FRENEMY

بواسطة Athree26

212K 2.8K 48

Grace Anindya merasa hidupnya ketiban sial tatkala bertemu dengan junior di kampusnya yang bernama Reynald Fa... المزيد

part 2-he's lonely
part 3-The Hidden Side
part 4-Can You Hear My Heart?
part 5-Kiss And Tell

FRENEMY

41.5K 714 14
بواسطة Athree26

Motor ninja berwarna merah itu melaju kencang membelah jalan di kota Jakarta. Beberapa sumpah serapah dan makian keluar dari mulut pengendara jalan yang lainnya. Aksi ngebut si pengendara motor ninja tersebut bahkan hampir memakan korban. Seorang pelajar SMP yang hendak menyebrang jalan hampir saja tertabrak oleh motor ninja tersebut, setelah sebelumnya si pengendara mengerem motornya dengan cepat hingga menimbulkan bunyi berdecit yang keras. Kemudian, si pengendara motor membuka kaca helm-nya dan menatap pelajar SMP itu dengan tatapan kesal.

            “Nyebrang jalan liat-liat, dong!” serunya. Detik berikutnya, dia menutup lagi kaca helm-nya dan kembali menjalankan motor ninjanya dengan kencang. Si pelajar SMP tersebut hanya bisa melongo di tempat dan mengelus dada.

            Tidak mudah sebenarnya, mengendarai motor besar seperti motor ninja di tengah suasana jalan kota Jakarta yang sedang macet seperti saat ini. Hari ini hari Senin. Hari dimana semua pelajar, mahasiswa, karyawan kantor, pejabat, menteri, dan lain sebagainya memulai aktivitas mereka. Hari Senin adalah hari yang membuat semua orang menjadi kesal karena harus berangkat lebih awal agar tidak terjebak macet. Termasuk si pengendara motor ninja tersebut. Dia harus mengontrol emosinya karena tidak bisa bergerak kemanapun. Akses untuk keluar dari kemacetan ini tidak ada sama sekali. Nol persen! Dengan jengkel, si pengendara motor melepas helm-nya dan menaruhnya si stang motornya.

            “Sial!” umpatnya. Diraihnya ponsel yang berada di saku celana jeans-nya dan dicarinya nama seseorang di buku telepon ponselnya. Dia sama sekali tidak sadar bahwa dua orang perempuan yang berada didalam mobil sedan di sebelah kanan motornya dan seorang perempuan yang berada didalam mobil Jazz di sebelah kiri motornya sedang menatap ke arahnya tanpa berkedip.

            “Halo?”

            “Zo, dosen udah dateng?” tanya si pengendara motor ninja tersebut tanpa basa-basi. Orang di ujung telepon sana mengerutkan kening ketika mendengar pertanyaan tersebut.

            “Apa? Ini siapa?”

            “Ck! Elo... ini gue!”

            “Gue? Gue siapa?”

            “Reynald!”

            Terdengar tawa di ujung sana. Laki-laki yang bernama Reynald itu mengerutkan kening dan mendengus kesal. “Kenzo! Gue nggak lagi ngelawak! Gue nanya, dosen udah dateng atau belum?”

            “Maaf, Rey, maaf... soalnya nomor lo nggak terdaftar di ponsel gue. Lo ganti nomor, ya?”

            Reynald menggeram kesal dan memutar kedua bola matanya. Ketika dia tidak sengaja menoleh ke kanan, ke arah mobil sedan yang berada di sebelahnya, Reynald menaikkan satu alisnya. Kedua perempuan yang berada didalam mobil sedan tersebut menatap ke arahnya sambil tersenyum penuh makna.

            Reynald balas tersenyum aneh dan memutar kepalanya ke kiri. Ke arah mobil Jazz yang berada di sebelahnya juga. Pemandangan yang sama seperti yang berada di sebelah kanannya. Seorang perempuan dengan setelan kantor sedang menatap ke arahnya sambil mengedipkan sebelah matanya, membuat Reynald seketika bergidik ngeri.

            “Nggak penting gue ganti nomor atau nggak, Zo...,” balas Reynald menahan emosi. Dia berusaha untuk tidak melirik ke kanan maupun ke kiri. Tatapannya kini hanya terfokus ke depan. Ke arah jalanan yang masih saja padat karena kemacetan yang sangat parah dan tidak ada tanda-tanda kendaraan akan bergerak sama sekali. “Gue cuma butuh jawaban lo sekarang juga! Dosen udah dateng apa belum? Gue kejebak macet ini!”

            “Belum,” jawab Kenzo singkat sambil tersenyum geli di kelasnya. Terbayang di benaknya wajah kesal Reynald karena kemacetan yang dialaminya saat ini. Reynald sangat anti dengan kata macet. Dia akan terus cemberut dan marah-marah tidak jelas apabila dia terjebak dalam kemacetan.

            “Bagus! Kalau dosen udah dateng dan gue belum sampai di kampus, tanda tanganin absen gue, paham?”

            “Sip, Bos...,” balas Kenzo semangat.

            Reynald menghembuskan napas berat dan memutuskan sambungan telepon. Ditaruhnya lagi BlackBerry miliknya ke saku celana jeans-nya. Ketika mobil-mobil di depannya sudah mulai berjalan, meskipun belum terlalu lancar, Reynald langsung mengenakan helm-nya dan menggas motornya gila-gilaan, setelah sebelumnya dia menoleh ke kanan dan mengedipkan satu matanya untuk dua orang perempuan yang berada didalam mobil sedan. Akibatnya, dua orang perempuan tersebut berseru kegirangan dan mendapat protes dari mobil yang berada di belakangnya dengan cara membunyikan klakson sekeras mungkin karena mobil mereka tak kunjung bergerak.

~~~

“Grace!”

            Grace Anindya, seorang gadis manis berambut panjang bergelombang dan menutup punggungnya. Memiliki kedua bola mata berwarna cokelat terang dan hidung yang mancung. Kulitnya yang putih serta bibir yang kemerahan membuatnya diidolakan oleh mahasiswa di Universitas Harapan Bangsa. Ketika mendengar namanya dipanggil, Grace menoleh dengan cepat dan tersenyum saat Azizah, sahabatnya sejak semester satu menghampirinya.

            “Hai,” sapa Grace ramah. Gadis itu menggamit lengan Azizah dan keduanya berjalan beriringan di sepanjang koridor kampus. Di sepanjang koridor, tak henti-hentinya Azizah memperhatikan para mahasiswa yang menatap ke arah Grace secara terang-terangan. Azizah sampai menggelengkan kepalanya dan berdecak kagum.

            “Kenapa, Zah?” tanya Grace santai. Gadis itu sendiri tidak ambil pusing dengan tatapan-tatapan memuja yang jelas-jelas ditunjukkan ke arahnya. Entah karena Grace tidak ambil pusing atau tidak tahu akan hal itu.

            “Lo nggak sadar?” tanya Azizah sambil menatap Grace. Yang ditanya hanya menggeleng polos hingga membuat Azizah tertawa pelan.

            “Apaan, sih, Zah?” tanya Grace bingung. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri dan mendapati tatapan-tatapan yang diarahkan para mahasiswa ke arahnya dan Azizah. “Zah, jangan ketawa kayak gitu. Elo diliatin sama mereka semua, tau!”

            Langkah kaki Azizah seketika terhenti. Gadis itu tersenyum geli ke arah Grace. Ditepuk-tepuknya pundak Grace dengan pelan.

            “Grace... mereka tuh nggak ngeliatin gue. Mereka itu ngeliatin elo....”

            “Hah? Gue?” tanya Grace seraya menunjuk dirinya sendiri. “Emang gue kenapa, Zah? Ada yang salah ya sama muka gue? Ada kotoran ya di muka gue? Bersihin, dong, Zah!”

            “Mereka ngeliatin lo karena lo itu cantik, Grace! Masa, sih, lo nggak sadar? Lo tuh disukain sama banyak cowok di kampus ini, tau....”

            Sekarang, ganti Grace yang tertawa. Terkadang, Azizah merasa heran dengan sahabatnya ini. Grace adalah gadis yang cantik dan baik hati. Dia juga cerdas dan pandai berkomunikasi. Tapi, dia sama sekali tidak mempunyai niat untuk berpacaran. Pernah suatu hari, Azizah menanyakan kenapa Grace tidak ingin berpacaran dan Grace hanya berkata bahwa dia ingin fokus dengan pendidikannya terlebih dahulu. Padahal, kalau Grace membuka sayembara detik ini juga, Azizah yakin bahwa akan banyak laki-laki yang mendaftar. Meskipun diidolakan oleh banyak laki-laki di kampus, Grace tetap bersikap biasa saja. Tidak menjadi sombong seperti kebanyakan mahasiswi di kampus ini. Yang selalu membanggakan wajah cantik mereka dan harta kekayaan orangtua mereka.

            “Masa? Ah, perasaan lo aja mungkin, Zah,” balas Grace sambil kembali berjalan. Di sebelahnya, Azizah menyamakan langkah Grace. Tuh, kan, benar, kan? Batin Azizah pelan.

            “Lo kenapa nggak coba buat pacaran, Grace? Gue jamin kalau lo buka sayembara sekarang juga, pasti banyak cowok yang daftar buat jadi pacar lo.”

            Grace tertawa renyah. Gadis itu mengibaskan sebelah tangannya dan menoleh sekilas untuk menatap Azizah.

            “Kan gue udah pernah bilang sama lo kalau gue itu—“

            Belum selesai Grace berbicara, tiba-tiba dari arah berlawanan, sesuatu—atau lebih tepatnya seseorang—menabraknya dengan keras. Grace yang hilang keseimbangan hanya bisa menjerit, sebelum akhirnya lengannya ditahan oleh Azizah. Helaan napas lega berhembus dari hidung Grace. Kemudian, gadis itu mendongak dan bertemu mata dengan seorang laki-laki yang saat ini menatapnya sinis. Laki-laki itu lebih tinggi darinya. Alis matanya tebal menaungi kedua matanya yang berwarna cokelat terang, sama seperti warna mata Grace. Rambutnya sedikit menutupi tengkuk.

            “Jalan pake mata, Mbak!” seru si laki-laki itu.

            Grace membelalakkan matanya dan menunjuk laki-laki di depannya dengan geram. “Loh, kok jadi elo yang marah-marah?! Harusnya gue yang marah! Elo yang nabrak gue! Seenaknya aja lagi manggil gue ‘Mbak’. Sejak kapan gue jadi Mbak lo, hah?!”

            “Terus elo dipanggil apa? Adik? Jelas-jelas, elo kakak tingkat gue! Panggilan yang cocok buat lo itu ya Mbak!”

            “Oh, jadi lo adik tingkat? Songong banget lo! Mana sopan santun lo, hah?!”

            Sementara Grace berdebat dengan si laki-laki yang baru saja menabraknya, Azizah mengerutkan keningnya seraya memperhatikan wajah laki-laki tersebut. Azizah merasa pernah melihat wajah laki-laki itu sebelumnya. Kemudian, tiba-tiba saja, Azizah tersentak dan menatap laki-laki itu dengan ragu.

            “Reynald Farhenza....”

            Laki-laki yang dipanggil Reynald itu menoleh dan mengangkat satu alisnya. “Ya... kenapa?”

            Azizah tersenyum kecil dan menggeleng. Jantungnya berdegup kencang. Dia bisa merasakan bahwa Reynald kini tersenyum puas didalam hatinya. Grace yang melihat perubahan pada sikap Azizah kontan mengerutkan kening.

            “Zah? Lo kenapa?” tanya Grace berbisik. Grace melirik laki-laki di depannya ini, yang sekarang melipat kedua tangannya di depan dada, dengan lirikan kesal.

            “Gue rasa teman lo itu tau gue,” ucap Reynald tiba-tiba, membuat perhatian Grace seketika tercurah padanya. Grace menyipitkan mata dan mengerutkan keningnya.

            “Gue pergi dulu. Dan lo, tampang lo aja cantik, tapi sikap lo jauh dari kata cantik. Mentang-mentang gue adik tingkat, lo seenaknya aja memakai status lo sebagai kakak tingkat untuk menindas gue.”

            Selesai berkata demikian, Reynald pergi meninggalkan Grace yang melongo karena mendengar ucapannya. Kemudian, Grace langsung mengguncang lengan Azizah dan meminta penjelasan sahabatnya itu atas sikapnya yang mendadak aneh beberapa saat yang lalu.

            “Zah! Lo kenapa, sih? Kok lo bisa tau kalau cowok tadi namanya Reynald? Dia bilang kalau dia adik tingkat kita. Lo kenal sama adik tingkat kita itu? Dia juga bilang kalau lo udah tau dia itu siapa.” Grace menggoyang-goyangkan lengan Azizah. “Azizah! Reynald itu siapa, sih?”

            Azizah menoleh dan memukul jidat Grace pelan. Grace yang tidak terima jidatnya ditepuk hanya bisa mengerucutkan bibirnya dan mengelus jidatnya. “Kenapa lo malah mukul gue, Zah? Tega banget!”

            “Grace... lo tau nggak, Reynald Farhenza tadi itu siapa?” tanya Azizah pelan. Grace mengangguk polos.

            “Iya... adik tingkat kita, kan? Tadi dia juga udah ngomong kayak gitu.”

            Azizah berdecak dan sekali lagi menepuk jidat Grace. “Dodol! Reynald Farhenza itu, selain dia adik tingkat kita, dia juga anak pemilik kampus ini!”

            “Hah?!” Grace membelalakkan matanya. “Serius lo? Jangan bercanda!”

            “Gue serius!”

            “Tapi... kenapa dia bisa tau kalau kita kakak tingkat dia, Zah?”

            Azizah mengangkat bahunya. “Mungkin karena dia nggak nemuin wajah kita di kelasnya makanya dia beranggapan kalau kita adalah kakak tingkat.”

            Grace menatap koridor di depannya dengan kening berkerut. Reynald Farhenza? Anak pemilik kampus? Apa tadi dia bilang? Dia bilang kalau gue menindas dia? Nggak salah? Nggak kebalik? Yang tadi marah-marah, bukannya dia, ya? Grace membatin.

            Tiba-tiba, Grace melihat langkah kaki Reynald yang sudah berada jauh di depannya berhenti. Laki-laki itu menoleh ke arahnya dan menatapnya dengan tatapan tajam dan sinis. Untuk sesaat, Grace bisa merasakan jantungnya berhenti berdetak. Tatapan mata Reynald seolah menguncinya, membuatnya tidak bisa mengalihkan pandangannya sama sekali. Kemudian, Reynald tersenyum miring ke arah Grace. Jenis senyuman yang berbahaya dan senyuman sinis. Setelah itu, laki-laki itu kembali melanjutkan langkahnya. Tanpa sadar, jantung Grace kini berdebar keras. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya.

            Apa-apaan si Reynald Farhenza itu?! desis Grace berang.

~~~

Reynald memainkan bolpoinnya dengan tatapan kosong. Sudah sejak setengah jam yang lalu dosen mata kuliah manajemen sudah meninggalkan kelasnya. Selama kuliah berlangsung pun, Reynald sama sekali tidak memperhatikan penjelasan sang dosen. Pikirannya terus melayang ke kejadian pagi tadi, saat dia sampai di kampus dan bertemu dengan ayahnya. Ucapan ayahnya saat di gerbang kampus pun, masih terekam segar didalam otaknya.

            “Mau sampai kapan kamu terus bersikap seperti anak SMA, Rey?” tanya ayahnya tegas. Reynald hanya mendengus dan mengalihkan tatapannya ke arah lain. Meskipun saat ini, beberapa pasang mata tengah menatap mereka dengan kening berkerut dan berkasak-kusuk.

            “Kenapa? Ayah malu punya anak yang hanya bisa membuat masalah seperti Rey?” tanya laki-laki itu dingin. Ketika mengucapkan kalimat tersebut, Reynald menoleh ke arah ayahnya dan menatap pria paruh baya itu dengan tatapan sinis.

            “Ayah tidak pernah berkata demikian! Ayah tidak pernah malu mempunyai anak seperti kamu, Rey! Meskipun sikapmu selalu membuat Ayah kesal dan jengkel, meskipun kamu selalu mencari masalah dan membuat onar, tapi kamu tetaplah anak Ayah!”

            Reynald terkekeh geli. Laki-laki itu kemudian menarik napas panjang dan membuangnya keras. Kedua tangannya dilipat di depan dada. Matanya masih menatap ayahnya dengan tatapan sinis.

            “Oh ya? Ayah bilang kalau Ayah tidak malu mempunyai anak seperti Rey?”

            Ayahnya hanya diam. Sementara itu, mahasiswa-mahasiswa yang lain semakin banyak yang memperhatikan perdebatan yang terjadi antara Reynald dan pemilik kampus tersebut. Tak banyak yang tahu kalau Reynald adalah anak dari Darian Farhenza. Pria kaya raya yang baik hati, tegas, bijaksana dan selalu disegani oleh semua orang.

            “Kalau Ayah tidak malu mempunyai anak seperti Rey, maka Ayah tidak perlu capek-capek untuk merubah Rey menjadi seperti yang Ayah mau. Rey bukan Bang Rizko, Yah, yang bisa Ayah banggakan di depan rekan-rekan Ayah. Rey bahkan nggak sudi impian Rey Ayah atur. Rey punya mimpi dan Rey akan mewujudkannya. Tidak peduli Ayah setuju atau tidak.”

            Setelah berkata demikian, Reynald pergi meninggalkan ayahnya yang hanya bisa membeku di tempatnya. Sama sekali tidak berniat untuk menoleh ke arah ayahnya barang sebentar saja, apalagi meminta maaf karena ucapannya yang mungkin saja sudah membuat ayahnya tersinggung.

            “Demi Tuhan Reynald Farhenza, sekali lagi gue panggil dan lo masih bengong nggak jelas kayak gitu, gue siram lo pakai air panas!”

            Satu suara keras itu mengembalikan Reynald ke alam sadarnya. Laki-laki itu menoleh dan mendapati Kenzo sedang berdiri berkacak pinggang di depannya sambil mengerucutkan bibirnya. Persis seperti perempuan. Melihat itu, Reynald kontan mengerjapkan mata dan tertawa pelan.

            “Kenapa lo ketawa?” tanya Kenzo jengkel. Laki-laki itu duduk di samping Reynald dan melipat kedua tangannya di depan dada. “Ada yang lucu?”

            Reynald mengangguk sambil tetap tertawa. Bukan pertunjukan lawak yang bagus memang, tapi setidaknya, tingkah Kenzo barusan bisa membuat Reynald sedikit melupakan insiden tadi pagi bersama ayahnya.

            “Lo kalau berpose kayak tadi, mirip banget sama cewek, tau nggak?”

            Kenzo meninju bahu Reynald dongkol dan mencibir saat mendapati Reynald masih saja tertawa.

            “Berisik, Rey. Jangan ketawa lagi atau lo gue tendang sampai ke Malaysia!” ancam Kenzo.

            “Emangnya bisa?” tanya Reynald geli. “Lo bikin gue patah tulang aja belum tentu bisa. Lo lupa? Gue itu pemegang sabuk hitam karate.”

            “Ya... ya... ya... pemegang sabuk hitam karate, suka main gitar, jago nyanyi, apalagi, sih, yang gue nggak tau tentang lo?”

            Reynald tersenyum kecil dan menghela napas panjang. “Tadi pagi... pas gue baru nyampe di kampus, gue berantem sama bokap di depan gerbang.”

            Kenzo serta-merta menoleh. Dia bisa melihat wajah datar Reynald meskipun bibir laki-laki itu menyunggingkan seulas senyum. Awal mengenal Reynald, Kenzo juga menemukan laki-laki itu sedang berseteru dengan Darian Farhenza, orang pemilik kampus ini sekaligus ayah dari Reynald, di belakang kampus. Saat itu, mereka baru selesai melaksanakan OSPEK. Kalau tidak salah sekitar sebulan yang lalu. Waktu itu, Kenzo tidak sengaja melihat Reynald ditampar oleh Darian hingga laki-laki itu jatuh tersungkur dan sudut bibirnya mengeluarkan darah. Begitu Darian pergi, Kenzo menghampiri Reynald dan membantu laki-laki itu. Sejak saat itu, Reynald dan Kenzo menjadi teman dan bersahabat. Kenzo bahkan tahu semua tentang masalah Reynald dan Darian.

            “Kenapa... Rey?” tanya Kenzo pelan.

            “Lo tau betul kenapa,” balas Reynald seraya memejamkan kedua matanya. Kemudian, Reynald bangkit dari duduknya dan mengenakan ranselnya.

            “Rey, lo mau kemana?” tanya Kenzo yang juga sudah ikut berdiri di samping Reynald.

            “Gue butuh udara segar, Zo... tolong lo tanda tanganin absen gue, ya?” pinta Reynald. Laki-laki itu menepuk pundak Kenzo beberapa kali sebelum akhirnya pergi dari hadapan Kenzo.

            Kenzo hanya bisa terdiam dan menatap nanar punggung Reynald yang perlahan menghilang dari pandangannya. Reynald sebenarnya anak yang baik. Dia cerdas. Menguasai semua mata kuliah yang ada di jurusan manajemen ini. Sayangnya, impiannya adalah jadi pemain musik. Dia ingin meneruskan ke sekolah musik selepas lulus SMA. Hal yang ditentang habis-habisan oleh ayahnya karena beliau ingin Reynald menjadi seorang General Manager.

~~~

Grace memperhatikan berkas-berkas di tangannya dengan seksama. Berkas itu adalah berkas-berkas tugas kuliahnya di semester tiga ini. Grace sedang meneliti apakah ada berkas tugas kuliahnya yang belum tercantum, ketika tiba-tiba dia mendengar bunyi sesauatu dari arah ruang musik. Otomatis, langkah kaki Grace terhenti.

            Bunyi petikan gitar itu begitu merdu. Iramanya membuat hati Grace meringan. Ada kedamaian dan ketenangan yang menjalar di hatinya. Senyumnya mulai merekah dan tiba-tiba saja, Grace mendapati kakinya melangkah perlahan menuju ruang musik.

            Grace berdiri mematung di ambang pintu ruang musik. Tatapan matanya terpaku pada sosok seorang laki-laki yang sedang duduk di tepi jendela dan bermain gitar.

            Laki-laki itu... dia... dia bukannya... Reynald Farhenza? Si adik tingkat yang songong dan anak pemilik kampus ini? Grace membatin.

            Grace bisa melihat tatapan mata Reynald menerawang. Wajahnya terlihat sendu. Meskipun begitu, Reynald tetap bisa fokus memainkan gitarnya.

 

Dan biarkan... aku padamu...

Menyimpan sejuta harapan aku padamu...

Rasa ini... tulus padamu...

Takkan berhenti sampai nanti ku mati...

            Grace terbelalak ketika melihat Reynald menoleh ke arahnya. Tidak ada senyum yang tercetak di bibir laki-laki itu. Perlahan, Reynald turun dari tepi jendela dan mendekati Grace sambil masih memainkan gitarnya. Grace sendiri seakan tidak bisa menggerakkan kedua kakinya untuk segera pergi dari tempat itu. Yang gadis itu lakukan hanyalah terdiam dan membiarkan Reynald mendekat ke arahnya.

 

Biarkan aku jatuh cinta...

Pesonaku pada pandangan saat kita jumpa...

Biarkan aku kan mencoba...

Tak perduli kau berkata tuk mau atau tidak...

(ST 12-Biarkan Jatuh Cinta)

            Kini, Reynald sudah berdiri tepat di depan Grace. Laki-laki itu masih menunjukkan wajah datar dan tatapan sendu.

            “Kenapa? Nggak pernah liat orang setampan gue, Mbak?” tanya Reynald dengan nada mengejek. Ketika melihat Grace masih terdiam di tempatnya, Reynald meniup wajah gadis di depannya, hingga membuat Grace tersentak dan refleks mengerjapkan kedua matanya.

            “Dasar sinting!” seru Grace, lalu memutar tubuhnya dan berlari meninggalkan Reynald yang menggelengkan kepalanya dan terkekeh geli melihat kelakuan Grace.

            “Cewek aneh,” dengus Reynald lalu kembali masuk ke ruang musik dan kembali memainkan gitarnya.

~~~

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

Roomate [End] بواسطة asta

قصص المراهقين

791K 53.5K 40
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
5.8M 249K 57
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
KANAYA (REVISI) بواسطة liaa0415

قصص المراهقين

2.3M 136K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
5M 920K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...