Snow Wife (Afreen & Javas)

De aristav

427K 7.2K 260

Menikah diusia muda karena ketidaksengajaan bukanlah hal yang diharapkan oleh Afreen, tapi seperti halnya huj... Mais

Prakata
Pekat yang Semakin Kelam
Belenggu Penolakan
Hi
Pengumuman

P r o l o g

32.9K 1.8K 70
De aristav

Jatuh cinta diam-diam memang tak semudah teorinya. Banyak yang harus aku korbankan dalam kisah ini. Cinta itu tidak menyakitkan, hanya mungkin kepada siapalah kita mencintai itu yang terasa menyakitkan, jika pada kenyataannya seorang tersebut seperti menolak cinta yang kutawarkan. Mengagumi dalam diam adalah proses mencintai yang memerlukan banyak persiapan, untuk jatuh atau mungkin bersambut. Tuhan memang adil, melebih apa yang kita tahu, tapi apa kamu tahu, Kak? Takdirku yang ditulis Tuhan bersamamu adalah hal paling adil yang kupersalahkan, mengapa? Karena tak Cuma aku yang menderita, kamu pun juga menderita karena terpisah dengan seseorang yang kamu cintai. Sungguh, maaf, aku tak pernah menyangka doa egoisku dikabulkan oleh Tuhan. Aku tahu, mungkin kamu menyebut ini sebagai sebuah kesalahan, tapi bolehkah, Kak, aku menyebutnya sebagai keindahan?

Memandangmu dari jauh seperti ini kembali mengingatkanku saat awal pertemuan kita, sepuluh tahun yang lalu tepat saat usiaku menginjak ke-7 tahun, aku bahkan sangsi kamu mengingatnya. Kamu mencuri hatiku sejak saat itu, aku bahkan tidak tahu apa yang membuat bocah ingusan sepertiku ini bisa merasakan hal yang terlalu dewasa seperti itu. Kutukankah? Atau anugerah? Jangan beritahu aku kalau itu semua kutukan, biarlah aku menikmatinya, Kak. Setidaknya, memandangmu dari jauh seperti ini cukup membuatku bahagia, meski bukan aku yang memberimu minum ketika kau kehausan di lapangan sana dan meski bukan aku yang mengusap peluhmu ketika matahari membakar kulitmu di sana. Setidaknya aku cukup tahu diri untuk tidak melakukannya, karena aku tahu kamu bukan untukku. Tapi bisakah, kupaksa Tuhan untuk mengubah segalanya, menjadikanku milikku? Saat ini dan selamanya? Apa permintaanku terlalu muluk, dan apakah kamu menerima dicintai gadis sepertiku?

Hujan di bulan Januari.

Afreen Akshaya

Laki-laki itu menerawang jauh, buku milik seseorang di tangannya membuatnya membeku. Ini sudah kesekian kali, laki-laki itu membaca apa yang pernah Afreen tulis dalam catatan hariannya, tentang bagaimana Afreen sangat mencintai sosok yang ia panggil "kakak" itu dan tentang bagaimana Afreen memilih jatuh cinta diam-diam dalam kesakitannya.

"Kenapa lo bodoh banget, Af?" lirihnya, lalu menutup buku harian milik Afreen, sambil memandang mendung di langit sana, yang selalu mengingatkannya pada Afreen.

***

Desember, musim hujan.

Afreen Akshaya—namanya berarti penyemangat abadi. Bundanya memberikan nama itu sesaat setelah gadis itu terlahir ke dunia, hari kelahirannya adalah hari dimana senyum ibunya tak pernah terlihat lagi, hari yang merenggut separuh jiwa milik Alia—ibunya. Hari dimana awan-awan di atas sana menghitam mengantarkan pekat duka dan menampar Alia dengan kenyataan—kenyataan bahwa suaminya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat yang menghempaskan semua kebahagiaannya. Suami yang sangat dicintainya itu meninggal dalam tugasnya sebagai seorang pilot, pergi tanpa sempat melihat kelahiran puteri mereka.

Afreen menatap bundanya dengan air matanya yang menggantung di kelopak matanya, wajah bundanya semakin tirus, semangat hidup wanita itu telah padam. Afreen selalu menyalahkan dirinya atas kematian ayahnya, teman-temannya pernah mengatakan dirinya adalah anak pembawa sial, keluarga besarnya selalu menghakimi gadis itu. Afreen hanya bisa tersenyum saat dunia seakan menentangnya, mencoba berbagi pada Bundanya, namun perempuan itu hanya diam ketika gadis itu menceritakan segalanya, ketika Afreen menginginkan belaian kasih sayang bundanya, semua itu seperti jauh melambung dalam dimensi yang tak mungkin diraihnya. Dan bolehkan Afreen berharap di hari ulangtahunnya yang ke-17 nanti bundanya akan memeluknya, mendekapnya erat seperti kebanyakan bunda yang lain? Afreen tersenyum masam, itu semua hanya mimpi. Ya, mungkin inilah takdirnya, inilah keadilan Sang Maha Kuasa yang berkuasa penuh dalam hidup seorang Afreen.

"Halo, Bunda apa kabar?" Afreen mengelus pipi bundanya yang dipenuhi oleh tonjolan-tonjolan tulang di wajahnya.

"Bunda pasti baik, Kan? Oh ya Bun, Afreen tadi ketemu Kak Javas, itu loh Bun yang dulu datang ke ulangtahun Afreen yang ke-7. Dia semakin tampan Bun, Bunda jangan lupa kalau Af cerita kayak gini tiap hari ya. Bunda tenang aja, apa pun yang terjadi sama Af, aku bakal cerita sama Bunda. Okey, Af pergi dulu ya Bunda sayang, baik-baik di rumah sama Tante Ahira."

Afreen mengecup singkat pipi Alia, sebelum meninggalkan perempuan itu di kamarnya—yang berteman dengan sepi.

***

Tumbuh tanpa kasih seorang ayah bukanlah hal yang mudah bagi Afreen, banyak hal yang sebenarnya ingin dilakukannya bersama ayahnya, semua ini tentang dekapan seorang ayah yang mustahil ia rasakan, Afreen cukup sadar semua ketidakmungkinan itu, karena ayahnya telah tenang dalam keabadian di sana.

Gadis itu tersenyum, rambutnya diterbangkan angin laut, Afreen menenggelamkan kakinya pada bibir pantai, gadis itu menaburkan bunga di atas ombak yang menggulung kakinya. Beginilah cara Afreen melepas rindunya pada Arsya—almarhum ayahnya yang meninggal, terkubur abadi di dalam laut. Afreen menyeka air matanya, gadis itu tahu ayahnya tak akan menyukai air matanya yang jatuh saat ini. Laut, selalu mengingatkan Afreen tentang Arsya, karena lautlah Arsya berpulang,karena lautlah bundanya larut dalam kesedihan, meski begitu Afreen tidak pernah membenci laut, karena bagi Afreen, laut selalu menyuguhkan bayangan ayahnya yang tersenyum di tengah samudera sana.

"Halo Ayah, besok Afreen ulangtahun loh, Afreen mau kado dari Ayah. Nggak perlu muluk-muluk kok, cukup Ayah datang ke mimpi Af aja udah cukup. Mau ya Yah, awas kalau Ayah nggak datang, Af nggak mau ke sini lagi nengokin Ayah," katanya sambil tertawa sumbang.

"Cukup Af, Cukup! Gue nggak kuat lihat lo kayak gini, dengar Af, lo pantes bahagia udah saatnya lo bahagia!"  teriak seseorang—membuat Afreen terkejut.

Kanaya memeluk Afreen dari belakang, gadis itu tak bisa melihat Afreen—sahabatnya terus seperti ini. Afreen berhak bahagia dan Kayana tak akan pernah membiarkan Afreen jatuh pada lubang laknat bernama kesedihan, cukup selama tujuh belas tahun ini Afreen hidup dalam belenggu kesedihan, setidaknya jika tak ada yang bisa membuatnya bahagia biar dirinya yang membuat Afreen bahagia. Afreen terlalu baik untuk menerima semuanya.

"Gue baik-baik aja, Kan."

"Lo nggak baik-baik aja, gue tahu. Besok ulangtahun lo yang ke-17, udah saatnya lo bahagia, jangan biarin air mata lo jatuh."

Afreen melepas pelukan Kanaya, "gue bahagia, Kay. Lo harus percaya. Ngomong-ngomong, kok lo bisa tahu gue ke sini?"

"Gue ngikutin lo."

Afreen mendengus, "kebiasaan, dasar stalker."

"Bodo! Besok kita ngerayain pesta ulangtahun lo, gue sama Tante Ahira udah nyiapin semuanya. Di Kafe Om gue, dan loooo harus jadi puteri salju besok, gue nggak mau tahu kali ini lo harus nurut sama gue!"

"Nggak! Gue—"

"Kalau lo nolak gue ogah jadi sahabat lo!"

Afreen hanya bisa menghela nafasnya pasrah, tak ada gunanya membantah Kanaya, "oke terserah lo."

"Itu baru Afreennya gue."

"Idih..."

"Udah, ayo ke butik."

"Ngapain?"

"Nyolong duit." Kanaya memutar kedua bola matanya, "beli bajulah!"

***

Pesta ulangtahun ke-17 Afreen berlangsung cukup meriah di Kafe D'Lux. Kanaya dan Ahira sengaja memilihkan desain santai namun elegan bagi Afreen, bahkan Kanaya mengundang semua siswa di sekolah mereka untuk menghadiri pesta ke-17 Afreen hari ini. Termasuk Javas Mahija Nirwasita—laki-laki yang sangat dipuja Afreen dari dulu hingga sekarang, laki-laki yang berhasil menguasai seluruh hati Afreen—tanpa menyisakan celah sedikit pun.

Afreen memakai gaun putih panjangnya dengan flower crown di kepalanya, tampak cantik dan manis, semua seperti memuji penampilan Afreen walau banyak juga yang mencibir—karena mungkin mereka merasa tersaingi oleh kecantikan Afreen yang baru sekali ini diperlihatkan. Selama ini Afreen memang cuek dengan penampilannya, Afreen tak pernah peduli dengan apa yang dikenakannya, tapi semua itu kini berubah, dalam sekejab Ahira dan Kanaya berhasil menjadikan Afreen ratu dalam pestanya.

"Nggak usah dilihat terus, gue tahu itu sakit," bisik Kanaya di telinga Afreen saat gadis itu melihat Javas menggenggam mesra tangan Adis—kekasihnya.

"Gue tahu kok."

Kanaya menggenggam tangan Afreen kuat, mencoba memberikan kekuatan bagi gadis itu saat melihat laki-laki yang dicintainya telah bersama seorang yang lain. Kanaya tahu bagaimana rasanya.

"Ayo, udah mau acara potong kue."

Afreen mengangguk dan mengikuti Kanaya ke tengah ruangan pesta, di sana sebuah kue dan juga lilin berangka 17 sudah disediakan oleh Kanaya untuk perayaan ulangtahun Afreen hari ini.

"Oke guys, acaranya akan dimulai, setelah acara potong kue ini kalian boleh menikmati semua makanan dan minuman di sini, let's party okeeee...." Teriak Kanaya diiringi riuh tepuk tangan dari undangan yang hadir dalam pesta ulangtahun ke-17 Afreen.

"Kue pertama buat siapa nih, Af?"

"Buat lo aja deh, Kan..."

"Yeee nggak bisa dong, harus buat salah satu cowok di sini dong!"

"Iyaaaa...buat cowok yang lo suka, Af," imbuh teman-temannya yang lain. Muka Afreen merah padam karenanya, laki-laki yang disukainya adalah Javas—yang saat ini telah menggenggam tangan lain di ujung sana. Tidak mungkin dirinya menyerahkan kue itu pada Javas.

"Gini aja Af, kebetulan gue udah nyiapin nama-nama cowok yang dateng malam ini di toples ini, nah elo pilih deh."

"Pilih...pilih....pilihh....." sorakan itu membuat Afreen semakin malu, setelah ini Afreen akan menghajar Kanaya habis-habisan karena mengerjainya. Itu hanya wacana Afreen, kenyataannya Afreen sangat menyayangi Kanaya—dan tak mungkin gadis itu menghajar Kanaya.

"Oke-oke gue pilih," kata Afreen pasrah dan mengambil satu gulungan nama dari toples.

"Sini biar gue yang buka!"

Kanaya tersenyum jahil pada Afreen yang mendelikkan matanya, "wah wah...lo beruntung Af, so yang mendapat kue ini adalah pangeran sekolah kita....Kak Javasss......"

Tubuh Afreen seakan lemas saat Kanaya membacakan nama di gulungan kertas itu, demi Tuhan ini adalah mimpi buruk Afreen, bagaimana bisa Kanaya melakukan hal semacam ini kepadanya. Tuhan, Afreen ingin mencekik Kanaya saat ini juga.

"Ayo dong kasih ke Kak Javas!"

"Tap—tapi Kan..."

"Kasih...buruan deh," nyinyir seseorang di pojok sana dan diikuti oleh teman-teman Afreen yang lain.

Gadis itu menelan ludahnya susah payah sambil berjalan dengan kaki gemetaran ke arah Javas, "Ka—Kak Jav, Ini—em buat Kakak..." cicit Afreen pelan, Javas hanya menatapnya datar.

"Thanks." Balas Javas datar, seumur-umur baru sekali ini Javas mengajaknya berbicara dan itu membuat Afreen tak sanggup memandang Javas lama-lama.

"Ini kado gue buat lo, Af," lirih Kanaya tersenyum samar saat melihat Afreen dan Javas. Tangannya masih memegang sebuah toples yang berisi kertas-kertas gulungan—semua adalah nama Javas.

***

Javas merasa sangat kecewa, di pesta ulangtahun adik kelasnya ini, laki-laki itu mendapatkan satu kenyataan yang membuat hatinya luluh lantah. Seorang temannya bernama Abhi menyodorkan padanya beberapa foto Adis yang sedang berciuman dengan laki-laki lain di sebuah Club malam, dan itu cukup membuat Javas meradang. Laki-laki itu merasa sangat kecewa dengan Adis, setengah jam yang lalu bahkan Javas meninggalkan Adis di pesta Afreen—dan Adis sendiri tak bisa berkutik karena memang dirinya merasa bersalah pada Javas. Di sinilah, di dalam mini bar di Kafe D'Lux  Javas menghabiskan beberapa gelas vodka untuk menghilangkan segala perasaan kecewanya pada Adis, setidaknya minuman itu membuatnya tak lagi merasakan sakit itu.

"Lo kenapa tegaaaa Disss.....gue kurang apa, heh?" ucapnya setengah sadar, Abhi yang melihat Javas hanya menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Javas tetap tak berubah, selalu lari pada minuman keras ketika memiliki masalah, kebiasaannya semenjak masuk SMA.

"Udah Jav, lo udah mabuk!"

"Dia jahat, Bhi. Gue salah apa?"

"Lo nggak salah, Adis aja yang bego."

Javas tertawa sambil berdiri dari kursinya—hendak meninggalkan Abhi, "lo mau kemana?"

"Toilet!"

"Tunggu gue anter."

"Gue bukan bayi," tolak Javas, Abhi menghela nafasnya pasrah, membiarkan Javas berjalan sempoyongan menuju toilet.

***

"Gue ke toilet dulu ya, Kan?" kata Afreen, setengah berbisik pada Kanaya.

"Ok, jangan lama-lama, pesta lo belum selesai."

"Beres."

Setelah berpamitan pada Kanaya, Afreen meninggalkan gadis itu menuju toilet, Afreen butuh mencuci mukanya yang masih terasa panas gara-gara kejadian menyerahkan kue ulangtahunnya pada Javas beberapa saat yang lalu. Afreen tidak pernah membayangkan pada akhirnya bisa berbicara dengan Javas—setelah sekian lama.

"Ayo Afreen kembalilah jadi biasa lagi, jangan seperti ini. Memalukan!" gumamnya sambil berjalan keluar dari toilet usai mencuci wajahnya.

"Adis...Adis sialan lo!"

Seseorang membuat Afreen tersentak, di belakangnya ada Javas yang juga baru keluar dari toilet pria. Sedikit takut, Afreen mencoba menghampiri Javas yang sepertinya mabuk itu. Javas seperti hilang kesadaran, dan Afreen merasa tak tega untuk melihatnya.

"Kak Jav...ba—baik, Kan?" ucapnya pelan, Afreen ketakutan melihat Javas seperti ini.

"Adis elo..sialan lo, Dis!" teriak Javas sambil mendorong tubuh Afreen, menyeret Afreen menuju sebuah gudang yang tak terkunci di samping toilet. Afreen meronta dan berteriak, ketika dengan kasar Javas mulai menciumnya keras.

"Kak berhenti, aku bukan Kak Adis, jangan seperti ini, Kak..." teriak Afreen membabi buta, Javas seolah ditulikan, laki-laki itu terus melakukan sesuatu yang buruk pada Afreen, sesuatu yang nanti akan disesalinya. Sesuatu yang akan merubah segalanya, takdirnya juga Afreen.

"Bunda...maafkan, Afreen. Ayah, maaf...," isak Afreen yang samar-samar Javas dengar, namun laki-laki itu masih tetap pada perbuatan laknatnya. Afreen hanya bisa menangisi semuanya, apa yang dia jaga telah hilang, terenggut oleh Javas, Afreen merasa sebagai pendosa saat ini dan Afreen tahu semuanya tak akan lagi sama, gadis itu hanya berharap tak akan ada kehidupan lain yang menghuni rahimnya setelah ini, karena Afreen tahu, Javas tak akan pernah menerimanya.

TBC

Continue lendo

Você também vai gostar

659 126 5
Cerita tentang bagaimana hubungan mereka berubah setelah hari itu. Perasaan terpendam yang akhirnya diutarakan dan pengelakan atas ketakutan yang di...
33.4K 975 2
"Kakak macam apa yang tega menyiksa adiknya, Rom?" Kata Robin dengan nelangsa. "Kamu nggak berpikir sebelum menyakiti Asmaralaya? Dia adikmu, tapi ka...
320K 3.2K 22
Penghibur untuk boss sendiri! _ Sheerin Gabriella Gavin Mahendra
120K 14.1K 21
"and i'm stuck in the friendzone again and again." -Calum Hood- Copyrights©2015 hakunahood- All Rights Reserved