It's a Life Disaster!

Bởi NaRamadani

623K 19.7K 945

Alananda Mitha Hermawan, hidup bahagia dan santai saja selama ini. Namun kejadian nyaris bangkrut, nyaris dij... Xem Thêm

Prolog
1. Alananda Mitha Hermawan
2. Dia
3. Tirtan Putra Bimawangsa
4. Hitam
5. Perpanjangan Waktu
6. Posesif
7. Enggardian Suta
8. Ambang Batas
9. Menyerah
10. Sindrom Pra-Nikah
11. Halang Rintang
12. Seindah Kita
13. Hitam Itu Lagi
14. Serasa
15. Arah Hati
16. Derai Air
17. Tersadar
19. Maaf
20. Akhir Kisah
Epilog

18. Nila Setitik

20.6K 979 97
Bởi NaRamadani

Makasih banyak atas apresiasi kalian di part-part sebelumnya. Saya tahu kisah ini agak lumayan sangat gaje, namun kalian tetap membacanya, memvotenya, bahkan mengomentarinya!

Saya. Terharu.

Sudah ah, kebanyakan kata pembuka dari saya bisa menghilangkan minat baca kalian. Kalau begitu, selamat membaca.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Kata dokter istrinya mengalami stress. Dan satu-satunya hal yang bisa disalahkannya adalah pekerjaan istrinya. Ia memang tak pernah melarang istrinya untuk berkarir, namun tidak over seperti ini sampai membuat Lana menjadi drop seperti sekarang.

Ia berjalan masuk di kamar tempat istrinya dirawat. Wajah Lana tampak tertidur dengan pulas. Setelah sempat sport jantung beberapa saat lalu, akhirnya ia bisa sedikit melegakan diri karena istrinya hanya kelelahan dan baby mereka baik-baik saja.

Didekatkannya kursi disamping tempat tidur dan duduk dengan perlahan. Tangan kirinya terangkat membelai lembut perut Lana. Dibelainya berulang-ulang seakan ingin memberikan kehangatan untuk si calon bayi mereka.

Tangan kanannya menggenggam erat tangan istrinya yang terkulai. Sedikit ringisan diperlihatkan pada mimik wajahnya melihat jarum infus yang terpasang di tangan Lana yang tidak digenggamnya.

Dikecupnya lembut tangan dalam genggamannya, berharap istrinya akan bangun dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Ia tahu, dokter memang telah mengatakan diagnosis istrinya namun rasanya tak lengkap tanpa kepastian langsung dari Lana. Kelegaan yang baru saja timbul sedikit terusik dengan pemikirannya itu.

Entah berapa lama ia memandangi wajah istrinya hingga ia tertidur, ia tak tahu. Saat dirasanya ada pergerakan pada tangan yang digenggamnya, akhirnya ia terbangun.

"Honey?" Memastikan dirinya tidak bermimpi.

"Haus." Serak suara istrinya terdengar.

Ternyata ia memang tidak bermimpi. Segera diangsurkannya segelas air yang telah tersedia di atas meja disamping tempat tidur istrinya itu. Lana melihatnya dan menggeleng perlahan, Sesaat pikirannya menjadi blank, tak mengerti dengan istrinya yang haus namun menolak segelas air. Kemudian mengerti, yang diinginkan istrinya adalah susu coklat.

"Minum ini dulu ya, hun? Sebentar aku belikan susunya."

Mata Lana menatapnya keras kepala. "Enggak mau."

"Sayang... " Ia harus berusaha membujuk istrinya ini.

Dan apa yang terjadi pemirsa? Istrinya ini mencebikkan mulutnya dan berbalik memunggunginya! Sukar dipercaya. Pilihannya hanyalah menyerah. Ia berdiri dan membungkuk mengecup lembut kening Lana. "Tunggulah. Aku beli ke kantin."

Belum sempat ia berbalik, dapat dirasakannya tangannya tergenggam oleh istrinya. Melihat istrinya berusaha untuk bangkit dari tidurnya ia segera mencegahnya dan menahannya untuk tetap berbaring.

"Baby nya..." Nada cemas yang tak tertutupi di suara Lana membuatnya mengerti betapa pentingnya pertanyaan ini bagi istrinya.

"Baik-baik saja, hun. Kamu cuma anemia, capek dan sedikit stress." Dapat dilihatnya perubahan mimik wajah istrinya. Mimik wajah penuh kelegaan. Ia tersenyum puas dalam hatinya, kemudian berbalik dan menjalankan misi penting mencari sekotak susu coklat untuk istrinya.

***

Entah itu hanya perasaannya saja atau bukan, semenjak pulang dari rumah sakit Lana menjadi dingin padanya. Selain itu Lana juga sepertinya menghindari segala bentuk kontak fisik dengannya.

Bukan berarti karena segala kontak fisik itu akan berakhir diranjang, semenjak tahu kehamilan Lana ia dengan penuh komitmen menjadi saaaaangaaaaat mengurangi frekuensi kegiatan 'itu' dengan istrinya. Lana pun tak keberatan. Tapi kontak fisik lain selain 'itu' tak terganggu sama sekali.

Nah, saat ini bahkan bertatapan mata dengannya saja Lana enggan. Hormon wanita hamil kah itu? Atau sekali lagi, hanya perasaannya sajakah? Seperti saat ini, saat ia pulang dari kantornya dan Lana yang menyambutnya dengan tanpa sapaan sama sekali. Wanita itu tetap berkutat di depan laptopnya, mengabaikan dirinya dan dunia.

"Sebaiknya kamu cuti dulu, sampai kamu baikan, hun." Tegur Tirtan melihat Lana yang sangat serius dengan pekerjaannya di laptop.

"Ini aku lagi cuti." Lana menjawab tanpa mengalihkan matanya dari layar laptop itu. Tirtan jadi iri dengan apapun yang sedang diamati oleh istrinya itu.

"Cuti itu berarti kamu juga tak kerja."

Lana akhirnya memandang Tirtan, dengan menaikkan satu alisnya. "Terus yang ngurus kerjaan aku siapa?" Lana bertanya dengan tidak sabar.

"Kamu bisa suruh asistenmu, atau bawahanmu yang selalu kamu andalkan itu." Saran Tirtan.

"Nania?"

"Iya." Tirtan menganggukkan kepalanya, akhirnya mengingat nama bawahan Lana.

"Ogah." Jawaban Lana membuat Tirtan geleng-geleng kepala.

"Honey-"

Lana memotong ucapan Tirtan dengan tak sabar. "Aku punya kewajiban, jadi aku akan tetap menjalankan kewajibanku, Tirtan."

"Tapi saat ini kamu mesti istirahat, sayang." Tirtan masih berusaha meyakinkan Lana.

"Coba kamu bayangkan kalau kamu mesti ngambil cuti karena sakit dan istirahat dirumah tanpa melakukan apa-apa, sedangkan kamu tahu kamu punya tanggung jawab yang besar untuk perusahaan kamu. Yang ada rasanya pasti bakalan menyiksa dan juga membosankan." Terang Lana panjang lebar. Kedua lengannya membentuk gestur merentangkan, membuka, menutup bahkan menghentak tak sabaran sembari menjelaskan pada Tirtan.

"Tak apalah bosan, yang penting sehat." Jawab Tirtan dengan tenang, berusaha menstabilkan emosi Lana yang sepertinya menunjukkan tanda-tanda akan meningkat.

"Kamu gampang berbicara seperti itu, karena kamu tidak dalam posisiku."

Tirtan meneguk ludah, sepertinya emosi istrinya betul-betul mulai meningkat. "Aku memikirkan posisimu, sungguh."

"Kamu gampang bicara begitu, seenaknya saja memerintahkan keputusanmu!" Ucap Lana dengan ketus. Berdiri menghadapi Tirtan.

"Aku tak memerintah, aku cuma ingin menjagamu, sayang." Tirtan berusaha menenangkan Lana, menyingkirkan pikiran yang dianggapnya tak logis yang bercokol di kepala Lana.

Lana tetap keras kepala. "Kamu tak ingin menjagaku. Kamu hanya ingin memerintahku."

"Kenapa kamu bilang begitu?" Mau tak mau kestabilan emosi Tirtan sedikit mulai terguncang.

"Aku begini karena kamu."

"Coba kamu jelaskan, kenapa kamu bilang seperti itu." Datar nada suara Tirtan menandakan dirinya yang berusaha mengontrol ketenangan dirinya.

Dan jawaban Lana tidak membantu sama sekali. "Pikir saja sendiri."

"Lana, aku tahu kamu tak bermaksud berkata seperti itu."

Lana tersenyum sinis. "Kamu salah. Aku memang bermaksud."

Tirtan terkaget, tak mengerti mengapa Lana berusaha menyerangnya. "Kalau kamu memang bermaksud, sebaiknya kamu jelaskan kepadaku."

Lana mendengus. "Tidak mau. Kamu sudah mendapatkan terlalu banyak. Tak ada lagi yang bisa kau dapatkan lagi dariku, bahkan penjelasan." Mata Lana menatap tajam pada Tirtan.

Tirtan terdiam, tercengang. Ada apa dengan situasi ini? Kenapa berubah drastis menjadi tegang dengan tiba-tiba. Yang lebih pentingnya lagi, ada apa dengan istrinya? Kenapa Lana membangkitkan konfrontasi diantara mereka?

"Lana, apa lagi salahku kali ini?" Ia menyerah, memutuskan untuk bertanya langsung to the point pada Lana.

"Kamu tak merasa bersalah? Such a jerk!" Kata-kata Lana kali ini benar-benar menyakiti hati Tirtan.

Tirtan mengatupkan mulutnya dengan penuh ketegangan, susah payah mengontrol ketenangan dirinya yang selalu dibangga-banggakannya.

"Perhatikan kata-katamu."

Mata Lana berkilat tidak suka akan perkataan Tirtan barusan, "Tadinya aku berniat baik dengan menanyakan langsung padamu, namun aku muak dengan segala kemunafikanmu." Kata-kata itu menusuk tajam pada Tirtan.

"Kamu mengatakan aku sakit karena salahku sendiri? Ckck." Nada suara Lana terdengar meremehkan Tirtan.

Tirtan berucap dengan penuh penekanan. "Aku tak pernah berkata seperti itu, Lana."

"Tapi kamu berpikiran seperti itu." Keras kepala Lana masih tetap mempertahankan kata-katanya.

"Lana, kamu tahu saat ini kamu benar-benar irasional?" Tirtan benar-benar tak mengerti Lana saat ini.

Sejenak terbersit penyesalan di mata Lana. "Aku tahu. Tapi aku seperti ini karena alasanku sendiri." Kemudian melanjutkan dengan mengubah topik tiba-tiba. "Aku akan cuti dan beristirahat di rumah, namun aku akan tetap melakukan pekerjaanku. Itu saja. Dan kamu takkan bisa mengubah keputusanku." Lana menatap Tirtan tajam, kemudian duduk kembali dihadapan laptopnya, mengabaikan Tirtan.

"Kamu pikir akan lolos begitu saja setelah mengata-ngataiku, dan menuduhku melakukan kesalahan?" Dengan mudahnya Lana mengabaikannya setelah melemparkan kata-kata yang menusuk padanya?

Unbelievable!

Tanpa diduga Lana kembali berdiri menghadap Tirtan. "Terus inginmu apa? Aku memaafkanmu dengan penuh sukacita? Mimpi kamu!" Teriakan Lana bergaung diruang tamu rumah mereka.

Kali ini Tirtan juga sudah tak segan membentak. "Katakan dulu apa kesalahanku!"

"Tidak! Kamu tahu pasti apa kesalahanmu, kenapa aku mesti mengatakannya? Menjatuhkan harga diriku saja." Amarah berkobar-kobar dimata Lana.

"Argh!" Tirtan mengacak rambutnya frustasi. "Aku bisa gila kalau seperti ini."

Lana menatap tajam pada Tirtan. "Kamu pikir aku tidak gila? Karena memikirkan bayi inilah aku bisa bertahan di batas kewarasanku."

Airmata Lana jatuh begitu saja. Frustasi. Sebenarnya apa yang membuatnya menjadi martir seperti ini? Mengapa ia tak menanyakan langsung permasalahan Erisa kepada suaminya? Mengapa ia malah memilih jalan yang memutar-mutar dan penuh amarah seperti ini?

Ia tahu jawaban pertanyaannya itu. Ia takut. Ia takut bila Tirtan menjawab pertanyaannya dengan permintaan maaf atas kekhilafan Tirtan, tanda bahwa dirinya memang tak berharga dimata Tirtan, tak dicintai. Kenapa? Karena ia sadar, ia mencintai Tirtan, teramat sangat. Bodohnya dirinya, jatuh cinta pada orang yang mematahkan hatinya.

Dihapusnya kasar airmata yang mengalir dipipinya. Tak ingin menjadi cengeng hanya karena Tirtan, kemudian memilih tertawa pada keadaan buntu ini. Mengenaskan. Ia mulai mempertanyakan kewarasannya sendiri.

Tirtan menatap Lana dengan pandangan tak mengerti, kemudian memunggungi Lana sambil menyumpah dalam hati. Muak dengan situasi gila ini. Tirtan benar-benar buta terhadap situasi yang dihadapinya saat ini.

"Kamu tahu? Saat ini aku takut." Suara bisikan Lana terdengar jelas diruangan itu, membuat Tirtan berpaling kembali dengan cepat menatap Lana.

"Sayang..." Tanpa berpikir panjang Tirtan berjalan kearah Lana. Spontan memeluk istrinya.

Awalnya Lana menolak pelukan Tirtan, namun tetap saja Tirtan berhasil memeluknya dengan paksa.

"Aku benci situasi ini." Bisik Lana akhirnya setelah menyerah membiarkan Tirtan memeluknya.

"Aku juga, hun. Aku juga." Tirtan mengerang, mengeratkan pelukannya ditubuh Lana.

Suara debaran jantung Tirtan yang bertalu-talu dapat didengar oleh Lana dengan jelas dalam pelukan suaminya itu. Untuk apakah debaran itu? Marah? Bersalah?

"Lepaskan." Suara Lana terdengar tegas, dingin.

"Akan aku lepaskan, kalau kamu menjelaskan apa kesalahanku." Ucapan Tirtan membuat Lana semakin menegang.

Entah berapa lama ia terdiam dipelukan Tirtan. Sebenarnya ia bisa saja melawan Tirtan habis-habisan untuk melepaskan pelukan ini, namun ia tak mau memberikan beban kerja lebih untuk fisiknya, ada bayi mereka yang harus dijaganya untuk tetap aman dalam kandungannya.

"Aku lelah." Alih-alih menjelaskan kesalahan Tirtan, ia mengatakan keadaannya saat ini. Ia benar-benar lelah setelah melepas emosi yang dipendamnya dengan berteriak dan menyerang Tirtan dengan ucapannya yang tajam.

Tirtan kemudian melonggarkan pelukannya dan beralih menggendong Lana. Lana hanya bisa melingkarkan kedua tangan di leher Tirtan dan menggelayutkan kakinya di pinggang Tirtan. Perlahan Tirtan membawa mereka berdua ke kamar dan membaringkan Lana di tempat tidur. Tirtan ikut berbaring disamping Lana dan kembali memeluk wanita itu.

"Takkan kulepaskan." Bisik Tirtan tegas pada Lana yang tetap memejamkan matanya.

Lana tanpa perlawanan menerima pelukan Tirtan. Terlalu lelah untuk meneruskan pertengkaran mereka. Mungkin cukuplah pertengkaran mereka untuk malam ini. Ia akan mengistirahatkan dirinya untuk menghadapi hari esok yang berat. Lagipula berteriak dan menangis sangat menguras tenaganya. Untuk saat ini ia akan memilih tidur. Dalam pelukan Tirtan.

***

Dengan cepat Lana terlelap dalam pelukan Tirtan. Seperti ingin lari dari kenyataan yang ada saat dirinya terbangun. Dalam tidurnya Lana bergerak merapatkan diri dalam dekapan Tirtan.

Tirtan terus memandangi istrinya dengan takjub. Wanita inilah yang dapat memporak-porandakan dirinya dalam sekejap, mengubah dirinya menjadi lelaki yang tak sungkan-sungkan memaksa seorang wanita untuk tetap disisinya. Sejak kapan ia berubah menjadi seperti ini?

Tirtan benar-benar tak mengerti, situasi apa yang sedang terjadi saat ini. Bisa-bisa ia gila. Tapi ia pasti takkan sanggup terus-terusan memaksa Lana membuka mulut akan kesalahannya yang diungkit Lana tadi. Ia takkan tega membuat istrinya semakin stress. Dan akhirnya ia akan bersabar menunggu suasana hati Lana membaik dan wanita tersayang tersebut akan membuka hati dan pemikirannya pada Tirtan.

Untuk saat ini ia hanya bisa berasumsi hormon ibu hamil lah yang sedang berperan dibalik emosi istrinya yang meledak-ledak. Hanya itu yang dapat disimpulkannya saat ini.

Tirtan mendesah merana. Dikecupnya lembut puncak kepala istrinya. Ia masih mengenakan kemeja kerjanya yang seharian ini dipakai, beruntung tadi ia sempat membuka dasi dan jasnya.

Semua ketidaknyamanan itu tak ada artinya dibandingkan dengan istrinya yang bagaikan dinamit, meledak tiba-tiba, kapan saja dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Membuatnya teringat akan sifat Lana saat mereka baru bertemu dulu, meledak-ledak serta keras kepala yang keterlaluan batunya.

Saat itu dia belum tahu menahu kualitas Lana sebagai sesosok istri dan bahkan tak bisa membayangkan bahwa mereka akan sampai dititik ini. Lebih parahnya lagi, saat itu dirinya masih bersama Erisa. Tak terbayangkan olehnya pada akhirnya ia akan menikah dengan wanita kepala batu yang bernama Lana.

Tiba-tiba teringat olehnya tentang Erisa, baru tiga hari yang lalu ia bertemu dengan mantannya itu. Dikepalanya kejadian itu bagaikan telah sangat lama terlewati karena dihari yang sama Lana masuk rumah sakit dan Erisa pun terlupakan sama sekali.

Ia benar-benar disibukkan dengan keadaan Lana dan-

Tunggu dulu.

Hari ia bertemu Erisa bersamaan dengan hari Lana masuk rumah sakit.

Apakah itu ada hubungannya dengan kemarahan Lana? Apakah Lana mengetahuinya? Bukankah waktu itu ia bertemu dengan Erisa di mall? Bagaimana bisa Lana mengetahuinya? Rasanya tak mungkin.

Tapi melihat sikap Lana semenjak dirumah sakit hingga saat ini, sepertinya ia tak bisa menyingkirkan kemungkinan ini. Bukannya ada toko cabang moreen inc di mall itu? Kalau benar Lana melihatnya, berarti saat itu mungkin Lana sedang berada di mall dan sedang menginspeksi toko mereka atau mungkin saja hanya sedang berjalan-jalan dan tidak sengaja melihatnya bersama Erisa.

Bagaimana ia membuktikan dugaannya? Tirtan berpikir keras sementara Lana masih terlelap dalam dekapannya. Badan Tirtan terasa panas dingin, gelisah.

Nania!

Nama itu terlintas diotaknya. Lana selalu bersama asistennya itu. Bisa saja saat itu Lana juga bersama Nania, karena Tirtan sudah mewanti-wanti Lana untuk selalu ditemani oleh seseorang bila harus bekerja diluar ruangan. Ia benar-benar berharap kesimpulannya tidak melenceng.

Terpaksa dilepaskan dekapannya pada Lana, ia harus memastikan satu hal pada Nania, sekarang. Setelah bangkit perlahan dari tempat tidur dirapatkannya selimut pada tubuh Lana.

Tirtan berbalik dan berjalan keluar kamar mencari smartphone istrinya, berniat menghubungi Nania. Setelah mendapatkan kontak Nania tanpa ragu dirinya menghubungi wanita itu. Dan panggilannya terjawab pada nada sambung ketiga.

"Halo?" Suara Nania terdengar dari ujung sana.

"Malam, maaf menganggu. Saya Tirtan, suaminya Lana. Ada yang ingin kutanyakan." Sapa Tirtan tanpa basa-basi.

"Ada apa, Pak?"

Tirtan meneguk ludah, berharap dugaannya tadi salah. Butuh keberanian besar untuk menanyakan pertanyaan pada Nania.

"Begini,"

Dan mengalirlah tanya jawab di telepon itu.

Nania menjawab pertanyaan Tirtan dengan terheran. Bahkan saat Tirtan mengucapkan terima kasih pada Nania rasanya seperti pria itu tidak benar-benar mengucapkan terima kasih. Dan akhirnya sambungan telepon-pun terputus.

Cr*p! Ia ketahuan.

Tirtan terduduk lunglai di sofa ruang tamu. Dan saat itulah diingatnya adegan ciuman dirinya dengan Erisa. Tirtan mengerang menderita. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Semua perjuangannya untuk mempertahankan pernikahannya akankah hancur? Tak henti-hentinya ia mengutuk kebodohan dirinya.

***

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Gimana? Tahan ya, jangan pada emosi. Hahaha.

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

75.7K 16.2K 28
Nayara berharap kisah cintanya seindah film-film romantic comedy, namun dalam kenyataannya justru sering kali menjadi tragedi. Kesialan demi kesiala...
2.4K 385 23
👉🏻Bisa dibaca di Dreame dan Innovel. Versi cetak, masih ready stok. 💖 Salah satu dari delapan Pemenang Utama Beeromcomchallenge Beemedia Group 💖 ...
605K 84.9K 36
Mili sangat membenci kondisi ini. Di usianya yang baru 22 tahun, dia dikejar-kejar oleh Mamanya yang ingin menjodohkannya karena Mili harus menikah s...
147K 6.7K 29
𝙁𝙊𝙇𝙇𝙊𝙒 𝙎𝙀𝘽𝙀𝙇𝙐𝙈 𝘽𝘼𝘾𝘼~ ____________🕳️____________ Jika ditanya apakah perpindahan jiwa keraga lain, kalian percaya? Menurut saya perc...