It's a Life Disaster!

Par NaRamadani

623K 19.7K 945

Alananda Mitha Hermawan, hidup bahagia dan santai saja selama ini. Namun kejadian nyaris bangkrut, nyaris dij... Plus

Prolog
1. Alananda Mitha Hermawan
2. Dia
3. Tirtan Putra Bimawangsa
4. Hitam
5. Perpanjangan Waktu
7. Enggardian Suta
8. Ambang Batas
9. Menyerah
10. Sindrom Pra-Nikah
11. Halang Rintang
12. Seindah Kita
13. Hitam Itu Lagi
14. Serasa
15. Arah Hati
16. Derai Air
17. Tersadar
18. Nila Setitik
19. Maaf
20. Akhir Kisah
Epilog

6. Posesif

26.1K 822 18
Par NaRamadani

Semenjak pembicaraan mereka di kantor Tirtan, hubungan mereka kian membaik. Frekuensi dan durasi pertengkaran mereka lumayan berkurang dibandingkan sebelumnya. Tirtan semakin pengertian pada tingkah Lana yang kadang kekanakan serta Lana yang terkadang berusaha mengerti Tirtan yang suka mempermainkannya.

Belum lagi sikap Lana yang semakin posesif pada Tirtan. Saat jalan berdua Lana takkan segan-segan bergayut di lengan Tirtan dengan mesra menunjukkan kepemilikannya akan Tirtan. Ponsel Tirtan pun selau di utak-atik oleh Lana untuk memeriksa apapun, dari list contact sampai inbox. Tirtan yang semula risih dan keberatan akhirnya menyerah juga karena sikap dan tingkah Lana merupakan hiburan tersendiri baginya.

"Ponsel kamu mana?" Tanya Lana tiba-tiba disela seruputan orange juice nya.

"Ada. Kenapa?" Tanya Tirtan curiga.

Lana mengulurkan tangannya pada Tirtan. Membuka kelima jarinya membentuk pose meminta pada Tirtan. Tirtan yang sudah terbiasa dengan situasi itu hanya menatap dan memberikan ponselnya di tangan Lana yang terulur.

Lana mengutak-atik ponsel itu tanpa perlu meminta password keamanan dari Tirtan, ia sudah menghapalnya di luar kepala. Ia kemudian berpose ala self camera pada ponsel tersebut tanpa memperdulikan Tirtan yang memperhatikannya dengan heran. Setelah memotret dirinya sendiri Lana tampak mengutak-atik kembali ponsel Tirtan dan kemudian dikembalikan lagi pada Tirtan.

Belum sempat Tirtan bertanya tentang tingkah wanita itu, Lana kembali sibuk menggunakan ponselnya dan mengarahkan kameranya pada Tirtan.

"Senyum." Perintah Lana datar.

Tirtan mengernyitkan alisnya. "Mana bisa."

"Ya sudah kalau gak mau. Satu, dua, tiga." Sesaat sebelum bunyi klik kecil terdengar dari ponsel Lana Tirtan berhasil tersenyum ala kadarnya. Lana tersenyum puas melihat wajah Tirtan yang tengah tersenyum. "Pulang yuk?" Ajaknya tiba-tiba.

Saat ini mereka tengah berada di mall dan sedang duduk di sebuah kafe setelah Tirtan menemani Lana mengunjungi salah satu cabang toko tas perusahaan Lana di mall tersebut. God, semakin lama tingkah mereka semakin mirip pasangan betulan, pikir Tirtan dalam hati.

Setelah membayar di kasir mereka berjalan beriringan dengan Lana yang mendempet santai ke tubuh Tirtan. Tirtan refleks mengulurkan tangan dan merangkul pinggang Lana dari belakang karena bila tak dilakukannya posisi mereka akan aneh seperti kembar siam. Tirtan tak habis pikir, kenapa tingkah laku Lana berubah sangat drastis semenjak perpanjangan waktu itu? Biasanya Lana yang sibuk menjauh darinya sekarang malah Tirtan sendiri yang kewalahan menuruti segala skinship yang entah mengapa dilakukan oleh Lana.

Mereka melangkahkan kakinya keatas eskalator, Tirtan mendekap lebih erat tubuh Lana.

"Hati-hati." Gumam Tirtan lembut. Setelah turun dari eskalator Tirtan melepaskan tangannya dari pinggang Lana lantaran berpikir Lana akan merasa terganggu kalau terlalu lama didekapnya.

Lana tiba-tiba merasakan dekapan Tirtan yang melonggar dan akhirnya terlepas. Ck, ia takkan melepaskan Tirtan semudah itu. Saat ini ia merasa kedinginan karena AC mall dan juga cuaca yang sedang lebat-lebatnya hujan. Segera ia menyelipkan diri didalam lengan Tirtan dan menyurukkan kepalanya ke bahu Tirtan sedangkan kedua tangannya gantian memeluk erat pinggang Tirtan dari samping.

"Dingin." Desah Lana.

Tirtan kaget dengan tingkah Lana namun segera dibungkusnya tubuh Lana dalam dekapannya. Mereka telah sampai di lobby dan sesaat mereka menjadi tontonan orang-orang yang tengah menunggu mobil atau yang hanya sekedar berteduh dari hujan yang deras.

"Lan, aku tinggal ambil mobil dulu?" Tirtan berhasil berbicara setelah beberapa saat.

"Hmm." Gumam Lana tak jelas.

Tirtan melepaskan dekapannya dengan terpaksa. Segera bergegas menuju basement dan berlari menembus hujan kearah mobil yang diparkirnya tak jauh dari situ. Ia merutuki dirinya sendiri, kenapa ia lemah terhadap Lana? Ia takkan pernah rela berlari-larian menembus hujan ala-ala bollywood seperti ini kalau bukan demi Lana.

Setelah memasuki mobil dan menjemput Lana yang ternyata telah menunggu di basement mall, Lana segera masuk ke kursi penumpang. Mereka kini dalam perjalanan mengantar Lana pulang kerumah. Lana sibuk mengumpulkan tissue dan menyeka wajah Tirtan yang masih lembap. "Kamu basah." Gumam Lana sembari terus menyeka wajah Tirtan. Tirtan hanya tersenyum menanggapinya.

Setelah Tirtan merasa cukup nyaman ia menangkap tangan Lana yang kini menyeka rambutnya. "Sudah, hun." Dihentikannya aksi Lana.

Lana kembali bersandar diam dikursinya. Tangannya tetap dalam genggaman tangan Tirtan.

"Lan, besok malam kamu ada acara?" Suara Tirtan terdengar santai menembus alam bawah sadar Lana.

Lana menoleh kearah Tirtan yang serius mengemudikan mobil. "Nggak kayaknya. Kenapa?"

"Aku ada undangan dari teman bisnisku. Kamu temani ya?"

"..." Lana tampak berpikir.

"Kalau kamu tidak mau, aku bisa ajak Erisa." Ucap Tirtan tiba-tiba.

Lana mendelik tajam kearahnya. "Coba aja kamu ajak dia." Nadanya mengancam.

"Kan kubilang 'kalau', nah kamunya mau apa tidak, hun?" Tirtan berusaha menyembunyikan senyumnya yang dirasanya sedikit lagi keluar.

"Iya deh." Akhirnya Lana mengiyakan masih dengan tatapan tajamnya pada Tirtan.

"Gitu dong. Besok aku jemput jam tujuh di rumahmu." Tirtan terdengar puas.

"Jangan di rumah. Di kantor aja sekalian. Aku lagi males bawa mobil."

Lana mengubah pengaturan Tirtan, mengucapkan alasan yang sama yang membuatnya hari ini harus rela mengantar Lana kesana kemari. Punya tunangan satu saja repotnya minta ampun, desah Tirtan tentu saja dalam hati.

"Oke. Jam tujuh dikantormu, kan?"

Lana mendecak, "Bukan jam tujuh tapi, jam lima-an. Jam pulang kantor."

"Tapi acaranya jam delapan, hun. Kepagian kalau jam lima." Tirtan akhirnya memprotes.

"Kamu gak pernah pergi ke kondangan bareng cewek yah? Aku butuh kesalon, jadi jam lima cocok banget tuh." Lana memaksa.

"Oh, bilang dari tadi. Okelah." Tirtan akhirnya mengiyakan. Apapunlah, demi tunangan satu-satunya.

Tanpa terasa mereka telah sampai di depan rumah orangtua Lana. Hujan telah berhenti hanya menyisakan serintik demi serintik rinainya. Tirtan membantu Lana turun dan mengecup kening Lana lembut. "Aku langsung saja, hun. Masih ada kerjaan dikantor." Wajah Tirtan menunjukkan penyesalan.

"Lembur?"

Tirtan mengangguk pasrah sambil tersenyum.

Lana sedikit merasa bersalah. Tadi dirinyalah yang meminta Tirtan menemaninya mengecek salah satu tokonya. "Maaf. Kupikir kamu tadi tak sibuk."

"Aku tadi memang tak sibuk. Sebentar baru sibuk." Tirtan tersenyum lucu pada Lana. Kemudian menangkup sebelah pipi Lana. "Aku pergi dulu."

Lana meresapi kehangatan yang menjalar di pipinya, sedikit tak rela Tirtan akan pergi. Ia mengangguk dan mundur, menyaksikan Tirtan masuk kemobil dan berlalu. Sempat dilambaikan tangannya mengantarkan kepergian Tirtan. Tiba-tiba tersadar Lana menurunkan lambaian tangannya dan berbalik memasuki rumah.

***

Mamanya menyambut di ruang tamu begitu Lana masuk. Lana mengecup pipi sang mama setelah mengucapkan salam. "Kamu lembur lagi? Nggak capek?" Mama berkata cemas.

"Capek, mam. Cuma mau gimana lagi. Desain-desain tas yang kemarin terpaksa aku rombak semua. Aku kurang puas dengan hasilnya, mam. Untung barang jadinya cuma sampel aja. Aku juga mesti ngecek cabang yang di mall itu tapi untungnya Tirtan tadi mau nganterin. Jadi tak terlalu capek." Lana menampakkan wajah tersenyum menenangkan pada mamanya.

"Kerja sih kerja, tapi perhatikan kesehatan juga. Kamu nanti kalau tambah kurus gimana?" Protes mamanya.

"Ih, mama. Lana gak bakalan tambah kurus kalau Tirtan selalu mesenin makanan ke kantor Lana tiap siang maupun sore, Lana terpaksa makan, mam. Mubazir kalau di buang-buang."

Mamanya tersenyum tenang kali ini. "Untung ada Tirtan. Kalau tidak, mama lagi yang repot kalau kamu kecapekan dan kolaps kayak waktu itu."

"Mamaaa, jadi Lana ini merepotkan ya, mam?" Lana merengek manja pada mamanya.

"Enggak, sayang. Mama cuma khawatir kok. Sudah, sana mandi. Kamu gak merasa bau yah?" Mamanya mengangkat tangan menutupi hidung.

"Mamaaa..." Lana semakin merengek yang ditimpali mamanya dengan tawa.

"Oh ya, ngomong-ngomong mana Tirtan? Dia yang nganterin kamu kan?"

"Tirtan gak mampir mam. Lagi ada kerjaan." Lana menunjukkan wajah menyesal.

"Ya sudah. Tadi ada kiriman dari Tirtan. Sudah mama taruh di kamarmu."

Sedikit heran, Lana pamit singkat pada mamanya dan bergegas menaiki tangga dan menuju ke kamarnya. Diatas tempat tidurnya sudah ada kotak putih yang di ikat pita besar berwarna merah hati. Segera dibukanya kotak itu dan mendapati gaun panjang lembut berwarna merah gelap. Atasannya berbentuk kembem pas badan yang menutupi sempurna bagian depan tubuhnya hingga bagian depan dadanya  dan dilanjutkan oleh kain transparan berbordir halus yang menutupi dan membentuk pundak hinga lengan atasnya. Bagian belakang punggungnya hanya tertutupi oleh kain transparan tersebut karena bentuk kembemnya dari depan hingga bagian samping tubuhnya semakin menurun hingga menghilang di garis belakang tulang punggung sejajar pinggang gaun itu.

Sedangkan bawahannya mengembang lembut berbentuk A lebar. Taburan permata-permata kecil menghiasi bagian tepi bawah dari bawahan tersebut. Indah. Gaun tersebut tertutup namun terbuka. Cantik!

Ada sehelai kertas didasar kotak itu. Tulisan tangan Tirtan.

Hope you like it.

T.

Ia tersenyum sendiri dan kemudian tersadar akan tingkah bodohnya. Diputuskannya untuk mandi dan kemudian mencoba gaun tersebut. Gaun itu adalah gaun yang sempat dikaguminya tadi saat sedang berjalan dengan Tirtan di mall. Ia tak menyangka Tirtan akan membelikannya gaun ini. Lana memutuskan memakai gaun ini untuk acara besok.

***

Lana berlari kearah mobil Tirtan yang terparkir di pelataran parkir kantor Lana. Kedua tangannya masing-masing membawa bungkusan gaun dan tas kerja yang terisi penuh. Tirtan segera keluar menyambutnya dan mengambil alih barang bawaan Lana.

"Hun, kamu siap-siapnya di rumahku saja ya? Soalnya rumahku lebih dekat dari gedung acaranya." Tirtan berkata setelah mereka berada dalam mobil.

"Hah? Tapi nanti make-up dan rambutku gimana?" Lana bertanya protes.

Tirtan memandang Lana tenang. "Tak usah yang berlebihan, hun. Kamu sudah cantik kok."

"Kamu yakin? Nanti aku malu-maluin lagi." Kali ini nada suara Lana cemas.

"Yakin. Kamu malah bikin aku bangga. Tunanganku cantik banget soalnya." Tirtan meyakinkan Lana sekaligus memujinya.

"Tapi, Tan..." Lana merengek tak mengindahkan pujian Tirtan barusan.

Tirtan tak tega juga melihat rengekan Lana dengan mata yang nyaris berkaca-kaca. "Bagaimana kalau kamu siap-siapnya di rumahku saja tapi kamu panggil orang buat bantu kamu bersiap-siap. Gimana?" Tirtan bernegosiasi.

Lana berpikir sebentar. "Siapa? Ah, aku tak tahu siapa yang bisa bantuin aku. Kita kesalon aja. Tan. Kalau kamu tak mau nungguin, kamu pergi aja. Nanti kamu jemput aku lagi kalau kita berdua sudah beres. Ya?" Lana masih merengek pada Tirtan

Tirtan kasihan melihat Lana yang sedang dalam mode panik, merengek dan sebagainya. "Yakinlah, hun. Kamu dandannya yang sederhana saja. Aku tak suka kalau kamu dandan yang tebel-tebel." Tirtan masih berusaha meyakinkan Lana.

Lana terdiam beberapa saat kemudian akhirnya menarik napas lelah. "Iya, deh."

Tirtan menangkup wajah Lana yang tengah berpikir keras. "Nah, cakep deh kalau nurut gini." Segera dikemudikannya mobil menuju rumahnya meninggalkan lapangan parkir kantor Lana.

Lana hanya diam menanggapi Tirtan, sibuk berpikir dan berdebat dalam hati bagaimana nanti ia bersiap-siap. Untung ia membawa peralatan make-up nya untuk berjaga-jaga. Ia memiliki kecurigaan yang besar tentang Tirtan yang akan memintanya berdandan sendiri. Dan ternyata dugaannya terbukti. Dasar lelaki yang tak mau repot! Mulut manisnya dipakai saat tak ingin repot saja.

Setelah beribet ria dirumah Tirtan, akhirnya ia dengan selamat berhasil mendandani dirinya sendiri. Ia juga masih sempat memakan buah-buahan dari kulkas Tirtan dan membantu Tirtan bersiap-siap. Pakaian mereka serasi kali ini. Lana dengan gaun merah gelapnya, Tirtan dengan kemeja merah gelapnya juga.

Mereka memulai perjalanan ke gedung acara tepat pukul setengah delapan malam dan selamat sampai pada tujuan tanpa terlambat. Mereka berjalan bersama memasuki gedung dan langsung disambut oleh si empunya acara.

"Terimakasih sudah datang di ulang tahun perusahaan kami." Seorang pria yang kira-kira sebaya Tirtan menjabat ramah tangan Tirtan dan disambut dengan hangat oleh Tirtan.

"Bro, ini tunangan lo?" Ucap pria itu setelah mengalihkan pandangannya pada Lana.

"Kenalkan, ini Lana, my fiance." Tirtan memperkenalkan dan tersenyum pada Lana yang berdiri disampingnya.

Lana mengangsurkan tangan kanannya pada teman Tirtan. "Alana." Senyumnya menawan.

"Dion." Ucap pria itu meraih tangan Lana.

"Hebat banget lo, Bro. Dapet cewek cantik gini." Dion berkata kepada Tirtan sambil tetap menggenggam tangan Lana. Wajah Lana bersemu merah mendengar pujian Dion.

"Hebat sih hebat, tangan lo lepas dong." Gerutu Tirtan mengambil alih paksa tangan Lana yang masih digenggam Dion dan menjaganya erat di genggamannya. Dion tertawa melihat tingkah Tirtan.

"Kapan nikahnya?" Tanya Dion pada Lana, tak mengindahkan Tirtan yang gelisah menjaga Lana disisinya.

Lana yang mendapatkan pertanyaan tak terduga itu gelagapan menjawab. "Mmh, itu, itu belum kami rencanakan. Kami masih nyaman dengan hubungan kami saat ini." Lana menjawab berusaha terdengar meyakinkan.

Dion yang mendengar jawaban Lana tersenyum tertarik kemudian memandang Tirtan. "Hati-hati, Bro. Ntar kelamaan. Kalau kelamaan biasanya sih kelepasan." Perkataan Dion ditutup dengan tawanya yang membahana. Tirtan juga ikut tertawa namun dalam hati merutuk perkataan Dion, tanpa menunggu lamapun dirinya sudah nyaris kelepasan sama Lana.

"Sorry, Bro. Gue harus sapa tamu lain dulu." Pamit Dion pada Tirtan kemudian memandang Lana, "Silahkan kalian nikmati hiburan yang ada." Setelah mengangguk singkat, Dion berjalan menjauhi mereka dan menyapa tamu lainnya, meninggalkan mereka sesaat dalam kecanggungan tak bernama.

Tirtan kemudian mengajak Lana untuk menikmati hidangan yang tersedia, berusaha menghilangkan kecanggungan tiba-tiba diantara mereka. Belum sempat Lana menikmati hidangan yang tersedia, seorang demi seorang perempuan silih berganti menyapa dan berusaha mengajak ngobrol Tirtan, sangat kentara bahwa para perempuan tersebut sedang menebar pesonanya pada Tirtan.

Lana tidak suka. Ingin dirinya cemberut dan bertingkah kekanakan namun ditahannya. Ditariknya napas dalam dan memandang tajam pada wanita ketiga yang sedang menebar pesona dan membuat wanita tersebut terdiam serta pamit secepatnya pada Tirtan.

Lana memandang puas pada wanita tersebut, kamudian memandang arah lain dimana wanita lain kembali datang ingin menyapa mereka atau lebih tepatnya menyapa Tirtan. Coba saja. Malam ini akan jadi ajang pertempuran yang harus kumenangkan. Tekad Lana dalam hati.

***

Lana mulai menunjukkan kualitas dirinya sebagai tunangan yang posesif. Dan kualitasnya benar-benar nomer 1. Tirtan sampai geleng-geleng kepala melihat tingkah Lana yang tidak mau lepas darinya sedetik saja bila mereka berdua. Bukan berarti dirinya keberatan, justru ia ingin berterimakasih dengan sikap Lana kali ini yang dapat menghindarkannya dari rayuan para wanita yang selalu mengincar dirinya.

"Kamu lihat siapa dari tadi?" Suara Lana kembali terdengar di telinganya diantara hiruk pikuknya acara.

"Kenalan ayah, hun. Salah satu investor di cluexonic." Tunjuk Tirtan pada pria paruh baya yang semenjak tadi diperhatikannya.

"Kupikir cewek." Tandas Lana langsung tak minat.

Tirtan mengernyitkan alis. Bukannya ia tak sadar dengan tingkah Lana yang menjauhkan para wanita tadi. "Aku punya kamu, hun. Kenapa harus lirik yang lain?"

"Gombal." Pipi Lana memerah dengan cepat.

"Memang." Tirtan tersenyum, sangat suka melihat pipi Lana yang kemerahan.

Lana berusaha mendapatkan kembali ketegasannya. "Kalau kamu mau tunangan sama aku, sebaiknya jangan macem-macem deh."

"Iya, honey, Iyaa."

"Iyanya satu kali aja." Lana mencebik tak suka.

Tirtan tertawa. Ia menarik Lana ke lantai dansa, bermaksud mengajaknya berdansa.

"Aku tidak bisa dansa." Lana tiba-tiba menahan langkah begitu tahu arah yang dituju Tirtan.

Tirtan tersenyum menenangkan. "Tenang saja. Ada aku."

"Nggak. Aku nggak mau mempermalukan diri." Rupanya senyuman Tirtan kali ini tak mempan pada Lana.

"Ayolah. Please?" Mata Tirtan memandang langsung kedalam mata Lana, mengucapkan permohonan yang tak dapat dibantahnya.

Lana akhirnya tersihir oleh tatapan itu. Ia bergerak dengan perlahan mengikuti Tirtan ke tengah ruangan tempat beberapa pasangan lainnya berdansa. Sesampainya mereka disana, Lana berdiri kaku. Tirtan tersenyum melihat kekakuan Lana.

Diraihnya tangan Lana dan meletakkan di bahunya sendiri serta tangan satunya yang digenggamnya erat. Sebelah tangan Tirtan turun mengikuti lekuk lembut pinggang Lana dan berhenti disana dengan nyamannya. Saat Tirtan mulai bergerak mengikuti irama yang mengalun lembut, Lana mengikuti dengan ragu. Tirtan tertawa lembut dan membungkukkan wajahnya kearah Lana.

"Trust me." Bisik Tirtan lembut pada Lana.

Saat itu pikiran Lana medadak kosong. Yang mengisinya hanya Tirtan yang tengah mendekapnya erat dan menuntun langkahnya dalam dansa ini. Segala keraguan perlahan sirna, dengan hati-hati diikutinya langkah Tirtan. Perasaanya dipenuhi alunan lembut melodi yang mendayu-dayu di ruangan itu. Kakinya melangkah dan terus melangkah mengikuti semua langkah Tirtan. Ia tak menduga Tirtan adalah seorang pedansa yang ahli.

"Better?" Didengarnya suara Tirtan yang mengalun lembut seirama nada. Lana hanya mengangguk tersenyum. "Menyenangkan bukan?" Tirtan kembali bertanya.

"Sangat." Dijawab Lana dengan antusias. Mereka tetap melanjutkan dansa mereka hingga lagu selesai. Lana seolah terserap kedalam mata hitam kelam milik Tirtan. Kesadaran Lana kembali begitu didengarnya suara tepukan tangan dari berbagai arah diruangan itu. Rupanya mereka telah menjadi pusat perhatian selama dansa tadi. Mungkin ini karena pertama kalinya mereka tampil berpasangan di depan publik setelah mereka bertunangan. Semua orang pasti penasaran dengan tunangan Tirtan.

Wajah Lana merona dengan cantik sambil membungkuk memberi hormat pada tamu lainnya. Tirtan juga mengikuti tingkah Lana. Mereka berjalan ke ruangan lain dimana makanan dan minuman dihidangkan bagi para tamu. "Haus, hun?" Tirtan bertanya perhatian.

Lana hanya mengangguk dan mengambil lemonade yang tersedia di meja-meja hidangan yang tertata rapi di depan mereka. Diangsurkan juga segelas untuk Tirtan.

Mereka tengah mengobrol dengan santai saat seorang wanita berjalan mendekati mereka. Erisa. Lana bukannya tidak menyadari kehadiran Erisa, dia hanya menganggap wanita itu tidak ada.

"Tirtan." Erisa menegur Tirtan.

Tirtan yang tengah menyelipkan rambut Lana yang terlepas dari sanggul sederhananya berbalik mendengar suara Erisa. "Hai." Dipandangnya kebelakang Erisa, mencari-cari. "Datang sama siapa?"

Erisa tersenyum paksa. "Sendiri." Mata Erisa rakus menatap keseluruhan Tirtan. Seharusnya dirinyalah yang berdiri disamping Tirtan saat ini, bukan Lana. Ia akhirnya menggeser tatapannya memandang Lana yang tengah memandang tak peduli pada dirinya. Tangan Lana disampirkan dengan santai di lengan Tirtan. Erisa segera menyeret kembali pandangannya pada Tirtan. "Tan, ada yang ingin kubicarakan."

Tirtan mengernyitkan kening, "Ada apa?"

"Tidak bisa dibicarakan disini."

"Well, kalau begitu tidak usah dibicarakan disini. Lain kali saja."

"Ini penting." Tandas Erisa cepat.

Tirtan tampak berpikir. "Penting?"

Saat Tirtan tengah menimbang-nimbang ingin berbicara atau tidak dengan Erisa, tangannya terasa sedikit sakit. Rupanya Lana sudah tidak menyampirkan tangannya melainkan menggenggam erat, sangat erat.

"Memangnya ada yang penting diantara kalian berdua?" Lana tiba-tiba berbicara dengan datar. Kemudian dipandangnya bergantian Tirtan dan Erisa. "Permisi, aku mau pulang." Dilepaskannya genggaman tangannya di Tirtan dan berlalu begitu saja.

"Hun, tunggu." Tentu saja Lana tak menunggunya. "Sorry, Ris. Lain kali saja." Tirtan pamit singkat pada Erisa yang kini telah kehabisan kata-kata.

Sh*t!

Erisa memaki dalam hati. Padahal ia yakin hubungannya dengan Tirtan masih bisa diperbaiki. Dipandangnya kesal pada Tirtan yang kini telah mencapai Lana di dekat pintu masuk. Pria itu menggenggam tangan Lana sekaligus melingkarkan tangan satunya di pinggang Lana, seakan takut Lana meninggalkannya. Erisa berbalik dan menatap kesekeliling ruangan acara ini. Mencari korban lainnya yang dengan bodohnya mau jatuh kedalam perangkapnya.

***

Di dalam mobil Lana terus berdiam diri. Tirtan juga tak tahu harus berkata apa jadi diputuskannya hanya menyetir dalam diam. Tapi bukan sikap Tirtan yang bisa bertahan dalam suasana diam.

"Are you okay?"

Lana tetap terdiam cemberut. Tirtan akhirnya tidak tahan segera di ketepikannya mobil untuk berhenti berbicara. "Aku salah apa kali ini?"

"Aku mau pulang." Ucap Lana datar, tak mengindahkan pertanyaan Tirtan barusan.

"Lana, kita bisa bicara baik-baik."

"Bicara baik-baik? Kamu pikir aku bisa bicara baik-baik saat ini?" Tanya Lana dingin.

"Kenapa, hun?" Tirtan bertanya tak mengerti.

"Kamu tanya kenapa? Masalahnya ada di kamu. Kamu dengan gamblangnya mau saja bicara secara pribadi dengan dia."

Tirtan secara tak sadar tahu 'dia' adalah Erisa. "Aku kan belum mau, hun. Masih pikir-pikir tadi."

Lana mendengus. 'Sama saja. Ujung-ujungnya kamu juga bakalan mau."

"Kamu cemburu?" Tirtan bertanya dengan nada heran.

Lana mendelik tajam pada Tirtan, lepas sudah emosinya. "Aku tak mau tunanganku selingkuh! Kalau kamu mau kita tetap tunangan seperti perjanjian kita ya kamu juga mesti jaga diri lah. Aku gak sudi di cap sebagai perempuan bodoh yang mau saja di tipu dan di selingkuhi oleh tunangannya!"

Tirtan sedikit kaget dengan ledakan amarah Lana. Akhir-akhir ini mereka selalu dalam keadaan damai tentram. "Sayang, aku bicara dengan Erisa bukan berarti aku selingkuh dengannya. Apalagi dia pernah jadi sekertarisku jadi bisa jadi yang ingin dibicarakannya itu menyangkut pekerjaan."

"Kan di kantor bisa!" Mata Lana kini mulai tampak berkerlip-kerlip, berkaca-kaca.

"Pelan-pelan, hun." Tirtan mencoba menenangkan Lana. Sedikit panik melihat Lana yang tampaknya akan meneteskan airmata. "Kami sudah tidak kerja di kantor yang sama."

"Maksudmu dia bukan sekertarismu lagi?" Mata berkaca-kaca itu seketika hilang.

Tirtan mengangguk lega. "Iya."

Lana terdiam. Ia tidak mau bertanya, karena entah kenapa dia tahu kalau Tirtan sengaja memecat sekertarisnya itu demi menenangkan Lana. Suara Tirtan menembus alam bawah sadar Lana. "Sudah baikan, hun?"

Lana kembali mendelik menatap Tirtan. "Kamu kalau mau tunangan sama aku harus bisa tahan untuk tidak macem-macem. Detik dimana kamu mulai gak bener, saat itu juga kita putus." Lana menatap cemberut ke Tirtan. "Mengerti?"

Mau tak mau Tirtan sedikit bangga juga pada Lana. Dibalik sikapnya yang kekanakan ternyata Lana juga mampu mengutarakan keinginannya dengan jelas, walaupun dengan cara yang kekanakan juga. "Mengerti." Tirtan mengangguk mantap.

"Ya sudah, ayo pulang." Lana segera berpaling lantaran tatapan Tirtan yang mampu menggoyahkannya. Tirtan kemudian kembali menjalankan mobil. Selama perjalanan hingga sampai di depan rumah Lana Tirtan berulangkali menggenggam tangan kanan Lana. Ingin menetralisir perasaan Lana yang mungkin masih marah.

Lana akhirnya bernapas lega ketika tiba di depan rumahnya. Jantungnya berdegup tak karuan saat Tirtan menggenggam tangannya tadi. Tirtan keluar mobil cepat dan membuka pintu sisi penumpang untuk membantu Lana turun dari mobil.

Mau tak mau Lana menawarkan kesopanan pada Tirtan. "Mau mampir?"

Tirtan menggeleng. "Sudah malam. Lain kali saja." Segera ditundukkan wajahnya. Lana yang melihat gestur tubuh Tirtan bersiap merelakan jidatnya dikecup Tirtan Lagi. Tapi ternyata bukan jidat Lana sasaran bibir Tirtan kali ini melainkan bibirnya.

Lana merasakan kecupan hangat dibibirnya. Kecupan itu tak berhenti sampai situ saja. Dapat dirasakan Tirtan menggigit kecil bibir bawahnya kemudian mengecupnya lembut sekali lagi. Begitu Tirtan melepaskan kecupannya Lana kembali cemberut memandang Tirtan yang saat ini sedang tersenyum cengengesan.

Tangan Lana terangkat kebibir Tirtan. "Tuh kan, belepotan lipstik. Kamu sih main cium-cium sembarangan." Wajah Lana menghangat dan merona.

"Resiko, hun." Tirtan terseyum konyol. Kemudian menangkap tangan Lana yang masih menghapus lipstik yang belepotan dibibir Tirtan. "Pulang dulu, hun."

Lana mengangguk. Tirtan melepaskan tangan Lana kemudian berbalik masuk ke pintu kemudi. Lana berjalan masuk kerumah begitu mobil Tirtan tak tampak lagi di pandangan. Lana mulai bertanya-tanya sejauh apa sebenarnya hubungan mereka berdua. Buktinya ia rela-rela saja dikecup Tirtan berkali-kali.

Ah sial, sepertinya Tirtan menjadi pelampiasannya dari Enggar. Lana tak ingin mengakui itu, jadi semoga saja pelampiasan ini takkan menyakiti Tirtan maupun dirinya nanti. Dan juga kalau bisa, semoga Tirtan tidak tahu hal ini, harap Lana dalam hati.

***

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Terimakasih bagi yang sudah membaca sampai sini. Maaf bila ada kesalahan penulisan. Jangan segan-segan menyumbangkan kritik, saran, maupun ide. Vote juga kalau kalian berkenan, ehehehe. Itu semua akan sangat membantuku mewarnai imajinasiku ini. :)

-na

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

150K 7K 29
𝙁𝙊𝙇𝙇𝙊𝙒 𝙎𝙀𝘽𝙀𝙇𝙐𝙈 𝘽𝘼𝘾𝘼~ ____________🕳️____________ Jika ditanya apakah perpindahan jiwa keraga lain, kalian percaya? Menurut saya perc...
272K 49.3K 11
"Setiap kali Bapak merasa dunia nggak berpihak pada Bapak, ingat putri cantik Bapak. Dia butuh ayah yang tegar, bukan yang cengeng dan cuma bisa prot...
3.3K 605 5
Joshua tahu masa lalu telah menciptakan jarak di antara hubungannya dan Dahayu yang semula sedekat nadi. Hanya kecewa yang masih membekas, amarah yan...
210K 13.3K 58
Niat hati kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan duda anak 1 yang sialnya masih tampan itu, Herna malah harus terjebak menikahi pria k...