1. Intro

58.1K 1.6K 176
                                    


Joshua Daniel Pradipta

Gue kembali fokus dengan komputer dihadapan gue. Email dari Pak Bos jelas masih terpampang cantik disitu. Belum gue balas. Permintaan agar gue bisa ke Thailand, sebenarnya bukan masalah yang besar, mengingat gue tidak ada kegiatan apa-apa di minggu-minggu yang diminta Pak Bos. Hanya saja, gue sedang malas bersama bos gue itu. Apalagi jika harus menghabiskan banyak waktu bersamanya.

Oke, yang pergi ke Thailand memang tidak hanya kita berdua saja. Tapi kan tetap saja si Pak Bos ikut.

Gue adalah technical development di tempat gue bekerja, Savior. Savior perusahan yang bergerak dalam bidang penjulan, dengan main flavour, colour dan fragrance. Ke Thailand sebenarnya adalah salah satu training yang diadakan affiliate untuk coating obat-obatan. Tekhnologi ini masih jarang digunakan, dan misi Savior adalah menjadi yang pertama dalam memperkenalkan tekhnologi ini ke Indonesia. Aku tertarik dengan training itu sendiri, hanya saja . .

Bagaimana gue mengatakannya?

Mengapa gue malas pergi bersama Pak Bimo?

Apakah kami pacaran? Bisa dibilang begitu.

Hanya saja dia laki-laki dan gue juga laki-laki.

Iya, gue gay.

Oh, itu belum seberapa.

Dia sudah mempunyai istri dan seorang anak.

Jangan bilang gue gila atau sinting. Karena cinta, kadang-kadang tak ada logika . . .

Dan gue tidak akan meminta kalian untuk mengerti posisi gue kok, tenang saja.

Gue menyukai bos gue sejak pertama kali gue melihatnya. Sejak gue diwawancarai olehnya, tampilan fisiknya, tatapan matanya, suaranya. Konyol rasanya jika mengingat kala itu ketika gue mengharapkan dia untuk membanting gue ke atas meja lalu menyetubuhi gue secara kasar alih-alih mewawancarai gue. Njir, gue sange parah saat itu. Kini, ketika gue melihatnya tengah melangkah masuk ke dalam ruangan gue, gue bertanya-tanya kemanakah sange yang meluap-luap waktu itu? Karena sekarang gue tidak lagi merasakannya.

***

Bimo Adiaguna

Gue sadar Daniel kurang menyukai kehadiran gue di ruangannya. Wajahnya yang tadinya biasa saja langsung menyiratkan kekesalan. Daniel adalah salah satu dari sedikit pria yang wajah dan matanya penuh dengan ekspresi. Gue kebanyakan bertemu dengan laki-laki yang pura-pura cool, sok manly atau misterius, Daniel berbeda. Hanya melihat matanya saja, gue sudah ngerti Daniel tengah bahagia, sedih, kesal, atau bernafsu.

"Jadi gimana?" gue gak perlu basa-basi. Yakin kalau cinta gelap gue itu tahu maksut pertanyaan gue barusan. Apa? Gue bilang 'cinta gelap gue?'. Gue mulai enggak waras kayaknya. Tapi semenjak mahkluk ganteng satu ini masuk dan mulai bekerja di kantor ini, kewarasan gue memang mulai menipis.

"Saya enggak bisa bilang enggak kan, Pak?" Formal kalau di kantor. Tapi gue tahu persis ini anak bakalan nyakar muka gue begitu nanti diluar kantor. Taruhan demi omset perusahaan bulan depan. Jangan ding, terlalu riskan.

"Lha memangnya kamu enggak pengen mempelajari tekhnologi baru? Di Indonesia masih jarang lho yang bisa coating obat-obatan. Rata-rata mereka masih ke China atau ke Australia." Maksut gue ke Thailand jelas bukan cuman buat training doang sebenarnya. Bagaimanapun juga, disini gue harus backstreetan sama cinta gelap gue ntu. Aah, gue mulai terindikasi virus remaja tengil sepertinya.

Kalau di Thailand nanti, seenggaknya bisa sedikit bebas.

"Emang Bapak rencana mau beli mesin coatingnya? MAHAL lho itu." Penekanan kata mahal itu sedikit banyak ganggu juga. "Akan disetujui Thierry?" Thierry adalah bos besar Savior yang memegang Asia. Persetujuan untuk membeli alat-alat lab baru, kenaikan gaji, insetif baru, semua harus dengan tanda tangan Thierry. Untungnya, Thierry termasuk bos yang mengerti karyawannya.

BOTTOM (New Edit)Where stories live. Discover now