It's a Life Disaster!

By NaRamadani

623K 19.7K 945

Alananda Mitha Hermawan, hidup bahagia dan santai saja selama ini. Namun kejadian nyaris bangkrut, nyaris dij... More

Prolog
1. Alananda Mitha Hermawan
2. Dia
3. Tirtan Putra Bimawangsa
4. Hitam
5. Perpanjangan Waktu
6. Posesif
7. Enggardian Suta
8. Ambang Batas
9. Menyerah
11. Halang Rintang
12. Seindah Kita
13. Hitam Itu Lagi
14. Serasa
15. Arah Hati
16. Derai Air
17. Tersadar
18. Nila Setitik
19. Maaf
20. Akhir Kisah
Epilog

10. Sindrom Pra-Nikah

25.7K 899 43
By NaRamadani

Hai, penulis abal-abal balik lagi. :)
Selamat membaca. Komen, kritik, saran dan vote tetap dinanti... :)

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Uring-uringan merupakan hal yang paling sering dilakukan Lana seminggu terakhir ini. Mulanya orangtua mereka memutuskan pernikahan mereka diadakan dua minggu sejak mereka ke-gap, tapi karena masalah ribetnya pernikahan akhirnya mereka semua sepakat pernikahan dilakukan sebulan lagi.

Jadwal acaranya sudah ditentukan, pemilihan wedding organizer juga sudah, pemilihan undangan, souvenir, menu hidangan, gedung dan sebagainya juga sudah nyaris fix, dan tanpa terasa waktu tiga minggu pun sudah berlalu. Dua hari lagi jadwal pingitan Lana sudah berlaku. Pingitan yang seharusnya satu minggu berhasil didiskon Lana hanya menjadi lima hari.

"Mama, bisa cepetan nggak? Lana ada meeting jam 3 ntar." Lana menghentikan langkahnya yang bolak-balik mengitari ruang tamu keluarga mereka.

Mamanya terburu-buru menuruni tangga. "Iya, iya. Lagian kenapa mesti meeting sih? Seharusnya kamu sudah cuti, Lana."

"Nanggung, Ma. Dikit lagi proyek bulan ini beres, Mam. Lana cuman mau rapat penentuan bahan-bahan yang akan digunakan aja. Setelah itu Lana baru bisa cuti dengan tenang."

"Iya-iya. Mama ngerti deh, wanita karir memang gitu. Sudah mau nikah aja yang dipikirkan cuman kerja melulu." Mamanya masih sibuk memeriksa isi tas tangannya.

"Nah, tuh Mama ngerti. Ya sudah, ayo buruan." Lana mengambil alih tas tangan itu dan menarik tangan mamanya kearah mobil sedari tadi telah yang siap sedia mengantar mereka.

***

Mamanya memperhatikan Lana yang tengah terbalut kebaya berwarna krem keemasan. "Kayaknya kamu kurusan, deh." Mamanya meraih bagian pinggang kebaya tersebut dan menjepit kelebihan kainnya, "Ini nih, kebayanya aja jadi longgar gini."

"Ya sudah, itu gunanya fitting kan? Tapi kebayanya gak usah dikecilin deh, Mam. Soalnya nanti saat dipingit Lana pasti jadi gendutan."

Mamanya akhirnya setuju segala pengaturan Lana.

Lana merapikan pakaiannya kembali. "Sudah beres kan Ma? Lana sudah mau jalan ke kekantor nih."

"Nah, loh, itukan baru kebaya. Gaun putihnya belum difitting, Lana..." Protes mamanya tak setuju.

"Minggu lalu kan sudah nentuin model dan ukuran, Ma. Kalo ukurannya ternyata beda, yah disamain sama ukuran kebayanya aja, Ma." Putus Lana enteng.

"Gak bisa, Lana." Mamanya masih bersikeras.

"Bisa, Mama sayang..."

"Ih, Mama gak mau ngenter kamu ke kantor kalau begitu. Biar telat aja sekalian kamu." Mamanya mengerucutkan bibirnya tanda ngambek.

"Mama tega yah sama anak sendiri juga?"

"Biarin. Kamu dibilangin gak mau nurut sih." Cibir mamanya.

"Tak apa sih, Ma. Aku tadi sudah nelpon Tirtan minta jemput. Soalnya aku tahu mama pasti gak mau nganter." Lana tersenyum manis sekali.

"Kamu tidak boleh ketemu Tirtan! Kan kamu dipingit."

"Ya ampun Mama. Aku kan dipingitnya nanti lusa. Sekarang masih boleh aja tuh ketemu Tirtan." Lana memandang kearah belakang mamanya yang tengah berdiri, memandang kearah pintu masuk. Sosok itu ternyata sudah sampai.

"Mama, Lana." Suara Tirtan terdengar menyapa tiba-tiba.

"Nah, ini dia sudah datang. Lana pergi dulu yah, Ma." Secepat kilat Lana mengecup pipi mamanya dan menggamit lengan Tirtan keluar dari tempat tersebut. Tirtan bingung dan hanya menoleh berpamitan singkat pada Bu Kiran. "Kami berangkat dulu, Ma."

Bu Kiran hanya bisa mengangguk speechless.

***

Tirtan memandang heran pada Lana yang masih memaksanya berjalan secepat mungkin sambil menggamit lengannya. "Buru-buru?"

"Enggak." Jawab Lana singkat. Ia segera meraih cepat kunci mobil ditangan Tirtan dan menekan tombol unlock. Setelah mobil berbunyi dan berkedip sekali, Lana segera membukakan pintu mobil untuk Tirtan mendorongnya masuk kedalam kursi kemudi.

"Trus kenapa kita tadi perginya terburu-buru sekali?" Tirtan masih bertanya bingung melihat Lana yang kini sudah masuk kedalam pintu penumpang dan memasang seatbelt.

"Aku capek nyoba-nyobain baju. Lagian ada juga yang ingin kubicarakan denganmu." Lana menepuk lengan Tirtan. "Ayo buruan." Kemudian Lana memegang perutnya sendiri. "Kita makan dulu yuk? Aku laper."

Tirtan hanya menggeleng-geleng melihat tingkah Lana. "Ayo."

***

"Mau ngomong apa?" Tanya Tirtan setalah duduk dan memesan makanan mereka di sebuah restoran.

Lana memandang ragu pada Tirtan. "Tentang pernikahan ini."

"Kenapa?" Tirtan mengangkat alisnya. Dipikirannya segala persiapan pernikahan mereka sudah nyaris beres, jadi ada masalah apalagi yang mesti dibicarakan?

"Kamu lupa? Kita kan hanya pura-pura." Suara Lana berhasil membuatnya terpaku. Sh*t! Tirtan lupa hal itu.

Tirtan berbicara dengan hati-hati. Tak mau menghancurkan rencana pernikahan mereka. "Bagaimana kalau kita jalani saja, hun? Aku tak keberatan."

Mata Lana melotot sebal, bibirnya mencebik tak suka. "Aku yang keberatan! Kamu kan playboy." Tandasnya langsung tanpa tedeng aling-aling.

"Aku bukan playboy. Lagipula aku suka sama kamu. Kita bisa mencobanya kan?" Tirtan masih berusaha berhati-hati. Ia mengingatkan dirinya sendiri untuk bersabar menghadapi Lana.

Lana duduk bersandar sambil menyedekapkan kedua tangannya di depan dada. "Sebenarnya aku mau mencobanya. Tapi selama setahun saja."

"Hah? Maksudmu kita nikahnya hanya semacam kontrak, begitu?" Tirtan tak salah dengar kan? Lana hanya menganggukkan kepalanya. "Kamu pikir kita lagi main film? Tidak. Tidak ada nikah kontrak."

"Tapi cuma itu satu-satunya jalan supaya kita bisa menjalani ini semua." Ketenangan Lana mulai terhapuskan mendengar ucapan Tirtan barusan.

"Seburuk itukah menikah denganku? Aku tak keberatan menjalaninya, Lana. Tapi sepertinya kamu yang berpikiran pesimis semenjak awal." Cibir Tirtan dengan sinis. Dapat dirasakan amarahnya yang mulai terbit.

Lana menelan ludah. "Aku hanya mengantisipasi."

"Mengantisipasi apa?"

"Kegagalan pernikahan ini nanti? Aku tak tahu. Aku hanya mengantisipasi." Kini Lana mulai tak tenang.

"Terkadang kamu bisa sangat absurd." Cetus Tirtan langsung.

Lana yang mendengar itu kini mulai sedikit tersinggung. "Absurd? Justru sekarang kamu yang absurd! Aku memikirkan segalanya dengan memakai logika!" Dirinya susah payah memikirkan semua ini dan penilaian Tirtan hanya absurd? Tak bisa dimaafkan!

"Pernikahan bukan hanya berlandaskan logika, Lana. Kamu pasti tahu ujung-ujung pernikahan logika akan berujung penyesalan dan parahnya akan ada perceraian."

"Aku tahu. Makanya aku kasih waktu satu tahun untuk kita dan setelah itu kita cerai." Tandas Lana dengan emosi.

"Lana! Kamu sudah gila?!" Tirtan menggebrak meja mereka. Untung mereka ada di private area sehingga tak ada orang yang mendengarkan mereka.

Lana sedikit geger menyaksikan amarah Tirtan yang tampaknya mulai lepas. " Tan, cuma ini caranya kita bisa melewati pernikahan ini. Aku nggak mau nanti kita berdua akan kecewa. Jadi kontrak ini bisa menjadi pembatas untuk kita berdua."

"Tidak. Aku takkan mau melakukannya. Lebih baik kita batalkan saja pernikahan ini." Suara Tirtan datar, tanpa emosi.

Lana mencicit, merasa putus asa dengan pembicaraan ini. "Ini demi kita, Tirtan. Demi kamu juga..."

"TAPI BUKAN BEGINI CARANYA!!" Teriakan Tirtan nyaris membuat jantung Lana berhenti berdetak.

Lana terdiam. Baru kali ini dilihatnya amarah yang menyala-nyala di wajah Tirtan, hatinya mencelos seketika. Tirtan meraih segelas air putih dan menghabiskannya dalam sekali teguk. Ia segera berdiri dan berjalan kearah kasir. Lana terbingung namun segera mengekori langkah Tirtan.

"Maaf, kami terburu-buru. Pesanannya belum datang, tapi saya akan membayarnya." Ucap Tirtan cepat pada kasir. Setelah membayar, Tirtan berbalik keluar namun kembali lagi ketempat kasir tersebut. "Disini bisa delivery?"

Petugas kasir tersebut mengiyakan dan Tirtan menuliskan sebaris alamat pada kertas yang tersedia, alamat tersebut adalah alamat kantor Lana. "Tolong kirimkan saja pesanan kami ke alamat ini." Tirtan kemudian membayar biaya tambahan pada kasir tersebut. "Terimakasih."

Tanpa banyak bicara Tirtan segera melangkah keluar restoran tersebut. Lana masih mengekorinya dibelakang. Setelah mereka berdua di dalam mobil, Tirtan segera mengemudikan mobilnya kearah kantor Lana.

Sepenjang perjalanan tak ada satupun kalimat yang terlontar dari keduanya. Begitu sampai didepan kantor, Lana segera membuka sabuk pengaman. Sebelum ia turun dari mobil, Tirtan menarik perhatiannya dengan ucapan datar pada Lana. "Kita bisa menjalaninya dengan normal. Kalau kita berusaha."

Lana masih terbengong, kemudian keluar dari mobil tersebut. Setelah pintu ditutup ragu oleh Lana, Tirtan segera berlalu cepat meninggalkan Lana yang masih memandang kosong.

***

Kelam malam menggantung berat, nyaris melenakan matanya di peraduan ini. Dua hari lagi adalah hari pernikahannya dengan Tirtan. Dan sudah empat hari ini dirinya lost contact dengan Tirtan. Disamping karena dirinya dipingit, ia juga masih memikirkan kalimat Tirtan terakhir. Waktu pingitannya ini benar-benar digunakan Lana untuk berpikir dalam, menimbang-nimbang hubungan mereka.

Jujur diakuinya Tirtan tidak memiliki kekurangan sedikitpun dimatanya, hanya satu hal yakni hubungan Tirtan dengan sekertarisnya. Namun berdasar pengakuan Tirtan, hubungannya sudah berakhir, demi Lana. Namun hatinya yang sedang luka takkan mampu merasakan dengan jernih seperti apa perasaannya yang sebenarnya. Ucapan selamat dari Enggar hanya mampu membuatnya tersenyum seadanya. Hatinya luka.

Lana sadar dirinya takkan ada kesempatan lagi untuknya dan Enggar. Ia harus membuka hati pada orang lain agar hatinya tak hanya melulu diisi dengan luka. Luka akibat Enggar.

Bukan karena aku tak cinta lagi, namun karena kita tak mungkin bersama.

Oleh karena itu, kulepaskanmu.

Aku menyerah.

Semalaman sejak telepon ucapan selamat dari Enggar diterimanya, ia menangis. Dalam hati ia berjanji, bahwa ini tangisan terakhirnya untuk Enggar. Tangisan selanjutnya bukan untuk Enggar, melainkan untuk dirinya sendiri. Lana memutuskan untuk terus melangkah maju, walaupun sesakit apapun itu, dia kan melangkah maju.

Bersama Tirtan.

Sepertinya hal yang membuatnya panik sebulan belakangan ini hanya sindrom pra-pernikahan yang biasanya dibicarakan orang-orang. Semua ketakutannya muncul keluar begitu saja, pemikiran pesimis menyerangnya bertubi-tubi, belum lagi cinta lamanya yang belum terkubur seratus persen. Semua itu membuatnya kewalahan dan mengambil tindakan tolol dengan mengajukan pernikahan kontrak pada Tirtan.

Dipikir-pikirnya sekarang, dirinya memang bertindak bodoh waktu itu dan Tirtan memang wajar saja jika meledak marah saat itu. Pernikahan adalah hal yang sakral dan ia malah ingin menodainya dengan mengajukan kontrak sialan itu.

Bertubi-tubi penyesalan menghantamnya, ingin sekali diluruskannya masalah ini dengan Tirtan namun apa daya, saat ini dirinya dipingit dan segala akses yang menghubungkannya dengan Tirtan sudah diblokir oleh mamanya. Pertemuan selanjutnya dengan Tirtan hanyalah pada saat acara pernikahan mereka.

Lana mendesah merana. Sepertinya acara pernikahan mereka akan berlangsung dingin bila ia tidak sempat meluruskan masalah ini dengan Tirtan. Akhirnya Lana terlelap dalam tidur, menunggu untuk menyambut hari yang baru, rasa yang baru dengan rencana yang baru.

***

Menjelang pernikahannya besok, Tirtan sudah mempersiapkan cutinya dan sedang digantikan oleh asisten kepercayaannya, Raul. Waktu menunjukkan tengah hari dan dirinya hanya bersantai-santai dirumahnya. Sekilas dapat dirasakan kegamangan dalam hatinya. Akan jadi seperti apakah pernikahan ini? Ia tak tahu bagaimana jadinya nanti.

Tirtan bersedia menjalani serius pernikahan ini. Lagipula Lana juga merupakan wanita yang cantik, lucu dan tentu saja tidak membosankan. Ia menyukainya. Namun sepertinya rasa suka itu tidak mempan atau tidak mencukupi bagi Lana hingga Lana mengajukan pernikahan kontrak.

Entah bagaimana nasib nikah kontrak itu, yang jelas ia takkan mau menjalaninya dengan Lana. Ia akan membuat Lana melupakan proposal itu, tekadnya dalam hati. Larut dalam pemikirannya, tiba-tiba terdengar suara deringan ponselnya.

"Ayah?" Tirtan menjawab panggilan itu.

"Iya, semuanya sudah beres. Tirtan tinggal datang saja besok."

Tirtan tampak mengangguk, "Iya, iya. Tirtan takkan lupa, takkan lari, takkan terlambat."

"Iya, iya. Ini sudah kesekian kali Ayah mengingatkan."

"Tirtan tutup dulu, Yah."

Tirtan segera mematikan ponselnya tanpa menunggu perkatakaan selanjutnya dari ayahnya. Belum lama Tirtan meletakkan ponselnya benda tersebut kembali berdering. Pasti ayahnya belum puas memberikan saran. Diangkatnya malas-malasan ponsel itu tanpa melihat caller ID.

"Ada apa lagi, Yah?"

"Tirtan?" Itu suara Lana!

Tirtan segera memandang kembali caller ID yang tertera, hanya nomor yang tak dikenal. Segera ditempelkan kembali ponsel tersebut ditelinganya. "Lana?"

"Oh, thank's God. Kupikir aku salah nomer." Desah Lana lega.

"Kamu pakai nomernya siapa?"

"Ada, salah satu kenalanku. Kebetulan lagi di spa yang sama." Lana menjelaskan cepat.

"Kamu di spa?"

"Iya. Kamu bisa kesini?"

"Bukannya kamu lagi dipingit?" Tanya Tirtan.

"Iya. Makanya kamu kesini diam-diam aja."

Tirtan terdiam sejenak kemudian mengiyakan. Lana segera menyebutkan alamat spa tersebut.

"Oke. Mungkin setengah jam lagi aku sampai."

***

Tirtan melihat sesosok wanita dengan dandanan aneh, serta rambut yang dicepol ala kadarnya diatas kepala. Sosok itu mendekat dan segera mengetuk kaca jendela Tirtan. Tirtan segera tersadar dan membuka kunci, mempersilahkan sosok itu masuk dan duduk.

"Ada apa?" Tirtan bertanya heran. Dilihatnya penampilan Lana yang menurutnya super aneh. Kain batik melingkari badannya dari atas dada hingga bawah lutut. Luarannya ada cardigan berlengan panjang yang menutupi bahu serta lengan telanjang Lana. Mau tidak mau pikirannya menjadi sedikit 'ngeres' melihat penampilan Lana yang bisa dibilang hanya setengah berbusana.

"Aku mau membicarakan tentang tawaranku waktu itu, yang tawaran setahun." Lana masih mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Tampaknya ia berlari kencang keluar dari spa tersebut ke mobil Tirtan yang diparkir tepat disamping spa tersebut.

"Kukira kita takkan membahas soal itu lagi." Nada suara Tirtan menjadi dingin.

Lana menjadi keder mendengar suara Tirtan. "Maksudku aku setuju membatalkan tawaranku. Aku," Lana menelan ludah, "aku mau mencoba pernikahan ini."

Tirtan tak percaya dengan pendengarannya. "Serius?"

Lana mengangguk diam. Matanya masih berusaha mencari dan membaca raut wajah Tirtan. "Kamu takkan menyesal dan berubah pikiran nantinya?" Tirtan berusaha meyakinkan diri.

"Bila nanti aku menyesal, setidaknya aku telah berusaha untuk mencobanya, Tirtan." Jawab Lana diplomatis.

"Kamu tenang saja, hun. Kita akan berhasil dan kamu takkan menyesal." Tirtan mengucapkan janjinya dan segera dihentikan oleh Lana yang meletakkan jarinya pada bibir Tirtan.

"Jangan ucapkan janji apapun, Tan. Aku tak mau terlalu berharap." Wajah Lana berubah sendu. Tirtan takkan membuat harapan Lana patah. Ia menyukai wanita ini dan rasa itu sangat jarang muncul pada wanita manapun yang pernah dikencaninya. Bisa dibilang rasa suka ini adalah yang pertama baginya. Ia takkan melepaskan Lana begitu saja.

Tirtan segera memajukan tubuhnya, meraup Lana kedalam pelukan. "Makasih." Ia mengecup lembut bahu Lana. "Kita akan buat ini berhasil."

Tirtan melepaskan pelukannya dan memandang Lana intens. Perlahan wajah mereka saling mendekat menciptakan aura pekat kerinduan, gairah yang tertahan sebulan belakangan ini. Lana memejamkan kedua matanya perlahan, menunggu Tirtan mendekat.

Dan saat jarak diantara mereka hanya setipis kertas, Lana mendesah merasakan hangat napas Tirtan terasa menyapu lembut wajahnya. Sedikit lagi, sedikit lagi dan akhirnya,

Tok!! Tok!! Tok!! Tok!!

Kaca mobil diketuk bertalu-talu tidak sabaran.

Lana membuka mata terkejut, kabut itu masih kental dimatanya Tirtan juga menjauhi Lana seketika berbalik melihat siapa yang berani-beraninya menganggu moment mereka.

Wajah mereka pias seketika.

Disana, wajah mama Lana melotot yang sangar pada mereka berdua. Mulutnya terbuka dan mengeluarkan seruan yang keras. "KALIAN!!!!"

Aaarrgghh! Malu-maluin banget sampai ke-gap dua kali! DUA KALI! Teriak Tirtan frustasi dalam hati.

Lana menarik napas kemudian berbicara hanya berupa bisikan. "Mama yang anter kesini, tadi di dalem aku kabur dari Mama."

"Kenapa tidak bilang daritadi?!" Tatapan mata Tirtan horor.

Lana dan Tirtan berpandangan, masing-masing berdoa dalam hati agar bisa melewati hari ini tanpa kurang sesuatupun.

***

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Makasih sudah baca sampai disini...

Hope you guys like it. :)

Mungkin kedepannya agak sulit diprediksi kapan bisa publish, soalnya saya sudah kembali sibuk berkutat dengan kuliah dan tugas-tugas... TT___TT

Tapi jangan khawatir. Insya Allah ceritanya bakal teteup dilanjut hingga tamat. :)

Mohon maaf sebesarnya.

Salam hangat selaluuuu. :D


Continue Reading

You'll Also Like

2K 590 12
[SELESAI] Tapi yang membuat Lingga semakin heran adalah dari sekian gerbong, kenapa mereka harus satu gerbong? acravitation, 2020 a songfict from Sen...
Sonja By sailenndra

General Fiction

275K 5.3K 10
"Rasionalnya, aku tidak menemukan satu alasan pun kenapa kita tidak bersama. Ini bisnis yang menguntungkan" Ketika simpul sepakat diikat. Siapa sangk...
292K 14.1K 7
[ CERITA DIPRIVASI ] Semua orang berlomba bergaya, bekerja, berkomunikasi demi mendapatkan satu rasa yang disebut; Cinta. Hingga lupa pada takdir ya...
273K 23.6K 75
Gadis Sekarwangi, tidak pernah menyangka jika rumahtangga yang ia bangun bersama suaminya, Pradipta harus berakhir ditengah jalan karena sang suami k...