My Story Book (One Shoot)

By naiqueen

902K 37.7K 2.9K

kumpulan one shoot milik naiqueen...disini tempatnya. More

13 Days in Salzburg
Terang Bulan
Senin Minggu Ketiga
Chocolate Gelato
Mr. Drama King
Jadi Culik!
Another Ben Laden
Xtra - Rahasia Kecil
UFO
Mualaf
Plumeria
Kejutan
My Vampire
Penggoda
Secret Mission
Ketemu Istri
A tale from the past
Purnama keseratus
Mein Mann
Ombak Banyu
Modus
Rujuk
Posesif
Permintaan

Love at the first sniff

24.4K 1.2K 71
By naiqueen

Cerita dimuat dalam kumcer Secret Lust bersama enam cerita author wattpad lainnya. sengaja diunggah hari ini karena temanya tentang Holi Festival yang kebetulan baru dirayakan kemarin (masih deket2 nuansanya yah)

Jika kebetulan ntar dapet larangan tayang akan segera di hapus untuk dibikin versi ... ahh liat nanti aja. dilarang copas atau remake karena ini udah pernah terbit dan ada ISBN-nya.


~Bukan wajah yang menggugahku, tapi aku jatuh cinta pada endusan pertama dengan aroma tubuh Aditya Sharma.~

"Ciihh...!" cibiran sinis itu mengusik dari apa yang membuat langkahku terhenti di pintu Jodh Cafe.

Aku tersenyum sekilas pada Deepak Sharma yang berdiri di belakangku dan menatap masam pada sepasang kekasih yang sedang berciuman di Bar.

Untuk kali ini aku setuju dengan Deepak. Yang kami lihat tidak akan jadi pemandangan favorit, walau diam-diam selalu menjadi impianku untuk dapat melakukannya dengan seseorang yang aku cinta.

"Well, kakakmu benar-benar mabuk kepayang." Gumamanku terdengar penuh toleransi, bijak dan –seakan- tak tersakiti saat harus menelan mentah-mentah kemesraan antara Sanju dan Adi.

"Itu kabar buruk," sahutnya dingin. "Ibuku tidak menyukai Sanju," katanya seraya menggamit tanganku. "Sudahlah ayo kita masuk ke dalam. Akan kubuatkan kau masala chai yang paling enak."

Aku mengerutkan dahi. Pengakuan Deepak kalau Bibi Gauri tidak menyukai kekasih putra sulungnya agak mengejutkan.

Padahal yang kutahu, seperti kebanyakan keluarga Hindustan lainnya, keluarga Sharma masih teguh memegang adat istiadat tanah kelahiran nenek moyang mereka dalam menentukan pasangan.

"Deep, bisa tolong buatkan aku satu noon chai untuk Sanju."

Suara berat milik lelaki menepis lamunan, aku menoleh dan tersenyum pada pria yang berdiri di sebelah.

"Hai, Adi!" aku menyapa kakak sahabatku seperti biasa.

"Reena," dia membalas sapa-ku datar.

Dengan kulit coklat dan bulu-bulu halus pada garis rahang rahang sampai ke dagu, wajah eksotis Vikramaditya Sharma seratus atau dua ratus poin melebihi ketampanan adik-adiknya.

Adi terlihat jantan dan berkuasa bagai bangsawan Rajasthan dalam lukisan-lukisan klasik karya Raja Ravi Varma.

Matanya menyipit. "Kapan kau datang? Aku tidak melihatmu."

Keterkejutannya hanya kubalas dengan senyum kecil, seperti biasa aku tidak terlalu menganggap apa yang keluar secara verbal adalah yang sebenarnya ingin ia katakan. Dia jelas hanya berbasa-basi.

Aku terbiasa mencerna bentuk komunikasi lain yang keluar dari tubuhnya. Bahasa sakral aroma.

Sejak pertama kami bertemu aku sudah tertarik padanya. Itu sekitar dua tahun yang lalu.

Bukan wajah yang menggugahku, tapi aku jatuh cinta pada endusan pertama dengan aroma tubuh Aditya Sharma.

Dia memiliki paduan musikal aroma indah dari nada-nada bahan baku wewangian, hangatnya musk, sensualitas buah prem dan aroma manis menenangkan teh rempah masala khas India.

Wangi tubuhnya selalu membuat air liurku terbit dan jantungku berdetak dua kali lebih kencang dari biasa. Menebarkan darah ke seluruh penjuru nadi dan membuatku frustasi –nyaris gila- karena keinginan obsesif untuk mengeksplorasi aromanya.

Ketajaman memori seorang ahli seniman aroma membuatku bisa langsung mengenali rumus suatu parfum dan menemukan identitas bahan bakunya. Tapi aku tidak menemukan tandingan untuk aroma yang menguar secara ajaib dari tubuh pria Hindustan yang satu ini.

Secara keseluruhan aroma Adi memiliki efek magnetis padaku.

Aromanya seolah berbicara, menggoda dan menantangku seperti halnya aroma tubuh kucing betina mempengaruhi pejantan jenisnya saat musim kawin.

Masalahnya ada banyak gadis yang jauh lebih atraktif selalu berhasil menarik perhatiannya. Sanjini Patel hanya salah satunya.

Aku sudah berusaha keras untuk melupakan Adi dan aromanya.

Tapi bahkan setelah aku menghindar jauh ke Paris untuk magang pada parfumer Carlos Benaim, aroma Adi melekat kuat dalam ingatanku. Membuatku merana saat memikirkankan, aroma tubuh Adi terus akan menghantui sampai aku mati.

Deepak datang menghampiri kami dengan dua cangkir teh khas India, dia memberikan teh rempah masala untukku dan teh asin pada Adi.

Aku tersenyum saat melihat pria semaskulin Adi membawa cangkir berisi cairan noon chai berwarna merah muda. Itu jelas pengumuman secara tidak langsung kepadaku bahwa dia sangat mencintai kekasihnya.

"Tentu saja kau tidak menyadari kedatangan kami, kau sedang asyik 'bersilat lidah' saat kami datang." Sindir Deepak tajam.

Seketika aku merasakan aroma ketegangan memancar kuat di sekelilingku, dua kakak beradik Sharma terlibat dalam perang tatapan sinis yang cukup mengerikan.

"Mom, akan membunuhmu jika melihat kelakuanmu di bar tadi."

"Bukan urusanmu." Adi menjawab datar dan melempar tatapan memperingatkan pada Deep.

Bulu tengkukku ikut berdiri saat tanpa sengaja tatapan mata kami bertemu hanya dalam beberapa detik sebelum ia berlalu kembali ke tempat di mana Sanju berada.

Aku tertegun menatap punggungnya. Kepergiannya meninggalkan aroma seksi lezat lewat udara yang tersibak saat ia berlalu, secara otomatis fantasiku meliar pada suatu kemustahilan yang seumur hidup tidak pernah terbayangkan.

Aku menginginkannya, aku ingin bercinta dan mensesap aroma Adi sesuka hatiku, menciumi seluruh anggota tubuhnya dan... Oke, ini harus dihentikan sebelum aku terlanjur gila.

Kufokuskan tatapanku pada Deepak yang masih menatap pada kakaknya yang sudah sepenuhnya menjadi milik Sanju kembali. Aku terpaksa menelan kepahitan melihat adegan cuddling dan giggling ala film India secara live di depan mata.

"Dia tetap kakakmu Deep, apapun yang terjadi," kucoba untuk menekan perasaan sakitku dan fokus menenangkan Deepak.

"Justru karena dia kakakku aku tidak ingin dia tersesat. Wanita itu beracun, aku yakin dia hanya memanfaatkan Adi."

"Tapi Adi pria dewasa, Deep. Dia pasti punya pertimbangan sendiri tentang siapa yang layak jadi kekasihnya." Saat mengatakannya aku menyentuh punggung tangan kiri Deepak untuk menunjukkan simpatiku, "kau tidak ingin hubungan kalian menjadi buruk, bukan?"

Sahabatku tersenyum dan mengangguk lalu mengulurkan tangannya untuk mengacak-acak rambutku.

"Reen, Rabu depan kami akan merayakan Holi*, aku ingin kau datang."

Aku menggeleng ragu, tentu saja aku tidak bisa mengatakan bahwa aku tidak ingin menyiksa diri dengan berlama-lama melihat kemesraan kakak dengan kekasih tercintanya itu.

"Entahlah, Deep aku..."

"Tidak ada alasan, Nona." Suara tegas penuh wibawanya memotong bantahanku.

"Mom dan aku sudah memilihkan kau lehenga, choli dan dupatta." dengan penuh semangat Deepak bicara sambil menarik tas ransel miliknya dari laci di bawah meja pesanan, mengeluarkan sesuatu dari dalamnya.

Aku terperangah saat melihat apa yang ia hamparkan ke atas meja pantry.

"Oh, ini indah..." aku setengah menggumam saat mengatakannya.

Dengan dominasi warna putih dan sulaman gota dari benang merah dan hijau, itu adalah busana tradisional seperti yang dipakai kebanyakan wanita India Utara.

"Ini cocok dikenakan pada Holi pertamamu," jelas Deepak bersemangat, "kau pasti akan sangat cantik memakainya."

"Kalian merencanakannya dengan baik, putih membuatku akan jadi sasaran lempar terbaik," timpalku. "Tapi aku suka, thanks Deep." Aku memeluk sahabatku sambil tersenyum.

"Apa itu artinya kau akan datang?" Deepak bertanya seraya menebar senyum penuh harap.

Saat aku balas menatapnya, aku tahu kalau aku tidak punya alasan untuk menolak.

.................

Sesuai rencana, aku datang ke Jodh kafe sepulang kerja pada hari selasa malam.

Deepak akan membawaku ke rumah keluarga Sharma di Broonxville, Westchester, untuk menyalakan api Holi bersama-sama dengan keluarga dan kerabat dekat mereka.

Aku tiba satu jam lebih cepat dari yang direncanakan.

Kafe tutup lebih cepat hari ini, dan aku langsung masuk lewat belakang karena Deepak sudah berjanji tidak akan menguncinya untukku.

"Aku datang," aku meneriakkan itu sambil mendorong bagian bawah pintu dengan kaki. "Deep, aku butuh secangkir masala chai, di luar benar-benar dingin." Lagi-lagi aku berteriak pada sahabatku yang kelihatannya masih sibuk berkutat di dapur.

Kujatuhkan kertas-kertas sampel aroma yang kubawa ke atas meja pesanan, membuka jaket panjang yang aku kenakan juga membuka ikatan rambutku yang lembab.

Tidak ada sahutan dari dapur, tapi aku yakin Deepak mendengarnya karena terdengar suara denting sendok dan gelas dari dalam sana.

Hari raya Holi bukanlah hari libur resmi yang diakui di New York, beruntung atasanku mengijinkan mengambil cuti.

Karenanya aku harus membawa pulang sebagian pekerjaanku ke rumah. A Lab On Fire, tempatku bekerja adalah sebuah laboratorium kimia yang fokus utama pekerjaannya adalah mendesain dan menghasilkan aroma untuk di pakai sebagai wewangian pada produk-produk rumah tangga, kosmetik atau di jual kepada klien VIP yang menghendaki parfum yang aromanya hanya dimiliki oleh mereka sendiri.

Aku mengendus kertas sampel aroma yang rencananya akan ku bawa presentasi dengan klien kami yang menjual produk sabun mandi dan lilin aroma terapi organik untuk pasar Eropa dan Timur tengah.

Campuran minyak sintetis cendana dan patchouli terasa bagai aroma bedak tabur murahan di penciumanku. Aku melenguh kecewa dengan hasil yang benar-benar tidak memuaskan.

Beralih pada sampel nomor dua yang merupakan campuran aroma madu, amber dan mawar, langsung membuatku teringat pada aroma tanah setelah hujan pertama di musim panas.

Aku tersenyum puas dan mulai berpikir untuk melembutkan sedikit aroma itu dengan ekstrak bunga orange blossom serta sedikit campuran peach dan lotus untuk memberikan kesan basah yang kuat.

Aku sedang menuliskan aroma-aroma yang kurencanakan untuk menjadi paduan sampel nomor duaku, saat tiba-tiba aroma penggoda itu tercium dan membuat tubuhku langsung terjaga.

Aku nyaris melompat saat menemukan Aditya Sharma berdiri di belakangku dengan secangkir masala chai di tangan.

"Adi!" aku berseru kaget. "Kenapa kau yang..." aku tidak mampu meneruskan kalimatku.

"Deepak harus menjemput Uncle Jay dan Aunty Padmini di bandara, dia menitipkanmu padaku." Jelasnya.

Uncle Jay adalah adik bungsu bibi Gauri yang usianya hanya beda enam tahun dari Adi. Dia masuk dalam daftar sepuluh imigran India kaya raya berkat online webstore yang di dirikannya tujuh tahun lalu. Perusahaan yang sama di mana Adi bekerja sebagai IT programer.

Tapi tidakkah Deepak sadar apa yang dia lakukan? Menitipkan aku pada Adi, Oh! Gosh!! Ini misi bunuh diri.

Aku menatap Adi nyalang, mulai terganggu oleh kekuatan aroma tubuhnya yang mengusik.

Dahi Adi berkerut saat menatapku, matanya berubah penuh perhitungan, "Kau tidak suka kalau aku.."

"Oh!" dengan cepat aku memotong kata-katanya. "Bukan itu, hanya saja..." aku mengangkat bahuku sejenak. "Ini agak di luar dugaan."

Untuk kali pertama aku melihat dia tersenyum, bukan senyum basa-basi seperti jika kami sedang bertegur sapa. Aditya Sharma tersenyum lembut dan tulus seperti yang dia beri untuk Sanju.

"Kurasa kau tidak punya pilihan. Mom, sudah tahu kau akan datang bersamaku jadi aku tidak mungkin membiarkanmu pergi sendiri dengan taksi malam-malam begini."

Aku tertawa pelan dan kembali menekuri pekerjaanku dengan pikiran tidak menentu.

"Apa aku bisa selesaikan dulu pekerjaan ini sebelum kita pergi? ada beberapa sampel lagi yang harus aku urus," pintaku. "Jika sudah sampai di rumahmu aku tidak yakin dapat melakukannya dengan tenang."

Adi mengangguk setuju, "Silahkan, aku akan menunggumu sampai selesai Reena, Oh ya ini masala chai mu."

"Oh!" aku menyipitkan mata demi bisa berkosentrasi pada apa yang dia bawakan untukku dan bukannya jadi gila karena terangsang.

"Aku tidak tahu kalau kau bisa membuat masala chai."

Adi meletakkan gelasku ke atas meja, dan kemudian menarik kursi di sebelahku. Terlalu dekat, sampai-sampai dia bisa meletakkan lengannya pada sandaran bangku yang aku duduki.

"Reena, kau tidak tahu apapun tentangku." Wajah Adi terlihat suram saat mengatakan itu.

"Itu karena kau terlalu sibuk dengan Sanju." Aku balas menyalahkannya sambil tersenyum kecil.

Ketika aku melihatnya tak tertarik untuk membalas kata-kataku, aku membuang muka ke arah lain dan menghembuskan nafas panjang dengan berat.

Secara mental aku tegang berada di dekat Adi, tapi ketegangan itu mencair saat udara yang aku hirup menyelinapkan aroma lembut rempah bunga lawang dan pala yang menguar dari tubuhnya.

Adi memiliki kemampuan alami mempengaruhi suasana hatiku. Seperti saat dia mengintimidasi dengan aroma, dia juga bisa membuatku seketika tenang tanpa perlu berusaha keras untuk melakukannya.

Aku bisa maklum jika Sanju sampai betah dekat-dekat dengannya.

Adi menopang dagunya dengan punggung tangan yang lain, lehernya miring menghadap padaku. "Apa selama ini aku benar-benar terlihat tidak memperdulikan apapun?" tanyanya bingung.

Aku memutar kursiku menghadap kearahnya, "kau benar-benar sedang jatuh cinta, jadi itu bisa di maafkan."

Dia tidak mengatakan apapun dan hanya menatap dalam padaku, aku merasakan pipiku memanas. Untuk menghalanginya melihat itu aku kembali berusaha serius dengan kertas-kertas aroma dan mengabaikan kentalnya aroma musk yang seduktif dari tubuhnya dengan berusaha mengingat aroma lain yang cocok dengan sample ketiga yang memiliki kecenderungan manis buah-buahan tropis.

"Dari sini itu tercium seperti lassi* mangga."

Aku menoleh kearah Adi, sebelah alisku terangkat sementara bibirku membuka tanpa bisa berkata apa-apa.

"Be-benarkah?" aku tergagap, "kau bisa membantuku?" dengan ragu aku mengulurkan beberapa kertas sampel padanya. Membiarkan ia mengendus beberapa sampel dan mengatakan pendapatnya.

"Aku membuat aroma untuk produk aroma terapi, walau kurasa aku seorang yang penuh imajinasi, tidak dapat kubayangkan jika aku mandi dengan sabun beraroma karee atau menghidupkan lilin beraroma chicken tandoori."

Adi terkekeh mendengar gurauanku, "Itu lucu, bila ada produk yang beraroma chicken tandoori atau nasi saffron aku akan lebih sering berada di kamar mandi jika sedang lapar."

Aku ikut tertawa dan memukul lengannya yang berotot, "Ayo katakan seperti apa aroma sampel nomor empat bagimu?"

Dia menatapku serius. "Yang ini cocok sebagai parfum di lilin aroma. Peach dan susu mengingatkan aku pada liburan masa kecilku di Jaipur. Aku bahkan bisa mengingat warna pink rumah-rumah di sana saat mencium ini, Reena."

Aku mengangguk setuju dengan apa yang ia katakan. "Ini memang sampel untuk lilin aroma," kataku. "Aku rasa hanya perlu menambahkan sedikit bergamot atau neroli yang netral untuk memberi kesan segar lebih tajam."

"Atau mungkin sedikit aroma mawar." timpal Adi sambil mengulurkan kembali kertas sampel padaku.

"Atau Ambergris." sahutku seraya mengambil kertas itu dari tangannya dan menuliskan padanan aroma alternatif untuk sampel terakhirku. Kemudian sambil merenggangkan otot bahu aku mengangkat cangkir dan menikmati aroma teh rempah kesukaanku.

"Kau sangat suka masala chai?" pria disebelahku kembali bertanya, dia tampak berusaha keras untuk aktif membuka obrolan saat aku justru jadi pasif.

Entahlah, aku tidak tahu kenapa bisa selalu kehilangan kata-kata saat ada di dekatnya.

"Ya!" aku meletakkan cangkirku dan duduk miring menghadapnya.

"Sejak kapan?"

Pertanyaan itu membuat pipiku terbakar, aku sangat tahu alasannya dan mungkin akan sangat memalukan jika mengatakan dengan jujur pada Adi.

"Hmm... sejak aku datang ke sini untuk kali pertama."

Mata Adi berbinar dalam keremangan cahaya dapur yang menjadi penerang satu-satunya untuk kami, aku menganggap diriku sedang berimajinasi saat melihat itu terjadi terus menerus sejak aku duduk menghadap kearahnya.

"Aku mengingatnya Reena, saat Deepak membawamu masuk dan mengatakan pada Mom dia membawakan calon menantu untuknya."

Aku tersenyum kecut, teringat kembali pada tanggapan Bibi Gauri saat itu yang membuatku merasa ditolak.

Bibi Gauri mengatakan jika calonnya bukan gadis India dari keluarga yang sederajat dan satu kasta maka lebih baik Deepak menyingkirkan pilihannya.

Dia mengatakannya sejak kali pertama aku datang ke kafe ini. Bagiku itu seperti seseorang dengan tegas menetapkan batasan untukku sejak awal.

Bagai peringatan tidak langsung yang mengatakan, 'Oke kau kuterima sebagai sahabat keluarga, tapi putra-putraku terlarang untuk kau ajak main mata.'

Bukannya aku punya niat main mata dengan putra keluarga Sharma, hanya saja mereka semua terlalu menarik untuk di abaikan. Tapi mau tidak mau aku terpaksa membunuh keinginanku untuk memiliki harapan suatu saat kelak bisa menjadi salah satu bagian dari keluarga mereka.

Adi menatap jauh kedalam mataku dan aku berjuang untuk tetap sadar pada kenyataan bahwa dia kekasih wanita lain.

"Kau langsung pucat saat itu," dia tertawa kecil, "kau tahu betapa marahnya Deep pada ibu kami."

Bahuku terkulai jatuh, "Itu benar-benar perkenalan yang tidak mengenakkan," kataku. "Tapi aku tahu Bibi Gauri tidak bermaksud seperti itu, beliau ibu yang hangat dan penyayang." Belaku tulus.

Adi mengangguk setuju, "Mom benar-benar menyesali kata-kata yang sembarang ia ucapkan, dan kau tahu betapa seringnya aku mendengar dia berdoa supaya kau dan Deepak segera menikah."

Aku menelan ludah kaget, aku yakin bahkan Adi bisa mendengar suara tegukanku yang cukup keras, "Oh! Itu tidak mungkin" sergahku cepat.

Aku melihat alis Adi terangkat bingung, "Kenapa tidak? Apa Deep, tidak ingin terikat?," matanya menyelidik tertarik, "bodoh sekali dia."

"Ya Tuhan! Adi, aku tidak tahu caranya menjelaskan ini." Aku menepuk dahiku tak berdaya, "aku dan Deepak murni bersahabat, kami saling menyayangi layaknya saudara."

Mata lebar itu membesar sepuluh kali lipat dari seharusnya, aku bahkan melihat Adi kehilangan kontrol pada mulutnya, sampai-sampai bibirnya membentuk huruf O.

Aku tertawa tak percaya, "Bagaimana mungkin kau bisa punya pikiran seperti itu?" celaku geli.

Adi menghembuskan nafas panjang jemarinya bergerak gelisah dari mencubit hidung sampai menggaruk kepalanya dengan gerakan kaku, aku dapat melihat otot-otot lengannya menyembul keluar saat dia melakukan itu. Dia terlihat bingung, gelisah, dan menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu, dan semakin banyak ia membuat gerakan aku semakin teracuni oleh aroma sensual yang benar-benar membuat gila.

"Aku tidak menyangka..." dia menggantung kalimatnya untuk kemudian menatapku dengan tatapan seperti menyayangkan, antusias atau... entahlah, aku tidak ingin berspekulasi terlalu tinggi.

Mencoba menghilangkan kegugupanku dengan tertawa, aku mengintip keluar jendela kaca resto, jalanan sudah mulai lenggang dan itu tandanya sudah waktunya kami bertolak ke rumah keluarga Sharma.

"Tidakkah lebih baik kita segera pergi?" tanyaku sambil memberesi pekerjaanku dan memasukkannya dalam tas. "Aku tidak ingin ketinggalan kemeriahan acara."

Adi mengangguk perlahan, fokus matanya tetap tertuju kepadaku meski dia terlihat bagai tidak berada dalam dirinya sendiri.

Kami kemudian berdiri dan melangkah bersama menuju ke pintu belakang, Adi mengambil jaketku dari kursi dan membantu memasangkannya dengan hati-hati.

Jantungku berdetak dua kali lebih kencang dari sewajarnya saat dia mengangkat rambutku dan menariknya keluar dari dalam jaket. Aku mendongak untuk mengucapkan terima kasih dan menemukannya menatap dengan pandangan lembut bagai purnama yang bersinar sehabis hujan.

"Aroma rambutmu mengingatkan aku pada wangi es susu mawar di musim panas," bisiknya tepat di telingaku. "Setiap kali kita berdekatan, kau membuatku haus."

Tatapannya tertuju padaku benar-benar membuat sesak nafas. Dalam keheningan Adi menarikku. Tanpa perlawan aku menjatuhkan diri ke dadanya dan menyesap sebanyak-banyaknya aroma yang menguar dari sana.

Debaran jantungku menguat saat dia mendongakkan wajahku, kami bertatapan dalam jarak yang sangat dekat.

"Apa kau mau berbaik hati memberiku pelepas dahaga, Reena?" bisiknya kembali.

Nafasku tertahan oleh rasa tak percaya pada kenyataan jika dia juga menginginkan aku. Aku menggigit bibir untuk dapat membuktikan lewat rasa sakit jika ini bukanlah mimpi.

Dia memberiku kesempatan untuk dapat mengenali aromanya. Yang aku butuhkan hanyalah keberanian. Mata Adi masih fokus padaku, menunggu ijin.

"Kau membuatku kehabisan oksigen," keluhku pelan. "Tolong berikan aku nafas bantuan."

Sekelebat, aku melihat senyum tipisnya terkembang, sebelum bibir itu mendekat dan mengabulkan permintaanku.

...............

Aku melengguh kecewa saat tak kunjung dapat mengikat tali punggung choli yang aku kenakan. Bagaimana mungkin aku bisa tampil memikat dan anggun seperti gadis-gadis India yang lain. Aku bahkan tidak punya dada untuk bisa membuat blusku mengembang dan menempel ketat di tubuhku.

Lelah mencoba menautkan dua tali di punggungku aku keluar dari kamar Jyoti dan menabrak punggung seseorang, aku langsung tahu itu Adi berkat aromanya.

"Kau mengejutkanku. Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku tanpa benar-benar melihat kepadanya karena sibuk menarik lengan choli yang terus-terusan merosot jatuh dari bahu.

"Aku tahu ini pasti akan terjadi." Gerutuku frustasi.

Aku melihat Adi tersenyum lembut, dan menarikku merapat pada tubuhnya.

Oh, ini tidak aman, kami sedang berada dalam rumah yang penuh dengan keluarga dan kemungkinan juga kekasihnya.

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku, saat merasa telapak tangannya membelai punggungku yang terbuka.

"Membantumu mengikat tali."

Wangi pala yang lembut dan mistis, cengkeh yang kuat, bunga lawang yang segar, musk yang sensual semuanya menyenandungkan aroma untukku. Aku menikmati setiap aroma tubuhnya sepenuh hati, Aroma yang sebenarnya terlarang.

"Kau tahu, alasan kenapa aku begitu suka dengan masala chai?" aku bertanya pelan.

Adi menggeleng perlahan.

"Aromamu mirip teh rempah itu. Sayangnya aku tidak bisa seperti Sanju yang bisa menikmatinya langsung darimu. Aku hanya bisa menikmatinya dalam secangkir masala chai, itulah alasan kenapa aku selalu memesannya." Dalam keadaan separuh sadar separuh mabuk kepayang aku mengakui.

Kurasakan jari-jemarinya dengan terampil mengikatkan tali choli sampai blusnya terasa melekat kencang. Aku tidak mau membayangkan dengan siapa dia berlatih mengikat tali Choli, itu akan jadi derita Sanju bukan deritaku.

"Lupakan Sanju," dia berbisik di telingaku.

Aku menarik diri dari pelukannya dan mendongak menatap ke dalam matanya untuk menunjukkan padanya betapa putus asanya aku saat ini.

"Apa maksudmu?" aku bertanya pelan. "Aku tidak bisa melupakannya karena dia kekasihmu, dan apa yang terjadi diantara kita..."

Jemarinya menghentikan kata-kataku. "Apa yang terjadi di antara kita adalah apa yang aku kehendaki untuk terjadi."

Aku benar-benar tidak memahami lelaki ini.

"Aku sudah lama menunggu ini terjadi Shakuntala Reenara. Aku jatuh cinta sejak pertama kali melihatmu. Dan aku nyaris gila karena berpikir kau adalah kekasih adikku..."

"Aku gila oleh banyak hal karenamu, dan setelah semuanya jelas aku tidak akan pernah bisa melepaskanmu untuk siapapun lagi, tidak untuk Deepak, Dilip, atau bahkan Shahrukh Khan."

Aku mengerjabkan mata dan kemudian tertawa. "Mr. Khan sudah terlalu tua untukku, Adi."

Bibir kokoh Adi membentuk seringai masam dan sinis. "Kau milikku, itu tidak dapat di tawar-tawar."

Dalam satu tarikan dia membawaku kembali dalam pelukannya, kemudian memberi kecupan singkat pada bibirku yang membuat terkesiap dan memelototinya.

Adi hanya tertawa kecil. "Semua sudah menunggu, ayo kita kebawah," ajaknya.

Aku mengangguk setuju, kami berbalik arah menuju tangga, dan seketika wajahku pias saat mendapati Paman Arun dan Bibi Gauri menatap kami dari selasar seberang.

"Aaahh... sepertinya kita harus membicarakan pernikahan Adi, secepatnya Gauri," Paman Arun melirik istrinya sambil tersenyum.

"Kali ini kita beruntung hanya memergoki Adi mengikatkan tali choli bukan malah melakukan yang sebaliknya. Tapi aku tidak yakin itu akan terus terjadi mengingat Reena luar biasa cantik dengan lehenga itu."

"Stop, thats bad jokes, Dad!!" aku mendengar pria yang memelukku berseru pada ayahnya dengan suara kesal.

Bibi Gauri menutup mulutnya dan kemudian berlari nyaris melompat sebelum memeluk dan memutar-mutar tubuhku. Aku yakin semasa kecil Bibi Gauri rajin menari Kathak sehingga masih sangat enerjik pada usia kepala empat.

"Aku tahu ini akan terjadi. Gadis ini akan jadi menantuku... tapi jika itu dengan Adi, sayang, aku harap kau memikirkannya masak-masak."

"MOM!!" Satu kali lagi aku mendengar Vikramaditya Sharma berteriak, "Reena milikku."

"Kata siapa?" satu suara lain menimpali, aku melihat Deepak di anak tangga teratas tersenyum kepadaku penuh arti. "Reen belum mengatakan apapun soal memilihmu, Bro."

Adi memelototi Deepak dan memakinya kasar. "Diam dan pergilah ke neraka." dengan posesif Adi kembali menarikku merapat ke tubuhnya, dan aku langsung menenggelamkan wajahku yang pastinya sudah semerah bara pada dada bidangnya.

Menyesap sebanyak-banyaknya aroma campuran antara musk dan buah prem yang maskulin. Paduannya langsung mengingatkan aku pada ciuman pertama kami semalam.

Aku tersenyum sambil menggigit bibir. Bersyukur, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.

.....................

Note:

1. Holi : Festival warna yang dirayakan di India bagian utara dan beberapa negara yang memiliki penduduk beragama Hindu, dirayakan untuk menyambut musim semi. Orang merayakan Holi dengan saling melemparkan bubuk warna-warni.

2. Lassi : Minuman khas India dan Pakisatan yang sangat populer terdiri dari campuran yogurt dingin yang diblender bersama susu krim, air gula dan campuran buah-buahan yang disuka.

Continue Reading

You'll Also Like

918 57 6
Dewa dan Silvi berpisah bukan karena kemauan mereka tetapi melainkan kemauan seseorang Dan sekarang mereka harus dipertemukan lagi dengan tidak salin...
118K 7.6K 40
JEON JUNGKOOK gadis cantik yang disuruh diam-diam menjadi pengganti dari sang kakak yaitu JEON JUNGSOO yang kabur disaat hari pertunangannya,dia tida...
87.5K 3.2K 15
"siapa namamu?" "o-oline kakk"
81.1K 12.4K 31
Jennie mengalami trauma psikologis akibat dari sebuah peristiwa traumatis yang menyebabkannya amnesia. Jennie mengingat semua keluarganya kecuali se...