Loizh II : Arey

By Irie77

479K 24.5K 1.6K

"Aku merasa pernah jatuh cinta tapi dengan siapa aku jatuh cinta ?". -Karin. Karin, seorang gadis yang ingata... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Versi Cetak

Part 5

18.9K 1.5K 124
By Irie77

-Alex Pov-

Atap kamar, itulah pemandangan yang pertama kali kulihat setelah membuka mata perlahan. Terlihat sosok gadis memakai jubah berwarna putih cerah sedang berdiri menatap jendela dengan posisi memunggungiku. Ia menatap langit temaram dengan gerak gerik yang membuatnya gelisah. Aku mencoba mengangkat kepalaku yang masih terasa pening, lalu mulai terduduk perlahan dan menatapnya.

"Roy," gumamku pelan.

Roy menoleh dan menatapku. Raut wajahnya tampak muram. "Alex," bisiknya sambil melangkah kearahku.

"Sedang apa kau dikamarku?"

"Jawab aku, apa yang sudah kau lakukan sampai ayah mempercepat pernikahanmu?"

"Aku—." Aku tidak tahu harus menjelaskannya dari mana yang jelas ini terasa sangat rumit. "Aku—aku ketahuan saat mengunjungi Kakek."

"Kakek?"

"Hmm—maksudku tuan Za'." Dari ekspresinya, sepertinya Roy belum mengetahui bahwa Tuan Za' adalah kakeknya juga.

"Untuk apa kau mendatangi tempat Tuan Za'? Apa kau—merencanakan sesuatu tanpa sepengetahuanku?"

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Jika Roy tahu aku datang ketempat Kakek untuk meminta bantuan agar bisa menjadi manusia, apa yang akan dia pikirkan tentangku? Apa dia akan berpihak pada ayah untuk menghalangi jalanku?

"Alex," panggilnya sambil duduk disampingku. "Kumohon, jangan ada yang dirahasiakan dariku."

"Maafkan aku Roy. Aku—." Sebuah ketukan pintu memotong ucapanku. "Siapa ?" teriakku dari dalam kamar sementara Roy menatap kearah pintu.

"Ini ibu," jawab suara dari balik pintu.

"Masuk saja bu!" teriakku lagi.

Tak lama pintu kamarku terbuka dan sosok perempuan masuk.

"Akhirnya kau sudah sadar. Bagaimana kondisimu ?" tanya Ibu sambil mendekatiku sementara Roy bangun dan melangkah menuju jendela.

"Aku baik-baik saja."

"Sungguh?"

Aku hanya mengangguk. "Ibu jangan khawatir. Aku baik-baik saja."

"Syukurlah." Ibu tersenyum lega. "Kalau begitu, sekarang bersiap-siaplah. Acara pernikahanmu akan segera dimulai Alex."

"Ibu, aku—aku belum ingin menikah. Aku belum siap untuk itu," ucapku memohon.

"Ini sudah menjadi keputusan kami, Alex. Kami ingin kau terbebas dari penderitaanmu."

"Semenderita apapun aku, aku masih bisa menahannya. Percayalah bahwa aku bisa melewatinya tanpa harus menikah!" sergahku masih keras kepala.

Ibu menatapku lekat. "Bagaimana ibu bisa mempercayaimu setelah ibu tahu apa yang akan kau lakukan hari ini Alex?" ungkapnya tegas. "Kami semua tidak ingin kehilanganmu. Kau harus tahu itu!"

Untuk pertama kalinya aku melihat ibu dengan rahang mengencang dan menatapku seperti itu. Lembut dan tegas. Ketegasan yang hampir menyerupai sifat keras.

"Sekarang kau bersiap-siaplah!" titahnya sebelum pergi dan keluar dari kamarku melewati pintu.

"Apa kau ingin merubah dirimu menjadi manusia ?" tanya Roy sambil menatap langit setelah pintu tertutup.

"Iya. Aku ingin menjadi manusia," jawabku pasrah karena aku tahu Roy mungkin sudah mengetahuinya.

"Dan meninggalkan kami?" tanyanya lagi. "Kau ingin meninggalkanku?"

Sebenarnya aku tidak ingin meninggalkan siapa-siapa disini. Aku menyayangi mereka, tapi aku juga ingin selalu mencintai Karin. "Apa yang harus kulakukan, Roy?" tanyaku mulai merasa lelah.

"Kau akan menikah, Alex. Kau sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi kecuali—." Ucapan Roy menggantung. Ia membalikan tubuhnya dan mulai mendekatiku. "Kau sungguh ingin mejadi Manusia?" tanyanya lagi seakan tidakk yakin.

"Sebenarnya aku sedikit ragu tapi—aku berusaha yakin dan tekatku sudah bulat untuk hal ini," jawabku tegas.

"Kalau begitu, tersenyumlah di hari pernikahanmu. Berbahagialah, Alex." Roy melemparkan sebuah gulungan kertas.

Aku menatap gulungan kertas itu sebelum membukanya. Aku terbelalak membuka isi kertas itu. Cara untuk menjadi Manusia? Bagaimana Roy bisa mengetahui hal ini?

"Roy, kau—."

"Ayah memintaku untuk menyimpan buku itu. Setelah kubuka isinya, aku tahu apa tujuanmu mendatangi Tuan Za'."

"Kau menyalinkannya untukku? Ayah pasti akan menghukummu Roy."

"Semua disini ingin membebaskanmu dari penderitaanmu. Mungkin cara ayah dan ibu adalah dengan menikahkanmu. Tapi inilah caraku. Aku tahu kebahagiaanmu adalah bersama Karin. Disaat kau menemukan kebahagiaanmu, kau akan terlepas dari penderitaanmu bukan?" Roy menyeringai sambil menahan air matanya.

"Tidak Roy, aku tidak mau kau dihukum! Apa jadinya jika seorang hakim kerajaan mendapat hukuman? Tidak, tidak. Kau tidak boleh mendapat hukuman karena ini." Aku menggulung kembali kertas itu dan menyodorkannya pada Roy.

"Aku tidak perduli Alex, kau harus bahagia. Kumohon simpan ini kertas ini baik-baik dan jangan sampai ada yang tahu tentang hal ini," bisiknya sambil menolak kertas yang kusodorkan padanya.

"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membalas kebaikanmu. Kau—." Aku memeluk Roy dan ia membalas pelukanku. Dulu aku pernah bertarung sengit dengannya sekarang aku tidak menyangka bahwa ia akan melakukan hal ini untukku.

"Sedang apa kalian?" ucap seseorang bersamaan terbukannya pintu.

"Ayah?!" gumamku dan Roy berbarengan sambil melepaskan pelukan masing-masing karena terkejut.

Aku langsung menyembunyikan kertas pemberian Roy dibalik pakaianku.

"Aku hanya ingin mengucapkan selamat untuk Alex atas pernikahannya," sahut Roy tersenyum.

Ayah menyipitkan mata kearahku. "Kalau begitu cepatlah bersiap-siap Alex."

"Aku baru saja terbangun dan ayah langsung menikahkanku hari ini?"

"Lebih cepat lebih baik. Semua sudah siap, tinggal menunggumu," ujar ayah dingin.

"Maaf jika aku menghambat persiapan Alex, Ayah. Aku akan pergi," pamit Roy.

"Tunggu!" Ucapan Ayah menghentikan langkah Roy. "Apa ada yang kalian sembunyikan dariku?"

"Tidak ada. Kami hanya mengobrol biasa," jawab Roy berbohong.

"Oh baiklah, kau boleh pergi Roy. Sekarang giliranku yang akan bicara padanya." Kini ayah menatapku lekat seakan-akan sedang menerka diriku.

"Kau baik-baik saja Alex?"

Aku hanya mengangguk.

"Maafkan ayah. Ayah melakukan ini karena—."

"Aku tahu maksud ayah," sahutku lemah.

"Benarkah? Kau tampak lebih menderita dari yang sebelumnya."

"Aku baik-baik saja. Ayah tidak perlu khawatir."

Ayah duduk disampingku dan merangkulku. "Alex, kami semua disini tidak ingin kehilanganmu. Jadi ayah mohon, jangan merubah dirimu menjadi apapun. Jangan tinggalkan kami, kami semua sangat menyayangimu."

Ucapan ayah membuatku luluh dalam sekejap. Aku juga sangat menyayangi mereka. Ayah, Ibu bahkan Roy. Aku menyayangi semuanya, tapi—aku juga menyayangi Karin, bahkan aku mencintainya.

"Maaf atas kebodohanku selama ini. Aku—." Dadaku mulai terasa sesak dengan pilihan yang sedang berada dihadapanku. Karin atau keluargaku? Aku tidak ingin meninggalkan mereka tapi aku juga tidak ingin membiarkan cintaku pergi begitu saja.

"Sebenarnya ayah tidak ingin melakukan hal ini. Ayah tahu hidupmu ada ditanganmu. Jalanmu kau yang menentukan, tapi ayah tidak ingin kau terombang-ambing dengan perasaanmu. Ayah tidak ingin melihatmu semakin tenggelam dalam kesedihanmu. Jujur saja, sejak pertama kali ayah bertemu Karin, ayah memang sudah menyukainya. Dia sangat baik. Apalagi melihat kebahagian benar-benar terpancar dalam dirimu saat bersamanya. Jika bukan karenanya, mungkin salah satu putra ayah tidak akan kembali. Keberadaan Roy ditengah-tengah kita adalah bukti bahwa Karin pernah ada disini, diantara kita."

"Ayah," gumamku sambil menatap Ayah. Untuk pertama kalinya aku melihat wajah Ayah yang tampak sendu.

"Saat bertemu dengannya. Ayah ingin sekali memilikinya sebagai putriku, tapi—semenjak ayah tau dia buka dari dimensi kita, keinginan ayah berubah menjadi angan-angan semata."

"Jika ayah menginginkannya aku akan berusaha untuk—."

"Tidak Alex! Kau tidak perlu melakukan apa-apa. Kau hanya perlu menjalani takdirmu."

Aku mengencangkan rahang karena sedikit kesal. "Kenapa ayah tidak mau berusaha jika menginginkannya?"

"Tidak ada jalan lain selain merelakannya. Dia tetap manusia dan dia tidak bisa menjadi apapun."

"Tapi dengan penelitian ayah, kita bisa merubah diri menjadi Manusia bukan? Aku akan berusaha untuk melakukannya—."

"Tidak Alex!" Kali ini suara Ayah meninggi. "Tidak."

"Tapi—."

"Cukup! Kau benar-benar keras kepala. Lebih baik kau menikah dengan Syaira dari pada kami harus kehilanganmu," ujarnya dengan suara bergetar lalu berdiri dan melangkah menuju pintu.

"Maafkan aku ayah," gumamku lemah.

"Sekarang bersiap-siaplah. Para tamu sudah menunggumu—yang mulia," sahutnya sebelum menghilang dari balik pintu.

* * *

Aku berdiri di aula singgasana didampingi oleh Roy untuk menyambut kedatangan Syaira. Aku tidak percaya aku benar-benar akan menikah secepat ini. Suasananya begitu ramai dan meriah. Kulihat Ayah dan Ibu tersenyum bahagia diatara para tamu, bahkan Kakek Za' juga menghadiri pernikahanku. Hanya ada satu yang kurang dalam pesta ini, bukan Karin mempelai wanitaku. Bisa kurasakan tangan Roy yang mencengkram jubahku.

"Tenang saja, aku tidak apa-apa Roy," bisikku menggenggam tangannya.

"Kau benar-benar akan melakukannya?" tanyanya berbisik.

"Apa boleh buat kan?"

"Kumohon jangan paksakan dirimu, Alex. Aku tahu ini bukan kebahagiaanmu. Kau bisa menghentikannya sebelum terlambat!"

"Aku tidak bisa melakukannya. Mereka pasti akan kecewa."

"Setelah kau menikah, apa kau akan mengurungkan niatmu untuk menemui Karin?" tanyanya lagi.

"Aku—tidak tahu," sahutku hampa.

Kami kembali hening. Tak lama Syaira sudah muncul dari balik pintu didampingi oleh ayahnya menuju singgasana. Ia terlihat cantik dengan senyumnya yang tersungging menawan, membuatku tersenyum tanpa sadar. Namun ditengah perjalanan Syaira menuju singgasana, sebuah cahaya melesat dengan kecepatan tinggi dari arah samping.

"Alex awas!" teriak Roy sembil mendorong tubuhku hingga tersungkur.

Sebuah dentuman keras terdengar menggema diseluruh ruangan. Semua para tamu berhamburan keluar. Suasana haru berubah menjadi keributan. Kulihat Roy sudah tergeletak disudut ruangan akibat terlempar.

"Yang mulia Roy!" teriak para pelayan istana sambil mendekatinya.

"Roy?" gumamku pelan.

Ibu membawa Syaira pergi dari ruangan sementara Ayah mengejar pelaku yang mencoba menyerangku. Aku berlari menghampiri Roy, tubuhnya lemah sekali dan perlahan ia tak sadarkan diri. Aku mengangkat tubuhnya dan langsung membawanya kekamar dan memanggil beberapa tabib.

Aku membaringkannya dan dengan cekatan para tabib melakukan tugasnya untuk memeriksa tubuh Roy. Aku hanya memandanginya dengan panik dan berharap semoga Roy baik-baik saja.

"Permisi yang mulia." Seorang pengawal istana datang tergopoh-gopoh menghadapku. "Pelaku sudah dikepung, silahkan anda yang memutuskan hukumannya."

Kegeramanku semakin memuncak. "Bawa dia padaku!"

"Baik yang mulia." Pengawal itu pergi setelah member hormat padaku.

"Bagaimana dengan keadaannya?" tanyaku pada salah satu tabib.

"Maafkan kami yang mulia," ucapnya dengan wajah muram. "Yang mulia Roy—Longum Somnum."

"Apa?" kataku tak percaya.

"Kemungkinan besar, pelaku menyerang dengan Ulqi Venenum level empat. Dan kami—tidak sanggup untuk memulihkannya. Maafkan kami yang mulia,"

Aku benar-benar terpukul, kutatap wajah Roy yang terpejam dengan tenang. Jika ia tidak menolongku seharusnya aku yang Longum Somnum bukan ? Amarahku benar-benar memuncak. Siapa yang mencoba berani menyerangku dengan cara seperti itu? Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan!

"Sampaikan pada seluruh prajurit untuk menangkap pelaku secepatnya!" titahku pada sebagian pengawal istana.

Tubuhku sudah diselimuti aura berwarna biru terang. Ulqi-ku mulai menguar kejam. Akan kubuat ia merasakan apa yang Roy rasakan.


-Karin Pov-

Aku mem back up semua data sebelum memantikan PC yang bertengger manis di meja kerjaku. Shinta sudah pulang lebih awal sementara aku masih merapikan semua berkas-berkasku.

Sebelum membuka kenop pintu, sebuah suara berdehem dari belakangku. "Biarkan aku lewat."

"Bisakah kau mengantri?" ujarku sebal pada Lisha.

Lisha menabrakku dari belakang hingga aku hampir jatuh tersungkur. Aku tahu dia sengaja melakukannya.

"Ouh, maaf aku sedang terburu-buru kawan, sepertinya kau harus berjalan lebih cepat lagi." Ia mengejek sambil berjalan cepat tanpa melihat kedepan, alhasil ia menabrak kaca dengan keras.

Semua mata yang melihatnya tertawa termasuk aku. Ia terlihat sangat marah sekaligus malu sambil berlari kecil keluar kantor sementara aku hanya tersenyum puas.

Aku berdiri ditempat biasa menunggu Taxi lewat setelah berpisah dengan teman-teman sekantorku dihalaman. Tak lama sebuah audi yang sudah pernah kukenal berhenti tepat dihadapanku sebelum seseorang keluar. Itu Kenzie.

"Karin!" panggilnya. "sebelumnya—maaf atas kejadian kemarin. Aku tahu kau sangat marah padaku sampai kau tidak mau mengangkat teleponku atau membalas pesanku. Aku mohon maafkan aku," tuturnya mengiba.

"Tidak apa-apa. Maaf sudah menamparmu waktu itu. Bagaimana dengan wajahmu? Apa masih sakit?" tanyaku sambil mengamati wajah Kenzie yang masih terlihat sedikit memar.

"Sakitnya mulai mereda, tapi—tidak apa-apa."

"Syukurlah," sahutku lega.

"Hmm—mau kuantar pulang?"

"Boleh, tapi—aku ingin mencari seseorang."

"Siapa?"

"Hmm—apa sebelumnya aku pernah mengenalkan Alexandra padamu?"

Kenzie tampak berfikir sejenak. "Hmm—sepertinya belum. Apa itu teman barumu?"

"Entahlah. Ingatanku tentangnya hilang sama sekali. Sebelum ini, aku tidak ingat sama sekali tentang Alexandra. Dan—aku merasa ada yang aneh dengan nama itu," jelasku bingung.

"Aneh—maksudmu?"

"Hmm—nama itu tidak asing jika hanya dipangil Alex tanpa ada kata 'Sandra' dibelakangnya. Dan sepertinya aku seakan-akan sudah terbiasa memanggil nama itu."

"Hmm—baiklah, nanti kita akan cari bersama-sama, tapi jangan hari ini. Kau pasti lelah sekali bukan?"

Aku mengangkat bahu dengan pasrah. "Sebelum pulang, aku ingin mampir ke toko Ice Cream."

"Baiklah, biar aku yang traktir."

"Sungguh?"

Kenzie menganggguk. "Kau mau rasa apa ? Kau bisa mengambil seberapa banyak yang kau mau."

Aku menyeringai sejenak. "Baiklah, kuharap kau jangan menyesal karena telah mentraktirku karena aku akan mengambilnya banyak."

"Tidak akan!" sahutnya cepat sambil tersenyum. "Besok akan kucari tahu Alexandra yang kau maksud," lanjutnya senang.

"Maaf sudah merepotkkanmu." Aku tersenyum sebelum membuka pintu audi.

Kenzie mulai menyalakan audinya dan melaju, menerbangkan dedaunan yang tergeletak di jalanan. Sore ini aku memang lelah sekali, aku berharap bisa menemukan Alexandra dan bertemu lagi dengannya.

"Alexandara. Alex—," gumamku dalam hati. Siapa dia?

_______To be Continued_______

Next.. ^^

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 105K 32
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
141K 13.2K 37
Teman SMA nya yang memiliki wangi feromon buah persik, Arion bertemu dengan Harris dan terus menggangunya hingga ia lulus SMA. Bertahun tahun tak ter...
272K 825 11
CERITA DEWASA KARANGAN AUTHOR ❗ PLIS STOP REPORT KARENA INI BUKAN BUAT BACAAN KAMU 🤡 SEKALI LAGI INI PERINGATAN CERITA DEWASA 🔞
62.3K 604 6
Jatuh cinta dengan keponakan sendiri? Darren William jatuh cinta dengan Aura Wilson yang sebagai keponakan saat pertama kali bertemu. Aura Wilson ju...