It's a Life Disaster!

By NaRamadani

623K 19.7K 945

Alananda Mitha Hermawan, hidup bahagia dan santai saja selama ini. Namun kejadian nyaris bangkrut, nyaris dij... More

Prolog
1. Alananda Mitha Hermawan
2. Dia
3. Tirtan Putra Bimawangsa
4. Hitam
5. Perpanjangan Waktu
6. Posesif
7. Enggardian Suta
8. Ambang Batas
9. Menyerah
10. Sindrom Pra-Nikah
11. Halang Rintang
12. Seindah Kita
13. Hitam Itu Lagi
14. Serasa
16. Derai Air
17. Tersadar
18. Nila Setitik
19. Maaf
20. Akhir Kisah
Epilog

15. Arah Hati

23.2K 896 66
By NaRamadani

Halo. Saya kembali dengan part lanjutan dari kisah ini, semoga masih ada yang berminat.

Ada sedikit bahasa inggris yang ngalor ngidul, dan sebelum kalian protes saya ingin minta maaf karena bahasa inggris yang tak sempurna tersebut.

Kuharap kalian menikmati part ini seperti saya yang sangat menikmati proses pembuatan part kali ini.

Selamat membaca.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Sudah dua hari dilalui tanpa sepatah katapun yang keluar dari bibir mereka. Tidur di ruangan terpisah dan juga saling menghindari. Bila diberi detail, Tirtan yang menghindar dan Lana yang mengejar.

Entah bagaimana dengan Tirtan, yang jelas saat ini Lana sedang gerah segerah-gerahnya.

Suasana perang dingin namun panas ini sangat ingin diakhirinya secepat mungkin. Dirinya tidak tahan bila didiami seperti ini terus oleh suaminya. Belum lagi Enggar yang merupakan akar permasalahan kali ini juga semakin gencar ingin menemui Lana kembali yang sudah ditolak Lana entah kesekian-kian kalinya.

Bunyi ponsel mengalihkan Lana dari pekerjaan yang tengah ditekuni di meja kerjanya saat ini. Segera dijawab panggilan telepon itu tanpa melihat identitas si penelepon terlebih dahulu.

"Halo?"

"Lana? Siang ini kamu ada waktu?"

Argh! Sial-sial! Kenapa aku menjawab panggilan ini? Rutuk Lana dalam hati begitu menyadari identitas si penelepon.

"Maaf, Gar. Aku lagi sibuk." Lana masih tetap mencoba peruntungannya menolak bertemu dengan Enggar dengan alasan klise.

"Listen, Lana. I know that I've made you got into trouble when I was conveyed my feeling for you."

Lana mendesah frustasi mendengar bahasa Inggris yang digunakan Enggar.

"Abang-" Belum habis ucapannya, Enggar kembali berceloteh dengan bahasa asingnya itu.

"Even at that time you didn't say that clearly, it's all written over your face." Enggar masih keras kepala melanjutkan perkataannya. "And even it's late, but I hope that it's not too late to apologize."

"Untuk apa?" Rasanya ingin segera ditutupnya panggilan telepon ini.

"For being so rude to you."

"Hah?" Lana tak mengerti.

"Lana, honestly-" Kali ini Lana segera memotongnya sebelum kecolongan lagi.

"Gar, kamu bisa pakai bahasa Indonesia? Aku lebih nyaman dengan bahasa tanah airku sendiri." Lana mengucapkannya dengan tak sabar.

Sejenak tak terdengar apa-apa dari seberang sana. Sesaat kemudian kembali terdengar suara Enggar.

"Oh, sorry. I never mean-"

"Indonesia. Please." Potong Lana dengan kesal.

"Maaf."

"Oke. Itu saja?" Lana memohon dalam hati, ia ingin segera menyelesaikan pembicaraan ini. Ia tak ingin hatinya goyah.

"Maaf, aku tidak sadar kalau pakai bahasa Inggris."

"Aku tahu. Itu kebiasaan kamu kalau harus mengatakan hal yang sangat terpaksa harus kamu ucapkan padahal sebenarnya sangat tidak ingin kau katakan." Lana menerangkan sekaligus mencela kebiasaan Enggar.

"Aku tidak tahu itu." Suara Enggar terdengar heran.

"Berarti kamu juga tidak tahu kalau kebiasaan menggeleng dan mengangguk akan kamu lakukan bila kamu dalam keadaan putus asa, pasrah, atau menyerah?"

"Aku juga tidak tahu itu." Suara itu masih terdengar takjub.

Lana mendesah dengan tak sabar. "Well, I knew you since we're a child." Lana memutar kedua bola matanya.

"Indonesia. Please." Enggar mengembalikan kata-kata Lana.

Lana tak mengubris itu, ia ingin segera menyelesaikan pembicaraan ini. Tak ada waktu untuk bersenda gurau dan saling mengejek dengan Enggar.

"Satu pertanyaan. Untuk apa kata maafmu?"

"Honestly," Enggar berdehem kecil. "Sebenarnya aku tahu kalau kamu menyukaiku."

Lana melongo, tak sanggup berkata-kata. Ia tak menyangka hal ini. Jadi selama ini Enggar tahu perasaannya? Dan dengan tanpa beban Enggar selalu menceritakan petualangan cintanya pada Lana tanpa sedikitpun rasa berat hati?

Argh! Bodohnya diriku bisa jatuh cinta dengan orang yang tak bisa menghargai perasaan orang lain!

"Itu masa lalu, Gar." Lana berusaha mengontrol suaranya sekaligus mengontrol emosi yang menggelegak.

"Tapi-" Belum habis ucapan Enggar namun segera dipotong oleh Lana.

"Dan berkat pengakuanmu barusan, semua rasa yang tersisa akhirnya dapat kuketahui akan kukemanakan."

"Aku tak bermaksud menyakitimu, Lan."

"Setidaknya kamu mau mengakuinya sekarang. Dan Setidaknya aku tahu betapa bodohnya diriku bisa jatuh cinta padamu, dulu. Karena aku tahu kamu tidak bakalan pernah menganggapku lebih dari seorang adik." Cibir Lana dengan sepenuh hati.

"Tapi, sekarang-"

"Stop it! Aku tak mau dengar sepatah katapun darimu saat ini, Gar." Lana sudah tak punya kesabaran dengan segala rengekan Enggar.

"Sebaiknya kamu pulang dan mengemis maaf pada Nita."

"Jadi inikah jawabanmu Lana?" Enggar tampaknya masih berusaha meneruskan pembicaraan.

"Jangan mengalihkan pembicaraan!" Lana menggertak frustasi.

"Aku nggak tahu apa maksudmu dengan datang dan mengutarakan perasaanmu padaku saat aku sudah berkeluarga seperti ini. Mungkin kamu memang benar-benar cinta pada Nita dan percaya padanya hingga dia bisa membuatmu mengakui perasaanmu padaku. Jadi sadarlah! Mungkin kamu memang cinta padaku, tapi cintamu ke Nita lebih besar lagi!"

"Aku benar-benar tak tahu, Lan. Semua pemikiranku seakan berhamburan kemana-mana." Suara Enggar kembali terdengar sedih.

Cukup sudah. Lana kini berada diambang batas toleransinya. "Abang! Kamu itu bodoh atau apa? Ckckck. Menyesal aku punya abang seperti kamu." Dengan tak sabaran Lana memutuskan sambungan telepon tersebut. Bahkan rasa sedih yang sempat timbul begitu tahu bahwa Enggar sebenarnya tahu perasaan Lana sudah hilang terhapus oleh emosi Lana kini.

Dasar abang bodoh!

***

Malam ini adalah malam ketiga atau akan menjadi malam ketiga Lana tidur sendirian tanpa Tirtan bila dirinya tidak segera meluruskan masalah ini. Lana menyesal sudah menempatkan dirinya dan Tirtan dalam situasi yang menyakitkan ini.

Setiap berbaring diranjang sendirian airmata itu akan terjatuh otomatis dan akhirnya Lana tertidur dengan energi yang terkuras oleh karena rasa sakit dan sedih yang melandanya.

Setelah siap untuk tidur, Lana kembali termenung. Inikah rasanya bila pasangan suami istri sedang bertengkar dan pisah ranjang? Lana tak percaya dirinya akhirnya dapat merasakan pengalaman pisah ranjang seperti ini, walaupun baru dua malam, namun dua malam itu adalah dua malam pertamanya tidur tanpa Tirtan semenjak mereka menikah. Bahkan saat awal pernikahan mereka selalu satu ranjang.

Dengan mendesah merana, Lana mematikan lampu kamar. Sepertinya malam ini ia akan kembali tidur seorang diri lagi.

Menyedihkan.

Lana sangat ingin menyelesaikan masalah ini, namun apa daya, sang suami sepertinya berusaha sebaik mungkin menghindarinya. Buktinya jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan Tirtan masih betah diruang kerjanya.

Ingin segera dihampirinya sang suami, namun mengingat terkhir kali mereka 'berbicara' di ruangan itu membuat Lana bergidik.

Ia tak ingin menjadi sasaran kemarahan Tirtan. Jadi sebaiknya diputuskannya untuk membiarkan Tirtan tenang dahulu baru kemudian berbicara mengenai Enggar dan keputusannya.

***

Lana terbangun pukul dua lewat. Ia tertidur karena lelah menumpahkan airmata. Entah kenapa airmatanya selalu membanjir jika akan tidur beberapa malam terakhir ini.

Tidurnya tidak nyenyak lantaran rasa sendu membiru yang menggaung dalam hatinya. Dirabanya sisi tempat tidur Tirtan dan mendapati seprai yang dingin. Segera ia bangun dan berjalan keluar kamar, mencari Tirtan.

Pencarian pertamanya di ruang kerja Tirtan namun orang yang dicari tak ada dalam ruangan itu.

"Tirtan..." panggilnya namun tak ada jawaban.

Pencariannya berlanjut ke lantai dasar. Disusurinya tangga perlahan dalam pencahayaan lampu yang redup, Tirtan tak ada dalam ruang tamu. Segera dirinya berjalan kembali menelusuri asal lampu yang menyala dari ruang keluarga dan langsung mendapati Tirtan yang tengah tertidur di sofa panjang depan televisi.

Lama dirinya berdiri di depan pintu ruang keluarga tersebut bertanya-tanya mengapa Tirtan tertidur di sofa panjang tersebut kemudian tersadar dan merutuki diri sendiri. Ini adalah malam ketiga dirinya terbangun dan tanpa sadar tiga malam berturut-turut dirinya selalu mengelilingi seluruh bagian rumah untuk mencari Tirtan.

Dipandanginya wajah Tirtan yang tengah pulas, tampak sedikit tidak nyaman dalam tidurnya. Biar selebar apapun, sofa tetaplah sofa, bukan tempat tidur. Apalagi ini malam ketiga Tirtan tidur di sofa itu, pasti seluruh badannya pegal dan tak nyaman.

Ingin dibangunkannya Tirtan untuk pindah tempat namun rasa takut menguasainya. Rasa takut itu berasal dari dalam hatinya, takut dengan kebencian Tirtan padanya. Rasanya ia takkan sanggup menanggungnya lagi.

Lana berjalan perlahan menyusuri tangga ke kamar dan mengambil bed cover, dengan hati-hati kembali ke ruang keluarga lantai dasar. Dihamparkan bed cover tersebut menutupi tubuh Tirtan dan berjalan menekan sakelar untuk mematikan lampu di ruangan tersebut. Perlahan Lana berjalan kembali ke kamar tidur dan membaringkan dirinya di tempat tidur itu.

Tempat tidur tanpa Tirtan.

Sepuluh menit berlalu namun rasa kantuk itu tetap tak datang menghampirinya. Bolak-balik gelisah dalam tidurnya, Lana akhirnya memutuskan menguji nyalinya. Percuma saja bila ia tetap dikamar itu, alamat dirinya takkan tidur hingga pagi menjelang, seperti dua malam sebelumnya.

Bangkit secepatnya, Lana keluar kamar dan berjalan kembali ke ruang keluarga itu. Sesampainya disana diamati kembali wajah Tirtan dalam keremangan dinihari. Tirtan tampaknya sudah sedikit lebih nyaman dengan bed cover yang menutupinya.

Lana meneguk ludah memberanikan diri. Dengan takut-takut Lana menyelipkan diri di samping Tirtan di sofa lebar itu. Tirtan yang sepertinya merasakan desakan ditubuhnya spontan bergerak menyesuaikan diri dengan tubuh Lana yang kini berhasil menyelip disampingnya. Itu pikir Lana, namun jantungnya serasa berhenti berdetak saat didengarnya suara serak Tirtan.

"Belum tidur?"

***

Tirtan gemas sendiri dengan tingkah istrinya itu. Ia marah! Marah dengan keadaan ini dan malah menumpahkannya pada Lana dengan membentak-bentaknya dan berlaku kasar. Kejadian itu memang sudah lewat dua malam lalu, namun penyesalan itu kian lama kian menggigit terasa.

Dan ini malam ketiga dirinya memutuskan tidur di ruang keluarga, tak sanggup menghadapi wajah istrinya yang hampir seratus persen digaransinya saat ini sedang menumpahkan airmatanya itu.

Bukannya terlalu percaya diri, namun setiap malam Tirtan memang selalu menyempatkan diri melihat keadaan Lana di kamar mereka setelah dirasanya Lana telah tertidur. Dan bekas airmata tercetak jelas di pipi Lana.

Pernyataan cinta Enggar memang membuatnya tak nyaman, namun tingkah Lana lah yang berhasil menyulut emosinya. Bila Lana biasa saja menghadapinya dan tanpa beban menceritakannya pada Tirtan, mungkin mereka berdua malah akan berbicara dan menertawakan kejadian itu. Tapi yang terjadi malah Lana bertemu dengan Enggar sembunyi-sembunyi, ditambah pengakuan Lana dengan wajah yang kalut memberi petunjuk pada Tirtan bahwa Lana masih menyimpan rasa pada Enggar dan serius memikirkan pernyataan cinta Enggar.

Aargh! Hidup ini tak adil!

Baru saja ia menikmati kenyamanan berumah tangga dan jadinya malah seperti ini. Diakuinya bahwa ia memang bersikap kekanakan dengan lari dari masalah ini. Sebersit penyesalan melintas dihatinya, menyadari dirinya telah menyakiti Lana dengan sengaja. Sebersit itu akhirnya memenuhi hatinya hingga dikutuk tak bisa tidur seperti ini padahal jam sudah menunjukkan pukul tiga lewat dan ini bukan malam pertamanya ia menderita insomnia dadakan seperti ini.

Tiba-tiba didengarnya suara langkah kaki mendekat. Pasti Lana.

Segera dipejamkan matanya berpura-pura tidur. Dapat dirasakan tatapan mata Lana pada wajahnya kemudian Lana berjalan pergi. Begitu saja? Well, ia memang tak bisa berharap lebih. Dua malam sebelumnyapun Lana hanya memandangnya seperti ini.

Sepertinya pemikirannya salah. Karena tidak lama kemudian didengarnya kembali langkah kaki Lana yang menuruni tangga, kali ini lebih perlahan dibandingkan tadi. Bunyi desiran kain terdengar, kain itu terseret di lantai. Tirtan tetap menunggu dengan mata terpejam menanti Lana dengan was-was. Dirasakannya tubuhnya terselimuti sesuatu seperti...

bed cover! Ya, bed cover.

Lana kemudian mematikan lampu dan berjalan pergi. Walaupun Tirtan telah menyakiti Lana waktu itu tampaknya istrinya masih perhatian padanya. Rasa penyesalan itu semakin kental terasa. Menit demi menit berlalu namun matanya tetap tak dapat tertidur. Harum tubuh Lana tercium jelas dari bed cover itu membuatnya semakin merindukan sang istri.

Saat akan terlelap kembali didengarnya langkah kaki Lana. Ada apa lagi? Kali ini Lana berdiri agak lama menatapnya. Tirtan berusaha serileks mungkin memerankan orang yang tengah tertidur.

Tiba-tiba dirasakannya Lana bergerak mendekat dan menyelipkan tubuhnya disamping Tirtan. Refleks dirinya bergeser memberikan tempat untuk Lana.

Semakin dipikirnya, sudah saatnya ia bertingkah selayaknya orang dewasa. Biar bagaimanapun masalah ini takkan selesai bila ia terus menghindar. Maka diputuskannya untuk mengakhiri tidurnya yang pura-pura.

"Belum tidur?"

Dapat dirasakannya tubuh Lana tiba-tiba menegang. Kemudian Lana bergerak agak tergesa untuk bangun namun segera ditahan oleh tangannya yang segera melingkari pinggang Lana.

"Disini saja, hun."

Lana menarik napas dalam beberapa saat kemudian istrinya berbalik kearahnya, menghantarkan diri masuk kedalam dekapannya. Hati Tirtan yang sempat dingin tadi perlahan menghangat.

"Maaf." Ucap Tirtan dengan sepenuh hatinya.

"Aku juga minta maaf." Suara isakan keluar dari bibir Lana.

Tirtan menarik napas lega. Dengan kata maaf saja mereka bisa berbaikan seperti ini. Sepertinya penderitaan mereka beberapa hari terakhir hanya karena egonya semata. Rasa sesal lain kembali melingkupi Tirtan, berusaha ditepisnya rasa itu dengan mendekap erat Lana yang masih menangis.

Setelah beberapa saat dilepasnya dekapan itu, kemudian menatap wajah Lana yang sembap. Dikecupnya lama kening Lana kemudian menatap penuh rindu pada sang istri tersayang.

"Jangan mewek, sayang. Aku tak mau punya istri jelek."

Bibir Lana mencebik tak suka mendengar kalimat Tirtan barusan. Bergegas dirinya bangkit ingin menjauh dari Tirtan namun segera terhalau oleh tangan Tirtan yang cekatan mendekapnya erat kembali. Tirtan tertawa melihat tingkah istrinya itu.

"Maaf, sayang. Aku cuma becanda." Di elusnya punggung Lana lembut, berkali-kali. Setelah dirasanya tubuh Lana kembali rileks Tirtan melonggarkan dekapannya di tubuh Lana.

Dirinya menarik napas panjang, bersiap membicarakan masalah ini dengan lebih layak, dengan lebih dewasa.

"Tak ada salahnya Enggar menyatakan cinta, aku mengerti itu. Namun akal sehatku terhalang oleh sesuatu yang namanya cemburu, sepertinya." Tirtan akhirnya mengakui itu pada Lana.

Ucapan Tirtan barusan membuat Lana mendongak menatap wajah Tirtan.

"Kamu cemburu?"

Alis Tirtan terangkat sebelah. "Menurutmu? Aku kan sudah bilang kalau aku suka kamu. Wajar saja cemburu bila orang yang disuka ternyata bertemu dengan orang lain dibelakangmu dan parahnya malah mendapat pernyataan cinta dari orang lain yang kebetulan adalah cinta monyet orang yang kau suka."

"Aku sadar aku salah dengan sikapku, Tan. Maaf." Lana kembali menenggelamkan dirinya dalam dekapan Tirtan. Isakannya kembali terdengar. Itu adalah tangisan lega. Sepertinya Tirtannya sudah kembali lagi.

"Aku memaafkanmu, sayang." Tangan Tirtan terangkat, membelai lembut pundak Lana hingga isakan Lana akhirnya terhenti. "Aku juga minta maaf karena sudah berlaku kasar padamu."

"Tak apa, aku juga sudah memaafkanmu. Perlakuanmu membuatku sadar. Ternyata aku takkan sanggup bila harus menghadapi amarahmu, jadi aku takkan menyulut amarahmu lagi, setidaknya tidak semarah seperti kemarin."

Tirtan membelai lembut pipi Lana suaranya terdengar pelan memenuhi pendengaran Lana yang peka di dinihari itu.

"Aku seharusnya berlaku lembut, agar kamu takkan meninggalkanku. Bahkan mungkin aku seharusnya mengemis padamu, sayang." Suara Tirtan berat dengan nada penyesalannya.

Sementara itu Lana semakin merasakan kelegaan dan tersenyum puas dalam hati, panggilan sayang itu sudah diucapkan Tirtan berkali-kali, sepertinya dirinya memang benar-benar telah mendapatkan Tirtannya kembali.

"Jangan, aku tak mau punya suami yang nggak cool sampai mengemis-ngemis gitu."

"Bukannya itu impian sebagian besar wanita ada seorang lelaki tampan yang mengemis-ngemis cinta dikakimu?"

"Pertama, aku bukan sebagian besar wanita itu, kedua, aku juga tahu kamu takkan benar-benar secara harfiah bakalan mengemis-ngemis dikakiku. Yang ada kamu bakalan memaksaku untuk memberikan cinta, bukan mengemis."

"Aku? Seorang pemaksa? Masa?" Tirtan mengeratkan dekapannya mengecup lembut puncak kepala Lana.

Lana melepaskan dekapan Tirtan dan menatapnya penuh ironi. Suara decakan keluar ganas dari mulut Lana.

"Tuan, anda benar-benar orang yang tak tahu diri."

Tawa Tirtan meledak. Diraupnya tubuh Lana dan membawanya keatas tubuhnya yang kini berbaring telentang.

"Tapi sepertinya kamu memang lebih cocok dengan tipe pemaksa sepertiku, karena kamu, nyonya, anda adalah orang yang kepala batu."

Lana meringis, ini bukan pertama kalinya dirinya disebut kepala batu. Ia menunduk dan mengecup bibir Tirtan. Kecupan basah dan berulang. Tirtan menikmatinya dengan sukarela.

"Jadi aku tetap jadi suamimu? Tidak bakalan diganti?" Ucap Tirtan diantara kecupan Lana yang kini sudah menjelajah di wajahnya.

Lana menggeleng, kedua tangannya menangkup pipi Tirtan. "Nggak. Kamu itu langka. Susah nemunya."

Alis Tirtan berkerut. "Langka gimana?"

Lana menjawab dengan semangat, terpacu oleh wajah Tirtan yang menatapnya penasaran.

"Cepat marah, cepat baikan. Bentar-bentar kasar, tapi ujungnya disayang-sayang. Bilangnya nggak boleh gini gitu, tapi akhirnya nurut juga kalau aku mau kayak gini atau gitu, terus, terus-"

"Sst..." Cepat telunjuk Tirtan ditempelkan dibibir Lana. "Kayaknya kamu sudah temukan kelemahanku. Jadi haram hukumnya diumbar-umbar."

Lana cengengesan. Ditenggelamkannya wajahnya di cerukan leher Tirtan, menghirup wangi tubuh suaminya. Didengarnya kembali suara Tirtan. "Ayo, tidur."

Lana mengerang protes. Dipalingkannya wajahnya menghadap leher Tirtan dan menjilat lembut leher itu. Tirtan tertawa mengetahui maksud Lana.

Dimantapkannya pelukannya di tubuh Lana seraya bangun dari sofa tersebut. Kaki Lana melingkar otomatis di pinggang Tirtan terhadap perubahan posisi itu. Tirtan bangkit dan berjalan keluar dari ruang keluarga tersebut dengan Lana yang masih dalam gendongannya, menuju kamar mereka. Dinihari itu dilanjutkan dengan pelepasan rindu mereka. Bukan dengan cara melepaskan gairah yang menggelegak, namun dengan cara yang manis, hanya dengan berbagi kecupan, ciuman, candaan dan tawa diantara mereka, tak lebih dari itu.

Setelah puas becanda dan tertawa bersama Tirtan, Lana terlelap bersama sang suami yang masih sangat dirindukannya walaupun kini tengah berbaring memeluknya erat. Sepertinya rasa rindu itu takkan pernah habis, takkan pernah membuat Lana bosan dengan Tirtan yang selalu dirinduinya.

Senyum kepuasan dan kelegaan menghiasi bibir Lana. Arah hatinya terjawab sudah. Bukan pada cinta yang lama dipendamnya yang membuatnya merana bertahun-tahun, tapi hanya pada seseorang yang baru ditemuinya, yang mau menerima dirinya apa adanya. Dan beruntungnya dirinya orang itu kebetulan adalah suaminya. Sepertinya hidup takkan bisa lebih sempurna lagi daripada ini.

***

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 446K 32
was #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.❞▫not an...
1.3M 35.5K 8
Di balik dunia yang serba normal, ada hal-hal yang tidak bisa disangkut pautkan dengan kelogisan. Tak selamanya dunia ini masuk akal. Pasti, ada saat...
5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...