It's a Life Disaster!

By NaRamadani

623K 19.7K 945

Alananda Mitha Hermawan, hidup bahagia dan santai saja selama ini. Namun kejadian nyaris bangkrut, nyaris dij... More

Prolog
1. Alananda Mitha Hermawan
2. Dia
3. Tirtan Putra Bimawangsa
4. Hitam
5. Perpanjangan Waktu
6. Posesif
7. Enggardian Suta
8. Ambang Batas
9. Menyerah
10. Sindrom Pra-Nikah
11. Halang Rintang
12. Seindah Kita
13. Hitam Itu Lagi
14. Serasa
15. Arah Hati
16. Derai Air
17. Tersadar
18. Nila Setitik
20. Akhir Kisah
Epilog

19. Maaf

19K 905 127
By NaRamadani

Ternyata masih ada juga yang tertarik dengan cerita ini ya?
Bukannya saya tidak mau mempublish cerita ini, tapi karena filenya sudah hilang dari laptop lah yg membuat saya tak dapat mempublish lagi lanjutan cerita ini.

Setelah mengubek-ubek laptop saya yang satunya lagi (yang sudah dipensiunkan dari tugasnya), akhirnya bisa saya dapatkan kembali file-file cerita ini.

Tapi....

Filenya masih dalam bentuk ketikan pertamanya, alias no editing sama sekali. Jadi harap maklum, kalau mungkin ada yang dirasa janggal.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Mentari mulai beranjak menerangi bumi, namun Tirtan masih tak dapat tertidur. Dipandanginya wajah Lana yang masih tertidur nyenyak disampingnya, tanpa sekalipun terbangun untuk muntah maupun meminum susu cokelat, sepertinya episode mengidam Lana sudah berakhir. Tangan Tirtan menangkup lembut pipi Lana, merekam baik-baik wajah istrinya itu.

Semalaman ia tak dapat tidur setelah menelpon Nania. Ia tak tahu apa yang harus dikatakannya atau dijelaskannya pada Lana agar istrinya itu mengerti. Baru kali ini ia mengalami situasi seperti ini dan benar-benar membuatnya kehabisan akal.

Tiba-tiba Lana membuka matanya, memandangi Tirtan yang masih menangkup pipinya. Tirtan hanya bisa tersenyum paksa.

Morning, hun.”

Lana hanya menatap Tirtan tanpa menjawab sapaan pagi suaminya. Tanpa mengindahkan Tirtan sama sekali, ia bangkit terburu-buru ke kamar mandi, Tirtan segera mengekorinya dan terhenti di depan pintu kamar mandi lantaran Lana segera mengunci pintu tersebut.

“Sayang? Kenapa dikunci?” Di ketuk-ketuknya pintu itu.

Tak terdengar balasan sama sekali dari Lana dan beberapa saat kemudian pintu itu kembali terbuka. Lana berjalan dengan santai dan kembali ke tempat tidur membungkus dirinya dengan bedcover hingga leher. Ia bergelung dengan nyamannya tanpa menggubris Tirtan sama sekali.

Tirtan tak menyerah begitu saja. Ia kembali berbaring dan meraih Lana kedalam pelukannya. Lana juga masih tak menggubrisnya, matanya tetap terpejam. Tirtan hanya bisa mengecup lembut kening Lana. Setidaknya istrinya itu tak menolaknya sama sekali. Kelegaan langsung menyelimutinya, kemudian tanpa kuasa kantukpun mulai menguasainya, membawa Tirtan dalam lelap dengan Lana dalam pelukannya.

***

Sekitar setengah jam kemudian setelah yakin Tirtan sudah terlelap, Lana akhirnya perlahan melepaskan pelukan Tirtan. Ia bangkit perlahan dan menyelimuti Tirtan. Ia tahu Tirtan belum tidur semalaman, dengan kantung mata besar dan gelap dibawah matanya anak kecil sekalipun pasti tahu pria itu belum tidur sama sekali.

Dipandanginya wajah Tirtan dengan seksama, wajah orang yang dicintainya. Perlahan ia menunduk dan mengecup cepat bibir Tirtan.

Sleeping handsome.” Gumamnya. Tirtan bergerak, tangannya mencari-cari. Lana segera mengenggam lembut tangan pria itu, kemudian Tirtan kembali larut dalam tidurnya, berhenti mencari. Lana hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Bahkan dalam tidurpun Tirtan selalu mencarinya.

Setelah berhasil melepaskan genggaman mereka, Lana beranjak mandi, berpakaian dan akhirnya menuju dapur. Ia menyiapkan makanan sambil menyeruput susu coklatnya. Entah sudah berapa lama ia berkutat di dapur akhirnya ia dikagetkan dengan suara panik Tirtan yang sedang mencarinya.

Ia tak menjawab panggilan suaminya itu, sedang malas bersuara. Begitu Tirtan menemukannya di dapur segera didekapnya erat Lana dari belakang. “Jangan pergi, hun.”

“Aku cuma masak.”

Tirtan masih tetap mendekap Lana, sedangkan istrinya tetap memasak tanpa menghiraukannya sama sekali.

“Lepas. Aku lagi sibuk.”

Tirtan segera melepas pelukannya, tak ingin membangkitkan kemurkaan istrinya seperti tadi malam.

Yang dilakukan Tirtan hanyalah mengekori tiap langkah Lana dan juga berpikir bagaimana menjelaskan permasalahan ini pada istrinya. Ia tak sanggup bila istrinya terus bersikap seperti ini, menjaga jarak darinya.

Lana selesai memasak dan meja makanpun sudah siap berkat bantuan Tirtan. Mereka berdua duduk dan memulai prosesi makan mereka. Lana tampak datar-datar saja menurut pengamatan Tirtan.

“Sayang, ” Akhirnya Tirtan bersuara setelah mengumpulkan keberaniannya.

Lana yang sedang berkonsentrasi dengan makanannya mengangkat wajah dan menatap Tirtan dengan ekspresi bosan.

“Hmm?”

“Aku tahu kesalahanku.”

“... ”

“Erisa, kan?”

Genggaman tangan Lana mengetat di sendok dan garpunya. “Berarti kamu sudah siap menandatangani surat cerai ini?” Ucap Lana sambil mengangsurkan kertas yang ada disudut meja makan.

Tirtan melongo tak percaya kemudian segera meraih kertas tersebut, ingin mengetahui ucapan istrinya hanya gertakan semata atau bukan, dan ternyata bukan.

“Sayang, ini bukan seperti dugaanmu.” Kepanikan mulai melanda Tirtan. Kalimat penjelasan yang telah tertata rapi dikepalanya berhamburan kesegala arah.

Lana menaikkan sebelah alisnya dan berucap dengan bosan. “Intinya kamu ketemuan dengan dia dibelakangku kan?”

“Iya, tapi- “

Stop it. Aku nggak ada waktu. Aku mau ke rumah mama.” Lana segera beranjak dari meja makan tanpa repot-repot menghabiskan makanan yang ada dipiringnya. Tirtan yang melihat itu segera bangkit mengejar Lana yang kini telah sampai di counter tempat cuci piring.

“Kamu jangan lari dari masalah. Kita kan bisa membicarakannya baik-baik.”

“Maaf saja, Tan. Aku tak lari dari masalah, kamu tak sepenting itu. Aku memang ada janji dengan mama untuk berkunjung semenjak minggu lalu.”

Tirtan seketika dapat bernapas lega mendengar  ucapan Lana barusan.

“Sekarang, permisi. Kamu menghalangi jalanku.” Ucap Lana datar.

Tirtan segera menggenggam tangan Lana. “Aku antar, hun.”

“Tak perlu. Kamu urus saja surat cerai itu.”

Tirtan lupa masih ada surat cerai itu. Sial!

“Kita takkan bercerai. Aku takkan mengurus surat cerai itu. ”

Lana memandang sinis pada Tirtan, “You’re not? Then I will. Problem solved.” Dihentakkan tangannya agar terlepas dari genggaman Tirtan. Segera diraihnya tas tangannya yang sudah ia siapkan sedari tadi kemudian mulai melangkah keluar rumah.

Tirtan tak ingin menyerah begitu saja. Tahu pasti ia harus berjuang sampai titik darah penghabisan agar ia dapat terus bersama dengan istrinya ini. “Kumohon maafkan aku, hun. Kamu jangan seperti ini. Kita bisa bicara baik-baik. Akan kulakukan apapun agar kau mau mendengarkan penjelasanku.”

“Cerai. Aku mau cerai. ” Langkah Lana semakin cepat menuju garasi.

Except that, of course.

“Kalau begitu tak ada lagi yang bisa kau lakukan untukku.” Lana membuyarkan semua harapan yang ada untuk Tirtan. Tirtan hanya bisa ternganga seperti orang bodoh,tak tahu harus berkata apa.

“Selamat tinggal.”

Ucapan Lana barusan menghentakkan Tirtan kembali ke kenyataan. “Sayang? Kamu janji akan pulang kan?” Ia masih terus berjalan mengekori Lana yang kini sudah sampai di garasi mereka.

“Maaf. Aku gak bisa memberikan janji yang sudah pasti takkan bisa kutepati.” Lana mengucapkan sambil lalu dan naik ke mobil. Begitu pintu mobil tertutup Tirtan segera mengetuk-ngetuk tak sabaran kaca jendela mobil tersebut.

“Apa lagi, sih?” Lana bertanya tak sabaran pada Tirtan begitu kaca mobil diturunkan. Mesin mobil sudah dinyalakan, tangannya sudah siap memindahkan tongkat persneling untuk segera melaju.

“Kalau kamu tak pulang, aku yang bakalan menyusul kesana dan menginap bersamamu.” Ancam Tirtan tanpa pikir panjang.

Mata Lana kemudian memakunya, menyiratkan tantangan dengan jelas.

“Coba saja dan kita lihat nanti.” Kalimat ancaman Tirtan barusan tak ada artinya dengan ancaman Lana kali ini.

***

“Tirtannya mana?” Tanya mama Lana disela-sela kegiatan mereka mengolah isi dapur.

“Mungkin sebentar lagi datang.” Jawab Lana sambil lalu, tetap melanjutkan kegiatannya memotong-motong tempe tanpa berhenti.

Mamanya mengamati tingkah laku Lana kemudian menggeleng-geleng perlahan, secara tidak langsung mengerti situasi yang kini tengah terjadi antara Lana dan Tirtan. “Kalian kalau berantem mending cepat diselesaikan. Nanti lama-lama jadi borok dan meninggalkan bekas kalau tak cepat-cepat ditangani.”

“Memangnya penyakit? Ckckck.” Lana masih tetap memotong-motong kecil tempe naas tersebut. Ia tahu mamanya pasti akan dapat mengendusi pertengkarannya dengan Tirtan jadi ia tak heran jika mamanya mulai melancarkan nasehat-nasehat tanpa ia minta. Mamanya kembali konsentrasi pada masakan yang sedang diolahnya. Sejenak melupakan Lana yang masih berkutat dengan tempe yang kini sudah kembali menjadi butiran kedelai.

“Mama tahu kamu kok.” Ucap mamanya tiba-tiba. “Walaupun kamu bisa meledak-ledak marah kapan saja, tapi dengan cepat kamu bisa berpikiran jernih. Jadi mama tak terlalu khawatir, selama masalah kalian memang bukan masalah yang besar.”

Akhirnya Lana terdiam, berhenti mencincang tempe dihadapannya, mencermati setiap perkataan mamanya.

 “Memangnya ada apa dengan kalian?”

“Ih, mama kepo deh. Mau tau aja urusan orang.” Lana segera meraih kembali pisau untuk melanjutkan kembali cincangannya pada tempe yang telah dimutilasi dengan kejam.

“Ya ampun, hati-hati kalau ngomong. Kamu lagi hamil loh, kalau anak kamu nanti kayak gitu gimana?”

Lana bergidik ngeri. “Jangan sampai deh.”

“Ngomong-ngomong, itu tempe nggak bakalan bisa diolah lagi kalau kamu cincang kayak begitu.”

Lana tersadar dengan kegiatannya kemudian menatap ngeri pada hasil perbuatannya. “Mamaaaaaaa! Aku mau makan sambel tempe.” Teriak Lana dengan histeris.

“Ya udah, pergi beli lagi aja.” Ucap mamanya dengan enteng.

“Nggak mau. Aku mau tempe yang ini.”

“Ya sudah, kamu goreng sana.”

Lana menggerutu tanpa henti kemudian beralih memanaskan wajan dan akhirnya sepasang ibu dan anak tersebut kembali terlarut dalam kegiatan masak-memasak mereka.

***

Lana dan kedua orangtuanya bercakap-cakap santai di ruang keluarga. Bercengkerama seakan tak ada masalah sama sekali yang sedang melanda. Begitu jam menunjukkan pukul delapan malam, Lana berpamitan.

“Nginap disini aja, Lan.” Mamanya mencegah kepulangan Lana, masih merasa rindu dengan anak semata wayangnya.

“Nggak bisa ma. Tirtan pasti belum makan malam dan dia nggak bakalan berani datang kemari.”

Ayahnya yang asyik menonton TV seketika tersadar. “Oh iya, kemana memangnya Tirtan? Kok daritadi nggak datang?”

“Pasti di rumah, Pa. Aku larang dia datang kemari. Kalau dia berani datang, aku bakalan ngambek.” Jawab Lana terus terang.

Ayahnya memandang penuh spekulasi pada Lana. “Kamu kok kejam sama suami sendiri?”

“Biarin. Suami sendiri kok.” Lana berucap dengan entengnya.

Orangtua Lana hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah putrinya yang tak berubah. Setelah membekali Lana dengan berbagai makanan yang sengaja dibuatkan oleh sang mama, akhirnya Lana pulang.

Baru beberapa menit ia mengemudikan mobilnya, smartphonenya berbunyi. Tanpa melihat siapa yang menelepon ia mengangkatnya, rileks karena ia tahu bukan Tirtan yang memanggilnya, soalnya ia sudah menyetel nada dering khusus untuk suaminya.

Suara yang menyapa dari sambungan telepon tersebut sanggup membuatnya membanting stir ke bahu jalan. Setelah memastikan ia berhenti di lajur yang aman Lana kembali memusatkan perhatian kepada si penelepon.

“Ada apa lagi, Erisa?”

***

Tirtan frustasi. Sepulangnya dari kantor Lana masih juga belum kembali dari rumah orangtuanya. Ingin disusulnya namun ia teringat ancaman Lana sesaat sebelum pergi. Ingin keluar tapi ia takut Lana akan pulang dan tidak menemukannya dirumah kemudian Lana akan benar-benar meninggalkannya. Jadi yang dilakukannya hanya mondar-mandir tak jelas bagaikan tahanan dalam penjara sementara jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.

Bila dalam keadaan normal, saat seperti ini amarahnya pasti sudah menggelegak kemana-mana, namun saat ini keadaan sangat jauh dari normal, bahkan bisa dibilang ini adalah keadaan emergensi. Dimana bila ia salah bertindak sedikit saja maka bisa saja rumah tangga mereka akan musnah, mati.

Tiba-tiba smartphonenya berbunyi, tanda pesan masuk. Dari Lana! Akhirnya… Entah sudah berapakali ia mengirimkan pesan singkat, via sms, bbm, line, whatsap, bahkan panggilannya pun di reject dan semua pesannya tak dibalas. Read pun tidak!

Dengan berdebar-debar dibukanya pesan dari Lana, dan isinya, tiga huruf.

From: My Hun

Aku pulang 

PULANG KEMANAAAAAAA?!  Pulang kerumah orangtuanya? Lana tidak akan kembali? Lana mau meninggalkannya?! Tidak! Tidak! Tidak!!

Tirtan menatap nyalang kesekelililng ruang tamu tersebut. Tatapan matanya terhenti pada sebuah bingkai foto. Foto pernikahan mereka. Di raihnya benda itu kemudian berlari kearah kamar mereka.

Segera dibukanya satu per satu pintu lemari tempat baju-baju Lana. Semuanya masih ada ditempat semula. Ia tak mengerti. Dilihatnya bayangan dirinya melalui kaca meja rias Lana, tangannya terkepal. Ingin rasanya ia menghancurkan sosok itu, sosok dirinya yang sudah bertindak begitu bodoh dengan mengiyakan ajakan Erisa. Tanpa disadarinya kaca  itu sudah retak, pecah berantakan. Ditatapnya tak percaya pada tangan kanannya yang kini mulai meneteskan darah. Bahkan rasa sakitnya tak berasa dibandingkan rasa sakit dihatinya.

***

Lana memarkir mobil di garasi. Ia turun dengan segala bekal dari mamanya. Dilihatnya mobil Tirtan sudah terparkir rapi di garasi, berarti suaminya itu sudah tiba. Lana menarik napas dalam, siap untuk menyelesaikan semuanya. Ia sudah mendapatkan pencerahan sepanjang hari ini dan sudah saatnya ia mengambil keputusan. Begitu tiba didalam rumah segera ia menuju dapur untuk meletakkan makanan di kulkas. Tirtan tak tampak dimana-mana, mungkin ia sedang dikamar mereka.

Setelah membereskan semua keperluan di dapur, Lana beranjak naik tangga, menuju kamar mereka.

“Tirtan?” Dipanggilnya nama itu, namun tak ada jawaban. Setelah masuk kedalam kamar mereka, Lana terbelalak. Ada apa ini?

Kaca meja riasnya sudah tak berbentuk lagi. Pecahannya berhamburan disekitar meja riasnya. Selain itu semua tampak baik-baik saja. Setelah menyapu cepat pandangan ke sekeliling kamar, dapat dilihatnya Tirtan yang tengah duduk dilantai, menyandar pada badan tempat tidur mereka.

Dengan ragu Lana mendekat. Posisi Tirtan duduk seperti sedang memeluk sesuatu.

“Tirtan?” Tapi sosok itu tak mendengarnya. Tirtan tetap mendekap erat benda yang ada di pelukannya.

Hati Lana sakit, ada apa dengan suaminya? Tak pernah ia melihat Tirtan dalam keadaan seperti ini. Dan dari jarak sedekat ini dapat diterkanya benda yang dipeluk erat Tirtan adalah sebuah bingkai foto. Mendadak pikirannya hampa. Dirinyakah yang membuat Tirtan seperti ini? Buru-buru ia berlutut meraih Tirtan dalam pelukannya.

Tirtan mendadak menegang. Kepalanya yang sedari tadi tertunduk kemudian terangkat, membuat Lana terpaksa melepaskan pelukannya.

“Sayang?”

“Kamu kenapa?” Tanya Lana dengan nada penuh keprihatinan.

“Lana?” Tirtan tak menjawab pertanyaan Lana, sibuk memastikan sosok didepannya nyata atau tidak.

“Iya ini aku. Tangan kamu… berdarah!” Lana terkejut melihat ceceran darah di tangan Tirtan, buru-buru ia bangkit hendak mengambil kotak P3K, namun tak dapat bangkit lantaran Tirtan yang kini sudah mendekapnya bagaikan capit baja.

“Jangan pergi, jangan pergi, kumohon jangan. Maafkan aku, maaf.“ Tirtan meracau dengan napas memburu.

Lana berjuang menenangkan Tirtan yang sepertinya sedang dalam panic mode dan tak ingin melepaskan pelukannya. “Sakit, Tan.”

Dengan terburu-buru Tirtan melepaskan pelukannya. “Maafkan aku.”

Lana memandang nanar pada wajah Tirtan, menarik napas dalam. Sepertinya memang sudah saatnya ia menyelesaikan semuanya.

“Hanya itu yang bisa kamu ucapkan, Tan? Hanya ‘maaf’ dan ‘jangan pergi’?” Tirtan masih tak dapat berkata-kata. Ia memandang wajah Lana dengan menyeluruh, berharap ini bukan mimpinya.

“Jangan pergi…”

Lana menggapai wajah Tirtan, merangkum wajah sendu itu dengan kedua tangannya. Ditatapnya wajah Tirtan seksama, mata mereka berdua saling menatap memancarkan seribu makna. Satu hal yang mampu membekukan jiwa Tirtan, tatapan mata Lana dipenuhi dengan penyesalan mendalam.

“Maaf Tirtan.”

***

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Mungkin besok, atau mungkin lusa saya posting lagi.

Continue Reading

You'll Also Like

6.3K 792 7
Dalam pernikahan, kita pasti punya bayangan atau impian rumah tangga yang dijalani. Impian itu seringkali bentuk dari refleksi apa yang kita lihat se...
209K 13.3K 58
Niat hati kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan duda anak 1 yang sialnya masih tampan itu, Herna malah harus terjebak menikahi pria k...
3K 610 7
Tara harus menemukan calon suaminya sebelum ulang tahunnya yang ke-31. Padahal Tara telanjur nyaman dengan Hasya, teman kantornya. Sementara, orangtu...
463K 13.5K 7
Sudah cetak selfpub ISBN 978-602-489-912-7 No sex scene but expect sexy vibes. Kedatangan Executive Chef baru membuat dunia Alisha yang tenang menja...