Darren Johnson and the Mark o...

By authorde

1.3K 186 57

"Di atas darah yang mengalir, tanda itu akan membara. Dan kekacauan besar akan menjadi yang selanjutnya. Lebi... More

2 - Apa yang Ada di Mitologi Sebaiknya Cuma Ada di Mitologi
3 - Orang Terakhir yang Pengin Darren Lihat
4 - Gadis Gila Pelontar Api
5 - Berkunjung ke Rumah Penyihir
6 - Tulpa
7 - Rumah Pisa di Dasar Laut
8 - Tamu dari Imperium

1 - Lukisan yang Bisa Bicara

529 44 25
By authorde


SUNGGUH, menghabiskan hari Minggu dengan mengunjungi galeri lukisan sama sekali bukan ide Darren. Itu ide ibunya. Kalau ditanya, remaja berambut pirang itu akan dengan senang hati membungkus tubuh kurusnya dengan selimut, menjadi kepompong, lalu tidur sepanjang hari di kamarnya yang wangi lemon dan nyaman. Tapi, ibunya ternyata punya pendapat lain. Menurut Mrs Johnson, akhir pekan itu mesti dihabiskan dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat, seperti menyeret putra satu-satunya ke sebuah galeri lukisan di jalan New Bond.

"Mom, demi Tuhan dan seluruh penghuni Surga, ini hari Minggu!" Darren mengerang saat Mrs Johnson menarik selimutnya. Darren memejamkan mata kembali, rapat-rapat, seolah setelah selimutnya, Mrs Johnson juga akan menarik kelopak matanya hingga membuka.

"Aku tahu," balas Mrs Johnson riang. Wanita itu berjalan menghampiri jendela dan menyibak gorden. Ketika ia bicara lagi, nada suaranya secerah sinar matahari yang merobos masuk. "Dan kau sudah berjanji akan menemaniku ke Ontinic hari ini."

Darren membuka mata yang sewarna aquamarine, mengawasi Mrs Johnson yang mendekat, lalu duduk di tepi ranjang. Kemudian, masih dengan berbaring, Darren mengerutkan kening, mengingat-ingat kapan tepatnya ia membuat janji pengusik-tidur-di-hari-Minggu itu.

"Jangan berlagak lupa," ujar Mrs Johnson. "Kau sudah berjanji Selasa kemarin."

Mata Darren melebar. "Mom pasti tidak berpikir aku serius waktu itu."

Mrs Johnson diam.

"Mom!" seru Darren keberatan. "Kau tidak boleh menganggapku serius waktu itu. Aku berjanji hanya agar kau memberiku uang untuk membeli sepatu baru. Aku sama sekali tidak serius."

"Sayang sekali, aku menganggap serius semua janji yang diucapkan oleh khususnya laki-laki."

"Tidak adil!" protes Darren. "Sepatu lamaku sudah tidak layak pakai. Mom tidak boleh mengambil keuntungan dari sepatu butut itu."

"Pelajaran pertama di Minggu yang cerah ini, Darren," balas Mrs Jameson ringan, "Jangan mengucapkan janji yang tidak mau kaupenuhi. Akibatnya kadang-kadang di luar perkiraanmu."

"Kecuali kalau kau punya kepentingan mendesak seperti sepatu butut yang butuh segera diganti," tandas Darren datar. "Aku mau tidur." Ia menarik selimutnya sampai melewati kepala. Matanya bahkan belum terpejam genap dua detik ketika selimutnya kembali tertarik ke bawah.

"Bangun, pemalas."

"Tidak."

"Darren..."

"Mom..."

"Darren Brian Johnson...!"

Pada akhirnya, Darren beringsut keluar dari kepompong selimutnya yang hangat dan bangun dengan ogah-ogahan. Saran seorang Darren Johnson kepada kalian semua: kalau orangtua kalian sudah memanggil nama kalian selengkap-lengkapnya, berhenti sajalah bersikap keras kepala. Karena kalau tidak, biasanya hal-hal buruk bakal menimpamu dan—mengutip kata-kata ibunya—akibatnya kadang-kadang di luar perkiraanmu.

Yah, walau terkadang hal buruk tetap menimpamu sekalipun kau sudah bersikap manis, seakan-akan mekanisme magnet serta-merta menjadi hukum alam—positif menarik negatif, kebaikan menarik keburukan. Percaya pada Darren untuk yang satu ini, ia tahu betul.


***


Darren menghabiskan satu jam penuh untuk bersiap-siap, lalu setengah jam dengan duduk di dalam mobil sementara ibunya menyetir, lalu setengah jam yang lain dengan mengekori ibunya berpindah dari satu koridor ke koridor lain, dari satu ruang pajang ke ruang pajang lain.

Mereka sempat berhenti di depan sebuah lukisan berjudul "Wanita Tua yang Menari" yang memperlihatkan sosok seorang wanita (oh, tentu saja) yang sudah amat tua, yang sepertinya dinamai secara keliru sebab wanita dalam lukisan itu sedang tersungkur, sama sekali tidak kelihatan sedang menari.

"Kau bisa menangkap pesan lukisan ini?" Mrs Johnson bertanya kepada Darren.

"Jangan menamai lukisanmu dengan sembarangan?" tawar Darren, bahunya terangkat.

Mrs Johnson mendesis, kembali melihat lukisan di depannya. "Dari apa yang bisa kutangkap, pelukisnya menyelipkan pesan bahwa kita harus mengejar mimpi kita sebelum terlalu terlambat. Jangan seperti wanita dalam lukisan ini, yang baru ingin menari setelah lansia."

"Lebih kelihatan seperti pakailah tongkat berjalan jika kau sudah tua," balas Darren ringan.

Mrs Johnson menoleh dan mendelik.

"Bercanda, Mom."

Mrs Johnson mengembuskan napas panjang, lalu berputar. Darren berusaha mengabaikan perasaan kalau wanita dalam lukisan itu sedang mengawasinya selagi ia berjalan di koridor yang lengang, membuntuti ibunya.

Setiba mereka di ruang pajang yang kesekian, Mrs Johnson langsung menyamperi sisi kanan ruangan. Darren mendesah dan mendumel dalam hati. Ia tidak habis pikir apa yang menarik dari sebuah galeri lukisan. Ia mungkin akan merasa lebih baik seandainya ia diperbolehkan membawa salah satu buku fantasinya atau menyumpal telinganya dengan earbuds yang mengalirkan musik EDM dari ponselnya. Tapi, ibunya berkata, "Darren, kita akan pergi ke galeri lukisan, bukan ke perpustakaan umum," saat ia keluar kamar dengan buku di sebelah tangan, dan, "Musik juga tidak, Darren," saat ia keluar mobil dengan telinga disumpali earbuds.

"Tidak akan seburuk itu," ibunya menambahkan saat mereka masuk ke galeri.

Tapi, kenyataannya memang seburuk itu. Ruangan dan koridor yang lengang, lukisan-lukisan yang tergantung di dinding—menurut Darren, semua itu membosankan. Ia berjanji sepulang dari sini, ia akan melampiaskan kedongkolannya dengan bermain dart. Ia juga berjanji kalau setengah jam lagi mereka belum juga meninggalkan galeri terkutuk ini, ia akan berpura-pura menderita sakit kepala dahsyat sehingga mereka punya alasan untuk pulang lebih cepat. Belum juga satu menit berlalu sejak otaknya menyusun rencana brilian itu, salah satu lukisan yang terpajang di sisi kiri ruangan menarik perhatian Darren.

Di dalam lukisan itu langit tampak gelap dengan gradasi warna biru tua ke hitam. Di bawah langit, Darren menemukan hamparan pepohonan yang letaknya tidak beraturan. Batangnya gemuk dan berurat, ranting-rantingnya penuh daun dan terkulai layaknya rambut, akar-akarnya berbonggol-bonggol mencuat dari tanah.

Darren maju selangkah. Kemudian hal yang aneh terjadi. Ia mendengar sesuatu—perpaduan antara deru napas yang terputus-putus, gemeresik dedaunan kering, dan langkah kaki yang tergesa-gesa. Darren sontak menoleh, namun tidak ada orang di kanan-kirinya. Ia lalu berbalik ke belakang, hanya untuk mendapati semua orang sedang sibuk melihat-lihat lukisan, termasuk ibunya.

Ia kembali menghadap ke depan. Suara itu masih terdengar, lamat-lamat. Mengerutkan kening, Darren mencoba untuk mendengar lebih saksama.

Dari lukisan! Matanya melebar. Suara itu berasal dari lukisan!

Secara intuitif Darren mengamati lukisan hutan itu lebih lekat. Suara itu semakin jelas!

"Ada apa?"

Darren mengabaikan suara ibunya dan memasang telinga untuk lukisan hutan itu. Sayangnya, suara itu sudah lenyap.

"Darren, ada apa?"

Darren akhirnya menoleh dan menggeleng. "Tidak. Hanya saja... rasanya aku mendengar sesuatu dari lukisan ini."

Kening Mrs Johnson berkerut. "Mendengar sesuatu?"

Darren mengangguk.

"Dari lukisan?"

Darren mengangguk lagi.

"Darren," kata Mrs Johnson dengan malas, "Kalau ini adalah salah satu trikmu agar kita bisa segera pulang, kau tidak akan berhasil."

"Aku mendengarnya, Mom," Darren bersikeras. "Seperti ada yang berlari."

Mrs Johnson menatap Darren sedemikian rupa. Darren menoleh dan membaca papan keterangan yang tergantung di bawah lukisan.

"Incarceron..."

"Apa?" tanya Mrs Johnson terkejut.

"Judul lukisannya Incarceron," sahut Darren tanpa mengalihkan perhatian dari papan. "Incarceron merupakan alam batas yang dibuat untuk mengurung penjahat paling berbahaya."

Darren menoleh. Mrs Johnson menatapnya dengan raut wajah yang sulit dibaca seolah-olah Darren baru saja memberitahunya bahwa anjing peliharaan tetangga mereka sesungguhnya adalah hibrida anjing dan kelelawar yang bisa terbang jungkir-balik.

"Apa?" kata Darren.

"Apa yang baru kaulakukan?"

"Membaca keterangan lukisannya."

"Darren, papan itu kosong."

"Apa yang Mom bicara—" Darren berpaling ke papan tadi dan langsung terdiam. Papannya memang kosong. "Tapi, tadi—"

"A-aku akan melihat-lihat lukisan lain," sela Mrs Johnson. Wanita itu menjilat bibirnya dengan gugup. "Kau sebaiknya juga melihat lukisan lain."

Mrs Johnson berlalu dengan gelagat aneh. Darren menatap lukisan di depannya dengan bingung.

Ada yang bisa mendengarku?

Darren membeku di tempat. "S-siapa di sana?"

Syukurlah, ada yang dengar. Hei, aku butuh bantuanmu! Suara laki-laki, terdengar mendesak.

Darren memeriksa sekitarnya. Ibunya sudah kembali sibuk melihat-lihat lukisan. "Kau itu lukisan?" ia bertanya dengan enggan sebab bahkan di telinganya sendiri, pertanyaan itu terdengar konyol-menyerempet-ke-gila.

Apa yang kaubicarakan?

"Apa yang kubicarakan?" Darren balik tanya. "Aku sedang menatap sebuah lukisan dan lukisan itu bicara padaku. Kau yang jelaskan padaku, apa yang kubicarakan."

Dengar, aku tidak punya waktu untuk bercanda. Dia sedang mengejarku. Dia berhasil merampas kalung dan kunciku. Aku tidak punya logam sekarang. Aku tidak bisa melawan kalau dia menemukanku.

"Siapa?"

Sedda Manbrook.

Ini tidak masuk akal, batin Darren. Ia ada di galeri dan sedang mengobrol dengan salah satu lukisan yang ada di sana. Tiba-tiba saja Darren merasakan desakan kuat untuk menyeret ibunya keluar dari sini sekarang juga, lalu memintanya menyetir ke rumah sakit jiwa terdekat. Mungkin selama ini, tanpa ia sadari, ia mengidap skizofrenia—dan dinilai dari apa yang sedang terjadi, kondisinya pastilah sudah sangat mengkhawatirkan.

Kau punya logam? Apa saja yang terbuat dari logam?

Darren mengangkat tangan kirinya. "Aku punya cincin."

Bagus. Sekarang, masuklah ke sini.

"Ke mana?"

Ke dalam sini.

"Maksudmu, ke dalam lukisan."

Demi Tuhan, kau legatus baru ya? Sebelum Darren sempat mengerang (ia benar-benar tidak paham apa yang lukisan itu bicarakan), lukisan itu melanjutkan, Lupakan. Sekarang sentuh lukisan di depanmu.

"Eh, bukannya lukisan di galeri ini tidak boleh disentuh?"

Sentuh sajalah! Lukisan itu membentak. Lalu dengan suara yang lebih pelan, ia menambahkan, Tolong.

Kendati masih tidak mengerti, antara ragu-ragu dan ingin tahu, Darren akhirnya menurut. Ia memandang sekeliling, memastikan tidak ada yang melihat saat ia mengulurkan tangan dan menyentuh lukisan di hadapannya.

Sesaat tidak ada yang terjadi. Lalu lukisan itu mulai bergetar pelan. Darren tengah berjuang untuk tidak melompat dan berseru "WOW!" ketika tangannya menembus permukaan lukisan, yang membuat perjuangan-menutup-mulut-nya semakin sulit. Selanjutnya yang ia tahu, ia merasa ada sesuatu yang mengisapnya. Bayangan-bayangan entah apa berkelebat begitu cepat di depan matanya. Kepala, kaki, dan tangannya serasa ditarik ke lima arah yang berbeda. Tulang-tulangnya serasa bakal copot dari sendi. Dan ia merasa mual. Dan ia pikir ini ada hubungannya dengan bayangan-bayangan itu. Jadi, ia memejamkan mata.

Ketika sensasi ditarik-tarik itu berakhir dan ia membuka mata, ia tidak lagi melihat bayangan-bayangan, tidak juga lukisan yang bisa bicara itu. Yang ia lihat hanyalah hamparan pepohonan yang batangnya gemuk dan berurat, ranting-rantingnya penuh daun dan terkulai, dan akar-akarnya mencuat dari tanah.

Darren menelan ludah dengan susah payah. Ia benar-benar harus pergi ke rumah sakit jiwa![]

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 72.6K 72
[𝐇𝐚ðŦ𝐚ðĐ 𝐟ðĻðĨðĨðĻ𝐰 𝐎𝐞𝐛𝐞ðĨðŪðĶ ðĶ𝐞ðĶ𝐛𝐚𝐜𝐚] [𝐂𝐞ðŦðĒ𝐭𝐚 𝐭ðĒ𝐝𝐚ðĪ ðĶ𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧𝐝ðŪ𝐧𝐠 𝐛ðĒ𝐛ðĒ𝐭-𝐛ðĒ𝐛ðĒ𝐭 ðĐ𝐞ðĨ𝐚ðĪðĻðŦ] [𝐓𝐞ðŦ𝐝...
382K 44.2K 55
Rafka, seorang mahasiswa berumur dua puluh tujuh tahun yang lagi lagi gagal dengan nilai terendah di kampus nya, saat pulang dengan keadaan murung me...
529K 34.5K 62
Serena memiliki hobi yang aneh, gadis itu senang menghancurkan rumah tangga orang lain. Bagi Serena, menghancurkan rumah tangga orang lain adalah sua...
770K 2.6K 11
🔞 cerita ini mengandung adegan dewasa