It's a Life Disaster!

By NaRamadani

623K 19.7K 945

Alananda Mitha Hermawan, hidup bahagia dan santai saja selama ini. Namun kejadian nyaris bangkrut, nyaris dij... More

Prolog
1. Alananda Mitha Hermawan
2. Dia
3. Tirtan Putra Bimawangsa
4. Hitam
5. Perpanjangan Waktu
6. Posesif
7. Enggardian Suta
8. Ambang Batas
9. Menyerah
10. Sindrom Pra-Nikah
11. Halang Rintang
12. Seindah Kita
13. Hitam Itu Lagi
15. Arah Hati
16. Derai Air
17. Tersadar
18. Nila Setitik
19. Maaf
20. Akhir Kisah
Epilog

14. Serasa

25.3K 848 72
By NaRamadani

Hai, Saya kembali.
Minal Aidzin WalFaidzin ya.

Maaf bila ada typo, kesalahan bahasa, dsb. Saya hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah, Hahaha.

Yuk, langsung saja ke ceritanya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Sayang..."

Suara itu menembus alam bawah sadar Lana. Kecupan-kecupan kecil memenuhi wajahnya. Dibukanya matanya dan mendapati mata Tirtan yang tengah menatapnya intens.

Dalam sadarnya yang hanya setengah itu dapat dirasakannya tangan Tirtan yang bergerak mengangkat gaun tidur yang dikenakannya hingga perut. Tangan itu kini melepas satu-satunya bahan kain penghalang penyatuan mereka.

Dalam dingin dan remangnya pagi, mereka bergerak bersama menciptakan irama pelan dan santai, menikmati rasa dan intensitas yang tercipta, hingga hanya rasa yang tak terdefinisi memecah benak menjadi ribuan keping cahaya, membutakan mata, menumpulkan logika.

***

Lana berjalan memasuki kafe tersebut. Dipilihnya meja sudut dimana ia dapat berbicara dengan sedikit lebih leluasa. Suasana senja membuat kafe tersebut lengang oleh pengunjung. Lana tak tahu mengapa ia mengiyakan ajakan Enggar untuk bertemu, yang jelas keinginan hatinya saat ini adalah ingin bertemu dengan Enggar.

Lana belum mengatakan pada Tirtan tentang rencana pertemuannya dengan Enggar. Melihat reaksi Tirtan saat membahas Enggar dahulu sebelum mereka menikah membuatnya bergidik. Sebisa mungkin ingin dihindarinya pembicaraan mengenai Enggar dengan Tirtan.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya sosok itu datang juga, sosok yang ternyata lumayan dirindukannya. Enggar tampak agak kurusan, mungkin itu karena tekanan batin yang dialaminya akibat perceraiannya dengan Nita.

Enggar menemukannya dan berjalan menuju meja di sudut itu. Lana berdiri menyambutnya dan begitu Enggar sampai ia segera merentangkan tangan dan memeluk Lana, erat.

"Maaf, terlambat."

"Nggak papa, Gar." Gumam Lana sambil tersenyum menenangkan. "Ayo duduk."

Enggar meraih dan menggenggam tangan Lana setelah mereka duduk berhadapan. Memberikan senyum kepada Lana walaupun senyumnya tak selebar biasanya, mengingat masalah yang sedang menggelayuti saat ini.

"Kamu tampaknya semakin cantik habis nikah." Enggar tampak tersenyum sambil menatap wajah Lana.

"Biasa aja, kok." Lana tersipu sambil menepuk pelan tangan Enggar yang sedang menggenggam jemarinya.

"Maaf tak bisa datang diresepsimu kemarin, aku tak bisa datang karena sedang berada diluar negeri membawa lukisanku untuk dipajang di pameran."

"It's okay, Gar. Santai aja." Lana menerima permintaan maaf itu.

"Kamu baik-baik saja?" Lana menanyakan pertanyaan itu, setelah diselingi dengan suasana yang tiba-tiba memberat dengan diamnya Enggar.

Enggar memberikan tatapan kalutnya. "Tidak."

"Kenapa kalian berpisah secepat ini? Ini baru bulan keberapa kalian menikah? Belum ada setahun kan?" Lana tak habis pikir.

"Semua salahku," Enggar menarik nafas frutrasi. "Dan Nita berat memaafkanku."

"Jadi Nita yang menuntut perceraian ini?" Lana menatap Enggar yang tampak mengangguk terpaksa.

"Apa kesalahanmu, Gar?" Pertanyaan itu akhirnya terlontarkan juga, setelah jeda lagi yang lumayan lama oleh diamnya Enggar.

Enggar tersenyum sendu. "Kesalahan yang fatal, Lan. Fatal."

"Apa itu? Coba katakan, siapa tahu aku bisa bantu masalahnya." Desak Lana tulus.

Enggar menatap kalut pada Lana, seakan berperang dalan hatinya untuk mengatakan yang sebenarnya atau hanya memendam dalam diam. Semakin dipikirkannya semakin membuatnya tersiksa, namun apa mau dikata, semuanya telah terjadi.

"Aku main hati." Akhirnya Enggar mengakuinya dengan berat hati. Menyesalkan perasaannya yang tak yahu diri.

Lana tercekat. "Maksudnya? Kamu selingkuh?"

Enggar meringis kemudian menggeleng lemah. "Aku tidak selingkuh, hanya main hati."

"Apa bedanya?" Lana berpikir keras dan akhirnya ia mengerti. "Maksudmu kamu suka sama orang lain?"

Enggar dengan terpaksa mengiyakan tebakan Lana. Toh, dirinya sudah berniat menceritakannya pada Lana, jadi diputuskannya untuk tak setengah-setengah mengakui dosanya.

Sementara itu Lana terdiam kaget mendapati kenyataan ini, dipikirnya Enggar dan Nita saling mencintai satu sama lain, mengapa Enggar masih bisa main hati?

"Tega-teganya kamu, Gar." Dihempaskan tangannya yang ternyata masih berada dalam genggaman Enggar, seolah orang didepannya ini bukanlah orang yang dikenalnya yang pantas mengenggam jemari tangannya.

Enggar tersenyum pasrah. "Aku tak menyangkanya, Lan. Kupikir itu perasaan yang lain, namun Nita berhasil membuatku mengakuinya."

"Siapa orang itu, Gar? Dia tahu perasaanmu?" Lana mendesak Enggar, ingin tahu orang seperti apa yang berhasil membuat Enggar seperti ini.

"Dia tidak tahu."

"Siapa orang itu." Lana dengan keras kepala terus mendesak Enggar.

Enggar menatap Lana lama. Lana balas menatap Enggar dengan penasaran.

Tatapan Enggar tak seperti biasanya, seolah-olah tatapan tersebut menyiraykan sesuatu yang dalam. Perlahan, pengertian itu akhirnya muncul dikepala Lana.

Dengan jantung yang mencelos digelengkannya kepalanya, berharap ini hanya mimpi, entah mimpi indah ataukah mimpi buruk.

***

"Honey? Kamu kenapa?" Tanya Tirtan malam itu melihat wajah Lana yang tampak berpikir keras sedangkan tayangan didepannya menampilkan tayangan komedi.

"Nggak."

"Kerjaan lancar kan?" Tirtan masih berusaha menggali penyebab kesusahan hati istrinya yang mood-mood an ini.

"Iya, lancar aja."

Tirtan berjalan menghampiri Lana. Duduk disampingnya di sofa itu. "Kamu kayaknya lagi banyak pikiran, ada apa?"

Lama Lana tak menjawab pertanyaan Tirtan. Disandarkan kepalanya dibahu Tirtan, mencari kenyamanan.

"Ng, Tan." Lana mendongak dari sandarannya di bahu Tirtan.

"Apa, hun?"

"Sebenarnya ada yang ingin kuberitahu." Suara Lana terdengar ragu.

"Tentang?"

Dengan takut-takut Lana menelan ludah. "Enggar."

Dahi Tirtan berkerut.

"Ada apa dengannya?"

Lana berpikir keras, bimbang dengan pengakuannya. Haruskah diberitahunya Tirtan atau tidak? Dan akhirnya kejujuran itulah yang menang.

"Dia akan bercerai." Lana mengucapkannya pelan, namun jantungnya tetap berdebar mengkhawatirkan. Lana dapat merasakan badan Tirtan yang tiba-tiba menegang.

"Apa hubungannya denganku?" Dari nada suara Tirtan yang naik, dapat Lana simpulkan bahwa Tirtan terganggu dengan fakta itu.

"Dia," Lana menelan ludah susah payah, "aku tadi bertemu dan berbicara dengannya."

Tirtan menatap tajam pada Lana. "Kamu bertemu dia? Tanpa sepengetahuanku?"

Dengan takut-takut Lana mengangguk kemudian segera membela diri. "Aku tak meminta izin darimu karena waktu itu kamu marah karena Enggar." Dapat didengar oleh Lana gemeretakan gigi Tirtan.

Tirtan mengangguk kaku. "Itu saja yang ingin kamu bicarakan?"

"Masih ada lagi."

"Apa itu?" Tanya Tirtan tak sabar, dirinya ingin segera menyelesaikan pembicaraan ini.

Tatapan Lana yang mengarah tetap ke mata Tirtan terlihat bimbang dan ragu. "Enggar menyatakan cinta padaku."

***

Tirtan menarik napas terkejut. Hal ini tak dapat disangkanya. Saat rumah tangganya dapat berjalan sebagaimana mestinya, badai pertama itu datang menghempas semuanya yang susah payah dibangunnya dalam pondasi yang rapuh.

Tirtan bangkit segera mungkin dari sofa, tak tahan dengan aura pekat yang melingkupi hatinya di ruangan itu, dirinya butuh udara segar. Segera diambilnya kunci mobil dan memakai jaket kulit hitamnya. Lana mengekor dari belakang. "Mau kemana?"

"Cari udara segar."

Lana menahan langkahnya dengan menggenggam jemarinya erat. "Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Tan. Bukan kayak gini."

"Akhirnya semua keputusan ada ditanganmu, Lana." Nada suaranya ketus, mata Lana membulat mendengar namanya keluar dari bibir Tirtan. Lenyap sudah sapaan sayang dari Tirtan.

"Percuma aku ada disini." Tirtan melepas paksa genggaman tangan Lana. Berbalik dan berjalan keluar pintu rumahnya, entah akan pergi kemana. Pikirannya terlalu penuh dan tak memiliki ruang lain untuk berpikir lagi.

Segera dimasuki mobilnya. Secara otomatis menyalakan mobil tersebut dan menginjak pedal gas, berlalu dari tempat Lana, berlalu dari si pemenuh pikiran.

***

Rasa itu datang. Lana tak memungkiri ada rasa dirinya untuk Tirtan. Biar bagaimanapun beberapa bulan terakhir ini keberadaan Tirtan merupakan satu titik utama dalam hidup Lana. Namun kemunculan dan pernyataan cinta Enggar berhasil membuatnya kalut.

Dirinya sudah berusaha melepaskan Enggar dan mulai belajar menerima Tirtan, yang notabene bukan hal yang susah karena menurut Lana Tirtan memang sangat cocok dengan dirinya. Tapi bila seperti ini Lana tak tahu lagi mesti bagaimana. Dia tahu dengan jelas rasanya untuk Enggar, sedangkan Tirtan sama sekali tak membantu dengan lari dari masalah ini, membiarkan Lana bertarung sendirian menghadapi perasaan yang kian tak jelas dihatinya.

Airmata yang belakangan ini tak pernah jatuh akhirnya jatuh juga. Sakit yang dirasakannya saat Tirtan berbalik pergi darinya mampu membuatnya meneteskan airmata.

Jam kini sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan matanya belum mampu terpejam sedikitpun. Tanda-tanda kepulangan Tirtan nihil dan itu semakin membuatnya resah.

Baru pagi tadi dirinya memadu kasih dengan Tirtan di tempat tidur ini dan kini dirinya berbaring sendirian dalam keremangan kamar dan dilingkupi aura pertengkakaran dan perselisihan yang tak kasat mata.

Suara pintu yang terbuka membuat Lana bergegas bangun dan segera berjalan keluar kamar. Di ruang tamu dapat dilihatnya wajah Tirtan yang kuyu. Rasa bersalah mengiris hatinya, sadar dirinyalah penyebab kegundahan hati Tirtan.

"Darimana?"

"Mana saja." Jawab Tirtan pendek. Sepertinya sifat irit bicara Tirtan kembali lagi.

Lana bergerak menghampiri Tirtan, ingin membantu membuka jaketnya. Begitu berada di hadapan Tirtan dapat diciumnya aroma alkohol. Lana seketika tahu arti kata 'mana saja' dari Tirtan barusan.

"Sini, kubantu."

"Tak perlu." Tirtan berlalu meninggalkan Lana. Lana menahan napas. Baru kali ini dirasakannya penolakan dari Tirtan. Rasanya tidak enak.

Tirtan memasuki kamar disusul oleh Lana yang kemudian mempersiapkan kaos tidur Tirtan dan celana piyama untuk berganti Tirtan yang kini tengah membersihkan diri di kamar mandi. Begitu Tirtan keluar dari kamar mandi segera dipakainya kaos dan piyama yang disiapkan Lana kemudian berlalu keluar dari kamar.

Lana yang mendengar pintu kamar tertutup membuka mata, bangkit dan turut berjalan keluar kamar mencari Tirtan. Didapatinya Tirtan berada dalam ruang kerjanya.

"Ngapain?"

"Kerja." Masih dengan gaya irit bicara Tirtan menjawab pertanyaan Lana barusan.

Lana menghela napas melihat tingkah kekanakan Tirtan. "Tirtan, kita mesti bicara."

"Untuk apa? Biar kamu bisa memutuskan bercerai seenaknya? Tidak bisa." Tandas Tirtan langsung. Matanya tak menatap Lana alih-alih menatap dokumen yang berserakan diatas meja kerjanya.

Tercetus dipikiran Lana, mungkinkah saat ini Tirtan tengah merajuk? "Aku kan tidak memutuskan bercerai, Tan."

Gerakan tangan membolak-balik dokumen tersebut akhirnya terhenti. Mata Tirtan kini beralih menatap Lana tajam. "Ujung-ujungnya kamu pasti mau bercerai dan kembali lagi ke Enggar." Tirtan menjawab datar, pandangannya tertuju langsung pada Lana.

"Aku sedang bingung, Tan. Kamu malah tidak membantu sama sekali bila bersikap seperti ini!" Lana sudah habis kesabaran, dirinya kesal dengan Tirtan.

"Terserah kamu mau berkata apa, Lana." Suara Tirtan berhasil membuat nyeri itu kembali menghampiri dada Lana, sesak. "Yang jelas disini aku berusaha serius denganmu, Lana."

Lana meringis, mencibir. "Oh ya? Sikapmu tidak menunjukkan seperti itu."

"Ini caraku." Tirtan mengucapkannya dengan nada defensif.

"Itu caramu? Kau bilang itu caramu serius? Dengan menghindariku?! Kamu becanda!"

Tirtan berdiri dari duduknya dengan tiba-tiba. Kursi empuknya terhempas dan jatuh kebelakang menimbulkan bunyi keras.

"Lalu apa yang menurutmu serius? Dengan bicara seperti ini dan saling berteriak seperti ini?!" Kedua telapak Tirtan memukul meja kerjanya dengan ganas, Lana mengkeret melihat situasi saat ini. Amarah Tirtan bukan hal yang ingin dihadapinya saat ini.

"Kamu memang tak bisa diajak bicara." Lana putus asa. Suaranya terdengar frustrasi.

"Percuma aku berbicara denganmu, aku tahu pasti kita akan seperti ini, beradu argumen dan kita tetap jalan ditempat." Suara Tirtan terdengar tegang.

"Kamu kenapa, Tan? Biasanya kamu nggak kayak gini..." Lana ingin Tirtannya kembali berlaku normal padanya. See? Bahkan saat ini dirinya sudah menganggap Tirtan adalah miliknya.

Mendengar ucapan Lana barusan Tirtan segera mendelik tajam pada Lana. "Seperti apa memangnya? Selalu lemah lembut? Sangat sayang padamu? Aku juga punya kesabaran, Lana. Dan yang lebih penting, aku juga punya perasaan." Nada suaranya menusuk.

Lana terhenyak. Ia tak menyangka Tirtan akan memperlihatkan sisi dirinya yang terluka. Ia terdiam, tak tahu harus berkata apa melihat mata Tirtan yang marah, sedih dan entah apa lagi. Selama ini dipikirnya Tirtan adalah orang yang tahan banting dan takkan bersedih. Namun ternyata ia salah, Tirtan hanyalah manusia biasa, punya hati dan punya perasaan. Dan perasaan itulah yang telah disakitinya.

"Sekarang keluar."

"Tan..."

"Keluar! Aku tak tahu apa yang kulakukan selanjutnya bila kamu masih disini!"

"Aku nggak ngerti, Tan. Kenapa kamu selalu berpikiran pesimis tentang Enggar." Lana bersikeras ingin tetap berbicara.

"Keluar!"

"Apa salahnya dia menyatakan cinta padaku? Toh, aku tidak menerima pernyataannya, Tan." Lana masih mencoba berbicara pada Tirtan.

"Cukup. Kamu takkan bisa berpikir logis bila menyangkut Enggar, cinta monyetmu itu."

"Tirtan! Aku ingin bicara!" Lana membentak frustrasi.

Tirtan berjalan mendekat kehadapannya tiba-tiba. Tangannya terangkat dan mencengkeram kedua pundak Lana, keras, hingga nyeri dirasakan Lana. Mata Tirtan nanar menatap Lana. Mulutnya bergerak perlahan, mengucapkan kalimat dengan menggeram.

"Cukup, Lana. Aku bisa membuat kita berdua mati bila kau ingin teruskan pembicaraan ini. Aku benci situasi ini." Di dorongnya kasar Lana hingga membentur pintu.

Lana meringis nyeri dan bergerak mundur, emosi Tirtan diambang batas sudah. Rasa nyeri di pundaknya bukan main-main. Sepertinya Tirtan sedang berusaha keras meredam emosi. Satu hal yang pasti bisa ditegaskannya malam ini adalah dirinya harus menata hatinya sendiri.

Namun yang mengherankan airmatanya mengancam jatuh mendengar kata-kata Tirtan barusan. Ia tak menyangka rasanya akan sesakit ini. Diantara berjuta ketidakpastian yang menghujamnya kini, ada satu hal yang dapat dipastikannya tanpa ragu.

Bukan hanya dirinya yang merasakan nyeri di hati. Mereka serasa.

***

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Maaf bila part kali ini tidak jelas seperti ini. Memang jalan ceritanya yah seperti ini. Hahaha.

Terimakasih bagi yang sudah memberi komen, kritik, maupun sarannya.
Benar-benar membuat hatiku mengembang saking senangnya karena ternyata ada juga yang membaca tulisanku bahkan mengomentari hingga memvote cerita ini.

Terimakasih.

Sekali lagi komen, kritik, maupun sarannya tetap kutunggu dengan setia.

Selamat menyambut lebaran ya, teman-teman sekalian. :)

Continue Reading

You'll Also Like

2.4K 387 23
πŸ‘‰πŸ»Bisa dibaca di Dreame dan Innovel. Versi cetak, masih ready stok. πŸ’– Salah satu dari delapan Pemenang Utama Beeromcomchallenge Beemedia Group πŸ’– ...
6.3K 792 7
Dalam pernikahan, kita pasti punya bayangan atau impian rumah tangga yang dijalani. Impian itu seringkali bentuk dari refleksi apa yang kita lihat se...
210K 10.7K 36
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia
602K 41K 48
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...