumah pantai mereka.

Rumah pantai yang disewa oleh Yunho memiliki dua buah kamar, satu buah kamar mandi di dalam kamar tidur utama dan satu buah di luar kamar, sebuah ruang keluarga yang cukup luas, dan dapur kecil. Di bagian belakang terdapat sebuah kolam renang dan taman.

Yunho langsung membawa Jaejoong ke kamar tidur utama. Ia membaringkan gadis itu di atas tempat tidur. Jaejoong masih saja terlelap. "Kalau begini, aku tidak bisa melakukan apa pun malam ini." Mereka akan menginap selama dua malam di sini. Masih ada besok malam untuk bermesraan dengan Jaejoong.

Yunho membongkar koper milik Jaejoong. Ia mengambil gaun tidur berwarna putih berbahan sutra dari dalamnya. Ia bermaksud untuk mengganti pakaian Jaejoong.

Yunho mulai melepaskan sepatu Jaejoong. Ia kemudian membuka kancing kemeja Jaejoong satu-persatu. Ia bersusah payah untuk menelan ludahnya saat kemeja Jaejoong terlepas. Tubuh istrinya itu sangat indah.

Yunho lanjut melucuti celana Jaejoong. Gadis itu mengenakan celana jins ketat, sehingga ia cukup kesulitan untuk melepaskannya.

Nafas Yunho terasa sesak. Selama beberapa saat ia memandangi tubuh Jaejoong yang hanya dibalut pakaian dalam. Ia menikmati keelokan lekuk tubuh Jaejoong. Libidonya naik dengan cepat. Sudah lama sekali ia tidak bercinta. Ia ingin melakukannya. Namun, ia tidak bisa melakukannya malam ini. Ia tidak ingin mengganggu tidur Jaejoong. Istrinya itu pasti sangat kelelahan.

Setelah memakaian gaun tidur pada tubuh Jaejoong, Yunho segera pergi ke kamar mandi. Ia mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Ia harus menenangkan dirinya untuk malam ini. Ia harus bersabar sampai besok malam.

.

.

.

Seperti biasa Jaejoong bangun pada pagi hari. Pagi ini pun ia terbangun di dalam pelukan Yunho. Ia tersenyum. Ia merasa sangat bahagia bisa seperti ini.

Jaejoong melihat ke sekelilingnya. Mereka tidak sedang berada di dalam kamar mereka. Ia pun teringat bahwa mereka sedang berbulan madu di Bali. Ia tidak terlalu ingat bagaimana mereka sampai tadi malam. Semalam ia sangat mengantuk dan kelelahan.

Jaejoong bangkit dalam posisi duduk. Sinar matahari pagi masuk melalui jendela kaca. Rasanya sangat hangat.

Jaejoong terdiam saat ia menyadari gaun tidur yang ia pakai. Ia tidak ingat bahwa ia mengganti pakaiannya dengan gaun tidur berwarna putih itu. "Apa yang terjadi semalam?" Ia mulai berpikir yang tidak-tidak. Apakah sesuatu telah terjadi di antara mereka semalam? Mengapa ia sama sekali tidak mengingatnya?

Jaejoong melirik ke arah Yunho yang masih terlelap. Suaminya itu tidur mengenakan piyama lengkap, tidak telanjang. Itu artinya mereka tidak melakukan hal itu semalam. "Itu artinya ialah yang mengganti pakaianku." Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Ia merasa sangat malu. "Ia sudah melihatnya. Ia melihat tubuhku."

.

.

.

Yunho menyewa sebuah mobil untuk berkeliling. Ia mengajak Jaejoong mengunjungi daerah Ubud. Mereka mengunjungi beberapa objek wisata di sekitar sana seperti pura dan objek wisata lainnya.

Ini adalah pertama kalinya Jaejoong mengunjungi Bali. Ia merasa senang sekali, apalagi ia hanya pergi berdua dengan Yunho, pria yang sangat ia kasihi.

Pemandangan di Ubud sangatlah indah. Masih banyak sawah dan ladang di sana. Yunho mengajak Jaejoong berjalan-jalan di sawah, berjalan menyusuri pematang sawah.

Jaejoong adalah seorang gadis yang lahir dan dibesarkan di kota besar. Ia belum pernah menginjakkan kaki di sawah sebelumnya. Ia merasa sangat antusias. Suasana di sini sangat jauh berbeda dengan lingkungan hidupnya di Seoul. Ia merasakan ketenangan di sini, hembusan angin sepoi-sepoi dan kicauan burung.

"Buka sepatumu!" Yunho berjongkok untuk membantu Jaejoong membuka sepatu. "Lebih baik kita bertelanjang kaki saat menyusuri pematang sawah." Ia kemudian melepaskan sepatunya sendiri.

Yunho menggenggam tangan Jaejoong dan membimbing wanitanya itu untuk berjalan di atas pematang sawah yang lebarnya hanya sekitar tiga puluh sentimeter. "Hati-hati, jalannya licin!"

Jaejoong berjalan di belakang Yunho. Pematang sawah selebar tiga puluh sentimeter tersebut hanya muat untuk satu orang.

"Apakah kau senang?" tanya Yunho. Ia khawatir Jaejoong tidak menyukai berjalan-jalan di sawah seperti saat ini. Jaejoong adalah gadis ibu kota yang terbiasa berjalan-jalan di mall, bukan di sawah.

Jaejoong mengangguk. "Ini adalah pengalaman pertama bagiku. Aku senang sekali. Aku menyukai suasana pedesaan seperti ini. Mengunjungi tempat seperti ini bisa menghilangkan penat."

"Lain kali mungkin kita bisa mengunjungi pedesaan di Korea saat liburan," ujar Yunho.

"Ide yang bagus," timpal Jaejoong.

Sampailah Yunho dan Jaejoong di tengah-tengah komplek persawahan. Mereka menemukan sebuah gubuk kecil di tengah sawah. Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di sana.

Berjalan-jalan di tengah sawah pada siang hari ternyata cukup melelahkan juga. Peluh membasahi kening Jaejoong. Ia mengeluarkan sapu tangan dari dalam tas selempangnya. Sebelum ia menggunakan sapu tangan tersebut untuk mengelap peluhnya, terlebih dahulu ia mengelap keringat yang bercucuran di wajah Yunho.

"Terima kasih!" Yunho tersenyum.

Yunho mengeluarkan botol air minum dari dalam tas ranselnya. "Minumlah! Kau pasti merasa haus."

"Kau duluan saja yang minum," balas Jaejoong.

"Kau dulu." Yunho ingin memastikan bahwa istrinya itu cukup minum. Bagaimana pun Jaejoong adalah tanggung jawabnya.

"Kau saja yang minum duluan. Aku bisa minum setelah dirimu." Jaejoong menolak untuk minum terlebih dahulu sebelum Yunho.

"Aku ingin kau minum sampai puas, sampai dahagamu hilang. Setelah itu, barulah aku akan bisa minum," tegas Yunho.

"Baiklah, aku akan minum." Jaejoong tidak ingin membantah suaminya. Ia pun minum dari botol air tersebut. Setelah meminum sedikit air, ia memberikan botol air tersebut kepada Yunho.

"Mengapa kau hanya minum sedikit?" tanya Yunho heran.

"Aku tidak bisa minum banyak-banyak karena kau belum minum," jawab Jaejoong. "Jika kau sudah selesai minum dan airnya masih tersisa, baru aku akan minum lagi."

Yunho tidak ingin berdebat dengan Jaejoong. Ternyata gadis itu sangat keras kepala. Ia pun meminum sedikit air di dalam botol dan mengembalikan botol tersebut kepada Jaejoong.

"Kau juga minum sangat sedikit," komentar Jaejoong.

"Kita minum bergantian saja sampai airnya habis." Yunho memutuskan. Ia tidak ingin Jaejoong membantah lagi kali ini.

Angin yang bertiup menyebabkan kantuk. Jaejoong menyandarkan kepalanya pada bahu Yunho dan memejamkan matanya.

Yunho kemudian meletakkan kepalanya di atas kepala Jaejoong. Ia menikmati indahnya pemandangan sawah yang menghampar hijau sambil duduk di gubuk tersebut. Suasana sangat tenang dan damai tanpa kebisingan yang biasa mereka jumpai di kota besar. Hanya kicauan burung yang terdengar.

.

.

.

Setelah cukup beristirahat di gubuk yang berada di tengah sawah dan memulihkan kembali tenaga mereka, Yunho dan Jaejoong memutuskan untuk melanjutkan kembali perjalanan mereka. Mereka menyusuri kembali pematang sawah yang tadi mereka lewati.

"Aaah!" Tiba-tiba saja Jaejoong tergelincir. Ia terjatuh ke tengah sawah yang berlumpur. Ia terjatuh dalam posisi duduk.

Bukannya menolong Jaejoong, Yunho justru menertawakan istrinya tersebut. "Hahaha! Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk berjalan hati-hati?"

Jaejoong merasa kesal. Ia menampakkan wajah cemberutnya. Ia tidak terima ditertawakan oleh Yunho. Ia pun menarik Yunho ke arahnya, sehingga suaminya itu juga terduduk di sebelahnya. "Hahaha! Seharusnya kau berhati-hati, Tn. Jung." Ia merasa sangat puas karena Yunho juga berlumuran lumpur seperti dirinya.

Yunho menatap Jaejoong yang sedang asyik menertawakan dirinya. Ia tidak pernah melihat Jaejoong tertawa selepas ini sebelumnya. Gadis itu terlihat semakin menarik saat tertawa lepas seperti ini.

Jaejoong akhirnya menyadari bahwa Yunho sedang memandangi dirinya. Ia menjadi salah tingkah. "Mengapa kau melihatku seperti itu?"

"Baru kusadari bahwa kau ternyata sangat cantik." Tatapan Yunho sama sekali tidak meninggalkan Jaejoong, tetapi tanpa diduga tangannya mengoleskan lumpur pada wajah Jaejoong. "Hahaha!" Ia tertawa sambil berguling-guling di lumpur.

Jaejoong menggembungkan pipinya. Ia merasa kesal. Namun, di lubuk hatinya yang terdalam ia merasa sangat bahagia. Baru kali ini ia melihat sisi lain dari Yunho. Yunho tidaklah sedingin dan semenyeramkan yang ia pikirkan selama ini. Pria dewasa itu ternyata bisa bersikap kekanak-kanakan juga. "Tubuh kita dipenuhi lumpur. Di mana kita bisa membersihkan tubuh kita?"

Yunho berdiri dari dari posisi duduknya. Lumpur di sawah mencapai setengah lututnya. "Ayo! Kita cari sungai atau air terjun di sekitar sini." Ia mengulurkan tangannya kepada Jaejoong.

Jaejoong menyambut uluran tangan Yunho dan berdiri. "Untung saja tas ranselmu tidak ikut jatuh ke dalam lumpur. Pakaian ganti kita ada di dalam sana."

"Untung saja kita membawa pakaian ganti," tambah Yunho.

"Percuma saja kita membawa pakaian ganti jika kita tidak bisa menyingkirkan lumpur yang melekat pada tubuh kita." Jaejoong merasa tidak bersemangat.

"Kita sedang berusaha untuk mencari sungai, Sayang." Yunho berkata kepada Jaejoong.

Sayang? Jaejoong sangat menyukai panggilan tersebut. Ia merasa bahwa mereka sudah seperti suami istri sungguhan.

.

.

.

Setelah berjalan beberapa kilometer, Yunho dan Jaejoong tidak menemukan sungai. Mereka hanya menemukan empang.

"Kita mandi di sini saja," ujar Yunho.

"Ini adalah tempat terbuka." Jaejoong tidak ingin mandi di empang tersebut.

"Kita tidak mempunyai pilihan lain. Belum tentu juga kita akan menemukan sungai jika terus berjalan," balas Yunho.

Jaejoong masih terlihat tidak rela untuk mandi di empang yang terbuka. "Baiklah."

"Kau tidak usah khawatir. Aku akan berjaga saat kau mandi." Yunho memahami kekhawatiran Jaejoong.

Perkataan Yunho mengurangi sedikit kekhawatiran Jaejoong. Ia pun mulai membilas tubuhnya dengan air pancuran di empang tersebut. Air mengalir dari pipa bambu.

Jaejoong membilas tubuhnya tanpa menanggalkan pakaiannya. Ia merasa tidak nyaman menanggalkan pakaian di empang yang terbuka seperti itu.

Yunho berjaga-jaga saat Jaejoong mandi. Ia mengamati keadaan sekitar dengan siaga. Ia tidak ingin ada orang yang mengintip Jaejoong yang sedang mandi. Jaejoong adalah miliknya. Hanya ia yang berhak melihat tubuh Jaejoong.

Yunho mendengar derasnya suara air yang mengalir dari pancuran bambu. Muncul rasa penasaran di benaknya. Bagaimana jika ia mengintip Jaejoong yang sedang mandi, sedikit saja? Dengan hati-hati ia membalikkan badannya sedikit untuk mengintip Jaejoong. Gadis itu memang tidak menanggalkan pakaiannya, tetapi kaus putih tipis dan basah melekat pada tubuh Jaejoong, membuat lekukan tubuh Jaejoong sangat terlihat jelas.

Seketika benda di bawah sana mulai mengeras. Yunho mulai terangsang. Tidak, jangan sekarang! Tunggulah sampai nanti malam! Ia menyesal karena telah mengintip Jaejoong.

.

.

.

Yunho mandi setelah Jaejoong selesai mandi. Kini mereka berdua sudah mengganti pakaian mereka dengan pakaian yang bersih. Mereka pun siap untuk melanjutkan perjalanan mereka.

"Ke mana kita akan pergi sekarang?" tanya Jaejoong. Ia merasa segar setelah mandi di empang.

"Kita akan mengunjungi Museum Renaissance Blanco," jawab Yunho.

Jaejoong tidak terlalu mengerti seni dan juga tidak banyak tahu mengenai seni. Ke mana pun mereka pergi, asalkan mereka berdua bersama, ia akan merasa senang.

Yunho membawa Jaejoong mengunjungi galeri lukisan milik pelukis Don Antonio Blanco. Ia mengetahui bahwa pelukis tersebut sangat suka melukis wanita telanjang. Namun, ia tidak menyangka bahwa galeri ini penuh dengan lukisan wanita telanjang. Libidonya kembali naik saat ia melihat lukisan-lukisan itu. Ia terangsang karena ia membayangkan Jaejoong sebagai objek lukisan-lukisan tersebut. Ia mulai frustasi.

Sebagai seorang wanita sebenarnya Jaejoong merasa tidak nyaman melihat lukisan-lukisan tersebut. Namun, ia tidak bisa mengutarakan ketidaknyamanannya itu kepada Yunho. "Suara apa itu? Seperti suara kain yang robek."

Yunho melihat ke bawah. Ia melihat celananya robek. Ia semakin frustasi. Mengapa ia memakai celana yang terlalu ketat? Saat ia terangsang bendanya akan membesar. Akibatnya, celana yang ia kenakan robek.

Jaejoong mengikuti arah pandang Yunho. Ia cukup terkejut melihat bagian yang robek pada celana Yunho. "Astaga!" Ia terkejut bukan karena melihat celana Yunho yang robek, melainkan karena ia melihat sesuatu yang menyembul di sekitar bagian yang robek tersebut.

"Aku tidak membawa celana ganti lain dan aku tidak bisa berjalan dengan celana yang robek seperti ini." Yunho kebingungan.

Jaejoong segera menarik lengan Yunho untuk meninggalkan galeri lukisan. Ia membawa Yunho ke kebun yang berada di area museum. Ia membawa Yunho ke balik pepohonan. "Cepat lepaskan celanamu!"

"Apa?" Yunho tidak mengerti maksud Jaejoong.

"Cepat lepaskan celanamu!" perintah Jaejoong.

"Tidak di sini, Sayang. Kita akan melakukannya di penginapan nanti malam." Tampaknya Yunho salah menangkap maksud Jaejoong.

"Hah?" Sekarang giliran Jaejoong yang tidak mengerti maksud Yunho.

"Kita tidak bisa melakukannya di sini," ujar Yunho.

"Melakukan apa?" tanya Jaejoong.

Yunho akhirnya menyadari bahwa ia salah mengerti maksud Jaejoong. "Mengapa kau menyuruhku untuk menanggalkan celanaku?"

"Aku hendak menjahit celanamu yang robek," jawab Jaejoong polos.

Rasanya Yunho ingin menertawakan dirinya sendiri. Ia berpikir terlalu jauh, padahal Jaejoong hanya bermaksud untuk menjahit celananya yang robek. Ia pun menuruti perintah Jaejoong untuk menanggalkan celana panjangnya.

Jaejoong bisa melihat gundukan di balik celana pendek Yunho dengan lebih jelas sekarang. Ia berusaha untuk tidak menghiraukannya dan berkonsentrasi menjahit robekan pada celana Yunho. Untung saja ia selalu membawa peralatan menjahit ke mana pun ia pergi.

"Ayah, ibu, apa yang sedang kalian berdua lakukan di sini?" Tidak disangka-sangka Junsu bertemu dengan ayah dan ibu tirinya di Museum Blanco. Ia menemukan kedua orang tuanya sedang berduaan di balik pohon dan sang ayah hanya mengenakan celana pendek. Dasar pengantin baru! Tidak tahu tempat. Mengapa mereka tidak melakukannya di hotel saja? Mengapa harus di balik pohon? Sungguh tidak romantis.

"Ju...Jun-chan?" Jaejoong tidak menyangka bahwa ia bisa bertemu Junsu di sini.

Yunho tidak mengerti mengapa putrinya bisa ada di Bali. "Jun-chan, jelaskan kepada ayah, mengapa kau ada di sini!"

Wajah Junsu mulai memucat. Ia berada dalam bahaya sekarang. Ia tidak meminta izin terlebih dahulu kepada sang ayah untuk mengikuti Yoochun ke Bali. Kalau pun ia meminta izin terlebih dahulu, sang ayah pasti tidak akan mengizinkannya.

"Apa kau datang kemari seorang diri? Apakah nenek datang bersamamu?" Yunho memberondong Junsu dengan pertanyaan-pertanyaan.

"Tidak, nenek tidak ikut," jawab Junsu takut-takut.

"Jadi, kau datang jauh-jauh kemari seorang diri?" Yunho adalah seorang ayah yang protektif. Ia tidak akan membiarkan putrinya pergi ke luar negeri sendirian tanpa penjagaan. "Itu sangat berbahaya, Jun-chan." Ia sangat mengkhawatirkan putri semata wayangnya itu.

"Ayah, dengarkan penjelasanku dulu!" Junsu mencoba untuk membela diri. "Aku tidak sendirian. Ada mereka yang menjagaku selama di sini." Di belakangnya ada dua orang pemuda yang mengikutinya, yaitu Yoochun dan Changmin.

Yunho menatap kedua pemuda yang mengikuti putrinya dengan penuh curiga. Ia berpikir bahwa kedua pemuda tersebut telah menculik Junsu.

Junsu bergidik melihat tatapan Yunho kepada Yoochun dan Changmin. "Ayah, kumohon jangan berprasangka buruk kepada mereka! Seharusnya ayah berterima kasih kepada mereka karena mereka berdua telah menjagaku."

Sekarang Yunho menatap Junsu dengan penuh curiga. Sebenarnya untuk apa Junsu datang ke Bali bersama kedua pemuda itu?

Jaejoong mulai merasakan ketegangan di antara ayah dan anak tersebut. Sebagai istri Yunho dan ibu tiri Junsu, ia merasa bahwa ia harus menjadi penengah di antara mereka berdua. "Yunho, sebaiknya kita pergi ke suatu tempat dan duduk untuk membicarakan hal ini. Tenanglah!"

.

.

.

Tentu saja Junsu tidak mengatakan kepada Yunho bahwa ia datang ke Bali untuk mengikuti Yoochun dan kemudian Changmin juga menyusulnya. Ia mengatakan bahwa mereka bertiga pergi bersama untuk bertamasya. Kebohongan tersebut tidak disangkal oleh Yoochun dan Changmin yang ketakutan melihat Yunho.

"Seharusnya kau memberi tahu ayah terlebih dahulu, Jun-chan." Yunho memarahi putrinya habis-habisan. "Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi kepadamu? Ayah tidak akan mengetahuinya."

Junsu hanya bisa menunduk. Ia menyadari bahwa ia memang bersalah. "Aku tidak meminta izin terlebih dahulu karena ayah sudah pasti tidak akan mengizinkannya."

Yunho terdiam. Yang Junsu katakan memang benar. Ia sudah pasti tidak akan mengizinkannya. Apakah selama ini ia terlalu mengekang Junsu?

"Sudahlah, Yunho! Jun-chan sudah menyadari kesalahannya. Kau tidak perlu memarahinya lagi." Jaejoong tidak ingin Junsu terus dimarahi.

"Aku sama sekali tidak marah." Yunho berusaha untuk mengatur nafasnya. "Aku sangat menyayanginya. Aku tidak ingin hal buruk menimpa anakku."

"Ya, kami mengerti." Jaejoong membelai punggung Yunho untuk menenangkan suaminya itu.

Yunho menyuruh Junsu untuk ikut bersamanya ke rumah pantai agar Junsu berada dalam pengawasannya. Karena merasa kasihan kepada Yoochun dan Changmin yang belum mendapatkan tempat untuk bermalam pada malam ini, ia pun mengundang keduanya ke rumah pantai yang ia sewa.

.

.

.

Junsu menempati sebuah kamar di rumah pantai Yunho, sedangkan Yoochun dan Changmin akan menginap di ruang keluarga. Yunho berharap bahwa kehadiran anak-anak tersebut tidak akan mengganggu acaranya malam ini bersama Jaejoong.

Jaejoong masih ingat nasihat yang diberikan oleh Junsu sebelum ia pergi berbulan madu. Ia harus bisa menggoda dan memuaskan Yunho. Malam ini adalah malam terakhirnya di Bali. Sekarang adalah satu-satunya kesempatan yang ia miliki untuk menjaga keutuhan rumah tangganya dengan Yunho.

Jaejoong mengenakan lingerie merah yang ia beli bersama Junsu. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Ia sangat mengkhawatirkan reaksi Yunho saat melihatnya. Bagaimana jika Yunho tidak menyukainya?

Yunho berbaring di atas tempat tidur sambil menunggu Jaejoong keluar dari kamar mandi. "Mengapa ia lama sekali?" Ia sudah tidak tahan untuk merayu istrinya itu. Sudah lama ia tidak melakukan hal ini. Mudah-mudahan saja ia bisa melakukannya dengan lancar. Ia akan membuat gadis polos itu menjadi tidak polos lagi.

Jaejoong melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi dengan malu-malu. Warna pipinya hampir menyaingi warna lingerie yang dikenakannya.

Mata sipit Yunho tiba-tiba membelalak. Menghilang ke mana gadis polos yang ia kenal? Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Jaejoong berani mengenakan gaun tidur transparan dan terbuka seperti itu. Tadi siang saja Jaejoong enggan untuk mandi di empang dan mandi tanpa menanggalkan pakaian, tetapi saat ini...

Continue Reading

You'll Also Like

21.1K 1.7K 21
BOOK 01 [CHANBAEK & HUNKAI] "Akahkan perasaan ini merusak segala persahabatan yang selama ini kita jalani?"
144K 9.5K 34
dikaruniai anak kembar yang lucu dengan kembar identik sangatlah menarik. Seorang namja yang melahirkan yang memiliki keistimewaan yang sangat langka...
421K 33.7K 58
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
1.6M 142K 72
Ziel adalah candu. Tawanya Candanya Aroma tubuhnya Senyum manisnya Suara merajuknya dan Umpatannya. . . . "Ngeri bang." - Ziel "Wake up, Zainka."...