It (Rafan)

By alvikaDae

263K 28.3K 2.6K

Aku dan kamu adalah kita Banyak kisah kita yang bercerita tentang cinta Tapi kisah ini bukan cerita tentang k... More

----
1. Kemarahan
2. Love at first sight
3. Teka-teki dari pengacau
4. Tiga Saudara
5. Pertengkaran Pertama
6. Rumah
7. Salah paham
9. Hari Pertama
10 - Hari Pertama (2)
11. Hari Pertama (3)
12. Ari
13. Lebih Dekat
14. Fier mengamuk
15. D.O
16. Bunda
17. Tebakan Diya
18. Keputusan
19. Menunggu
20. Mulai Bergerak
21. Oper Permainan
22. Penelusuran
23. Mengubur Rahasia
24. Permintaan Maaf Rafan
25. First Date

8. Kesepakatan bersama

22.8K 2.1K 225
By alvikaDae



Rafan memantul-mantulkan bola basketnya ke ubin beberapa kali, lalu dia lempar bola ke ring. Masuk! Dia berlari kecil mengejar bola, lalu mendriblenya lagi. Lalu Rafan melemparkan bolanya ke ring sekali lagi.

Kembali Rafan mengejar bola dan memantul-mantulkannya. Namun kali ini dia tak memasukkan bola ke ring tapi mendrible bola selama mungkin. Melatih tangannya untuk lebih mengenal arah pantulan bola.

"Den, ini minumnya." Bi Ijah meletakkan sebotol air putih di samping meja daybed. Rafan menoleh.

"Makasih Bi." ucapnya. Dia menghampiri meja masih dengan bola yang di pantul-pantulkan. Dia duduk di daybed di tepi kolam renang yang memang bersebelahan dengan ring basket. Tangan kiri mendrible dan tangan kanan mengambil minumannya dan meneguknya besar-besar.

"Bunda sedang apa Bi?" tanyanya.

"Tadi Nyonya sedang bikin sarapan Den." jawab Bi Ijah.

Rafan hanya mengangguk kecil. Setelah itu, Bi Ijah masuk ke dalam. Jam sudah menunjukkan jam setengah enam. Sudah setengah jam dia bermain dengan bola basketnya.

dia kembali membawa bola ke ring dan memasukkannya berkali-kali pagi ini. Entah kenapa hari ini dia merasa berbeda. Mungkin karena ini adalah hari terakhir MOS, hari terakhir dia bisa diawasi Fier secara formal. Mungkin juga karena besok dia sudah boleh bawa kendaraan sendiri. Atau mungkin juga gabungan keduanya. Yang jelas, dia sedang senang sekali.

Saat itu ponselnya -yang selama dua hari ini terlantar- berdering. Dia meliriknya sekilas. Untuk terakhir kalinya dia memasukkan bola ke ring. Lalu dia berjalan menghampiri meja.

Dia melihat layar dan mengerutkan dahi melihat nam 'Om Govin' di layar. Aneh, selama ini Om Govin tak pernah menghubunginya, bahkan tak pernah mau bicara dengannya. Namun dia menyingkirkan pikiran negatif itu lalu mengangkatnya

"Halo, Om?"

"Rafan sayaaaaaaaangg." Setelah mendengar suara itu, jari Rafan sudah hampir bergerak untuk mematikan sambungan. "Eh, tunggu dulu! Jangan dimatiin dulu! Shiena mau ngomong sama Rafan! sebentar aja! Penting!"

Rafan tak jadi mematikan telpon. "Apa?" tanyanya malas.

Dia tahu Shiena pasti tersenyum di seberang sana. Merasa menang karen Rafan mau mendengarkannya kali ini. "Besok kita berangkat bareng ya, Shiena pengen lihat Rafan pake seragam SMA buat yang pertama kali. Pasti keren deh, besok Shiena ....."

Rafan langsung menutup sambungan. Dia menyesal sudah melonggarkan pertahanan. Diambilnya minuman dan diteguknya besar-besar. Rafan mengusap mulutnya dengan punggung tagan, lalu mendengar pesan masuk beruntun. Shiena, siapa lagi! dia mendengus. Tapi tak ambil pusing.

Dia mengambil handuk kecilnya lalu mengusap wajahnya yang berkeringat. Lalu memutuskan mandi.

---

Saat turun untuk sarapan, Rafan bisa melihat semua mata memandang padanya. Dahi Rafan mengernyit. Dia hampir bertanya 'Ada apa?' saat didengarnya Fiandra bicara dengan seseorang di telpon.

"Iya sayang ... oke .... Tante tanya Rafan dulu ya?"

Rafan langsung menghela nafas. Namun tak mengatakan apa-apa, tapi langsung duduk. Dia mengambil nasi gorengnya lalu melirik Fiandra sesekali. Bisa dilihat Bundnaya merasa tak enak karena ulahnya lagi.

Tak lama, Fiandra menutup telpon. Dia menoleh pada Rafan. "Shiena ingin ke sini besok."

"Jam berapa?" tanya Rafan. Bukan apa-apa. kalau Rafan tahu jam berapa Shiena datang, Rafan bisa tahu kapan dia harus pergi. Jadi Rafan tak perlu menemui Shiena lagi.

Fiandra tahu apa yang Rafan pikirkan. Tapi dia pun tahu apapun yang dia katakan akan percuma. "Kamu tahu, sudah hampir tiga tahun Om Govin ingin membunuhmu? Shiena hanya ingin dekat. Apa salahnya menemuinya sesekali? Apa salahnya juga pergi dengannya sebentar?"

Salah besar! Kata Rafan dalam hati. Kalau saja Rafan punya keberanian untuk menginterupsi. Sekali saja dia mengiyakan, maka serangan yang datang sudah seperti gempuran. Dan dia malas menghadapinya. Lebih baik tidak usah sekalian sejak awal.

"Dan apa salahnya juga Bunda bicara padanya agar dia berhenti." kata Rafan. Wajah Fiandra tertegun sebentar. Mana dia tega bicara begitu pada Shiena. Shiena sudah menyukai Rafan bahkan sejak bayi!

"Shiena pasti akan sedih sekali." ucap Fiandra.

"Dia kayaknya tulus sayang sama lo." Fianer tak tahan untuk berkomentar.

"Hm," Rafan hanya bergumam tak jelas. Karena keluarganya tak tahu bagaimana skit kepanya Rafan setiap kali menghadapi Shiena. Dia tak kuat berdekatan lama-lama. kepalanya bisa pecah.

"Mungkin kalau dia tahu lo lagi deket sama cewek lain, dia bakal berhenti." Usul Fier. Jika memang Rafan tak ingin Shiena terus menerus merecokinya, bukankah cara ini yang paling efektif membuat Shiena mundur?

Rafan menghentikan suapannya. Ide bahwa Shiena tahu dia mempunyai pacar membuatnya tak senang.

"Dia tidak perlu tahu." ucapnya kemudian.

"Kenapa? Takut dia cemburu? Apa sekarang kamu sudah mulai memikirkan perasaannya?" tanya Fiandra dengan senyum lebar.

"Betul." Rafan mengiyakan. Jawaban itu memang jawaban yang diharapkan oleh seluruh keluarga. Tapi semua yang duduk di sana tahu, itu jawaban yang jelas-jelas penuh kebohongan. Rafan tak akan meralatnya, tak akan menjelaskannya. Kalau dia tak ingin Shiena tahu apa-apa tentang dirinya.

Bahkan hal sekecil apapun!

---

Setelah paginya yang indah dihancurkan oleh Shiena, Rafan memang sempat kesal. Namun itu hanya sebentar. Setelah dia sampai di sekolah, kekesalannya hilang. Dia melihat Vandi, teman pertama yang dikenalnya. Dia bersama beberapa anak lain yang juga tersenyum padanya.

"Bos, sini!" panggilnya. Rafan mendekat ke samping gerbang, tempat mereka nongkrong. Mereka mmeberikan tempat pada Rafan hingga Rafan bisa duduk di tengah.

"Bos mau dipijet?" tanya cowok cepak di belakangnya. Dia tak menunggu jawaban saat kedua tangannya yang besar mencengkeram bahu Rafan, memijitnya.

"Ini lagi pada apaan si?" tanya Rafan heran. Datang-datang sudah dipanggil Bos, dapat pijetan lagi!

"Bos, mulai sekarang, bos pingin apa nyuruh aja kita-kita."

Rafan bengong. Namun kebengongan itu tak tahan lama saat mobil Diya berhenti di depan gerbang dan Diya turun dari sana. Senyum Rafan sudah mengembang saat melihat Ayah Diya melihatnya dengan tatapan dingin.

Bisa dilihat Rafan yang duduk di tengah-tengah temannya dan sedang di pijat pula! Dia terlihat seperti bos preman sekolah! Buru-buru Rafan menepis tangan yang memijatnya. Namun sudah terlambat kan? Ayah Diya sudah menoleh ke depan dan mobilnya meluncur pergi.

Tatapan Rafan yang terus menatap kepergian mobil itu teralihkan saat ada temannya yang nyeletuk.

"Itu nyonya bos." Sumpah demi apapun suara mereka seperti toa masjid. Keras sekali! Hingga bukan hanya diya, tapi anak-anak lain yang masih ada di gerbang menoleh semua! Rafan berdecak, melihat wajah Diya yang memerah karena malu.

Ada tangan yang mampir ke bahunya, ingin memijat lagi, namun lagi-lagi Rafan menepisnya. "Nggak usah!"

"Kenapa bos?"

"Masih nanya lagi, Bos tuh nggak mau dipijet sama lu! Maunya sama nyonya bos!" mereka semua tertawa. "Iya nggak bos?!"

Rafan diam saja. Dia hanya menatap Diya yang bukan hanya memerah, namun juga menatapnya dengan tatapan kesal padanya. Tanpa kata, Diya pergi dari sana dengan langkah cepat nyaris berlari.

"Yah, nyonya bos pergiiii, saya aja ya Bos yang mijitin?"

Rafan sudah tak tahan lagi, dia memiting leher anak yang tadi bicara hingga cowok itu mengaduh-duh, "Ampun bos, ampun, ampun ampuuuuuuuun!"

Puas memitingnya, Rafan langsung meninggalkan mereka dan mengejar Diya.

"Di, tunggu!" setelah terkejar, Rafan menahan lengannya hingga mau tak mau Diya berhenti dan menoleh padanya. Diya dan Rafan sudah buka mulut bersamaan, siap bicara saat tak diduga, teman-temannya tadi menyusul dan kini sudah berada di kanan kirinya.

"Ngapain kalian ngikutin gue?" tanya Rafan.

"Lah, Bos kan bos kita. masa kita-kita mau ditelantarin?"

Emang gue emak lo?! runtuk Rafan gondok. "Halo, nyonya bos. Pagi ini cantik banget." Diya langsung merengut. dia mundur untuk menjaga jarak. Namun karena tanganya masih ditahan Rafan mau tak mau dia menempel pada Rafan lebih dekat.

Dekat dengan Rafan lebih baik daripada harus dekat dnegan sekumpulan preman itu!

Rafan melirik siapapun yang bicara tadi. rambutnya cepak, wajahnya benar-benar ala preman. Rafan melirik nametagnya. Yusuf. Ya Tuhan, orangtuanya sudah bertawakal memberikan nama yang indah, tapi jadinya kenapa seperti itu?

"Cup, nyonya Bos jangan digodain dong. Ntar si bos marah!"

"Mereka sapa si?" tanya Diya kesal.

Rafan juga tidak tahu mereka siapa. Dia menghela nafas, lalu menggerakkan dagu menyuruh pergi. Dahsyat sekali. mereka langsung pergi tanpa bertanya apapun! Diya sampai bengong melihat pengaruh Rafan pada mereka.

"Mereka anak buah lo?" tanya Diya kaget.

"Bukan. Temen."

Mana ada yang percaya! "Nggak ada temen yang manggil temennya Bos!" debat Diya.

Rafan tak bisa menjawab. dia hanya bisa garuk-garuk tengkuk yang tak gatal, bingung menjawab apa. "Nggak tahu. mereka langsung manggil gue Bos."

"Terus ngapain manggil gue nyonya Bos?!" Kembali Rafan tersenyum tipis karena tak tahu jawabannya apa.

"Mungkin karena mereka tahu lo pacar gue." Rafan bisa melihat semburat merah di pipi Diya. Dan itu membuat suasana agak canggung diantara mereka. sedetik Rafan ingin mmebuka suara, namun saat dipikirkan apapun yang akan dikatakan terasa janggal. Dia urung.

Sedangkan Diya sudah tercebak dengan rasa malunya hingga sudah tak sanggup bicara apapun. Hingga akhirnya keduanya memecah keheningan.

"Gue kesana dulu," kata Rafan menunjuk jarinya ke belakang.

"Oke, gue juga mau ke sana." Diya melakukan hal yang sama. Mereka berdua tersenyum ragu, lalu karena tak tahu harus bagaimana lagi, Rafan mundur lalu berbalik pergi. Dia lega melangkah semakin jauh, karena dia tahu jantungnya sudah berdegup cepat sekarang. Dan ujung-ujungnya, Rafan berlari melintasi lapangan menghampiri teman-teman barunya.

---

Diya tertawa tanpa suara saat melihat Rafan berlari. Sednagkna dirinya masih diam di tempat. Berdiri menatap kepergian Rafan.

"Kalian nggak jadi putus?" pertnyaan itu mmebuat Diya melonjak kaget. Lala!

"Nggak." Jawab Diya sekedarnya.

"Dia bilang apa sampe lo berubah pikiran?" tanya Lala. "Dia pasti ngegombalin lo ya, sampe lo kepincut gitu."

Senyum Diya merekah. Entahlah. Diy memnag masih awam masalah cowok. Dia belum tahu apapun masalah gombalan atau rayuan. Tapi apa yang Rafan katakan kemarin terdengar tulus. Dan tak ada rayuan sama sekali. Rafan hanya meminta Diya untuk mengenalnya. Hanya itu.

"Lo beneran suka sama Rafan ya?"

Diya mengngguk cepat. ya, Diya suka sekali pda Rafan. walaupun kelakuannya banyak yang diluar batas. Tapi Diya menyukai saat-saat dia bisa bersama Rafan. seperti tadi. hanya sebentar. Tapi bisa membuat Diya tersenyum senang.

"Lo sayang sama Rafan?"

Sayang? Diya menoleh pada Lala. "Belum sampe ke tahap itu kok. Gue suka bareng Rafan. Tapi kalau sayang kayaknya belum."

Lala menghela nafs lega. "Bagus deh."

Diya merengut. dia menoleh Lala yangs elalu snetimen pada Rafan. "Kenapa sih lo kayaknya nggak suka sama Rafan?"

"Gue nggak suka cowok tengil, emosian, sombong. Tukang ngancem, apalagi kalo ganteng! Beuh, itu cowok pasti brengsek!" tuduhan membabi buta Lala membuat Diya mengernyit, lalu menepuk bahu Lala karena Lala mengatakannya penuh semangat.

Diya tersenyum kemudian. Dia menoleh pada Rafan. cowok itu bener ... banyak yang ngejudge dia seenaknya. Dan sekali lagi Rafan benar, karena predikat jelek itu tak bisa diselamatkan. Dia hanya menemukan satu orang. Namun Diya tak akan kegat jika banyak sekali orang seperti Lala yang menilai Rafan sangat negatif.

"Lo tahu La ... gue punya keyakinan kalau Rafan itu baik."

"Tuh kan, udah kepincut tampang gantengnya doang lo!"

Diya mengangkat bahunya tak peduli dengan komentar Lala. Keyakinan itu tak perlu dia bagi. Karena dia memang ingin menyimpannya sendirian.

---

Perut Rafan mulas saat menulis sebuah surat cinta untuk salah satu panitia MOS. Ini memang tugas paling narsis yang panitia berikan. Namun Rafan sudah bertekad untuk jadi anak baik. Jadi saat mereka memintanya menulis surat cinta, Rafan akan berikan.

Dan sumpah demi apapun, tak ada satupun panitia MOS yang Rafan kenal. Selain kedua kakaknya, dia tak kenal siapapun lagi. Jadi dari pada pusing, Dia memutuskan menulis surat untuk Fianer.

"Udah selese bos nulisnya?" tanya salah satu anak buahnya yang dia tahu bernama Ando.

"Belom."

Rafan menulisnya dengan senyum-senyum geli dan sesekali tertawa ngakak. Entah apa yang dia tulis. Membuat mereka yang melihat penasaran. Namun Rafan menutupi surat itu dengan tangan.

Selesai surat itu ditulis, Rafan melipatnya dan memasukkannya ke amplop. Selesai. Dia mengupulkan surat itu ke box yng tersedia. Lalu dia menunggu acara selanjutnya. Ternyata mereka diminta untuk mengisi nominasi kakak ter-. Dan hal ini benar-benar memuakkan untuk Rafan.

Kakak Terganteng

Kakak Tercantik

Kakak Tergalak

Kakak Terbaik

Kakak Tersadis

Kakak Terfavorit

Kakak Terwibawa

Kakak Tergokil

Kakak Tergaul

Kakak Ternarsis

Kakak Teramah

Kelas X terganteng

Kelas X tercantik

Rafan melirik kanan kiri dan tahu bahwa mereka akan mencantumkan nama siapa. Dan itu membuatnya muak. Memang diantara semua pnitia kakaknya yang paling menonjol. Dia satu-satunya yang mempunyai kegantengan nyaris setaraf dengan dewa. Satu-satunya yang punya ketenangan nyaris seperti kakek-kakek berumur 70 tahun. Satu-satunya yang wibawanya nyaris menyaingi orang-orang berkuasa. Siapapun yang melihat pasti akan terpesona karena laki-laki itu nyaris sempurna bukan hanya dikalangan panitia MOS, tapi juga sepanjang mereka hidup.

Maka dari itu Rafan pasti memilih nama Fier. Bukan pada kolom nominasi yang ada di sana, tapi ke nominasi yang dia buat sendiri. Di bagian paling bawah kertas, dia menuliskan sesuatu.

Kakak Terancam punah : Fier.

---

Rafan sedang tertidur di bawah pohon di tepi lapangan saat suara pengeras suara terdengar.

"Sore adek-adek."

Rafan memicing. Karena siapapun yang berbicara, nada suaranya seperti sedang menahan tawa. Rafan melirik semua kakak OSIS yang hampir semuanya berekspresi sama. Saat dia melirik kakak perempuannya, Fianer juga sedang menatapnya dengan pandnagan kesal. Dan saat Rafan melirik kakak laki-lakinya, Fier juga sedang menatapnya dengan pandnagan sama kesalnya dengan Fianer.

What? Memang dia melakukan kesalahan apa?

"Di sini kita sudah dapet hasil dari pemungutan suara yang tadi kalian kasih. Jadi, ayo kita lihat hasilnya sama-sama." Tepuk tangan bergemuruh, menandakan mereka antusias.

"Tapi sebelum itu, saya mau bacain satu surat cinta yang paling menarik di sini. Ini ditujakan buat Kak Ann katanya. Cieh, padahal yang tahu kalau Fianer dipanggil Ann hanya kita-kita aja. Jadi siapapun yang nulis ini, pasti udah kenal dnegan Fianer. Ini nih, kayaknya bener-bener jatuh cinta betulan."

Suara cuitan makin bergemuruh dan Rafan langsung menegang. Dia tahu persis surat yang dipegang itu punya siapa! Punya dirinya, siapa lagi!

"Oke, kita baca langusng yaa, ini surat yang nulis, Rafan." semua anak menoleh padanya. Dan Rafan hanya bisa terhenyak sambil ternganga.

"Buat Kak Ann ...

Ini pertama kalinya gue nulis surat. Gue nggak pernah sebelumnya nulis-nulis kayak beginian. Ini yang pertama, dan ini buat lo ...."

Gemuruh suara meledak dalam suitan dan tawa. Rafan melihat sekeliling yang menertawakannya dan ada satu orang yang tidak. Diya. muka cewek itu menatapnya tajam-tajam. Melumatnya habis-habisan!

"Gue nulis surat ini, karena diantara semua cewek OSIS, gue cuma tahu lo aja. Gue juga cuma kenal lo, dan bahkan guelah orang yang paling kenal lo. Gue tahu apa yang lo suka dan enggak. Gue tahu apa yang bikin lo ketawa. Gue tahu apa yang bikin lo marah. Kalau dipikir-pikir, gue tahu semuanya ya.

Di sini gue Cuma mau ngomong ... please, jaga diri lo kalo lo nggak mau gue turun tangan. Karena gue nggak tahu sampe kapan gue diem.

Gue benci akuin ini. Tapi karena ini surat cinta, gue bakalan bilang kalo gue nggak begitu suka sama kelakun lo. Tapi gue sayang sama lo."

Sampai sini, semuanya ternganga tak percaya dengan yang ditulis Rafan. Tapi tatapan Rafan hanya tertuju pada Diya yang sudah menatapnya semakin tajam seakan ingin membunuhnya.

"Cieeeeeeeeee,"

"Suit, suit ..."

Rafan tak mendengar gemuruh tawa dan ledekan itu. Karena mukanya sudah dingin luar biasa. Hingga akhirnya pengumuman Kakak Ter dibacakan. Fier dan Fianer jelas ada di depan sana. Rafan tak dengar untuk nominasi apa. Karena dongkol, dia memutuskan kembali bersandar di pohon. Memilih untuk tidur.

"Fan, lo dipanggil tuh,"

Rafan terbangun. Dia memang mendengar namanya dipanggil tadi. Tapi tak tahu karena apa. "Ngapain?"

"Aduh, banyak nanya lagi. Udah sana cepet maju ke depan!"

Rafan menoleh ke depan dan memang mereka melihatnya semua, menyuruhnya maju. Tak ada yang bisa Rafan lakukan selain menghela nafas. Namun dia tetap berdiri dan maju ke depan dengan enggan. Dia tak tahu untuk apa dia dia berpartisipasi di acara konyol itu, dan sialnya dia jadi salah satu bagiannya. Mungkin dia kebagian nominasi tentang surat memalukan itu tadi.

Dia melirik Fier dan Fianer yang sudah ada di depan dengan pandangan dingin, namun mereka membalas lebih dingin lagi. Ck, Rafan bersungut-sungut dongkol. Kenapa mereka marah padanya? Salahnya memang apa? Bukannya seharusnya Rafan yang berhak marah di sini? Dia yang dipermalukan habis-habisan!

Dia akhirnya berdiri di samping entah siapa.

"Oke, sekarang kelas X Tercantik, jatuh ke ... Sophia Hermawan!"

Gemuruh tepuk tangan kemabali terdengar. Rafan melihat ada satu cewek yang sama-sama memakai seragam SMP maju ke depan dengan senyum berbunga-bunga. Cewek Tercantik? Rafan melihatnya sampai nyureng. Saking tidak percayanya dia cewek tercantik.

Sophie menatap Rafan dan tersenyum malu-malu, namun Rafan diam saja. Saat Sophie sudah berdiri di sampingnya, dia bisa merasakan bahwa senyum Sophie lebar sekali hingga membuat Rafan yakin gigi cewek itu akan kering sekembalinya dari sini.

Dia merasakan sesekali Sophie menoleh padanya. Tapi sebanyak apapun Sophie menoleh, sebanyak itupun Rafan menolak menatapnya balik.

---

Selesai acara membosankan itu, awalnya Rafan ingin kembali ke kelompoknya, namun tanpa di duga-duga Fier langsung merangkulnya hingga dia tak bisa bergerak. Rafan menoleh dan mendapati wajah kakaknya yang sedang tak ingin dibantah. Rafan menggeram emosi, namun dia sadar. Ini adalah saat yang mengharusnkannya menjadi adik yang baik saat ini.

"Wah, tu anak bakal habis nih!" kata salah satu OSIS, karena tahu Rafan akan digiring ke mana.

Fianer tersenyum puas, lalu mengikuti langkah keduanya dari belakang. Saat tak ada tatapan mata yang memperhatikan, ketiganya langsung berwajah muram penuh emosi.

Fier memasukkan Rafan ke gudang. Lalu menguncinya dari dalam. Fier dan Fianer, keduanya menatap Rafan tajam-tajam, membuat Rafan tahu bahwa bukan hanya dia yang marah. Tapi mereka juga!

Ketiganya berhadapan, menyimpan amunisinya masing-masing karena tak ada yang tahu apa yang tersembunyi dikepala lawan. Namun ketegangan itu cair saat Fianer menarik satu kertas dari saku kemejanya dan membukanya. Rafan geram sekali karena Rafan tahu, itu surat cinta yang dibuatnya untuk Fianer. Surat yang membuatnya jadi bahan tertawaan semua orang!

"Buat Kak Ann. Ini pertama kalinya gue nulis surat. Gue nggak pernah sebelumnya nulis-nulis kayak beginian. Ini yang pertama, dan ini buat lo ...."

Fianer menurunkan kertas itu dan menatap Rafan dengan pandnagan takjub yang dibuat-buat. "WAOW." Fianer berdecak satu kali. "Gue bener-bener melting lo ngomong gitu." Fianer menyentuh dadanya dengan wajah ingin menngis. Namun detik selnjutnya, wajahnya mendadak emosi. "Kita nyuruh lo buat nulis surat cinta boongan! Kenapa lo jadi nulis beneraan! Gue merinding dengernya! Lo nggak sister complex kan?!"

Mata Rafan langsung melotot mau keluar. Darahnya sudah mendidih dengan fitnah yang dialamatkan padanya. Namun semua sanggahan tertahan ditenggorokan saat telapak tangan Fianer menyuruhnya diam. Cewek itu kembali menunduk membaca paragraf kedua.

"Gue nulis surat ini, karena diantara semua cewek OSIS, gue cuma tahu lo aja. Gue juga cuma kenal lo, dan bahkan guelah orang yang paling kenal lo. Gue tahu apa yang lo suka dan enggak. Gue tahu apa yang bikin lo ketawa. Gue tahu apa yang bikin lo marah. Kalau dipikir-pikir, gue tahu semuanya ya."

Kali ini wajahnya menjadi kaku, dna dia menatap Rafan tajam-tajam. "Maksud lo pa ngomong kayak gitu? Lo pengen kasih tahu semua orang kalau lo orang yang paling tahu gue, gitu?! Lo pengen kasih tahu sama semua orang kalau kita punya hubungan! Kalau mereka tahu lo adek gue, gimana bego!!!!"

Rafan menjadi kalap. Dia tidak terima di bego-begoin begitu. "Lo sendiri, bisa-bisanya lo biarain temen lo bacain surat gue di depan lapangan! Emang lo nggak bisa mikir apa, gimana caranya surat gue lo amanin?!"

"Lo pikir gue peduli lo nulis apa? Mana gue tahu isi surat lo jijay kayak gitu!"

Saat pertengkaran mulai memanas, Fier mendesah keras. Dia yang ikut emosi menoleh pada Rafan. "Lo ngapain bilang kalau gue terancam punah?!" bentaknya emosi.

Rafan dan Fianer mengerut menatap abangnya. Emosi mereka menjadi terpecah karena topik mereka berbelok berkat pertanyaan abangnya. "Alah, Bang itu nggak penting." kata Fianer. "Ini lebih penting."

Fier melotot. Jelas dia tidak setuju. "Denger!" Fier ikut bersuara. Ikut-ikutan emosi juga. "Surat cinta itu cuma lucu-lucuan, nggak usah dibikin seserius ini!"

"Tapi gue nggak suka dia nulis begitu!" Fianer makin emosi. Terlebih merujuk ke paragraf ketiga yang ditulis Rafan.

Please, jaga diri lo kalo lo nggak mau gue turun tangan. Karena gue nggak tahu sampe kapan gue diem.

Itu sebuah ancaman. Fianer tahu! Dan Fianer tak suka jika ancaman macam begitu dibacakan di depan umum! Siapapun yang mengenalnya akan mengaitkan kalimat itu dengan Egar.

"Di sini, gue ya yang nanggung malu, jadi lo diem ja deh. Nggak usah ngerengek macam anak kecil." Rafan berkata getas.

Mata Fianer melotot, dia sudah siap menghajar Rafan saat Fier sudah berdiri di tegah mereka, melerai. "Mending lo pergi aja." Fier melirik Rafan tajam. Rafan mengangguk. "Bagus, dari awalpun gue nggak suka di sini! Lo yang maksa gue ke sini!"

Dengan menyemburkan semua amarahnya, Rafan membuka pintu gudang dengan semua kekuatan yang dia punya. Lalu membantingnya sekuat tenaga, sampai engselnya lepas satu.

Dengan kemarahan yang meluap, dia adalah orang yang paling berbahaya. Dia berusaha menghindari sebanyak mungkin orang yang bisa membuatnya meledak saat ini. Namun perasaan itu nyaris surut saat dia melihat Diya tak jauh darinya.

Diya juga menatapnya, namun langsung melengos pergi. Rafan kaget dengan reaksi Diya itu, lalu mengejarnya. Saat sudah dekat, Rafan menarik lengannya karena Diya terus berniat kabur.

"Lo mau kemana?" tanya Rafan kesal.

"Kemana aja. Asal nggak ngelihat lo!" jawaban Diya itu membuat Rafan terperangah.

"Lo marah sama gue?" pertanyaan paling bego sepanjang sejarah. Dada Diya sudah sesak saking geramnya menahan kemarahan yang sudah mendidih di dalam.

"Menurut lo?!"

Rafan mendesah keras. Dia semakin kesal karena Diya terus memberikan jawaban yang tak pernah jelas. "Lo bisa nggak sih jawab yang bener!" bentaknya emosi. suaranya meninggi karena emosinya yang tadi bahkan belum padam. Sekarang malah disulut lagi!

Diya sampai ternganga Rafan berani membentaknya. Di sini, di tengah lapangan! Di depan semua teman-temannya. Bahkan tanpa ditahan-tahan lagi! Saat itulah Diya meledak!

"Lo tuh brengsek tahu nggak sih! Lo pikir lo itu siapa hah?! Brad pitt?!!" bentaknya balik, lebih emosi. "Temen-temen gue itu bener! Lo itu playboy abal-abal cap tembok yang nggak tahu malu!"

Rafan ternganga. Ini pertama kalinya dia diberi predikat yang sekuang ajar itu.

"Siapa temen lo yang ngomong begitu? Hah siapa? Yang kemaren itu kan? Iya?!" tanya Rafan kalap. Dia melihat teman Diya yang kemarin itu meringkuk di belakng teman-temannya ketakutan saat Rafan melotot padanya nyalang.

"Nggak penting siapa yang ngomong!" kata Diya makin emosi. Rafan kembali menoleh padanya. Saking marahnya, hidung Diya memanas. Namun dia menahan mati-matian jangan sampai terlihat. Dia menatap Rafan dengan tatapan menancap tajam. "Gue nggak peduli mereka mau ngomong apa. Karena gue percaya sama lo, bego!" Diya menyemburkan kata terakhir itu makin emosi. Membuat Rafan terhenyak.

"Kalau gitu nggak akan ada masalah di sini!" kata Rafan.

Diya ingin mencakar wajah Rafan yang memasang wajah innocent. "Ya. nggak ada masalah. Sampe gue tahu isi surat cinta totol lo itu!"

Surat itu lagi! Rafan mendesah bosan. Dia menatap Diya kesal. "Bisa nggak sih lo bahas itu?! Gue nggak suka!"

Diya benar-benar ingin menjambak rambut Rafan sekarang juga saking gregetnya. "Itu inti masalahnya begoooo!" geram Diya sambil menahan-nahan sabar!

"Emang ada masalah apaan?" tanya Rafan. Entah pura-pura tidak tahu atau benar-benar tidak tahu. Yang jelas Diya hanya bisa ternganga. Sudah bingung mau ngomong apa.

"Lo nembak cewek lain di depan satu sekolah, lo bilang nggak masalah?"

Rafan tersedak ludah sendiri. "Mereka nyuruh gue nulis surat cinta. Gue Cuma nurutin apa kata mereka!" Rafan berargumen. "Lagian ini surat cuma iseng! Cuma bercanda! Ngapain di bikin serius ini!" Rafan sudah mulai bingung sendiri. kenapa surat cinta yang bahkan dia bikin dengan ketawa cekikikan jadi masalah besar yang membuatnya di salahkan dari mana-mana?!

"Bukan kayak gitu yang gue tangkep." kata Diya getas. "Bahasa lo itu bukan iseng tapi kayak pake hati!"

Rafan makin terperangah lagi. "Lo dapet kesimpulan dari mana sih?!" tanyanya emosi.

"Lo pikir gue bego? Semua orang juga bisa nebak!"

"Gue nggak tanya semua orang, gue tanya lo!"

Diya mengerjap sekali, lalu iam dengan bibir bergetar. Apa yang membuatnya bicara seperti ini? apa yang membuatnya marah?

"Karena gue orang yang paling tahu lo." itu kutipan isi surat, satu kalimat yang membuat Diya berhenti kebingungan dan bisa mengambil kesimpulan dengan tegas dan jelas. "Kemaren lo minta gue buat ngenal lo apa adanya. Lo bilang kalau lo pengen denger kalau gue cewek yang paling ngenal lo. Tapi sekarang, gue denger dari telinga gue sendiri kalo lo cowok yang paling mengenal Kak Fianer.

Lo pikir gue bakal nyimpulin apa?" balas Diya. Tidak ada nada meledak-ledak lagi. Hanya nada lelah menjelaskan. Saat dilihatnya Rafan masih tertegun dan sepertinya tak punya jawaban, Diya menghela nafas lelah lalu mundur. Di langkahnya yang ketiga, dia berbalik lalu pergi meninggalkan Rafan yang terdiam.

---

Sampai pulang, Rafan-Diya masih saling melempar tatapan marah! Tak ada yang mau mengalah. Hingga pulang!

Selama perjalanan Rafan benar-benar melampiaskannya dengan mengepalkan tangan dengan geram. Dia sama sekali tak mengerti. benar-benar tak mengerti salahnya dimana! Dia membaca surat Ucup ke salah satu panitia MOS, entah siapa dia lupa namanya. Dan isinya lebih parah dari miliknya. Ucup menyertakan puisi yang entah dari bahasa mana. Diapun tak tahu maknanya apa. Tapi kenapa hanya miliknya yang dipermasalahkan?! Boro-boro romantis! Orang suratnya penuh ancaman begitu!

Diya, lagi! bisa-bisanya dia kemakan omongan orang! Bisa-bisanya dia ngambil kesimpulan yang begonya setengah mati! Gimana bisa Diya kembali meragukannya hanya karena surat tolol itu?!

Sampai rumah, kemarahannya belum surut benar, bahkan makin meluap. Terlebih saat membuka pintu, ada kejutan yang menunggunya di ruang tamu.

Dia melihat Fier dan Fianer yang duduk di sofa. Sepertinya menunggunya.

"Ada apa nih?" tanya Rafan. "Mau ngelanjutin yang tadi?!" sinis Rafan emosi.

"Duduk." suruh Fianer. Rafan tak punya pilihan lain selain duduk. Dia melihat pemandnagan yang berbeda. justru di sini Fianer yang serius sedangkan Fier biasa saja. akhirnya fokus Rafan kembali ke Fianer. Memandangnya dengan tatapan bertanya. Rafan mengambil kesimpulan kalau Fianer yang punya kepentingan di sini. Tapi dia diam saja. meunggunya bicara.

"Ada 2 aturan kalo lo mau masuk di sekolah yang sama, sama kita." kata Fianer sungguh-sungguh. Rafan mengangkat alis. Tak suka dengan kata-kata Fianer yang melibatkannya dengan aturan kakaknya! Terlebih ada dua!

"Apaan?" sentaknya.

"Kita harus sembunyiin dari anak satu sekolah kalo kita bertiga itu kakak adek. Dan kedua, ada peraturan penting yang harus lo patuhi. Yaitu : dilarang mencampuri urusan masing-masing."

Rafan terdiam sejenak untuk kemudian tersenyum girang. What? Tidak ada yang tahu hubungan mereka bertiga? Dilarang mencampuri urusan masing-masing?

Itu adalah peraturan terbaik yang pernah dia dengar!!! It's cool!

"Deal!" jawab Rafan tanpa pikir dua kali. "Nggak ada yang boleh tahu kalau kita saudara! Dan nggak boleh ada yang campuri urusan masing-masing!" Rafan mengulang dua aturan itu dengan senang. Sekarang emosinya surah menyurut ke titik nol. Ini adalah obat paling mujarab dari kemarahannya sejak dia tahu akan sekolah di sekolah yang sama dengan mereka.

Rafan melirik Fier. Hanya cowok itu yang sepertinya tidak senang dengan kedua peraturan itu. Membuat Rafan kini tahu bahwa dia dan Fianer senasib sepenanggungan. Dan ini adalah proteksi mereka berdua untuk hidup tenang tanpa aturan Fier yang menggangu!

Rafan tersenyum melihat wajah Fianer yang tersenyum lega. Rafan tahu persis bahwa dirinya akan ikut campur urusannya dan Egar. tapi sejujurnya, Fianer tak perlu khawatirkan itu. Karena Rafan dengan senang hati tidak ingin tahu apapun tentang mereka jika itu membuat mereka tidak mencampuri urusannya!

Continue Reading

You'll Also Like

Say My Name By floè

Teen Fiction

1.2M 69.8K 34
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...
3.3M 207K 45
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
780K 21.9K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...
663K 19.4K 40
Ivander Argantara Alaska, lelaki yang terkenal dingin tak tersentuh, memiliki wajah begitu rupawan namun tanpa ekspresi, berbicara seperlunya saja, k...