LEANDER

Bởi TaniaMs

191K 13.5K 744

Hidupku berjalan normal selama 17 tahun belakangan. Namun, keanehan mulai terjadi. Belakangan ini, kepalaku s... Xem Thêm

1
2
3
4
5
6
7
8
9
11
12
13
14-END

10

10.7K 940 90
Bởi TaniaMs

Halo! Selamat malam semua!

Nih, aku bawa part 10 nya LEANDER setelah sekian lama.. wkwk Our Apartment belum jelas idenya ada di mana hahaha

Aku excited banget nih sama part ini, entah kenapa.. mungkin bagi kalian biasa aja. tapi bagi aku, ini tulisan pertama setelah sekian lama nggak nulis sama sekali. selesainya cuma dalam hitungan jam. yeah walaupun sedikit pendek.. seperti biasa hehe

Oke, cukup bacotku yah...

HAPPY READING!

AWAS TYPO!

oOoOoOoOo


"Leane, bangun!"

Leandra mengerjapkan matanya berkali-kali. Sedetik kemudian, dia langsung tersentak dan merubah posisinya dari berbaring menjadi duduk. "Leander?" tanyanya panik.

Nicole mengusap lengan putrinya itu, menenangkan. "Dia baik-baik saja."

Mata Leandra kembali membulat. "Maksudmu, dia sudah sadar?"

Nicole tersenyum lemah. "Belum," jawabnya. "Setidaknya jantungnya masih berdetak." Nicole menghela napas panjang. "Bergegaslah. Kau ada kuliah pagi ini."

"Ini sudah seminggu," gumam Leandra lesu.

Nicole yang sudah berada di ambang pintu tetap mendengar ucapan putrinya tersebut. "Yeah. Aku juga berharap dia cepat sadar."

Terdengar suara berisik dari arah bawah, membuat Nicole menoleh dengan kening berkerut. "Kurasa Christian sudah tiba di sini." Nicole kembali menatap Leandra. "Kalau kau tidak ingin kuliah, setidaknya cuci wajahmu."

Leandra bangkit dari duduknya lalu bergegas menuju kamar mandi. Dia mencuci wajahnya lalu menggosok gigi. Bahkan dengan wajah yang masih separuh basah, dia sudah menuju kamar Leander yang berada di sebelah kamarnya sendiri.

Di sana, ada Justin dan Nicole yang berdiri berdampingan di sisi ranjang Leander. Justin merangkul bahu ibunya dengan lembut, dan Nicole terlihat menyandarkan kepalanya di bahu Justin. Di depan ranjang Leander, ada Alena dan Lucy. Tampaknya, kedua adiknya itu juga berhasil membujuk Nicole untuk tidak pergi ke sekolah. Dan di sisi ranjang Leander yang lain, Christian duduk di pinggirnya, seperti tengah memeriksa keadaan kembarannya itu.

Setelah beberapa saat memegang pergelangan tangan Leander, Christian melepaskannya sambil mendesah.

"Katakan saja tanpa bertele-tele," ujar Justin. Dia mengeratkan rangkulannya pada bahu Nicole. "Mengatakannya secara perlahan tidak akan membantu kami."

"Aku sudah mengecek, kembali mengecek kejadian ini," ralatnya. "Sejak perubahan ini terjadi, Leander tidak pernah tersadar, benar?"

Nicole mengangguk. Dia menggigiti kukunya dengan cemas. "Itu pertanda buruk. Aku seharusnya tahu." Dia langsung terisak.

Ketika Christian akan buka mulut, Skandar masuk ke kamar. "Kudengar Christian kembali." Tak lama kemudian menyusul di belakangnya Cody dan Wero. Mereka langsung menghampiri keponakan mereka. Alena bahkan langsung menangis di pelukan Wero.

"Mereka yang gagal, tidak pernah tersadar semenjak hari perubahan mereka. Awalnya kami—bangsa vampire—berpikir itu baik. Namun semakin lama, detak jantungnya melemah. Dan pada hari ketujuh sejak perubahan terjadi, detak jantungnya berhenti, " jelas Christian. "Akan lebih baik jika Leander kejang-kejang seperti saat perubahannya waktu pertama kali. Itu artinya, tubuhnya masih memberikan respon terhadap sisi vampirnya." Dia menghela napas. "Memang benar, jika Leander sudah menerima sisi vampire-nya dia akan terlihat tenang. Setidaknya, dalam beberapa kali dia akan kejang-kejang. Tapi sekarang, dia tidak menunjukkan respon apa pun. Terlihat begitu tenang. Ini tidak seperti orang yang menerima keadaannya, tapi seperti orang yang menyerah."

Nicole meraung. "Kenapa dia harus menyerah? Kami menerima dia apa adanya. Tidak ada alasan baginya untuk menyerah, bukan?" Nicole melepaskan diri dari pelukan Justin, lalu menghampiri ranjang Leander. Meskipun dia tahu tubuh Leander sangat panas, dia tetap menggenggam tangan putranya itu. "Lean, kau dengar aku? Kumohon, jangan menyerah. Aku sangat menyayangimu. Kalau kau mati, aku tidak akan bisa hidup!"

"Nicole!" bentak Justin. Dia menarik tangan Nicole, dan mendapati telapak tangan Nicole memerah. "Kau menyakiti dirimu sendiri, Nic. Tenangkan dirimu!"

"Leander putraku! Bagaimana aku bisa tenang disaat dia sedang sekarat?!"

"Kau pikir aku tidak menyayanginya? Demi Tuhan, Nic! Dia juga putraku!" balas Justin, nyaris berteriak.

"Berhentilah bertengkar!" teriak Leandra. "Kalian bertengkar seperti ini tidak akan membuat Leander tiba-tiba sadar!"

Leandra mengerang lalu meninggalkan kamar Leander. Lebih baik dia pergi ke kampus. Setidaknya dia bisa menghilangkan kegilaan pikirannya yang mencemaskan keadaan Leander yang sedang sekarat.

oOoOoOoOo

"Hei!"

Leandra terlonjak. Dia menoleh dan mendapati Daren tengah tersenyum padanya. Dia mendesah. "Hai, Daren."

Daren duduk di samping Leandra lalu menatap wajah gadis itu lekat. "Kenapa kau tidak masuk empat hari belakangan ini? Kenapa pula aku tidak boleh datang ke rumahmu? Kau bahkan tidak mengabariku sama sekali. Lalu sekarang, wajahmu terlihat sangat kacau."

Leandra mulai terisak, dan Daren langsung menariknya ke dalam pelukan laki-laki itu. "Terjadi sesuatu pada Leander."

Daren mengusap punggung Leandra naik turun. "Dia kecelakaan?"

Dalam pelukan Daren, Leandra menggeleng. "Lebih buruk daripada itu."

Daren menjauhkan tubuhnya hingga bisa menatap wajah Leandra. "Dia tidak meninggal, kan?"

Leandra langsung mendorong tubuh Daren. "Jangan bicara seperti itu! Dia kembaranku."

"Yeah. Walaupun aku lebih tua darinya, tetap saja dia akan jadi kakak iparku nantinya."

Wajah Leandra langsung memerah. "Kau ini bicara apa," komentarnya sambil menatap ke arah lain.

Daren tergelak. "Memang benar, kan? Jika nantinya kita menikah..."

"Aku belum memikirkannya, oke?" potong Leandra. Membicarakan tentang pernikahan di usianya yang masih muda membuatnya tidak nyaman. "Oh ya."

"Hmm?"

"Ketika kau putus asa, benar-benar putus asa sampai lebih memilih mati..."

"Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian. Kalau aku harus mati, aku akan mengajakmu." Daren langsung menyeringai ketika Leandra menatapnya dengan tajam.

"Aku serius," ucap Leandra. "Saat itu terjadi, apa yang bisa membuatmu membatalkan niatmu untuk mati? Apa yang bisa membuatmu bisa menemukan keinginan untuk hidup kembali?"

"Leane, apa maksudmu?" tanya Daren. "Leander sedang sekarat atau jangan-jangan pertanyaan ini tentang dirimu? Kau tidak mulai bosan denganku, kan?"

Leandra memutar bola matanya. Ada apa dengan semua orang? Batinnya gemas. "Jawab saja pertanyaanku."

Daren berdehem. "Kau tahu, terkadang orang yang membuat kita ingin menyerah dan orang yang membuat kita ingin bangkit kembali adalah orang yang sama. Kenapa? Karena kita mencintai orang itu."

Leandra mengerutkan kening selama beberapa saat. Kemudian, dia langsung bangkit dari duduknya. "Aku harus ke fakultas Lean."

"Kenapa?"

"Aku harus melakukan ini," ujarnya penuh tekad. "Aku akan melakukan apa pun untuk membuat Leander hidup."

"Hah? Apa maksudmu?"

"Ayo, aku harus bicara panjang lebar pada seseorang."

Setelah bertanya sana-sini di fakultas Leander, Leandra akhirnya bisa mengetahui keberadaan Felicia. Gadis itu sedang berada di perpustakaan fakultas bersama dengan seorang laki-laki yang bernama Andrew. Teman dekat gadis itu.

Entah bagaimana, Felicia yang sedang melihat ke arah luar itu—melamun—bisa langsung melihat ke arahnya ketika dia sedang berjalan di antara meja-meja perpustakaan. Seolah-olah dia memiliki radar-radar tertentu sehingga tatapannya langsung teralihkan dan bertemu langsung dengan mata Leandra. Leandra bisa melihat tubuh gadis itu langsung kaku, dan tatapannya sangat tidak bersahabat, seperti sangat membenci Leandra.

Kerja bagus Lean, kau berhasil membuat seseorang membenciku, batin Leandra menggerutu.

Entah perasaannya saja, tapi Leandra yakin Felicia baru saja mengerutkan kening. Seolah-olah dia bisa mendengar apa yang diucapkan Leandra dalam hati.

"Felicia, aku ingin membicarakan sesuatu denganmu," ujar Leandra tanpa basa-basi.

Laki-laki yang berambut merah itu mendongak. Dia menatap Leandra dengan kening berkerut. "Kau bukan mahasiswa fakultas ini, kan? Rasanya aku tidak pernah melihatmu."

"Memang bukan," jawab Leandra. Namun matanya terus tertuju pada Felicia.

"Tapi kenapa aku tidak asing dengan wajahmu? Kau punya saudara di sini?"

Daren menatap tak suka pada Andrew. Dia langsung merangkul Leandra. "Yeah. Dia kembaran Leander."

Andrew melotot. "Benarkah?"

"Apa yang ingin kau bicarakan?"

"Bisakah kita bicara berdua?" tawar Leandra.

"Kau bisa bicara di sini, atau tidak sama sekali." Felicia menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, dan melipat tangannya di depan dada. "Lagi pula, aku tidak begitu tertarik bicara denganmu."

"Ini tentang Leander."

Felicia yang semula tidak menatap Leandra langsung menoleh cepat. Namun sedetik kemudian, wajahnya kembali datar.

"Ada apa dengannya?" tanya Andrew. "Dan kenapa dia tidak masuk belakangan ini? Kupikir kalian liburan keluarga atau semacamnya. Tapi karena kau berada di sini, pasti ada sesuatu yang lain."

"Aku hanya perlu menjelaskan hal ini. Selanjutnya terserah padamu." Leandra mengangkat bahu. "Seharusnya kau tidak percaya begitu saja pada perkataan Lean."

Felicia menatap Leandra penuh selidik. "Baiklah. Aku beri waktu lima menit."

"Daren, tetaplah di sini. Kami perlu bicara berdua saja," ujar Leandra. Begitu Daren mengangguk, dia mengajak Felicia keluar dari perpustakaan.

Saat berjalan di samping Leandra menuju keluar perpustakaan, Felicia berkata, "Sebenarnya, aku sudah tidak peduli sama sekali dengannya."

"Percayalah, kau akan peduli."

Felicia berhenti ketika mereka sampai di ujung lorong sepi, yang menuju ke tangga darurat. Dia bersandar di dinding dan menatap malas-malasan pada Leandra. "Apa yang ingin dia katakan padaku sampai-sampai harus mengutusmu?"

"Dia bahkan tidak tahu sama sekali aku menemuimu."

"Oh, benarkah?"

"Kau mungkin tidak percaya, tapi saat ini Leander sedang sekarat. Aku butuh bantuanmu agar dia bisa mendapatkan semangatnya kembali, agar dia memutuskan untuk bertahan, bukannya menyerah."

"Terakhir aku bertemu dengannya, dia terlihat baik-baik saja," ujar Felicia. "Dia kecelakaan setelah mengantarku pulang? Maaf jika aku kasar, tapi itu bukan salahku."

Leandra mengerang dalam hati. Gadis di depannya ini lumayan keras kepala, persis kembarannya itu. "Dia tidak mencintaiku sama sekali. Dia berbohong. Dia hanya ingin... melepasmu." Akhirnya Leandra menemukan kata yang tepat. "Kuakui, dalam hal seperti ini dia memang sangat bodoh. Dia ingin kau bahagia, tapi dengan bicara omong kosong seperti itu sudah membuatmu sakit hati. Tapi setelah dipikir-pikir, dia hanya takut kau meninggalkannya. Itulah sebabnya dia melakukan ini. Setidaknya dia bisa melihatmu bahagia dengan orang lain."

"Itu benar-benar omong kosong." Felicia mendengus. "Pria brengsek di muka bumi selalu mengatakan hal yang sama."

Mengabaikan Felicia, Leandra terus bicara, "Dia hanya tidak ingin kau melihatnya sebagai sosok yang berbeda, atau ketakutan padanya, atau..."

"Sosok yang berbeda?" potong Felicia. "Ketakutan padanya? Apa maksudmu?"

Leandra menghela napas panjang. "Mungkin kau menganggap ini omong kosong besar, tapi keluargaku tidak manusia sepenuhnya. Ayahku, bibi serta pamanku adalah vampir berdarah campuran. Kakekku adalah vampir murni."

Felicia membatu.

Leandra mulai cemas saat melihat wajah syok Felicia. "Aku tahu ini konyol. Tapi aku tidak berbohong sama sekali," ujarnya. Dia harus berhasil membuat Felicia bertemu dengan Leander. "Ibuku adalah manusia. Itu sebabnya aku dan saudaraku juga manusia. Kami pikir begitu. Sudah sejak kecil Leander bisa membaca pikiran orang-orang, dan kakekku bilang dia manusia seutuhnya karena dia tidak merasakan aura yang berbeda sama sekali. Namun, setelah belakangan ini, Leander berubah. Aura vampirnya mulai muncul dan semakin hari makin meningkat. Puncaknya malam hari saat kalian terakhir bertemu."

"Jadi, dia sedang berubah?"

"Benar," jawab Leandra. Sedetik kemudian, dia langsung menatap Felicia. "Bagaimana kau bisa tahu?"

"Laki-laki bodoh satu itu," geram Felicia. Dia mengacak rambutnya putus asa. "Jadi itu sebabnya? Dia membohongiku dengan perasaannya padamu, bicara omong kosong tentang kebahagiaanku karena dia akan berubah jadi vampire berdarah campuran dan dia takut aku tidak bisa menerima keadaannya?"

Meskipun sedikit kebingungan, Leandra tetap mengangguk. Kenapa Felicia bisa tahu Leander berubah menjadi vampire berdarah campuran? Kenapa gadis itu tidak terkejut sama sekali dengan informasi ini?

"Katakan kalau dia juga mencintaiku!"

"Dia memang mencintaimu," jawab Leandra.

"Saat aku punya kesempatan, aku akan membenturkan kepala batunya itu pada dinding," ucapnya penuh dendam. "Ayo!"

"Ke mana?" Leandra kebingungan.

"Ke rumahmu tentu saja," balas Felicia tidak sabaran. "Dia harus mendengarku sebelum waktunya habis. Ini hari terakhirnya, kan?" Felicia berhenti menarik Leandra. Berpikir sejenak. "Kurasa hitunganku tepat."

"Tunggu sebentar," cegat Leandra. "Kenapa kau bisa tahu semua hal ini? Kau tidak akan bisa menemukan semua yang kukatakan di internet karena..."

"Karena hanya kaum vampire yang mengetahuinya," potong Felicia. "Aku tahu."

"Lalu, berarti... kau..." Leandra mendadak gagap.

"Aku juga vampire berdarah campuran."

oOoOoOoOo

Pekanbaru, 15-03-2016

21:17

Jangan lupa vote dan comment yaa

sampai berjumpa lagi ^_^

Love,

TaniaMs

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

Love Behind A Helmet Bởi enforcers wp

Tiểu Thuyết Lịch Sử

2.3K 247 25
Stella nova seorang gadis remaja cantik yang berhasil memikat banyak orang, gadis yang baru saja memasuki umur 17 tahun namun kini sudah memiliki ban...
17.4K 3.5K 30
Kelanjutan dari kisah Christy bersama teman temannya didalam lingkup aliansi. setelah berhasil mendamaikan bangsa serigala dan juga bangsa vampir. Ch...
246 83 10
Ini cerita yang mengisahkan seorang gadis yang masih SMA, gadis yang memiliki tekad yang sangat kuat. Yah siapa lagi kalau bukan Luna Vagonza, anak...