BOTTOM (New Edit)

By Aginggie

533K 4K 415

Ketika, seluruh dunia menentangmu jatuh cinta. Kamu hanya perlu melawan balik. More

1. Intro
2. Orang Ketiga
Pre Order Kedua Dibuka

3. Ini Cinta?

24.1K 1.1K 88
By Aginggie

Uki

Aku masih terpekur, menatap monitor komputerku dengan nyalang. Email yang baru saja dikirim oleh Pak Bimo, bagai berita buruk yang tidak aku harapkan. Semua ini bermula ketika salah satu pabrik Savior di Semarang mengalami kendala tentang hasil akhir salah satu trial flavour. Aku tidak begitu tahu persisnya, namun hasil akhir dari trial pabrik berbeda dengan hasil trial lab. Ini memang bisa terjadi, karena banyak faktor juga. Skala lab, biasanya tidak akan melebihi satu kilo produksi, itu pun dilakukan dengan manual. Skala pabrik, memiliki MOQ tersendiri, misal dry blend, biasanya minimum produksi dalam satu kali waktu adalah 40kg, demi meminimalkan kerugian. Atau spray dry, minimal harus 100kg. Tergantung dari jenis flavour yang akan diproduksi.

Masalah ini, awalnya aku tidak ambil pusing. Ini masalah team RnD karena berkaitan dengan technical, bukan team marketing. Namun, begitu aku membuka email dan membacanya berulang kali, aku mengerang pasrah. Pak Bimo juga memintaku untuk menemani Daniel, —karena dia technical director RnD Flavour—, Acha—QA dari Saviour—, dan aku. Bukan pergi ke Semarang yang menjadi masalahku. Namun menghabiskan waktu bersama Daniel. Betemu di kantor saja aku berusaha menghindari kontak langsung dengannya. Lha ini, aku harus menghabiskan waktu litterally hampir satu minggu bersamanya.

"Jadi bagaimana? Sudah jelas, bukan?" Aku melirik Daniel yang tumben-tumbenan tidak mengeluarkan lidah tajamnya. Anak itu begitu pendiam, dan aku malah mencurigainya. "Uki? Bisa kan?" Ini sebenarnya pertanyaan yang tidak butuh jawaban. Pak Bimo akan mencecarku jika aku menjawab tidak bisa hingga aku mengubah jawabanku menjadi bisa. Jadi, aku memutuskan untuk mengangguk. "Acha?"

"Saya available, Pak."

Pak Bimo manggut-manggut. "Daniel?"

"Oke." Oke? Daniel menjawab singkat, oke? Ada keracunan makanan ya Daniel?

"Bagus kalau begitu, saya sudah menyuruh Vivi untuk mengurus segala macam keperluan kalian. Booking hotel, tiket pesawat dan lainnya. Kalian hanya tinggal berangkat." Aku memperhatikan cara Pak Bimo menatap Daniel, ya, sejak kejadian aku memergoki keduanya di basement parkir mall, aku selalu mencari bukti sekecil apapun untuk bisa membuktikan kebenaran pemikiranku. Alasannya aku tidak tahu. "Have fun ya di Semarang."

"Yah, I wish!" Oh, mulut tajamnya muncul lagi. Aku kira dia keracunan tadi, atau hatinya dikembalikan setan, kalau Daniel masih punya atau masih ada yang tersisa. Kami keluar dari ruangan Pak Bimo setelahnya, dan aku masih tidak bisa menyingkirkan fakta bahwa aku akan menghabiskan waktu satu minggu bersama Daniel. Dan karena Vivi tadi memberitahuku bahwa aku dan Daniel akan satu kamar, pikiran bahwa aku juga akan tidur di dalam satu ruangan yang sama, entah mengapa mengusik ketenanganku.

***

Kami dijemput oleh sopir dari pabrik, yang melambaikan papan putih bertuliskan nama Daniel dari Jakarta besar-besar. Semarang panas, itu yang aku rasakan pertama kali begitu keluar dari bandara. Di Jakarta, 28 derajad celsius terasa 35 derajad celsius, di Semarang 28 derajad celsius terasa 40 derajad celsius. Aku dan Acha hanya membawa ransel berukuran sedang, sedangkan Daniel membawa satu koper dan satu ransel. Anak belagu itu tanpa mau repot-repot menyeret kopernya, sopir dari pabrik dengan kebaikan yang berlebihan membantu bawaan Daniel, sementara aku dan Acha dikacangin. "Kita langsung ke hotel, kan Pak?" tanyaku begitu mobil meninggalkan bandara.

"Saya disuruh Pak Robby untuk membawa Pak Daniel, Ibu Acha dan Pak Uki langsung ke pabrik, untuk sekedar meninjau lokasi, kata beliau." Aku melesakkan tubuhku ke dalam kursi penumpang semakin dalam mendengar jawaban Pak Sopir. Yang aneh adalah Daniel yang anteng, kedua telinganya tersumbat earphone, sesekali bibirnya terbuka, bersenandung pelan mengikuti lagu apapun yang sedang dia dengarkan melalui earphone-nya. Kalau sedang diam begini, Daniel itu manis ya? Maksudku, matanya yang terpejam, bibirnya yang merah sedikit terbuka dan kadang bersenandung. Aku melihat dia seperti anak kecil. Anak kecil yang sedang bandel-bandelnya. Namun kalau sedang diam bikin gemas. Sial! Kenapa aku sampai berpikiran seperti itu? Daniel tidak ada manis-manisnya!

Kami tiba di pabrik satu setengah jam dari bandara. Pabrik Savior di Semarang berlokasi di tempat perindustrian, agak jauh dari terminal Terboyo. Hawa panas menyambut kami begitu kami keluar dari mobil. Kami membiarkan semua barang kami tetap berada di dalam mobil. Begitu masuk, kami langsung dibawa ke dalam kantor, yang alhamdulillah ber-ac. Di luar kantor, pendingin hanya disokong oleh kipas angin di beberapa tempat. Tidak cukup untuk mendinginkan suhu di dalam pabrik dimana hampir semua mesin menyala.

"Ya ampun Daniel." Seorang wanita bertubuh mungil, berkulit putih, langsung memeluk Daniel akrab. Tidak seperti team RnD yang memang kadang harus bepergian ke luar kota untuk meninjau pabrik, kami team marketing jarang melakukannya, kecuali ada project besar. "Tambah tinggi ya, sepertinya? Mbok ya di stop, sudah kayak tiang listrik." Daniel tertawa.

"Kalau Mbak Suci, kapan tingginya?" tanya Daniel. Suci, yang tadi ditanya Daniel hanya tersipu sambil mencubit pinggang Daniel genit. Dan entah mengapa, aku kurang menyukai gestur manja tersebut. Untuk alasan yang tidak aku ketahui. "Ini Acha, Mbak. QA dari Jakarta. Lalu Uki, team marketing." Aku menyalami Suci dan berusaha untuk tersenyum ramah. Setelah beristirahat cukup dan mengobrol. Lebih banyak Daniel yang mengobrol dengan Suci, dan Acha menelusuri dokumen sementara aku tidak tahu harus berbuat apa, karena ini bukan bidangku. Kami lalu dibawa berkeliling pabrik. Ada beberapa ruangan yang memiliki pendingin, karena produk yang diproduksi harus tetap dalam keadaan dingin selama proses, kami juga dibawa ke tempat labeling. Aku memperhatikan dalam diam, semua pekerja seperti tahu bagian mereka masing-masing.

Aku menoleh ketika mendegar suara tawa rendah itu. Daniel. Dia tengah mengobrol dengan salah satu ibu-ibu usia awal empat puluhan yang bekerja di divisi labeling. Ibu itu meminta maaf karena salah mengira Daniel adalah artis ftv yang sedang melakukan peninjauan. Yang membuatku terkejut, Daniel tidak keberatan ketika ibu itu meminta foto bersama. Bahkan saat ibu itu dengan akrab memeluk pinggang Daniel, Daniel tidak nampak risih. Ini betulan Daniel yang aku kenal atau dia adalah replika dari masa depan? Aku kira, Daniel tidak mau bergaul dengan rakyat kaum bawah. Melihat barang-barangnya yang selalu branded, mobil pajero putih menterengnya, jarang mau ikut makan bersama di kantin kantor, membuatku berasumsi bahwa Daniel hanyalah anak orang kaya yang kebetulan iseng ingin bekerja hanya demi membunuh waktu. Aku tidak siap menghadapi Daniel yang begitu supel dan ramah, seperti yang aku lihat saat ini. Terlebih, aku tidak menyukai Suci yang begitu menempel pada Daniel seperti ada lem di tubuh mereka berdua.

***

"Complicated juga ya Cha?" Daniel mengambil gula dan creamer secara bersamaan. Menambahkannya secara kurang ajar ke minumannya. Sepertinya, walaupun Daniel lulusan Teknologi Pangan, tidak membuatnya serta merta menjadi bijak dalam memasukkan kalori serta kandungan gula ke dalam tubuhnya.

"Ini sebenarnya miskom saja, kok Dan," jawab Acha sembari menggeser letak laptopnya, memberi ruang untuk Daniel meletakkan kopinya.

"Iya, tapi jadi kerja double kita."

Oke, aku tidak boleh hanya diam. Walaupun aku sama sekali tidak mengerti topik pembicaraan mereka. "Emang udah ketemu sumber permasalahannya?" tanyaku pada akhirnya. Aku tidak ingin hanya menjadi pendengar saja di sini. Daniel menoleh ke arahku dengan ekspresi sedikit kaget. Seolah-olah tadi aku tidak berada di sini.

"Setting mesin di pabrik Semarang berbeda dengan setting mesin di pabrik Jakarta, Ki."

"Kok bisa?"

"Mereka menambah tingkat suhunya lebih ekstrim tapi dengan waktu yang lebih singkat. Hasilnya? Memang secara standar kadar air masih masuk. Tapi tidak awet dalam jangka panjang. Buktinya baru delapan bulan sudah timbul bau tengik. Padahal masa pakai seharusnya bisa satu tahun."

"Terus gimana?"

"Gue suruh besok mereka nggak produksi dulu, mau gue cleaning massal semua mesinnya. Pabrik di sini bener-bener jorok." Kini Daniel mengambil kue berlapis coklat. Ini anak makannya banyak ya? Lucu. "Baru setelah itu restart ulang semua mesin produksi."

"Sudah dapet aproval?" tanyaku lagi.

Daniel mengangguk, memperlihatkan email dari Pak Bimo yang memberikan Daniel kewenangan penuh. Ya, pegawai kesayangan, apa saja di-iyain. Atau benar hubungan mereka memang lebih dari atasan dan bawahan? "Gue balik kamar dulu, mau mandi." Acha mengangguk.

Aku membuka laptopku, membalas beberapa email dari customer. Aku harus membatalkan beberapa jadwal visitku karena harus ke Semarang. Padahal untuk mendapatkan jadwal bertemu dengan customer itu tidak mudah. Apalagi team dari Sosor, beuh, mendapatkan waktu untuk sekedar show up produk baru saja mereka kadang tidak meluangkan waktu.

"Cha, butuh bantuan gue, nggak?" Acha ini adalah salah satu dari sedikit wanita yang menganggap Daniel kurang menarik. Kata Acha, Daniel terlalu bersih, terlalu putih, terlalu wangi dan terlalu rapi untuk ukuran lelaki. Dan menurut Acha, Daniel itu gay. Walaupun aku kurang setuju. Daniel memang belagu, kadang manja. Namun manjanya terlihat lebih seperti anak kecil yang merajuk ketimbang feminim. Dan Daniel cukup manly. Oleh karena itu aku kadang iri padanya, memiliki fisik sesempurna itu pasti menyokong kepercayaan dirinya yang memang tinggi tersebut.

"Lo mau bantuin? Nih!" kata Acha sambil memberikanku tumpukan dokumen. Beuh, tahu begini aku tidak menawarkan diri tadi. Aku harus menyeleksi dokumen-dokumen dari CoA yang sudah dirilis, untuk mencari tahu sejak tanggal berapa produksi barang tengik tersebut dimulai. Untuk kemudian bisa menarik kembali barang-barang tersebut dari pasar. Jika masih ada. Susahnya begini kalau dokumen belum dimasukkan ke dalam sistem komputer. Alamak bikin capek, euy.

Setelah membantu Acha memilah dokumen, aku kembali ke kamar. Kamarku dan Daniel yang kebetulan bersebelahan dengan kamar Acha, hanya untuk disuguhi pemandangan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Pemandangan itu adalah Daniel sendiri, yang tengah berdiri di depan tv, handuk putih melingkar di pinggangnya. Tangannya yang satu sibuk menggosok gigi, tangannya yang lain memindah-mindahkan chanel tv. Hebat ya bisa multitasking begitu. Namun bukan itu yang membuat aku kagum, akan tetapi tubuhnya.

Aku bukan tipe yang mendewakan fisik sebagai tolak ukur untuk mencari pacar, menurutku personality dan otak lebih penting. Bukan berarti aku tidak menghargai mereka-mereka yang bertubuh bagus. Aku tahu, mendapatkan tubuh ideal bukan perkara mudah. Butuh usaha keras dan disiplin. Aku saja menerapkan diet makan sehat, dan lari setiap pagi sebelum mandi agar perutku tetap rata. Dan Daniel? Aku tidak tahu ada lelaki yang bisa begitu indah. Kulit putihnya nampak lembut, berpadu dengan otot-otot yang pas. Selama ini aku tidak begitu tertarik memperhatikan penampilan laki-laki lain. Daniel berbeda, seakan-akan tubuh dan kulitnya memang mengundangku untuk menikmati salah satu ciptaan Tuhan yang indah ini. Dan tato di dada juga pinggang kirinya hanya semakin memperindah kulit putihnya. Seperti kanvas yang dilukis oleh seniman berbakat.

"Lo ngapain bengong di situ Ki? Terpesona sama tubuh gue?" Daniel nyengir, memamerkan gigi putih rapinya yang penuh dengan busa.

"Jorok lo! Gosok gigi di kamar mandi sono!"

"Hehehe." Daniel nyengir sekali lagi sebelum meletakkan remote tv ke atas meja dan berlalu ke kamar mandi.

"Mau mandi lo Dan?"

"He eh." Aku menarik napas dalam. Kamar hotel ini cukup recomended sebenarnya. Tapi, sepertinya di khususkan untuk pasangan suami istri. Kenapa? Pintu kamar mandi yang terbuat dari kaca bening, membuat akses mataku bebas menelusuri tubuh telanjang Daniel yang sedang terguyur air dari shower. Dan one king size bed, karena ruangan dengan double bed sudah full booked. Mungkin aku harus protes pada Vivi setibanya kami nanti di Jakarta. Aku mencoba memfokuskan diriku pada acara tv. Menyimak ketika Najwa Sihab tengah mewawancarai entah itu siapa. Tapi, sekuat apapun aku berusaha untuk menahan kepalaku agar tidak menengok ke arah kamar mandi, sekuat itu pula aku semakin ingin menengoknya.

Aku menyerah, dengan gaya seolah aku tidak berminat aku melirik ke arah kiri. Tepat di sana, Daniel tengah menyabuni tubuhnya. Aku tidak bisa berkedip! Pantatnya montok banget. Aku memalingkan wajahku dengan cepat, sebelum nanti Daniel memergokiku yang tengah mengagumi tubuhnya, dan semakin mengolok-olokku. Setelah diam lama karena shock, aku memutuskan untuk keluar kamar saja, daripada setan nanti berhasil membujukku untuk berbuat maksiat. Setannya ya Daniel itu.

Aku mematikan tv dan berjalan keluar kamar hotel. Kemana ya enaknya? Aku baru saja sampai di lobby hotel saat aku sadar bahwa aku meninggalkan sesuatu yang penting. Card key kamar hotel!

Aah, nanti ada Daniel, atau aku bisa nebeng di kamar Acha.

***

Daniel

Gue bukan anak diskotik, dan kurang menyukai clubbing. Namun setiap gue mengatakan hal tersebut, teman-teman gue tertawa. Lalu kenapa gue sekarang malah duduk di depan meja bar dan sedang menenggak sloki vodka kedua gue? Sometimes masuk ke dunia yang bukan dunia gue itu bagus, karena kadang lari dari realita itu perlu.

"Alone?" Gue menoleh, mengamati lelaki yang baru saja menyapa gue dengan cepat. Tinggi mungkin 180 kurang, cute. Boleh juga. "May I?" tanyanya lebih lanjut.

"Sure." Alkohol dan cowok ganteng sebenarnya bukan kombinasi yang bagus. Bisa jadi dia sudah mengincar gue lama, dan bisa jadi menunggu gue cukup teler dan dia akan merampok gue. Apalagi gue berada di daerah baru.

"Gue penasaran kenapa cowok selucu elo bisa nongkrong sendirian di depan meja bar," cowok ganteng itu berkata lebih lanjut. "Broken heart?"

Wow. Nice move, Dude. "Apa gue terlihat seperti cowok yang sedang patah hati?"

Dia meneliti wajah gue sebentar lalu menggeleng. "Lo lebih ke jenis cowok yang sering bikin patah hati."

"Thank you," jawab gue. Mengulurkan sloki vodka gue padanya. "Wanna join?"

"Tentu." Dia memamerkan senyumnya lagi, lalu menenggak vodkanya. Tersenyum kecut setelahnya. Gue tidak tahu apakah semua gay seperti gue, tetapi gue semacam punya gift, kalau gue melihat gay, gue pasti tahu, even cowok tersebut manly dan tidak ada ngondek-ngondeknya. Semacam insting. Dan cowok ini, radar gue mengatakan kalau dia delapan puluh enam persen gay. Sisa persennya dia biseksual. "Ah, kita belum kenalan. Gue Hendri. Hendri Subakti."

Gue hampir saja memuntahkan minuman gue lagi. "Hendri? Subakti? Penulis Ranjang Bergetar?"

Hendri tertawa. "Embarassing, itu karya pertama gue. But ya, that's me."

"Well, itu karya lo yang paling memorable."

"I take it as compliment." Hendri ini penulis novel yang cukup kontroversial, dan walaupun menggunakan nama asli, namun tidak pernah memasang fotonya di setiap novel yang dia tulis. Atau di sosial media yang dia miliki. Foto profilnya pasti novel terbarunya. Yang di-upload pasti kata-kata mutiara, membuat gue membayangkan bahwa sosok Hendri Subakti adalah pria lima puluh tahunan yang mesum dan penyuka bokep.

"You should, because it is." Gue baru saja mau meminta barista menuangkan vodka ke dalam sloki gue sekali lagi saat Acha menelepon gue. Gue menjawabnya dengan cepat. Lalu melongo mendengar penuturan Acha. Kok bisa? Buahahaha! "Sorry Hen, it was pleasure meeting you, but I have to go."

"Ditelepon pacar?" Gue tidak menjawab. "Boleh gue meminta kontak lo sebelum lo pergi?" Gue mengambil tisu di atas meja, menulis nomor telepon gue di sana.

"Don't lose it," kata gue sembari berlalu. "Sekalian bayarin ya!"

Gue pulang ke hotel tempat gue menginap dengan cepat. Acha tadi menelepon agar gue lekas balik karena Uki menunggu gue. Dia keluar dan lupa membawa card key. Gue menemukannya tengah duduk di pojok hotel yang memiliki view menghadap kolam. Dia tersenyum menyadari kehadiran gue. "Sorry made you wait."

"Nope. Salah gue juga kok, lupa bawa kunci." Wait, sejak kapan Uki bisa bernada manis begini ke gue? Dia tidak kerasukan setan kan selama di Semarang? "Tapi bagus juga bisa bikin lo pulang, udah jam satu malam lho."

Gue mengabaikan Uki. "Kenapa lo nggak telepon gue sendiri? Kenapa harus Acha yang telepon gue? Lo males ngomong langsung sama gue?" Gue bagaimanapun juga lebih nyaman dengan Uki yang judes, Uki yang menatap gue sebagai cowok bandel dan bukan cowok baik-baik. Uki yang manis begini, sama sekali tidak baik untuk jantung gue. Entah kenapa.

"Hape gue mati." Uki mengacungkan telepon selulernya yang gelap. "Baterenya habis." Gue membuka pintu kamar, mempersilahkan Uki masuk terlebih dahulu, yang langsung menuju kasur dan tengkurap. Sementara gue membersihkan diri di kamar mandi. Gosok gigi, cuci muka, dan melepas baju gue. Tadinya gue ingin tidur telanjang, seperti yang sering gue lakukan jika sedang berada di rumah. Namun urung karena gue tidak tidur sendirian. Gue tidak jadi melepas boxer gue. Saat gue sudah bersiap untuk bergabung bersama Uki di atas kasur, telepon seluler gue berbunyi.

"Hai," sapanya begitu gue menekan tombol hijau. "Mas kangen."

Sayangnya gue tidak kangen. Seharian di Semarang ini, Bimo sama sekali tidak melintas di pikiran gue. "Ini sudah malam, Mas. Gue ngantuk."

"Titris baru saja tidur, aku baru bisa telepon kamu, Dan."

Oh. Ya, gue hanya orang kedua. Gue lupa. "Oke, kita obrolin besok lagi ya, Mas? Gue bener-bener capek." Tanpa memberi waktu Bimo untuk beragumen, gue mematikan sambungan telepon. Awalnya gue memang tidak mengharapkan hubungan yang serius dengan Bimo, namun semakin kesini, kenapa semakin sakit, ya? Mungkin sudah waktunya untuk mengakhiri hubungan tidak sehat ini, sebelum Titris tahu dan melarang gue untuk bertemu Damian lagi. Gue berjalan ke arah balkoni, lalu duduk di kursi yang disediakan di sana. Menatap gelapnya malam tanpa bintang. Menikmati lampu temaram yang menyinari kolam renang. Dan mulai menangis sesenggukkan. Ternyata gue masih manusia yang bisa merasa sakit hati.

***

Uki

Aku semalam belum tidur ketika melihat Daniel menangis dalam diam. Aku ingin saja bangun lalu membawa Daniel ke dalam pelukanku, menenangkannya sebisaku. Namun aku ternyata tidak seberani itu. Ada perasaan asing yang melingkupiku akhir-akhir ini. Aku mulai peduli pada Daniel. Sama seperti semalam saat aku menengok jam dan sudah pukul satu malam lalu menyadari Daniel belum pulang, aku setengah memaksa Acha untuk menelepon Daniel. Dan tadi malam, ketika melihatnya menangis, aku juga merasakan sakitnya. Aku sendiri bertanya, sebenarnya sejak kapan aku mulai memikirkan Daniel? Sejak melihatnya telanjang dada di dapur kantor? Sejak melihatnya begitu manis mengobrol bersama ibu tukang labeling? Sejak melihat sisi lainnya yang selama ini aku tidak tahu? Sisi manis dan lucu yang belum pernah dia perlihatkan padaku?

"Hei, sarapan apa kita kali ini?" Daniel bergabung bersamaku dan Acha. Kami memang memesan room service untuk sarapan. Aku memperhatikan wajah Daniel yang sudah bugar, sama sekali tidak nampak jika dia menangis semalam. "Wih, nasi goreng seafood. Ada kerupuknya, nggak?"

"Ada Daniel." Aku menyodorkan sebungkus penuh kerupuk putih.

"Makasih." He? Daniel tahu mengucapkan kata terima kasih? Aku tersenyum sendiri. Kemana saja aku selama ini sehingga tidak melihat sisi Daniel yang ini? Daniel manis sekali pagi ini, makan dengan belepotan, dan entah kenapa, rasa hangat merebak di hatiku. Aku seperti menemukan pelabuhan baru. Dan tanpa aku sadari, tanganku sudah terulur, membersihkan beberapa nasi yang menempel di bibir Daniel. Bibir yang masih aku anggap terlalu merah untuk ukuran laki-laki tersebut. "Makasih, Uki." Dan sejak kapan aku menganggap Daniel begitu indah, seperti ini?

"Heh, sarapannya habisin dulu, sebelum kalian berdua cipokan!" Tegur Acha. Aku langsung menarik tanganku. Daniel tertawa riang. Apakah aku mulai jatuh suka? Pada Daniel? Semoga tidak, karena jika iya, Tuhan kejam sekali mempermainkan takdirku.

***

Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 37.4K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
2.9M 302K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
360K 19.3K 27
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...
1M 103K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...