Second Chance

By MarsHeaven

1.4M 54.6K 5.5K

Noresta Parian Chandra Andian Liva Mahera More

Prolog
KUIS -TKI
Happy News or Not
14. Takdir yang Menakutkan 2
INFO TENTANG SC
18. Panggilan Baru
19. Karena Aku Terlalu Mencintaimu
Yang Nungguin Nore + Kuis
Pemenang Kuis
20. Luluh
21. Ketakutan yang Menjadi Nyata
22.
23. Rahasia Hati
24. Jalan Hidup yang Berbelok
24. Jalan Hidup yang Berbelok 2
Pengumuman Tentang SC
Bahagia, Benarkah Milik Kita?
Epilog

25. Bahagia, Benarkah Milik Kita?

34.5K 3.8K 434
By MarsHeaven

Baca part ini nggak perlu vitamin, apalagi taburan sianida. Cukup dinikmatin Nore dan Andiannya.

Enjoy....

_________________________________________

Aku mengatakan semua yang aku ketahui, cerita mama, kebenaran lukisan wajahku juga apa yang mungkin Adam rasakan. Selama aku bercerita, Nore tetap memasang wajah tenang tanpa mengatakan apapun.

"Dia membunuh dirinya sendiri, karena merasa bersalah padamu." Kataku seraya mengusap airmata dengan punggung tangan.

"Kenapa kamu berpikir seperti itu?" tanyanya datar.

"Itulah kenyataannya!" aku berteriak marah.

Nore masih menatapku dengan ketenangan yang sama, kemarahan yang aku luapkan tidak mempengaruhi emosinya sama sekali. Matanya menatapku menunggu.

"Sebelum meninggal Adam berkali-kali bilang, kalau dia telah merebutku. Dia merasa seperti itu karena berpikir kamu mengenal dan mencintaiku lebih dulu. Lukisan itu buktinya. Di belakangnya ada tanggal yang menunjukkan kapan lukisan itu dibuat." Tuduhanku hanya mendapat kernyitan keningnya.

"Adam tahu aku suka melukis, dia memintaku melukis wajahmu." Ucapnya lirih. "Aku tidak pernah memenuhi permintaannya."

"Lalu lukisan itu?"

"Aku buat sebelum Adam memintanya." Jawabnya cepat.

"Kapan?" ulangku.

"Tak lama saat pertama kali aku bertemu denganmu."

Aku terdiam, menunggunya mengatakan hal lain.

"Adam tahu aku mencintaimu, tanpa harus aku katakan ataupun melihat lukisannya. Diantara semua orang dialah orang yang paling mengenalku." Dia tertawa, "Jadi mana mungkin dia tidak tahu apa yang aku rasakan."

Mataku melebar mendengar apa yang dia katakan.

"Kamu adalah hal pertama yang sama-sama kami sukai. Kami selalu membicarakanmu, caramu bicara, tersenyum, tertawa bahkan menangis." Dia memainkan rambutku perlahan.

"Adam tahu?" tanyaku terbata-bata.

"Hmm. Aku sudah pernah bilang padamu, kalau Adam tahu aku mencintaimu."

Nore memang pernah mengatakannya beberapa waktu yang lalu. Tapi, saat itu aku kurang mempercayainya.

"Jadi, dia meninggal bukan karena mengetahui apa yang aku rasakan padamu, dia sudah mengetahuinya." Dia menundukkan wajahnya. Aku membiarkannya tetap diam. Tanpa memintanya menjelaskan lebih. Entah mengapa, aku tahu dia mengalami kesulitan saat menceritakan semua ini.

Sebenarnya apa yang terjadi, aku tidak mengerti apapun yang Nore katakan.

"Hubungan kami berdua, sedikit rumit. Kami saling menyayangi tapi disaat yang sama saling membenci. Adam adalah cerminan segala hal yang baik dariku, semua orang menyayanginya. Anak yang baik, nggak pernah macam-macam dan selalu mengikuti apa kata orangtuanya. Berbeda denganku. Dia selalu menjadi bayang-bayangku, semua orang selalu membandingkan kami." Dia tertawa, "Aku yakin dia juga merasakan hal yang sama. Sama sepertiku, kadang aku menyayanginya juga membencinya."

"Malam itu sebelum meninggal, dia menelponku. Saat itu aku tidak tahu, kalau itu terakhir kalinya aku akan mendengar suaranya. Jika saja aku tahu, aku mungkin akan menghentikannya." Lanjutnya dengan nada sedih.

"Apa yang dia katakan?" tanyaku, penasaran akan isi percakapan terakhir mereka.

"Dia memintaku menjagamu." Nore mendongakkan wajahnya. "Kalau kamu berpikir, dia pergi karena mengalah padaku, kamu salah. Kalau mau mengalah sudah dia lakukan sejak dulu."

"Lalu kenapa dia meninggal, jangan bilang kalau itu takdir, banyak saksi yang bilang kalau Adam menabrakkan dirinya."

Dia mengangkat bahunya.

"Kamu tahu, apa yang kamu ceritakan padaku sekarang bukan jawaban yang memuaskan untukku. Banyak celah yang membuatku bisa dengan mudah melimpahkan semua kesalahan padamu. Adam bilang berkali-kali kalau dia sudah merebutku."

"Itu memang benar." Potongnya. "Kamu mungkin tidak ingat, tapi sebelum Adam memperkenalkan kita, kita sudah bertemu beberapa kali sebelumnya." Keningku berkerut. "Begitu selesai SMA, aku kuliah di London. Tapi, tiap liburan aku selalu pulang dan menghabiskan waktuku dengan tampil di beberapa kafe atau pentas seni sekolah. Kita bertemu pertama kali di sekolahmu."

Aku memberikan tatapan bingung padanya. Ada rasa tidak percaya menyelingkupiku, wajah Nore bukanlah wajah yang dengan mudah dilupakan. Jika aku pernah bertemu dengannya, pasti aku akan mengingatnya.

"Harusnya saat itu kamu kelas 1 SMA, kamu duduk bersama dengan Krisna dan teman-temannya di pinggir lapangan. Aku jadi bintang tamu untuk acara pensi sekolahmu. Selama sisa liburan, aku membuntutimu. Kadang aku datang ke sekolahmu. Sesekali aku juga mengajak Adam." Aku memberikan tatapan tidak percaya padanya. "Saat itu, Adam tahu aku sudah jatuh cinta padamu."

"Setelah kembali ke London, hampir dua tahun aku tidak pulang. Saat itu aku begitu marah pada Papa dan Mama yang terus memaksaku kuliah kedokteran. Begitu aku pulang, kalian sudah bersama. Jadi yang dia katakan memang benar, dia sudah merebutmu dariku."

"Adam tidak sekejam itu!"

"Percayailah apa yang mau kamu percayai. Saat dia memilih untuk bersamamu, dia tidak pernah mempertimbangkan perasaanku. Harusnya dia tahu apa yang telah dia lakukan akan menyakitiku. Tapi, dia mengabaikannya." Nore yang sejak tadi begitu tenang, kali ini bicara penuh emosi. "Aku memang merasa bersalah padanya, tapi bukan karena telah mencintaimu. Aku merasa bersalah karena tidak pernah bisa menghilangkan rasa cintaku padamu, bahkan setelah kamu sudah bersama Adam. Bukannya menghilang, rasa yang aku miliki malah semakin besar."

Bibirku begitu kelu, tidak ada kata yang bisa aku ucapkan. Nore menghembuskan nafasnya perlahan.

"Awalnya memang aku marah akan sikap Adam, tapi begitu melihatmu bahagia bersamanya kemarahanku hilang. Aku tidak bisa menyalahkannya, dia tidak pernah merebutmu karena kita bahkan tidak pernah bersama, bicara saja kita tidak pernah."

Nore kembali memainkan rambutku, lalu menempelkan kening kami. Suhu tubuhnya membakar kulitku. Dia demam "Saat kamu memintaku pergi dari hidupmu dulu, rasanya begitu menyakitkan. Aku sangat menyesali apa yang telah aku lakukan padamu hingga membuatku putus asa. Pikiranku pendek saat itu, hingga dengan mudah membunuh diriku sendiri. Padahal, seharusnya aku tidak sepengecut itu, aku harus bertanggung jawab atas kesalahan yang telah aku lakukan."ucapnya lemah.

Dia mengunci wajahku dengan tangannya, "Maafkan aku karena telah sangat menyakitimu," butir-butir airmatanya jatuh perlahan. "Maafkan aku..." ulangnya lagi.

Bisakah aku memaafkannya?

Bisakah aku memberikan kesempatan padanya untuk memperbaiki semuanya?

Bisakah aku membuka hatiku?

Bisakah aku melupakan rasa sakit yang sudah dia berikan?

Nore sudah membuktikan banyak hal padaku, dia membuktikan bisa mencintai dan menjagaku. Harusnya itu cukup, karena hanya itu yang aku butuhkan. Rasa dicintai dan dilindungi. Hanya itu.

"Kamu istirahatlah, badanmu demam lagi. Aku panggil Om sebentar untuk memeriksamu." Ucapku seraya melepaskan tangannya dari wajahku, lalu membantunya berbaring.

Tubuhnya sangat lemah, apalagi dia sudah melepas selang infus yang seharusnya masih dia butuhkan.

"Aku ke bawah sebentar." Ucapku tanpa melihatnya.

Nore mencekal tanganku.

"Kamu pergi?"

Aku mengangguk, "Aku ingin sendiri." Aku melepaskan tangannya.

*****

Om Rindra dan Tante Shinta menungguku dengan wajah panik dan khawatir.

"Lika mana Om?" tanyaku saat tidak menemukan Lika diantara mereka.

"Kami menidurkannya di kamar Adam."

Aku mengangguk, "Nore, melepas selang infusnya, badannya juga demam." Kataku.

Om Rindra tersenyum "Om tahu dia akan melakukan itu, Nanti biar Om periksa." Ucapnya, lalu menatapku khawatir, "Kamu nggak pa-pa?"

Aku hanya bisa menggeleng lemah.

"Istirahatlah dulu." Kata Om Rindra, dia menghampiriku, menepuk bahuku pelan dan berjalan ke lantai atas, menuju kamar Nore.

"Minum tehnya." Tante Shinta mengulurkan secangkir teh padaku.

"Terima kasih, tante." Jawabku sambil tersenyum.

"Tante," panggilku, setelah keheningan selama beberapa saat.

"Hmm..." gumamnya.

"Menurut Tante, kenapa Adam meninggal?"

Dari ekspresi yang Tante Shinta berikan, aku bisa melihat kalau dia sudah menebak aku akan mengajukan pertanyaan ini.

"Selama bertahun-tahun, Tante menyalahkanmu atas kematian Adam." Ucapnya lembut, dia meletakkan cangkir tehnya lalu kembali menatapku. "Setiap kali ada hal yang buruk terjadi pada Tante, hal yang pertama Tante lakukan adalah menyalahkan orang lain." Dia tersenyum kecil, "Untuk kematian Adam, Tante memilih untuk menyalahkanmu."

Tante Shinta menatapku lekat, "Tapi, bukannya membuat Tante merasa lebih baik, apa yang Tante lakukan malah membuat Tante makin menderita dan hidup dengan dipenuhi rasa dendam." Lanjutnya.

"Akhirnya Tante memutuskan lebih baik berdamai dengan keadaan dan menganggap kematian Adam adalah takdir terbaik baginya." Suaranya memang terdengar sedih, tapi aku tahu ada kelegaan di sana. "Tante harap kamu juga bisa merasakan hal yang sama."

Selama Tante Shinta bicara, aku tetap diam. Aku bertanya pada diriku sendiri, bisakah aku melakukan hal ini. Berdamai dengan keadaan.

"Malam ini tidurlah di sini, kamu bisa tidur di kamar Adam bareng Lika."

"Saya pulang aja Tante." Tolakku halus.

"Untuk kali ini, Tante mohon kabulkanlah permintaan Tante." Ucapnya penuh nada permohonan.

Tidak bisa menolak permintaannya, aku menganggukkan kepalaku.

*****

Apa yang aku ketahui hari ini, membuat kepalaku terasa lebih berat beberapa kilogram. Rasanya masalah yang aku hadapi begitu besar, hingga aku tidak sanggup membuat kepalaku terus tegak berdiri.

Kenyataan Adam mengetahui perasaan Nore dan mengabaikannya sangat menggangguku. Hingga aku berspekulasi, alasan dia ingin segera menikahiku adalah karena Nore. Dia tidak mau Nore hadir di antara kami. Tapi, Adam yang aku kenal tidak begitu. Dia sangat menyayangi dan mengagumi Nore, tidak mungkin dia melakukan hal sekejam itu.

Saat aku hampir terlelap, seseorang memeluk tubuhku dari belakang. Aku hampir saja memekik, kalau saja tidak mendengar suaranya.

"Ini aku." Bisiknya di telingaku.

"Sedang apa kamu di sini?" aku balas degan berbisik karena tidak mau membangunkan Lika.

"Ketemu kamu." Sahutnya pendek.

"Kamu sedang sakit." panik menderaku, saat menyadari tangannya tidak lagi dipasangi jarum infus. "Kamu melepasnya lagi?" tanyaku.

"Hmm..." gumamnya. Kepalanya makin mendekati leherku, tangannya memelukku makin erat. Suhu tubuhnya tidak sepanas tadi.

"Balik ke kamarmu. Istirahatlah." Ujarku, seraya mencoba melepaskan tangannya.

"Aku ingin di sini, bersamamu."

"Nore!"

Dia tertawa, "Aku senang karena kamu tidak menganggapku sebagai Adam."

"Aku bisa membedakan kalian dengan baik." Jawabku ketus.

"Hmm... baguslah, aku tidak mau dianggap sebagai penggantinya lagi. Ayo tidur" ucapnya, makin mengeratkan pelukannya padaku.

Ada keheningan yang lumayan lama, dari gerakkan tangannya yang masih membelai lenganku lembut aku tahu kalau dia belum tidur.

"Yang kamu ketahui hari ini, pasti membuatmu terkejut. Kesalahan yang aku lakukan terlalu berat, berharap kamu memaafkanku pun mustahil. Aku tidak tahu apalagi yang harus aku lakukan, kecuali memberikan semua rasa cintaku padamu."

*****

Keesokan harinya aku dan Lika pergi tanpa menunggu Nore bangun. Krisna sudah menunggu kami di bawah. Dia tidak mengatakan apapun, hanya memberikan senyumnya dan membelai kepalaku lembut.

"Gimana keadaan Nore?" Krisna bertanya saat kami sudah berjalan meninggalkan rumah keluarga Nore.

"Sudah mendingan, demamnya sudah turun."

"Papap Krisna kok tumben bangun pagi?" Lika bertanya, aku meliriknya dari kaca depan, dan melihat wajahnya yang terlihat murung.

"Kan papap mau jemput Lika." Jawab Krisna, sepertiku dia juga mencari tahu apa yang sedang Lika lakukan dari kaca depan. "Lika kok kelihatan sedih?"

"Lika tadi nggak pamitan sama Papap Nore, nanti pasti papap nyariin." Jawabnya sambil cemberut.

"Nanti Lika bisa nelpon Papap di rumah." Krisna mencoba menghiburnya.

"Hmmm...." Lika hanya membalasnya dengan gumaman.

Sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamarku. Merenung. Lika memilih bermain bersama Krisna, wajahnya masih terlihat sangat sedih, merasa bersalah karena pergi tanpa mengatakan apapun pada Nore.

Sejak semalam aku merasa lebih tenang, rasanya babak baru dalam hidupku baru saja dimulai. Rasa berat yang kemarin mendera kepalaku, sekarang tidak lagi terasa. Aku merasa menjadi pribadi yang baru. Ada keyakinan besar dalam diriku, bahwa aku akan lebih bahagia setelah ini. Aku harus berdamai dengan keadaan seperti yang Tante Shinta lakukan. Kepergian Adam adalah takdir yang terbaik baginya. Apa yang Nore lakukan memang tidak akan pernah bisa aku lupakan, tapi aku akan mencoba untuk memaafkannya.

Nore...

Hatiku meluap, oleh perasaanku padanya. Apa yang aku takutkan? Walaupun kepergian Adam, penuh misteri yang tak terjawab tapi tidak mengubah perasaanku padanya.

Aku mencintainya.

Dan ingin segera bertemu dengannya.

Dengan cepat aku bangun, aku harus menemuinya dan mengatakan perasaanku padanya.

Saat aku membuka pintu, wajahnya muncul.

"Kamu nduluin aku buka pintunya."

Nore.

Aku berdiri terpaku, menatapnya tak percaya. Dia yang sekarang berdiri di depanku, dengan keringat yang membasahi keningnya membuatku tidak bisa berkata-kata.

"Aku lari, karena ingin segera bertemu denganmu. Kenapa tidak membangunkanku." Ucapnya cepat.

Aku mengulurkan tanganku tanpa menjawab pertanyaannya. Membelai rahangnya lembut, masih tak percaya dia berdiri di sini, di depanku.

"Rasanya seperti mimpi," ucapnya lirih "melihatmu berdiri di depanku dan menatapku dengan tatapan seperti ini."

"Kamu masih demam, wajahmu juga pucat."

"Aku sudah sembuh." Dia menyeringai malas.

"Kamu harus banyak istirahat."

"Nanti aku akan melakukannya." Dia tersenyum pahit.

Kami terus berdiri saling berhadapan tanpa mengatakan apapun, sampai akhirnya dia memecahkan kesunyian di antara kami.

"Dulu aku pernah menanyakan hal ini padamu, kamu mungkin akan merasa bosan jika aku menanyakannya lagi. Andian, maukah kamu memberikanku kesempatan? Kesempatan untuk memperbaiki segalanya."

Aku melihatnya yang berdiri menatapku ragu-ragu.

"Aku mencintaimu." Ucapku, hampir seperti berbisik. Aku menundukkan wajahku, mencoba menutupi kegugupan yang yang kurasakan setelah mengatakan kata-kata yang begitu berarti buatku. Saat aku yakin, sudah bisa mengontrol emosi, aku mengangkat kepalaku untuk melihat tanggapannya.

"Bukan sebagai pengganti Adam, tapi sebagai dirimu sendiri." Lanjutku cepat, takut keberanianku hilang.

Keheningan canggung menyelimuti kami, Nore hanya berdiri diam dengan mata terus menatapku. Ekspresinya tidak terbaca, ada keraguan, ketakutan dan kesedihan di sana.

Aku hanya bisa berdiri terpaku saat dia mundur beberapa langkah menjauhiku.

_________________________________________

Satu lagi ;), abis itu tamat. Aku end -in sekarang yah, biar yang suka baca cerita komplit bisa baca lebih awal.

Thank you for read, vote and comment

Mars, 27 Maret 2016
XOXO

Continue Reading

You'll Also Like

1M 98.3K 24
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
1.4M 65.6K 52
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
2.2M 241K 44
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
3.7M 292K 87
Pernikahan kontrak dengan CEO sudah biasa, tapi bagaimana kalau pernikahan kontrak di lakukan oleh Tentara dan Dokter? Hazel Pratiscia telah ditipu o...