It's a Life Disaster!

By NaRamadani

623K 19.7K 945

Alananda Mitha Hermawan, hidup bahagia dan santai saja selama ini. Namun kejadian nyaris bangkrut, nyaris dij... More

Prolog
1. Alananda Mitha Hermawan
2. Dia
3. Tirtan Putra Bimawangsa
4. Hitam
5. Perpanjangan Waktu
6. Posesif
7. Enggardian Suta
8. Ambang Batas
9. Menyerah
10. Sindrom Pra-Nikah
11. Halang Rintang
12. Seindah Kita
13. Hitam Itu Lagi
14. Serasa
15. Arah Hati
17. Tersadar
18. Nila Setitik
19. Maaf
20. Akhir Kisah
Epilog

16. Derai Air

23.3K 895 66
By NaRamadani

Hai, saya kembali lagi.
Selamat membaca.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Semenjak persoalan pernyataan cinta Enggar dua bulan lalu, Lana dan Tirtan semakin membuka hati. Tirtan dapat bernapas lega karena Lana dengan gamblang mengatakan kepadanya bahwa pernikahan mereka jauh lebih berharga dibandingkan cinta monyetnya itu. Dia benar-benar ingin membuat pernikahan ini berhasil dengan Tirtan.

Dan untunglah permasalahan Enggar tidak menjadi semakin rumit dengan penolakan dari Lana, bukan berarti Enggar mengharapkan penerimaan Lana, hanya saja harapan itu pasti tetap saja ada dihatinya sekecil apapun itu.

Dan yang lebih melegakan lagi, akhirnya Enggar dan Nita memutuskan untuk tidak bercerai. Sepertinya mereka memang sedang terhempas ombak pertama dikehidupan rumah tangga mereka.

Hadeh, kalau terhempas ya terhempas, asal ombaknya jangan sampai sini lah. Rutuk Tirtan dalam hati, begitu mendengar bahwa Enggar dan Nita sudah rujuk kembali.

Namun segala gerutuannya dengan mudah dilupakan oleh Tirtan mengingat betapa manisnya kini hubungannya dengan Lana.

"Sayang..."

"Iyaa... Sedikit lagi."

Lana turun tangga dengan terburu-buru. Tirtan mau tidak mau selalu cemas melihat Lana yang diperhatikannya selalu tak berhati-hati alias selebor dengan langkahnya. Walaupun kecemasannya tidak pernah terbukti karena selama ini Lana tidak pernah jatuh, kepentok, tersungkur atau apapun itu dengan gaya jalannya yang membuatnya selalu kebat-kebit. Itu juga belum ditambah dengan stiletto yang setia menemani kaki istrinya.

"Sayang, kamu bisa kan ke kantor pakai sepatu yang tidak runcing seperti itu?"

"Hah? Kamu belum kapok bahas ini?" Lana cemberut pada Tirtan. Tangannya tetap dengan lincah mengancingkan stiletto itu di kakinya.

"Anggap saja angin lalu ucapanku barusan." Tirtan segera menyerah. Wajah Lana berangsur-angsur kembali ceria.

Pernah, seminggu lalu Tirtan untuk pertama kalinya mencoba protes terhadap pemakaian stiletto Lana yang menurutnya sudah diluar jalur batas kewajaran (sudah tentu itu hanya menurut Tirtan saja) dan hasilnya Lana cemberut seharian, tidak berbicara, mengacuhkannya, dan lebih sialnya lagi malamnya Lana tidak bisa diajak bekerja sama diatas tempat tidur mereka. Dan keesokan harinya Tirtan langsung menyerah, membiarkan istrinya itu tetap dengan stilettonya.

***

"Hati-hati." Tirtan mengecup hangat kening Lana dan dibalas Lana dengan kecupan kilat dibibir Tirtan. Mereka berdua bertatapan sambil tersenyum hingga Lana bergegas keluar.

"Nggak bawa mobil, mbak?" Nania menghampiri Lana. Gadis itu juga tampaknya baru tiba diantar oleh kekasihnya, Brian. Nania melambaikan tangan pada mobil Brian yang kini mulai menjauh.

"Iya. Lagi males. Mending diantar. Nggak ribet dan mengurangi kemacetan."

"Haha, bilang aja pengen dimanja-manjain sama suami."

"Boleh aja dong, itukan hak istri untuk disayang dan dimanja suami."

Mereka berdua tertawa. Pintu lift akhirnya terbuka dan tampaknya hanya mereka berdua yang menunggu lift tersebut.

"Mbak, setelah mbak menikah ada yang berubah dengan kehidupan mbak?" Tanya Nania tiba-tiba.

"Kenapa nanya-nanya? Penasaran? Pengen dimanjain suami juga? Hehehe... Mending kamu coba sendiri aja kehidupan pernikahan dengan Brian."

"Ish, buat apa nikah kalau manja-manjaannya bisa sama pacar juga."

"Kan beda. Kalau sama pacar kan nggak bisa ngapa-ngapain." Lana tersenyum jahil sembari menatap wajah Nania yang memerah mengetahui arti kalimat Lana barusan.

"Ih! Mbak! Trus kalo sudah nikah itu bisa diapa-apain gitu? Ogah ah!"

"Hahaha." Tawa Lana terlepas.

Bawahannya ini memang aneh bin ajaib. Ngaku feelingnya biasa-biasa saja sama Brian, tapi kelakuan manjanya luar biasa sama kekasihnya itu. Belum lagi kalau ditanya kapan nikah jawabannya pasti males banget nikah, tapi pas mereka berantem dan sempat putus sebentar meweknya luar biasa, akhirnya dia sendiri yang jadi stalker dan memaksa untuk balikan sama Brian.

"Mbak, jangan ketawa gitu. Menakutkan."

Lana langsung mengatupkan mulutnya. Berusaha ditahannya ketawanya. Mereka sudah keluar dari lift dan sedang berjalan menuju ruangan mereka yang kebetulan berseberangan.

"Bilangnya ogah, tapi gelagatnya kepo banget." Lana berbisik pelan pada Nania, wajah Nania seketika kembali memerah mendengar ucapan Lana barusan.

Lana tertawa dalam hati, sepertinya hari ini dirinya bisa dengan puas menganggu bawahannya itu. Akhirnya dia bisa membalas segala ejekan Nania yang gencar dilakukan gadis itu semenjak pernikahannya dengan Tirtan. Hahaha!

***

Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam dan Tirtan tadi sudah sempat mampir membawakan makanan untuk Lana. Mau tak mau Lana pasti lembur saat akhir bulan seperti ini. Rencana peluncuran item terbaru mereka belum lagi sudah beberapa bulan belakangan ini moreen inc juga mulai mencoba meluncurkan produk sepatu untuk wanita, alamat kerjaan Lana makin bertambah.

Proses presentasi dan seleksi sampel-sampel item karya tim desain juga semakin ketat, karena maksimal hanya lima item terbaru yang bisa ditambahkan setiap bulannya. Tidak jarang hanya satu item baru atau bahkan tidak ada satupun item baru yang muncul dalam bulan tersebut.

Tirtan sempat protes dengan jam kerjanya namun protes itu dipandang positif oleh Lana sebagai bentuk kecemasan Tirtan pada Lana. Akhir-akhir ini memang berat badannya menyusut dan nafsu makannya juga semakin berkurang, hal itulah yang membuatnya kerapkali harus menghadapi Tirtan yang dengan telaten selalu mengantarkan makan siang ketempat Lana. Dan juga tidak jarang Tirtan akan duduk mengawasinya menghabiskan makanan yang dibawa Tirtan.

Lana menguap. Selesai sudah proses yang ribet ini. Dua item telah terpilih sebagai new brand untuk awal bulan nanti dan kini saatnya dirinya melepaskan penat seharian dan menikmati dekapan Tirtan yang nyaman.

Lana berjalan bersama Nania beserta beberapa bawahannya yang lain. Sesampainya didepan lift mereka semua menghela napas kesal, lift sedang dalam pemeliharaan.

What a day!

Dengan hati yang tak ikhlas Lana dan yang lainnya berjalan kearah tangga darurat, terpaksa harus menuruni lantai dengan manual. Untungnya mereka hanya berada di lantai lima, apa jadinya bila mereka dilantai dua belas? Bisa-bisa betis Lana berubah menjadi betis pemain sepakbola.

"Mbak jadi kan?" Tanya Nania yang membuyarkannya dalam keseriusan menuruni tangga. Ia harus hati-hati, lampunya redup dan dirinya yang dalam keadaan lelah dan mengantuk bukan paduan serasi untuk menuruni tangga dengan selebor seperti kebiasaannya selama ini.

Lana menoleh pada Nania dan tersenyum. "Iya. Makasih ya?"

"Nggak apa, mbak. Kan yang punya mobil itu Iyan, jadi mbak terimakasihnya sama Iyan saja." Nania meringis lucu dikeremangan lampu tangga darurat.

Lana hanya tersenyum seadanya mendengar logika Nania. Tirtan ingin menjemputnya namun segera dicegahnya. Lana mengatakan bahwa dirinya akan diantar pulang oleh Nania dan kekasihnya, Brian, karena arah rumah mereka searah. Dan Tirtan dengan berat hati akhirnya menyetujuinya.

Ukh! Kapan tangga sialan ini akan berakhir? Lana merutuk kesal dalam hati. Tak sabar ingin tiba dirumah, mengistirahatkan tubuhnya yang lelah dan bertemu dengan suaminya yang membuatnya rindu seharian ini.

Akhirnya Lana melihat akhir dari tangga yang tak berujung ini. Dengan terburu-buru segera ditingkatkannya kecepatan langkahnya, masih sepuluh anak tangga lagi. Lana menghitung cepat dalam hati.

Tiba-tiba tubuhnya oleng, langkah kakinya tergelincir dari anak tangga itu, dan masih sempat didengarnya suara teriakan bawahannya dan Nania.

"Mbak!!!"

Nyaris saja! Tangannya berpegangan di pegangan tangga dengan erat. Faktor kelelahan membuat Lana nyaris hilang konsentrasi. Kakinya gemetar karena masih kaget. Nania segera disisinya dan membantu memegang tangan Lana yang sangat disyukuri oleh Lana karena sepertinya ia tak mampu bertumpu sendiri saat ini.

"Mbak, bikin jantungan aja. Kalau ada apa-apa sama mbak, kita semua bakalan di cabik-cabik sama pak Tirtan. Mbak hati-hati dong."

Lana tersenyum menenangkan pada Nania. Ia tak mampu membalas kata-kata Nania barusan, Lana terlalu sibuk berkonsentrasi agar tidak jatuh tersungkur. Dan akhirnya Lana bisa bernapas lega begitu menjejak lantai. Dengan masih dibimbing Nania, Lana berjalan perlahan kearah lapangan parkir tempat Brian menunggu.

Brian segera keluar dari balik kemudi begitu melihat Nania yang sedang membantu Lana berjalan di sepanjang lapangan parkir tersebut. Dirinya segera berlari menyongsong sang kekasih beserta atasan sang kekasih yang bisa dibilang juga menjadi 'atasan'nya semenjak dia dan Nania berpacaran. Brian menatap cemas pada kedua wanita tersebut.

"Ada apa?"

"Ini tadi mbak Lana hampir jatuh. Untung aja mbak pegangan kuat, jadi selamat deh." Nania menjawab dengan nada khawatir yang masih kental.

"Sudah, tak usah diributkan. Yang penting sekarang secepatnya kita pulang. Aku mau istirahat, capek banget hari ini."

Brian mengangguk dan ikut berjalan disamping Lana, mengawal kedua wanita tersebut menuju mobil yang terparkir tak jauh dari situ.

Baru beberapa meter, penglihatan Lana semakin berkunang-kunang dan buram. Yang terakhir bisa dirasakannya adalah hawa dingin yang tiba-tiba menyergap, setelah itu, hanya ada gelap.

***

Tirtan sudah beberapa kali menengok jam dinding dan menjadi gelisah. Seharusnya Lana sudah tiba saat ini. Akhirnya dia mencoba menghubungi ponsel Lana. Pada deringan ketiga panggilannya dijawab.

"Hun? Where are you?"

"Ma, maaf pak. Saya Nania, bawahannya mbak Lana."

"Oh? Lananya mana?"

"Maaf pak, tadi saya sempat kalut sampai lupa mengabarkan pada bapak."

Tirtan merasakan perasaan gelisah mulai merambati dirinya. "Ada apa?"

"Mbak Lana, tadi, itu... pingsan."

"Apa?!"

"Kami sekarang ada di rumah sakit."

Selanjutnya Tirtan sudah tak dapat mengingat dengan rinci apa saja yang dilakukannya. Yang diingatnya hanya rumah sakit tempat Lana dibawa. Entah bagaimana dirinya sudah berada dalam mobilnya dengan kecepatan gila-gilaan, dan juga entah bagaimana dirinya bisa sampai di rumah sakit tersebut bukan sebagai pasien kecelakaan lalu lintas.

Segera disusurinya koridor rumah sakit tersebut dan menanyakan kamar tempat Lana dirawat, dan segera ditujunya kamar yang di tunjukkan suster tempat pasien bernama 'Alana Bimawangsa' dirawat.

Kamar itu akhirnya terlihat dan dengan tidak sabar dirinya meraih kenop dan memutarnya. Segera didapatinya wajah Lana yang bersimbah airmata.

"Sayang..."

***

Lana terbangun. Rasa pening menderanya. Segera didengarnya suara Nania yang memanggil namanya. Selanjutnya dirasakannya tangan orang lain yang menyentuhnya, sepertinya orang itu adalah dokter, karena dari bau yang tercium dari indera penghidunya dirinya yakin saat ini dia berada di rumah sakit. Dengan cepat kesadarannya berangsur-angsur sempurna.

Nania menangis disampingnya. Brian dengan sabar mengusap-usap punggung dan pundak Nania.

"Mbak..."

"Aduh, jangan nangis gitu dong. Aku jadi nggak enak." Lana mendengar suaranya sendiri yang menyerak. Mungkin efek haus pikirnya.

Nania segera menahan tangisannya. Brian menyodorkan saputangan pada Nania. "Mbak, ada yang sakit?"

"Nggak, Nia. Nggak apa." Lana menjawab seperti itu demi menenangkan Nania.

"Mbak, lain kali kalau capek jangan dipaksakan. Aku dan yang lainnya tadi panik banget waktu mbak pingsan, sampai-sampai lupa menghubungi suaminya mbak. Untung tadi pak Tirtan nelpon di ponselnya mbak, maaf mbak aku terpaksa jawab panggilan itu, soalnya kasian pak Tirtan dan juga tadi mbak belum sadar jadi aku nggak bisa ijin ke mbak untuk jawab telponnya. Dan sekarang pak Tirtan sedang dalam perjalanan kemari." Cerocos Nania panjang lebar.

Lana hanya meringis. "Iya, makasih. Sebaiknya kamu pulang saja, Nia. Pasti sedikit lagi suamiku sampai."

"Tapi mbak,"

"Nggak papa." Lana dengan tegas memotong kalimat Nania.

"Brian, kamu bawa pulang gadis cerewet ini, bisa-bisa aku nggak bisa istirahat karena dia." Lana menatap Brian dengan tatapan becanda. Brian hanya terkekeh pelan dan segera terhanti begitu dirasakan cubitan di pinggangnya.

"Beneran mbak?" Tanya Nania tak yakin.

"Iya. Pulang sana. Maaf ya membuat khawatir."

Akhirnya dengan beberapa bujukan lagi Nania akhirnya mau pulang. Setelah Nania dan Brian pergi Lana akhirnya sendirian. Namun kesendirian itu tak lama karena beberapa saat kemudian seorang dokter wanita datang ke kamarnya.

"Ibu Lana kan?"

"Iya. Ada apa dokter?"

"Suaminya sudah datang?"

"Belum, dok. Masih dalam perjalanan kemari."

"Ada yang ingin saya sampaikan mengenai kondisi ibu. Tapi mungkin sebaiknya kita menunggu suami ibu dulu?"

"Ada apa, dok?"

Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya dokter berwajah teduh tersebut menarik napas panjang dan memulai perkataannya. Perkataan yang awalnya sanggup membuat Lana tak percaya kemudian akhirnya meneteskan airmata tanpa henti.

***

Tirtan mendapati Lana yang bersimbah airmata. Hatinya pedih melihat itu, ada apakah dengan istrinya?

"Sayang..."

Sapa Tirtan begitu tiba dihadapan Lana kemudian duduk di ranjang pasien dan langsung memeluk Lana. Lana mendekap erat Tirtan, menenggelamkan wajah di dada bidang Tirtan.

"Aku hamil, Tan." Seketika Lana terisak hebat dipelukan Tirtan.

Hah? Tirtan tak tahu harus berkata apa. Ia bingung.

"Kamu hamil?" Di lepaskan pelukan Lana dan memegang kedua bahu Lana, memandang mata Lana mencari kebenaran.

Lana semakin terisak, airmatanya jatuh bercucuran. Tirtan dapat melihat Lana yang berjuang kembali mendapatkan suaranya.

"Aku-" Lana tercekat, "aku gak tahu, Tan. Aku gak tahu aku lagi hamil." Ia kembali terisak, menunduk menyembunyikan wajahnya dari tatapan Tirtan.

Hati Tirtan perlahan sakit. Lana sedih dengan kehamilannya berarti ia tak menginginkan anak? Apa-apaan ini? Tirtan terdiam tak dapat berkata apa-apa.

"Dokter bilang kandunganku baru berusia 7 minggu," Lana semakin menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Tirtan meneguk ludahnya, ada satu hal yang mesti ditanyakannya pada Lana, satu hal yang baginya menentukan hidup mati hatinya saat ini.

"Sayang, kamu sedih? Kenapa kamu menangis?"

Lana menggeleng pelan. Airmata itu masih tetap mengalir diwajah Lana. Tirtan merasa hampa. Dosa apa yang dilakukannya hingga harus menanggung hati yang mati ini? Belum sempat sumpah serapah dan segala kutukan keluar dari bibirnya, Lana mengeluarkan suaranya kembali.

"Aku tidak sedih, Tan."

Tirtan menelan semua sumpah serapah beerta kutukan tersebut. Ia bingung, entah apa yang bisa diproses diotaknya saat ini, ia bingung.

"Lalu kenapa kamu menangis?" Bukannya saat ini harusnya mereka tertawa bahagia?

"Aku, aku hanya," Lana memandang Tirtan masih dengan airmata yang bercucuran. Wajahnya entah sedih atau apa? Tirtan tak dapat mendeskripsikannya.

"Apa?"

"Aku," Lana berusaha meneguk ludahnya di sela-sela tangisnya. "Aku bahagia. Terlalu bahagia sampai airmata ini tidak mau berhenti."

"Oh, Thank's God." Tirtan meraup Lana kedalam pelukannya. Tak terhitung lagi seberapa banyak ucapan terimakasihnya pada Tuhan. Bibirnya tak henti mengecup ubun-ubun Lana.

Entah bagaimana, hatinya seakan meledak oleh kebahagiaan, dan ia ragu adakah kebahagiaan yang lebih daripada ini? Bila ada, ia tak peduli. Rasanya terlalu berlebihan bila bisa merasakan kebahagiaan lebih daripada ini.

***

Lana tengah tertidur nyenyak. Malam ini juga ia memaksa kepulangan Lana, karena dilihatnya Lana tak nyaman berada dirumah sakit. Setelah meyakinkan dokter dan juga memastikan semua vitamin dan zat penambah darah yang sangat dibutuhkan oleh ibu hamil sudah lengkap akhirnya ia pulang, bersama Lana.

Airmata Lana sudah kering dan hanya tersisa raut bahagia di wajahnya. Sepanjang perjalanan yang dilakukannya hanya tersenyum dan tak hentinya mengelus perutnya sendiri. Tirtan senang dengan semua yang disaksikannya.

Setelah mempersiapkan diri mereka akhirnya tidur. Lana segera terlarut dengan berbantalkan lengan Tirtan, namun Tirtan tetap tak dapat memejamkan mata. Ia tak menyangka akhirnya dirinya bisa memiliki sebuah keluarga sendiri. Ia juga tak sabar ingin membagi kebahagiaan dengan orangtua mereka. Semua kebahagiaan ini membuat detak jantungnya tak beraturan dan membuatnya tak kunjung tenggelam dalam lelap.

Ternyata bukan hanya kesedihan yang menyebabkan insomnia, kebahagiaanpun dapat menyebabkan insomnia. Well, ia tak keberatan itu terjadi, selama penyebabnya adalah kebahagiaan.

***

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Semoga kalian terhibur.

Bila ada komen, kritik, ide maupun saran, jangan segan meninggalkan jejak.

Salam hangat selalu.

Continue Reading

You'll Also Like

600K 41K 48
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...
205K 13K 58
Niat hati kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan duda anak 1 yang sialnya masih tampan itu, Herna malah harus terjebak menikahi pria k...
463K 13.5K 7
Sudah cetak selfpub ISBN 978-602-489-912-7 No sex scene but expect sexy vibes. Kedatangan Executive Chef baru membuat dunia Alisha yang tenang menja...
605K 84.9K 36
Mili sangat membenci kondisi ini. Di usianya yang baru 22 tahun, dia dikejar-kejar oleh Mamanya yang ingin menjodohkannya karena Mili harus menikah s...