Love In The Rain

Galing kay shlily17_

404 31 9

Rating: PG-15 (Untuk 15 tahun ke atas) Hidup Sheryl hanya berpusat pada pendidikan dan cita-cita ketika ia me... Higit pa

Love Of The City Hours
Prolog
Dua : Lelaki Di Pesawat
Tiga : Kedatangan
Empat : Cokelat Dan Moccacinno

Satu : Perpisahan Pahit

127 7 6
Galing kay shlily17_

"Perpisahan bukanlah akhir dari sebuah kehidupan tetapi awal untuk menjalani kehidupan yang baru untuk masing-masing individu yang berpisah dengan segala kenangan yang tersimpan."

Gadis kecil itu melangkah dengan pelan menuju sebuah sungai dengan dataran yang cukup rendah. Ia duduk di salah satu bebatuan lalu menyelamkan kaki mungilnya ke dalam air dan mulai menggerak-gerakkan kakinya. Ia menyelamkan kaki kanan dan kirinya secara bergantian sambil bersenandung. Gadis kecil itu tampak sangat ceria walaupun ia hanya sendirian tanpa ada seorang pun teman yang menemaninya. Tanpa gadis kecil itu sadari air dari sungai itu terciprat kemana-mana hingga mengenai seorang remaja lelaki yang sedang berjalan.

Remaja lelaki itu sedang berjalan mengelilingi kampung kecil itu sambil sesekali mengambil gambar pemandangan yang menurutnya menarik hingga kemudian ia merasakan air mengenai pakaiannya. Ia memandang ke arah asal air yang terciprat dan mendapati seorang anak kecil sedang bermain air dengan senandungan yang tak ia mengerti.

Dasar anak kecil, pikirnya kesal lalu berusaha mengeringkan pakaiannya yang terkena air.

"Astaga, apa yang sedang kau lakukan anak kecil? Lihat, aku jadi basah kuyup." Remaja lelaki tak sadar bahwa ia menggunakan bahasa inggris ketika mengucapkannya. Remaja lelaki itu masih berusaha mengeringkan pakaiannya yang basah kuyup.

Gadis kecil itu berpaling ketika mendengar suara dari arah belakangnya,, memandang ke arah remaja lelaki itu dengan pandangan sedikit geli karena remaja lelaki itu menggunakan bahasa yang jelas tak mungkin sebagian orang mengerti. Ia berdiri lalu melangkah ke arah remaja lelaki itu.

"Maafkan aku," gadis kecil itu menjawab dengan bahasa inggris yang fasih dengan nada riang, seolah tak ada yang perlu ia cemaskan.

Remaja lelaki itu mendongak ketika mendengar suara khas itu dan menatap mata cokelat yang berbinar secara langsung. Entah bagaimana jantungnya berdetak dengan cepat. Seketika itu juga kekesalannya runtuh.

Gadis itu bertubuh mungil dengan kulit putih bersih. Matanya berwarna cokelat berbinar penuh kecerian. Garis-garis kecantikan sudah terlihat di wajahnya walaupun usianya mungkin masih sembilan tahun. Ia memiliki kecantikan yang siapapun pasti tahu bahwa gadis mungil itu adalah keturunan orang asing seperti dirinya. Ia juga sangat cerdas karena begitu fasih berbahasa inggris.

Ketika remaja lelaki itu mendongak, ekspresi yang ia tampilkan tampak kesal, tapi itu tak mengurangi ketampanan yang dimilikinya. Remaja lelaki itu memiliki ketampanan yang luar biasa, hampir bisa dikatakan cantik apalagi ditambah dengan matanya yang berwarna keemasan, membuat ketampanannya berlipat-lipat luar biasa.

"Iya, tidak apa-apa. Siapa namamu?"

"Sheryl Arina. Dan kau, siapa namamu? Apakah kau turis yang ingin berwisata di kota sejuk ini?" Suara nya yang lembut khas anak perempuan berumur sembilan tahun membuat remaja lelaki yang semula bersikap dingin dan sinis kini tersenyum manis.

Menilik dari wajah remaja lelaki itu, gadis kecil itu tahu bahwa remaja lelaki itu bukan orang Indonesia. Wajahnya yang putih bersih dan rambutnya yang bewarna cokelat menunjukkan bahwa ia adalah orang Eropa.

"Namaku Meghan Carlt. Aku bukan turis, tapi aku akan tinggal di sini selama empat tahun. Karena hanya kau yang bisa berbahasa inggris dengan baik, maka, maukah kau membantuku untuk belajar dan berteman denganku?"

"Tentu saja. Dengan senang hati, Mr. Meghan." Gadis itu tertawa dengan riang, membuat remaja lelaki itu juga tersenyum.

Senyum itu tidak luput dari mata gadis kecil itu. Astaga, remaja lelaki ini tersenyum, membuatnya semakin terlihat seperti pangeran dari negeri dongeng. Hanya kurang kuda putih, tapi tanpa kuda putih pun ketampanan yang ia miliki sudah membuatnya sempurna.

Tawa yang begitu riang seolah tak ada beban yang harus ia tanggung, membuat remaja lelaki itu tersenyum. Senyuman pertama yang ia berikan untuk orang lain setelah keluarganya. Sungguh gadis kecil ini sangat mempengaruhi dirinya bahkan hanya dari pertemuan pertama.

Sejak hari itu kedua insan itu mulai berteman.

-Love From The Rain-

Mentari belumlah terbit menyapa, awan hitam masih sepenuhnya menghiasi langit, tetapi suara burung-burung berkicau telah terdengar bak nyanyian pengantar pagi.

Sheryl Arina duduk di depan daun jendela, memandangi lingkungan sekitarnya yang masih dihiasi jalan. Ia berusaha menikmati setiap saat-saat yang ia lalui pagi itu walaupun hanya sedikit, itu berharga untuknya. Karena, pagi ini adalah pagi terakhir ia berada disana.

Hari ini ia akan berangkat menuju Amerika Serikat, tepatnya sebuah kota di negara bagian Washington. Sebuah kota yang dijuluki kota jam dan kota hujan. Kota hujan adalah kota yang paling Sheryl sukai. Ya, ia memang suka hujan. Disana Sheryl akan memulai kehidupan baru yang sudah lama ia nantikan. Walaupun begitu, ia merasa sedikit cemas dan sulit meninggalkan semuanya. Begitu banyak kenangan yang telah ia lalui disana. Semua hal itu tersimpan rapi dalam memori otaknya. Selain itu, ia yakin akan merepotkan banyak orang disana. Ah, seorang Sheryl Arina tak suka itu. Sungguh!

Namun, ia harus bagaimana lagi, tak ada pilihan lain. Itulah yang harus ia hadapi. Suka ataupun tidak, ia harus menikmatinya karena itu semua untuk kelangsungan hidup serta masa depannya. Toh, itu hanya sementara bukan untuk selamanya. Bersabar sedikit bukanlah masalah. Ia mendesah. Ia harus yakin bahwa ia bisa melewatinya. Sheryl Arina pasti bisa melewatinya.

Ketika awan hitam itu mulai memudar kemudian langit biru sedikit mengintip di balik nya, Sheryl beranjak lalu mengganti piyamanya dengan pakaian olahraga. Sheryl ingin berlari sebentar seperti biasanya lalu kembali ke penginapan sebelum sang mentari muncul sepenuhnya.

Tanpa sengaja ketika ia menuruni tangga kayu, ia bertabrakan dengan seorang tamu laki-laki berumur tiga puluh tahun. Tampaknya lelaki itu adalah turis, bukan penduduk lokal. Laki-laki itu melirik ke arah Sheryl dan tahu apa yang akan di lakukan Sheryl. Tapi, Sheryl tidak tahu kalau lelaki itu meliriknya dengan tatapan misterius. Sheryl menatap laki-laki itu dengan bingung, namun kemudian ia mengangkat bahu, berusaha tak perduli.

"Sorry," ucap Sheryl dengan bahasa inggris yang lancar.

"Yes, it is not a big problem," laki-laki itu menyahut dalam bahasa inggris dengan logat Amerika yang kental.

Sheryl hanya tersenyum dan berlalu meninggalkan laki-laki itu di tangga. Ponsel di saku laki-laki itu berdering. Dia segera merogoh sakunya dan menempelkan ponselnya di telinga setelah melihat siapa yang menghubunginya.

"Yes, Mr."

"..."

"Everything is right Mr.. I do like you command. Safe."

"..."

"Baiklah, Mr. saya akan segera pergi..."

Laki-laki itu bergegas menaiki tangga kayu dan masuk ke dalam kamarnya yang berada di samping kamar inap Sheryl.

Sheryl melangkah keluar dari penginapan. Jalanan yang ada di hadapannya itu masih agak sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintas dan selebihnya jalanan masih kosong. Ia tak berlari, hanya berjalan saja sambil menikmati pemandangan pagi yang menyejukkan. Langkahnya semakin menyenangkan dengan iringan musik yang ia dengarkan dari ponselnya dengan nada pelan.

Dia memandangi setiap bangunan yang berdiri kokoh di sepanjang jalan,pohon-pohon yang menghiasi jalan tampak begitu hidup dalam kesunyian. Ah, betapa ini semua akan sangat ku rindukan, batinnya pada diri sendiri, tapi ia berusaha menikmati semua itu.

Setelah puas berjalan-jalan pagi itu, ia kembali ke penginapan sebelum mentari menyapa dunia sepenuhnya. Dia masuk ke dalam kamar inapnya untuk mandi dan membereskan beberapa barangnya. Setelah semua di rasa siap, ia turun ke bawah untuk sarapan di restoran kecil yang ada di penginapan.

Ponselnya berdering ketika ia tengah asyik menyantap sarapan. Dia mengambil ponselnya lalu memandangnya sebentar sebelum akhirnya menempelkan benda pipih itu ke telinga.

"Ya, Ashley ada apa?" tanya Sheryl membuka percakapan secara langsung sambil menghirup teh hangat yang disediakan oleh pegawai penginapan.

"Aku pengen nanya, kamu mau ku jemput di penginapan buat berangkat bareng ke bandara atau engga?"suara dari sebrang telepon menyahut dengan nada setengah membujuk.

Sheryl menyeruput tehnya sekali lagi sebelum menjawab. "Engga, engga usah, Ashley. Aku bisa kok berangkat sendiri. Aku engga mau ngerepotin kamu buat jemput aku ke sini," nada Sheryl terdengar rendah, namun tegas.

Ia mendengar Ashley mendesah. Sheryl tersenyum mendengar desahan sahabatnya itu. Ia yakin Ashley tahu betul bagaimana Sheryl bahkan kadang-kadang Ashley merasa kalau Sheryl bisa membaca pikiran orang.

"Seperti dugaan ku, kamu pasti nolak. Seharusnya aku engga usah nawarin kamu karena aku tau banget kamu pasti nolak. Jadi, kamu bakalan berangkat ke bandara naik taksi? 'Kan uang lagi, sayang tau," kata Ashley setengah mengejek dan masih berusaha membujuk Sheryl.

Sheryl tersenyum lebar mendengar nada suara Ashley walaupun ia tahu Ashley tidak melihatnya.

"Oh, ya? Lalu kenapa kamu masih nawarin ke aku kalo kamu udah tau aku pasti nolak tawaran kamu? Engga papa tabungan ku cukup kok. Lagian cuma taksi aja engga masalah."

"Aku cuma berusaha siapa tau kamu bisa berubah pikiran," -Ashley terkekeh pelan- "tapi ternyata kamu engga berubah pikiran kaya dulu waktu aku nawarin kamu buat nginap aja di rumah tanteku selama kita ngurus kepindahan kita ke luar negri. Eh, kamunya tetap ngotot engga mau dan milih nginap di penginapan murah, padahal di rumah tante ku gratis, engga ngeluarin biaya."

Sheryl tertawa mendengar penjelasan Ashley yang panjang lebar. Ia teringat ketika hari pertama mereka datang ke Jakarta untuk mengurus kepindahan mereka ke luar negeri untuk melanjutkan sekolah. Sheryl tetap pada pendiriannya untuk mencari penginapan murah yang nyaman dan bersyukur mendapatkannya beberapa jam kemudian. Ia memang lebih memilih penginapan daripada hotel karena ia berusaha mencukupi uang tabungannya. Ia bersyukur karena walaupun penginapan ini lumayan murah fasilitasnya sudah seperti hotel.

Ia hanya merasa tak nyaman saja berada di rumah orang lain walaupun itu sahabatnya sendiri. Ia tak mau merepotkan siapapun. Jadi lebih baik ia keluar uang daripada merepotkan orang. Lagi pula tabungannya lebih dari cukup dan ibunya juga mengirimkan uang untuk biaya hidupnya sementara tinggal di Jakarta selama satu bulan. Itupun masih bersisa sampai hari ini. Sangat cukup untuk membayar taksi dan penginapan ini.

"Heiiiii, Nona Arina, kamu masih disana kan?" Suara Ashley di sebrang sana melengking, membuat Sheryl sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Iya, aku masih di sini, Nona Ariana. Aku engga kemana-mana kok."

"Kali aja kamu pergi. Jadi, gimana kamu naik taksi ke bandara?"

"Ya iyalah. Emang aku mau naik apa lagi coba. Masa aku mau naik bajaj. Yang ada kalian udah di pesawat aku baru sampe," kata Sheryl asal dengan nada setengah bercanda.

Ashley terbahak seketika mendengar kata-kata Sheryl. Seperti biasa sahabatnya yang satu ini selalu bisa mencairkan suasana.

Setelah bisa mengendalikan suara tawanya, Ashley berbicara lagi."Oke deh kalo gitu. Aku cuma pengen ngingatin kamu aja gimana macetnya Jakarta jam-jam segini dan jadwal penerbangan kamu itu lebih cepat dari kami berempat. Jangan sampe kamu telat ke bandara."

"Iya, tenang aja aku engga bakalan telat asal sekarang kamu biarin aku nyelesain sarapan aku lalu urusan penginapan, bisa kan Ashley, sayang?"

Ashley terkekeh pelan, "Oke deh. Nanti ketemu di bandara ya, Nona Arina."

"Iya, bye Ashley."

Hubungan telepon mereka berdua terputus. Sheryl menyelesaikan sarapannya dengan cepat lalu beranjak ke meja resepsionis untuk menyelesaikan masalah administrasi penginapan nya selama satu bulan di sana.

"Permisi, saya pengen melunasi biaya penginapan saya di sini," kata Sheryl sambil mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya.

"Atas nama siapa, Mbak?"

"Sheryl Arina," jawab Sheryl sambil menghitung uangnya.

"Semuanya sudah lunas, Mbak."

Deg. 

Jantung Sheryl seakan berhenti berdetak. Sudah lunas? Tapi, bagaimana bisa? Siapa yang sudah melunasi seluruh biaya penginapan nya selama satu bulan? Apa mungkin sahabat-sahabat nya? Tapi, apakah benar mereka? Terdengar mustahil kalau mereka yang melunasi seluruh biaya penginapannya karena ia tahu betul bagaimana keempat sahabatnya itu. Dia harus mencari tahu dari pegawai administrasi yang ada di depannya saat ini.

"Sudah lunas? Tapi, gimana bisa?" Sheryl bertanya dengan nada terkejut.

"Ada seseorang yang melunasinya, Mbak."

"Siapa orang baik itu?"

"Maaf, Mbak, tapi orang itu minta kami untuk merahasiakan identitasnya."

Pegawai itu tampak gugup di bawah tatapan tajam Sheryl. Gadis itu terlihat frustasi.Bagaimanapun, pegawai itu hanya di perintahkan untuk memastikan kalau Sheryl benar-benar tidak tahu siapa orang itu, karena kalau sampai Sheryl mengetahui identitas orang itu, maka penginapan tempat ia dan teman-temannya itu bekerja akan jadi tanggungannya. Pegawai itu berusaha terlihat tenang walaupun kegugupan dan ketakutan terlihat jelas di matanya.

"Tapi, gimana caranya saya berterimakasih sama orang itu kalau engga tau siapa dia. Apa dia laki-laki atau perempuan?" Sheryl bersikeras. Ia tidak akan menyerah sampai pegawai wanita itu buka mulut.

"Maaf, Mbak, sekali lagi kami engga bisa kasih tau Mbak apapun alasannya."

Oh, sial, umpat Sheryl dalam hati.

Rupanya orang itu sudah memperkirakan semuanya, pikir Sheryl frustasi. Entah bagaimana, Sheryl dapat mencium bau ancaman dalam hal ini. Terlihat dari nada si pegawai yang terdengar gugup dan takut.

"Orang itu cuma bilang kalau dia sama sekali engga punya niat jahat apapun kepada Mbak. Dia cuma pengen menolong Mbak,"pegawai itu berkata lagi seolah-olah dia dapat membaca apa yang Sheryl pikirkan padahal bukan itu yang Sheryl pikirkan.

Sheryl diam saja. Ia sedang berusaha mencerna semuanya. Ia tahu kalau orang lain pasti berpikir kalau ia sedang memikirkan tentang maksud orang itu walaupun sebagian otaknya memang sempat memikirkannya, tapi ia yakin kalau orang itu punya maksud lain.

Sheryl menarik nafas dan menghembuskan nya desahan pendek. Jujur saja ia sangat penasaran dengan orang tersebut dan rasa penasaran itu membuatnya sedikit frustasi. Ia tak bisa di landa rasa penasaran begini. Lebih baik ia segera menyingkir dari sana sebelum ia bertambah frustasi. Ia menarik napas lagi, mengendalikan perasaannya sendiri.

Tenang, Sheryl, pikirnya menenangkan kemudian ia mendesah dengan perasaan sedikit lebih tenang.

Baiklah, ia menyerah hari ini. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain menerima semua itu. Dia mengembalikan uangnya ke dalam dompet dan menyimpannya dalam saku jeans hitamnya.

"Oke deh kalo gitu. Nanti kalo orang itu kemari lagi, bilang sama dia buat segala kebaikannya,makasih banyak." Suara Sheryl terdengar lembut.

Dia mungkin menyerah hari ini tapi tidak lain kali. Dia akan terus berusaha mencari tahu siapa orang itu. Suatu hari nanti Sheryl yakin akan mengetahui siapa orang itu sebenarnya.

"Iya, Mbak pasti akan saya sampaikan," ucap si pegawai wanita itu lembut dan lega tentu saja. Akhirnya gadis ini menyerah juga dan tak memaksanya lagi untuk membuka mulut.

"Bisa aku minta tolong?" Kata Sheryl kemudian dengan senyum mengembang.

"Tentu aja Mbak. Apa yang bisa saya bantu buat Mbak?"

"Aku perlu room boy buat membawakan barang-barang ku yang ada di kamar dan bisa panggilkan taksi buat aku karena aku harus segera berangkat ke bandara."

"Maaf, Mbak, tapi bukannya Mbak udah manggil taksi tadi pagi? Itu, taksi yang Mbak panggil udah datang." Nada pegawai itu terdengar bingung sambil menunjuk ke arah taksi yang sudah terparkir didepan penginapan. Ia menatap Sheryl bingung.

"Apa?"

Mata Sheryl membelalak kaget lalu tatapannya beralih ke arah taksi yang di tunjuk oleh pegawai wanita itu.
Dia? Memanggil taksi? Bagaimana mungkin? Ingatannya belumlah pudar. Dia ingat betul kalau dia sama sekali belum menghubungi perusahaan taksi, jadi siapakah yang sudah memesan taksi atas namanya? Atau supir itu salah menyebut nama? Atau....?

Sheryl mengalihkan pandangan ke arah pegawai wanita itu. "Maaf, tapi aku rasa itu bukan aku, mungkin orang lain, atau orang yang ada di penginapan lain, bukan di sini. Coba Mbak tanyakan sekali lagi sama dia, siapa tau dia keliru atau tersasar."

Sheryl berusaha menenangkan pikirannya. Entah apa lagi ini, pikirnya kembali frustrasi.

"Supir itu bilang kalau Mbak yang memanggilnya lengkap dengan alamat sama nama penginapan ini, jadi engga mungkin dia salah orang atau kesasar."

Kali ini Sheryl tidak bisa mengelak lagi. Jelas, orang itu -entah siapa- sudah mengatas namakan dirinya untuk memanggil taksi itu. Mau tak mau dia harus berbohong dan mengiyakan kalau taksi itu memang di panggil olehnya walaupun sebenarnya hatinya masih bertanya-tanya.
Sheryl mengatur nafas agar kebohongannya terdengar lancar.

"Oh iya... aku baru inget kalo tadi pagi aku yang panggil. Maaf udah buat Mbak bingung." Sheryl menggigit bibir, berharap apa yang ia katakan terdengar meyakinkan.

"Engga papa, Mbak. Sebentar saya panggilan room boy nya."

Pegawai wanita itu mengangkat ganggang telepon yang ada di mejanya. Dia berbicara dengan salah satu staff dan tak lama kemudian seorang room boy datang menghampiri setelah pegawai wanita itu meletakkan ganggang teleponnya.
Sheryl dan room boy itu yang entah siapa namanya itu menaiki tangga kayu menuju kamar Sheryl. Sheryl membuka pintu kamar inapnya lebar-lebar lalu masuk ke dalam.

"Kamu bisa bawakan tiga koper besarku. Kalo ransel, tas jinjing sama koper kecil biar aku aja yang bawa sendiri," kata Sheryl memberikan intruksi kepada room boy itu.

"Baik, Mbak. Permisi."

Room boy itu masuk ke dalam kamar penginapan Sheryl dan membawa tiga kopor besar milik Sheryl kemudian dia keluar dan menghilang di balik tangga. Sheryl menghela nafas sejenak kemudian menyandang tali ranselnya di bahu lalu meletakkan tas jinjing nya dia atas kopor kecil lalu menariknya keluar.

Sebelum akhirnya beranjak, Sheryl memandangi kamar penginapan nya itu walaupun kamar itu bukanlah kamarnya yang ada di rumahnya tapi baginya kenangan dalam kamar ini tak akan tergantikan sampai kapanpun.

Sheryl menutup pintu kamar itu lalu menguncinya. Ia menuruni anak tangga dengan hati-hati karena barang bawaannya. Dengan seulas senyum mengembang, ia menuju meja resepsionis itu lagi untuk menyerahkan kunci kamarnya.

"Selamat jalan, Mbak. Semoga perjalanan Anda menyenangkan. Terima kasih sudah menggunakan jasa penginapan kami. Semoga pelayanan kami memuaskan Anda," pegawai wanita itu berkata dengan nada formal serta lega.

Sheryl hanya memberikan seulas senyum sebagai balasan. Kemudian ia menarik kopornya menuju taksi. Jika mengingat masalah taksi itu, ia semakin frustasi saja di buatnya. Dua kejutan besar di dapatnya hari ini. Entah kejutan apa lagi setelah ini. Benar-benar memusingkan saja.

Tapi, tunggu dulu. Apa jangan-jangan orang yang memesan taksi itu adalah orang yang sama dengan orang yang melunasi biaya penginapannya? Sheryl mendesah. Ah, sudahlah, pikirnya frustasi lagi. Dia tak mau pusing dulu memikirkannya. Yang paling penting adalah dia harus segera sampai di bandara dan bertemu sahabat-sahabat nya sebelum berangkat ke Amerika.

Sheryl berdiri tepat di samping bagasi taksi, memperhatikan supir taksi itu memasukkan satu kopornya yang tersisa sedangkan kopornya yang lain sudah tersusun dengan rapi di dalam bagasi, tak sembarangan di lempar.

Kemudian Sheryl masuk ke dalam taksi dengan satu ransel tersandang tenang di bahunya. Di dalam taksi, di letakkannya ransel di samping kirinya lalu memandangi penginapan yang ia tinggali selama satu bulan sebelum taksi itu beranjak pergi dari penginapan itu kemudian penginapan itu hilang dari pandangan Sheryl.

Sheryl memandangi kota Jakarta. Dia tahu kalau Jakarta bukanlah kota kelahirannya tapi Jakarta memiliki banyak kenangan untuknya yang akan selalu tersimpan rapi dalam memori otaknya.

Diam-diam supir taksi itu memperhatikan penumpangnya, berusaha menebak apa yang sedang dipikirkan oleh penumpangnya, namun kemudian ia bersikap tak perduli. Ia kembali memperhatikan jalanan yang mulai padat membentang di hadapannya saat ini. Baginya, yang paling penting adalah bisa mendapatkan uang untuk keluarganya.
Sheryl memperhatikan jalanan yang mulai padat. Ia bersyukur karena sudah berangkat ke bandara. Kalau tidak, ia pasti akan terjebak macet dan terlambat.

Oh, tidak.

Kemudian ia termangu lagi memandangi pemandangan luar. Entah kapan aku bisa kemari lagi, pikirnya dalam renungan. Ia mendesah lembut. Kepergiannya kali ini bukanlah untuk sebentar namun cukup lama bahkan memikirkan untuk untuk berkunjung saja rasanya sulit apalagi untuk kembali. Semua terasa sulit, tapi sulit bukan berarti mustahil, masih ada kemungkinan walaupun hanya satu persen.

Itu semua tak berarti ia tak bahagia karena harus pergi. Ia bahagia bisa pergi apalagi sekarang keluarganya jauh darinya, justru dengan kepergiannya ini ia bisa lebih leluasa bertemu keluarganya tapi ia tahu pasti ada kerinduan yang menyelimutinya disana. Kerinduan pada 'rumahnya sendiri' dan kalau melihat dari segala aspek, kemungkinan besar ia akan menetap di Amerika. Semuanya serba baru.

Tiba-tiba sebuah alunan terdengar dari saku jeansnya, membuatnya tersadar dari lamunannya bahkan sang supir agak melirik ke arah penumpangnya namun ia kembali bersikap tak perduli dan memperhatikan jalan. Yang penting sekarang ia harus melaksanakan tugasnya.
Ia merogoh saku jeansnya kemudian mengambil ponselnya dan memandang layarnya. Disana tertera salah satu nama sahabatnya. Sandra. Ia tersenyum.

"Halo, Sandra, ada apa?"

"Kamu dimana sih? Kenapa belum sampe juga?" Sandra malah balik bertanya. Nada nya terdengar tidak sabar dan mendesak. Sheryl memutar bola matanya.

"Rileks dong, Sandra. Aku udah di jalan nih, bentar lagi nyampe. Sabar dong, Sandra, sayang," nada Sheryl terdengar sedikit mengejek membuat lawan bicaranya memutar bola mata.

"Iya deh, iya. Kamu inget kan jadwal penerbanganmu-"

"Oh Ya Tuhan, tadi pagi Ashley udah ingetin aku, Sandra, jadi, kamu duduk dengan manis aja karna aku engga bakalan lupa."

"Ya, aku tau Ashley udah ingetin kamu. Tapi apa salahnya coba ngingetin kamu lagi. Kamu itu kadang-kadang bisa lupa alias pelupa," nada Sandra terdengar sedikit mengejek lalu ia terkekeh. Kali ini Sheryl yang memutar bola mata, bahkan ia cemberut.

"Iya, aku tau aku ini pelupa. Tapi kamu tenang aja aku engga bakalan lupa kok kalo soal beginian. Udah, kamu engga usah cemas, aku bakalan segera nyusul kalian. Ketemu nanti ya, Nona Sandra."

"Oh, oke lah kalo gitu. Kami tunggu, ya."

Sheryl mendesah setelah hubungan telepon terputus. Dia tahu betul seperti apa sahabatnya itu; Sandra tidak akan pernah bis di debat. Jadi, akan jauh lebih baik untuk Sheryl menyudahi pembicaraan daripada menjadi panjang dan tidak akan ada habisnya. Sebuah senyuman tersungging di bibir nya.

♠♠♠

Di bandara Anita, Ashley, Ruth dan Sandra sudah menunggu Sheryl di ruang tunggu bandara. Di sana juga ada orang tua mereka berempat yang saling mengobrol selama menunggu jadwal penerbangan mereka. Empat gadis itu berangkat bersama kedua orang tua mereka. Hanya Sheryl yang berangkat sendirian karena seluruh keluarga Sheryl sudah pergi terlebih dahulu. Itulah yang di cemaskan oleh Sandra tentang Sheryl.

"Aduh, Sandra kamu bisa tenang engga sih. Sheryl bakalan sampe kok, tenang aja," Ashley berucap, berusaha agar Sandra tenang walaupun ia tampak tersenyum geli melihat tingkah Sandra.

"Iya, Sandra. Engga usah terlalu cemasin Sheryl, Sandra. Dia itu mandiri banget," kali ini Ruth angkat bicara, berusaha untuk menenangkan Sandra juga.

"Kalian engga mikirin Sheryl? Tega amat," timpal Sandra dengan nada setengah kesal.

Ashley dan Ruth terkekeh melihat tingkah laku Sandra. Jika ketiga sahabatnya itu tampak ceria, lain dengan Anita. Sejak kedatangan mereka tadi, Anita tampak diam dan tak bergeming. Sepertinya, ia sedang memikirkan sesuatu.

"Engga, bukan gitu, Sandra. Tapi kita kan udah kenal Sheryl tiga tahun lamanya dan kita tau gimana mandiri nya Sheryl," Ashley menimpali ucapan Sandra dengan nada cukup tenang.

"Dan kita juga tau gimana engga sukanya Sheryl kalo di bohongi," tiba-tiba Anita berkata dengan sebuah desahan.

Ketiga pasang mata di sana menatap ke arah Anita secara langsung. Tatapan mata mereka terlihat bingung. Anita masih menatap lurus ke depan seakan tak menyadari ketiga pasang mata itu sedang menatapnya.

"Maksud kamu apa, Nita? Aku engga ngerti," Sandra bersuara lebih dulu dengan nada kebingungan.

"Kamu pasti tau banget apa maksud ku, Sandra. Kebohongan engga akan bisa di tolerir oleh Sheryl Arina. Ketika api dipertemukan dengan kertas, maka api itu akan mudah melahapnya kemudian api itu semakin membesar, seperti itu juga kebohongan yang akan mudah terlahap oleh kemarahan, kemarahan Sheryl Arina. Ini udah menjelang perpisahan dia antara kita tapi apa kita bakalan terus nyembunyiin semua kebohongan itu? Mau sampe kapan coba?"

Ashley, Ruth dan Sandra saling bertukar pandang. Sekarang mereka tak mampu mengangkat suara lagi.

♠♠♠

Tak lama setelah hubungan telepon antara Sheryl dan Sandra, Sheryl sampai di bandara. Ia turun dari taksi dengan tas ransel yang tersandang tenang di bahu lalu mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar ongkos taksi. Supir taksi itu turun dari taksi sebelum Sheryl turun. Ia mulai mengeluarkan semua kopor Sheryl dari bagasi.

Sheryl masuk ke dalam bandara untuk mengambil lugagge carier. Ketika ia sampai di taksi kembali, seluruh kopornya sudah tersusun rapi di aspal.

"Berapa ongkos taksinya, Pak?" Sheryl bertanya pada supir taksi yang hendak masuk kembali.

"Engga usah, Mbak. Orang yang kemaren nyuruh saya udah bayar, Mbak," nada supir itu terdengar polos.

Supir itu bisa saja menerima uang Sheryl, toh gadis itu tidak tahu kalau taksi itu sudah di bayar, tapi ia tak berani karena orang yang menyuruhnya memperingatkan ia kalau berani membohongi gadis itu maka ia akan mendapat akibatnya.

"Apa? Dia udah bayar bapak? Tapi, bukannya dia manggil bapak atas nama saya?"

Kembali, sebuah kejutan. Membuat Sheryl terkejut dan bertambah frustasi.

"Iya, Mbak. Orang itu nyuruh saya buat bilang ke orang penginapan kalo Mbak yang manggil saya. Orang itu udah bayar saya dengan uang yang lebih dari cukup buat jemput dan antar Mbak dengan selamat sampe bandara. Dia bilang cuma pengen nolong Mbak biar Mbak engga kesusahan. Sekarang, tugas saya udah selesai, Mbak. Saya permisi dulu. Selamat pagi."

Sheryl terdiam secara langsung kemudian dia tersadar ketika supir itu sudah masuk ke dalam taksi dan menjalankan taksinya, meninggalkan Sheryl yang berdiri mematung. Sheryl ingin berteriak namun sebelum ia berteriak, taksi itu sudah menjauh. Ia terlambat.

Lagi dan lagi kejutan. Hari ini penuh dengan kejutan. Entahlah. Apakah akan ada kejutan lain lagi? Sheryl tidak mau memikirkannya. Ia sudah terlalu pusing.
Dengan agak lemas, Sheryl meletakkan seluruh kopornya di lugagge carier satu per satu kemudian ia masuk ke dalam bandara untuk check-in.

Setelah seluruh urusannya selesai, Sheryl menuju ruang tunggu penumpang dimana keempat sahabatnya menunggu. Dia harus segera bergegas karena jadwal penerbangannya sebentar lagi. Ia cukup beruntung karena datang tepat waktu dan masih ada sedikit waktu untuk berpamitan dengan ke empat sahabatnya dan orang tua mereka. Setidaknya, ada sedikit perpisahan di antara mereka berlima sebelum menaiki pesawat.

Ia yakin akan sangat merindukan sahabat-sahabat nya itu. Selama ini mereka selalu bersama-sama walaupun tahun ini persahabatan mereka hampir retak tapi syukurlah persahabatan itu dapat di pertahankan oleh Sheryl dengan segala usaha. Bagi Sheryl, persahabatannya yang sudah berlangsung selama tiga tahun itu akan sia-sia jika tak diperjuangkan sekuat tenaga.

Ketika dia sampai di sana dengan sebuah senyuman, dia hanya melihat keempat sahabatnya saja tanpa orang tua mereka. Mereka sedang membicarakan sesuatu yang serius dan senyum Sheryl agak memudar. Dia mundur beberapa langkah untuk mendengarkan pembicaraan mereka karena menyebutkan nama Sheryl dengan jelas.

Sheryl penasaran apa yang sebenarnya dibicarakan oleh mereka sampai menyebut-nyebut namanya.

"Ini bakalan sulit, Anita. Kamu tau sendirikan, ini waktunya engga tepat buat Sheryl. Dia bakalan kecewa berat sama kita,"Ashley berucap dengan nada sedikit takut.

Kecewa berat? Kening Sheryl berkerut. Kenapa ia harus kecewa? Tiba-tiba, ia merasa tidak nyaman. Ia seperti diliputi oleh kabut tebal. Ada apa lagi ini? Apakah ada sesuatu yang belum ia ketahui? Kemudian jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Entah bagaimana tiba-tiba ia merasakan kegugupan tak beralasan.

"Lalu kapan waktu yang tepat coba, Ash? Mau sampe Sheryl pergi dulu baru kita kasih tau?" Nada Anita terdengar rendah namun menohok.

"Anita jujur aja aku takut kalo sampe Sheryl tau semua ini, dia bakalan marah besar sama kita karena udah nyembunyiin itu semua." Ruth terlihat takut.

Ruth tahu betul bagaimana kerasnya sikap Sheryl. Ia dapat membayangkan bagaimana kedepannya nanti.

Sheryl semakin bingung. Marah besar? Kesalahan apa yang sudah mereka sembunyikan dari Sheryl? Apakah ia harus keluar dari persembunyiannya sekarang?
Ketika ia mulai melangkah, ia menghentikan langkah. Belum saatnya. Ia yakin kalau ia muncul sekarang ia akan memperkeruh suasana, jadi, lebih baik ia tetap berdiri di tempatnya dan mendengarkan.

"Aku tau, Ruth. Tapi kalo kita ngaku di hadapan Sheryl mungkin dia bisa ngerti dan maafin kita dengan mudah. Seenggaknya kita jujur walaupun itu mungkin pahit tapi aku yakin dia bakalan ngerti," Anita berusaha sedikit menenangkan.

Ashley mendesah. "Oke, aku bakalan usahin buat ngomong sama Sheryl kalo dia bener-bener marah. Biasanya dia mau dengerin aku."

Ashley menyerah dan berusaha menenangkan Ruth walaupun ia sedikit takut dan cemas tapi ia berusaha menutupi segala kecemasannya agar sahabat-sahabatnya itu tidak terlalu cemas lagi.
Selama ini Sheryl memang paling dekat dengan Ashley. Ia selalu berbagi cerita dengan Ashley, apapun itu karena Ashley bisa mengetahui kalau Sheryl memiliki masalah walaupun Sheryl berusaha menyembunyikannya. Biasanya, Sheryl bisa mendengarkan Ashley. Entah kali ini, Ashley tidak dapat menjamin dirinya sendiri.

Kening Sheryl semakin mengerut. Apa lagi yang akan ia hadapi setelah ini? Setelah dua kejadian, well, kejutan, pagi ini dari orang asing yang entah siapa. Lalu 'kejutan' apa lagi yang akan ia terima setelah ini. Kepalanya sudah terasa berputar-putar.

"Tapi, itu engga mudah, Ashley. Coba aja dari awal kita jujur dan engga bohong sama Sheryl, dia pasti bakalan ngerti tapi semuanya udah berlalu lama banget. Kebohongan itu udah terlalu lama kita simpen," Sandra menimpali perkataan Ashley dengan nada tak setuju, hatinya masih saja di liputi kecemasan.

"Kebohongan? Oh, Tuhan...." ucapan itu tidak sengaja keluar dari mulut Sheryl.

Sheryl merasa di sengat listrik saat mendengarkan ucapan Sandra. Kebohongan adalah sesuatu yang tak bisa ia terima atau tolerir. Baginya, apapun alasan di balik kebohongan itu, kebohongan tetaplah kebohongan.

Kali ini api kemarahan mulai menguasainya. Tahan dirimu, tahan emosi mu, batin Sheryl berteriak saat kakinya mulai melangkah ke arah sahabat-sahabat nya. Ia mundur kembali. Ia mengatur nafas untuk menahan amarahnya. Dia tetap berdiri dan mendengarkan pembicaraan mereka.

Belum saatnya, ia kembali membatin.

"Tapi kalo kita jujur dari awal, dia pasti kecewa berat, dia bakalan-"

"Apapun alasannya, Ruth. Ini semua salah kita. Kita udah engga jujur sama Sheryl. Kita harus jujur kalo kita bohong sama dia tentang persahabatan kita yang sebenernya udah ancur. Kita emang langkah tapi engga utuh lagi. Kita masing-masing udah punya persahabatan lain. Five Angels udah tamat. Kita udah ancur."

Ashley, Ruth dan Sandra hanya diam mendengarkan perkataan Anita. Mereka sudah tidak mampu mengangkat suara, menolak atau mengiyakan. Tubuh mereka lemas.

Sedikit banyaknya apa yang yang dikatakan Anita memang benar. Tidak selamanya kebohongan itu akan disimpan karena akan sangat menyakitkan kalau kebohongan itu terus di sembunyikan.

Perkataan Anita bak petir yang menyambar untuk Sheryl. Jadi, segala perjuangan dan usaha yang ia lakukan selama ini sia-sia? Ia begitu tak menyangka bahwa ternyata persahabatan nya itu sudah hancur. Sahabat-sahabat nya sendiri tega membohongi nya, mengatakan bahwa semua baik-baik saja dengan alasan agar ia tak kecewa. Justru, kebohongan itu membuat ia semakin kecewa dan tersakiti.

Kejujuran yang pahit jauh lebih baik daripada kebohongan yang manis karena semanis-manisnya kebohongan, itu hanyalah tipuan yang berujung menyakitkan.

Sheryl merasakan kemarahan yang tadi menyala kini sedikit padam, berganti dengan kekecewaan dan kesedihan yang menyatu dalam hati Sheryl. Tapi, ia juga harus bisa berpikir positif, apapun keadaannya ia harus tenang.

Sheryl memandang sekelilingnya. Bandara adalah tempat umum. Tak boleh ada keributan. Jadi, ia tak boleh marah atau mengamuk.

Ia harus segera keluar dari persembunyian ini sekarang. Sebelum melangkah, Sheryl menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan pikiran. Perasaannya jauh lebih tenang. Ia siap sekarang.
Oh, Tuhan, bantu aku, gumam Sheryl dalam hati. Ia melangkah secara perlahan, hampir tanpa suara.

"Kita harus aku in semua-"

"Kalian engga perlu akuin apa-apa. Aku udah denger semuanya kok," Sheryl menyela ucapan Anita. Suaranya terdengar tenang tanpa emosi. Tapi, dadanya berdenyut nyeri. Sakit sekali.

"Sheryl!" Mereka berempat serentak berdiri.

Para penumpang lain memandang kearah mereka karena seruan mereka yang serentak. Tapi, kemudian para penumpang itu tak mengacuhkan mereka lagi.
Sheryl diam saja. Ia sedang berusaha menjaga ekspresinya tetap datar. Ia berhasil karena keempat sahabatnya tampak mencari emosi Sheryl dari matanya. Karena biasanya mata tak pernah bisa berbohong. Tapi, tak apapun disana. Semua datar. Sheryl memang pandai memanipulasi diri.

"Sheryl, kita bisa jelasin semuanya ke kamu. Kami minta maaf karna udah bohongin kamu soal persahabatan kita. Kami cuma engga pengen kamu terluka dan sedih kalo tau Five Angels udah ancur dan usaha kamu buat pertahanan persahabatan ini gagal. Maafin kami, Sheryl. Maaf banget." Ashley lebih dulu membuka suara, berharap Sheryl akan bicara dan luluh kalau Ashley yang menjelaskan.

Namun, Sheryl tidak akan luluh kali ini. Ia masih diam bak patung, membuat keempat sahabatnya itu begitu frustasi.

"Sheryl, atas nama Anita, Ashley dan Ruth, aku minta maaf sama kamu. Sebenernya yang nyuruh mereka bohong itu aku. Jadi, kalo kamu pengen marah, marah nya ke aku aja, ya." Sandra berusaha membujuk Sheryl agar ia bisa sedikit mengerti tapi Sheryl masih tetap diam, mendengarkan tanpa membantah ucapan Sandra atau Ashley.

Suara pemberitahuan itu terdengar seperti sebuah peringatan untuk Sheryl agar tak terlalu lama menyiksa keempat sahabatnya itu. Sheryl menarik nafas dalam-dalam, menguatkan diri. Gadis itu hanya takut jika ia mengeluarkan suara, ia akan menangis. Setelah dirasa cukup, Sheryl akhirnya memutuskan untuk bicara. Baiklah, saatnya salam perpisahan. Ia merasa ada beban berat yang sedang menghimpitnya.

"Aku engga tau harus gimana, harus ngomong apa. Aku bingung. Jujur, aku marah tapi kalo aku marah-marah juga percuma. Apa dengan aku marah-marah, semuanya bakalan balik lagi, engga juga kan? Semuanya tetap sama aja. Nasi udah jadi bubur. Mau diapain juga gak bakalan jadi nasi lagi. Dan kalo di bilang sekarang aku kecewa, ya, kecewa lah. Kenapa kalian tega bohongin aku sih? Padahal kalo pun kalian jujur dari awal sama aku, aku mungkin kecewa tapi engga akan sekecewa ini. Aku perlu waktu buat berpikir. Tenang aja, aku udah maafin kalian. Aku engga mau nyimpan dendam atau kemarahan sama kalian. Cuma, aku perlu waktu buat bicara lagi sama kalian. Nanti kalo aku udah tenang, aku pasti hubungin kalian lagi. Aku berangkat sekarang. Selamat tinggal. Sampai ketemu lagi."

Sheryl berusaha menahan tangisnya. Ya, ia adalah gadis yang kuat hingga mampu menahan tangisnya sendiri. Ia berpaling untuk beranjak pergi.

Sheryl hanya berharap ia akan mendapatkan perpisahan paling manis dari keempat sahabatnya itu, tapi ia yang ia terima adalah sebaliknya.

"Sheryl..."

Sheryl menghentikan langkahnya, tapi tak berpaling. Ia tahu bahwa semua ini juga berat untuk mereka lakukan. Itulah mengapa ia tak marah. Ya, ia memang kecewa. Oleh karena itu, ia perlu waktu untuk menenangkan pikiran.

"Maafin kami, Sheryl, karena kami udah ngasih kamu kopi yang pahit banget sebelum kamu pergi. Maafin kami karena cuma ngasih hadiah luka yang nyakitin kamu banget. Kami tau kalo ini bukan perpisahan yang manis buat kamu. Maafin kami karna sebagai sahabat-sahabat kamu, kami bener-benar jahat udah ngasih perpisahan ini. Padahal seharusnya kami ngasih perpisahan paling manis buat kamu." Suara Ashley terdengar serak. Ia sedang berusaha menahan tangis.

"Tapi, di balik semua itu, kami engga pernah bermaksud buat nyakitin kamu. Kami sayang sama kamu, Sheryl," Ashley melanjutkan dengan nada yang masih serak.

"Aku bisa mengerti semuanya, Ash. Aku cuma perlu waktu buat berpikir. Itu aja. Aku janji kalo udah tenang dan bisa bicara lagi sama kalian, aku bakalan hubungin kalian. Selamat tinggal." Suara Sheryl terdengar tenang. Gadis itu memang pandai memanipulasi diri.

Sebelum Sheryl beranjak lagi, ia mendapati orangtua dari keempat sahabatnya datang. Ia merasa tak sopan jika tak berpamitan, jadi, ia berpamitan kepada mereka. Bersikap seolah-olah tak terjadi apapun. Ia sempat menengok ke arah keempat sahabatnya sebelum akhirnya melangkah kembali menuju gerbang penerbangan sambil menguatkan diri untuk tidak menangis. Setidaknya jangan sekarang. Anita, Ashley, Ruth dan Sandra hanya dapat memandangi kepergian Sheryl dengan tatapan penuh penyesalan.

Mereka terduduk di kursi dengan tubuh lemas. Tetesan demi tetesan mengalir di kedua pipi mereka. Air mata penyesalan bukan air mata haru. Pagi ini mereka memberikan 'hadiah' luka dan kekecewaan kepada Sheryl bukanlah 'hadiah' pelukan hangat dan penuh kasih sayang. Ia membawa 'hadiah' itu bersamanya sampai ke Amerika. Yang ada kini hanya penyesalan, kesedihan dan luka mendalam.

Orangtua mereka berusaha menenangkan anak-anak mereka. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi. Mereka berpikir bahwa anak-anak mereka berpisah karena harus berpisah dengan sahabat mereka.
Air mata mereka mengalir deras seakan tak bisa berhenti jatuh mengaliri pipi mereka.

-Love From The Rain-

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

2M 163K 26
Mati dalam penyesalan mendalam membuat Eva seorang Istri dan juga Ibu yang sudah memiliki 3 orang anak yang sudah beranjak dewasa mendapatkan kesempa...
626K 99.7K 39
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
164K 12K 26
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
972K 47.5K 47
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...