It's a Life Disaster!

Oleh NaRamadani

623K 19.7K 945

Alananda Mitha Hermawan, hidup bahagia dan santai saja selama ini. Namun kejadian nyaris bangkrut, nyaris dij... Lebih Banyak

Prolog
1. Alananda Mitha Hermawan
2. Dia
3. Tirtan Putra Bimawangsa
4. Hitam
6. Posesif
7. Enggardian Suta
8. Ambang Batas
9. Menyerah
10. Sindrom Pra-Nikah
11. Halang Rintang
12. Seindah Kita
13. Hitam Itu Lagi
14. Serasa
15. Arah Hati
16. Derai Air
17. Tersadar
18. Nila Setitik
19. Maaf
20. Akhir Kisah
Epilog

5. Perpanjangan Waktu

25.8K 838 20
Oleh NaRamadani


Waktu menunjukkan pukul 12 siang. Waktunya istirahat, lunch dan sebagainya. Lana menggeliatkan tubuhnya layaknya kucing sehabis bangun tidur. Rasa nyaman seketika terasa di seluruh tubuhnya yang teregang karena geliatannya itu. Segera dibereskannya mejanya setelah memutuskan restoran mana yang menjadi tempat kunjungannya siang ini. Kegiatan Lana terinterupsi oleh deringan smartphonenya. Caller ID yang tertera membuat Lana bingung sejenak ingin mengangkatnya atau tidak. Dengan agak tidak rela akhirnya diputuskan untuk menjawab panggilan telepon itu.

"Halo." Suaranya diusahakan se-excited mungkin.

"Halo, Lana?" Suara om Bima terdengar bahagia seperti biasanya.

"Iya om, ini Lana. Ada apa?" Lana menjawab sambil tersenyum. Mau tidak mau kebahagiaan yang dirasakan om Bima juga menular.

"Sibuk?" Tanya om Bima dengan suara renyahnya.

"Nggak om. Ada yang bisa dibantu?"

"Asal tidak merepotkan saja." Jawab om Bima.

Sebenarnya ini waktunya lunch, tapi tak apalah sekali-kali membantu, pikir Lana dalam hati. "Kalau Lana bisa, Lana pasti bantu kok" Lana meyakinkan.

"Tolong belikan tempura di toko makanan jepang yang dekat stasiun itu, bisa?" Suara Pak Bima terdengar ragu.

"Oh, Lana bisa kok. Om suka tempura ya? Mau diantar kemana nih?" Lana tersenyum.

"Bukan untuk om, tapi untuk Tirtan. Bisa kamu antarkan ke kantornya?" Kali ini Pak Bima memperdengarkan nada yang sepertinya tidak bisa ditolak oleh Lana.

Lana yang semulanya tersenyum sedikit menghilangkan senyumnya. "Bisa kok om."

Om Bima mengucapkan terima kasih dan menutup telpon, meninggalkan Lana yang tak tahu bagaimana sikapnya nanti. Selama ini dia selalu menghindari bertemu dengan Tirtan,  kecuali jika ada hal yang memang memaksa mereka bertemu seperti makan malam bersama keluarga setiap minggu dan tentu saja hal-hal remeh yang diusahakan orangtua mereka agar hubungan mereka menjadi lebih dekat, seperti saat ini.

Lana juga masih kesal dengan sifat Tirtan yang suka seenaknya mencium dirinya. Lana merasa rugi lahir batin, walaupun takkan pernah sudi ditunjukkannya pada Tirtan karena tahu jika hal itu terjadi Tirtan akan semakin meningkatkan intensitasnya dalam mempermainkan Lana. Dengan menggerutu akhirnya Lana meninggalkan kantor demi membeli tempura untuk Tirtan.

Sepanjang perjalanan yang dilakukannya hanya manyun dan cemberut. Sedikit tidak rela membawakan makanan untuk Tirtan. Sesampainya di restoran jepang Lana langsung memesan tempura untuknya dan untuk Tirtan. Setelah menunggu beberapa saat dan membayar akhirnya ia melanjutkan perjalanan ke kantor Tirtan.

Lana memarkir mobilnya di depan kantor Tirtan dan keluar mobil sambil menenteng kotak makanan berisi tempura. Sambil menghela nafas ia kemudian mengambil ponselnya dan mencari nama Tirtan kemudian menghubunginya sembari berjalan kearah lobby kantor.

***

Sesampainya di lantai teratas gedung itu segera ditujunya ruangan Tirtan atas petunjuk yang baru saja diterangkan Tirtan lewat panggilan telepon.

"Ada yang bisa dibantu?" Ucap Erisa yang mendongak menatap tamu yang tiba-tiba ingin memasuki ruangan Tirtan.

Lana mengangkat sebelah alisnya, mengenali wajah Erisa. "Saya ingin bertemu Pak Tirtan."

Erisa yang juga tampaknya mengenali Lana kemudian memasang ekspresi tidak suka. "Maaf, Tirtan sedang tidak menerima tamu."

Lana mendengus cantik, menyadari sedikit aroma ketidak profesionalan sang sekertaris. "Oh ya? Itu masalah Pak Tirtan. Bukan masalahku." Lana menegur halus pemanggilan nama Tirtan oleh Erisa.

Erisa sedikit tergagap, "Tapi-" kalimatnya takkan pernah usai karena saat itu Lana sudah melangkah tak peduli dan membuka pintu yang diperkirakannya sebagai pintu ruangan Tirtan. Erisa mengejar dari belakang.

Tirtan terlihat menoleh menatap Lana yang melewati pintu masuk ruangannya. "Tirtan. dia memaksa masuk seenaknya." Tiba-tiba Erisa menginterupsi mengadukan Lana pada Tirtan.

Tirtan mengernyitkan keningnya mendengar ucapan Erisa. Tak bisakah Erisa berbicara lebih terus terang lagi mengumumkan kepada siapapun yang mendengar bahwa hubungan mereka lebih dari sekedar bos dan sekertaris?

"Pak Tirtan sendiri yang mengijinkan saya tadi masuk. Jadi keluarlah. Lakukan peranmu sebagai sekertaris." Tegur Lana kali ini lebih terang-terangan.

Erisa mengernyit tidak suka pada Lana dan memandang Tirtan meminta pembelaan. Tirtan memandangnya tajam dan memerintahkannya menyiapkan semua berkas yang telah menumpuk dari kemarin. "Jangan lupa tenggat waktunya jam 3 sore ini." Tambah Tirtan dengan dingin.

"Baik, Pak." Erisa mencebik tak suka dan berjalan keluar ruangan dengan hati panas.

Sepeninggal Erisa, Lana berbalik memandang Tirtan dengan tatapan tidak suka. "Kamu seperti tipikal lelaki hidung belang manapun, menjalin affair dengan sekertarisnya." Celanya langsung didepan wajah Tirtan.

Tirtan tentu saja mengabaikan celaan Lana. Dia berdiri dari mejanya dan membimbing Lana pada se-set sofa dan sebuah meja kaca yang terletak di sudut ruangan.

Setelah duduk Lana kemudian membuka bungkus dari kotak makanan jepang yang sedari tadi dibawanya. Di letakkannya sekotak di depan Tirtan kemudian sekotak lagi untuknya.

"Belum makan?" Tanya Tirtan.

Lana memandang Tirtan seakan Tirtan orang idiot. "Menurutmu?" Ia kembali membuka berbagai bungkusan yang dibawanya.

Tirtan mengerti dengan sikap jutek Lana kali ini. Tak seorangpun wanita yang senang bertemu dengan kekasih tunangannya, walaupun pertunangan mereka hanya pura-pura. "Hmm."

Sambil berjalan kearah lemari pendingin kecil Tirtan, Lana menjelaskan alasannya berada di kantor Tirtan saat ini. "Om Bima yang menyuruhku membawakan makanan untukmu." Lana membuka lemari pendingin tersebut dan mengambil dua botol aqua.

Tirtan ber'oh' ria. "Sudah kuduga. Kamu tidak bakalan mau membawakanku makanan secara sukarela." Lana hanya menatap tak suka pada Tirtan dan mengangsurkan sebotol aqua dingin pada Tirtan.

"Kamu kalau cemberut semakin lucu dilihat." Ucap Tirtan sambil terus memperhatikan wajah Lana yang kini telah duduk kembali disampingnya membuka bungkusan apapun itu.

Kali ini Lana takkan terpancing. Dibiarkannya komentar tersebut berlalu tanpa balasan darinya. Diangsurkannya sumpit pada Tirtan yang menerimanya dengan sedikit heran. "Sayang, kamu tidak menaburkan racun di makananku kan?"

"Apaan sih?! Kalau tidak mau makan yah tidak usah makan! Buang saja!" Akhirnya pertahanan Lana jebol sudah.

Tirtan tersenyum melihat reaksi Lana, dirinya lebih suka Lana yang marah-marah ketimbang Lana yang sinis. "Nggaklah, hun. Masa aku buang hasil jerih payahmu? Nanti kamu malah ngambek lagi. Iya kan, sayang?" Tirtan semakin menggoda Lana.

"Tirtan! Aku punya nama. Kamu jangan asal manggil-manggil sembarangan deh." Lana membentak Tirtan, semakin jengah dengan rayuan basi Tirtan dan merasa lebih bodoh lagi karena bisa terpengaruh rayuan basi itu. "Cepat makan." Perintahnya.

Tirtan tersenyum, kemudian memulai makannya. Lana yang masih marah bersiap-siap ingin berdiri, meraih tasnya dan kembali ke kantor. Tirtan segera menangkap pergelangan tangan Lana. "Kamu tidak makan?" Tanyanya heran.

"Ogah, nafsu makanku sudah hilang." Lana berusaha menyentak tangan Tirtan yang memegang pergelangan tangannya.

"Kamu mesti makan dulu." Kali ini kalimat Tirtan tegas. Menolak melepaskan tangan Lana.

Lana yang semula hendak pergi akhirnya kembali duduk ditempatnya setelah sesi tatap menatap -atau lebih tepatnya 'totot-melotot'-  dengan Tirtan. Ia menyerah, tidak ingin memulai pertengkaran lainnya dengan Tirtan.

Dimakannya dengan cepat tempura yang ada dihadapannya. Ingin selesai secepat mungkin. Tirtan hanya mengangkat sebelah alisnya melihat tingkah Lana.

Setelah lama berdiam diri lantaran sudah selesai makan semenjak tadi, Lana akhirnya merasa lega setelah melihat Tirtan menghabiskan makanannya juga setengah porsi tempura milik Lana yang tak mampu dihabiskan Lana tadi.

Sekarang dia bisa bebas keluar dan melanjutkan kegiatan di  kantornya sendiri. Segera Lana berdiri berjalan kearah kulkas kecil disudut ruangan dan mengambil botol aqua baru untuk Tirtan. Mau tidak mau Lana menyadari Tirtan meminum air lebih banyak daripada orang normal saat ia sedang makan.

Setelah meletakkan botol tersebut disamping botol kosong Aqua yang baru saja habis diminum Tirtan, Lana mengambil tas hitam kesayangannya kemudian berbalik dan melangkah namun terhenti oleh suara Tirtan tiba-tiba. "Sampai kapan kita mau tunangan?"

"Maksud kamu?" Lana berbalik kembali kearah Tirtan.

"Maksudku, sampai kapan kita harus menjalani tunangan pura-pura ini?" Tirtan menerangkan.

"Hmm, sebenarnya aku tidak tahu." Jawab Lana ragu-ragu, mengurungkan niatnya untuk pergi alih-alih duduk kembali menghadap Tirtan.

Tirtan tersenyum dalam hati. "Bagaimana kalau pertunangannya agak lama?" Tirtan memulai ucapannya dengan hati-hati.

"Maksud kamu?" Lana tersenyum sinis dan menambahkan "Kamu tidak berharap kita melangkah ke jenjang berikutnya kan? Jenjang kehancuran."

"Apa kamu tidak memberi batas waktu tertentu untuk pertunangan ini?" Tirtan tak mengindahkan ucapan sinis Lana barusan.

 "Tirtan, aku jujur tidak tahu sampai kapan pertunangan ini dapat berlangsung. Tapi tak mungkin selamanya." Lana menjawab dengan diplomatis. Sedikit banyak menyayangkan kalau ternyata Tirtan sudah ingin mengakhiri pertunangannya. Beberapa bulan terakhir ini hidupnya tenang tanpa pertanyaan dan desakan pernikahan dari orangtua Lana.

Tirtan tetap terdiam, menimbang kata-kata yang akan diucapkannya. Lebih baik dipikir hati-hati daripada Lana keberatan dan tidak mau bekerja sama."Aku berpikir, sebaiknya pertunangan ini tetap berjalan seperti biasa, sampai salah satu dari kita menemukan pasangan yang ingin diajak serius, kurasa sampai disitulah pertunangan ini berlangsung."

"Apa alasanmu mengajukan hal itu? Bisa jadi menemukan pasangan serius itu membutuhkan waktu agak lama." Alana berkata dengan cepat, pikiran logisnya sedang berjalan dengan sempurna.

"Sebenarnya alasanku sama seperti alasanmu saja. Aku ingin melihat wajah bahagia ayahku bertahan sedikit lebih lama diwajahnya." Tirtan mengatakan dengan gamblang.

"Dan dunia penuh dengan orang-orang baik hati yang ingin berbuat apa saja demi membahagiakan orangtuanya." Lana menanggapi dengan sarkasme yang ditanggapi Tirtan dengan tidak bereaksi apa-apa. Ia pun melanjutkan "Katakan Tirtan, manfaat apalagi yang kamu dapatkan dari pertunangan ini? Kalau soal kehangatan wanita kurasa kamu sudah mendapatkan dari sekertarismu itu kan? Bukankah itu tujuan utama seseorang menjalin affair dengan sekertarisnya?" Sepertinya Lana masih marah tentang ketidaksetiaan Tirtan pada pertunangan ini.

Tirtan tak mengindahkan sarkasme Lana barusan. "Aku juga bisa terbebas dari rentetan pertanyaan ayahku tentang pernikahan." Ia mengatakan alasan  yang sama seperti alasan Lana menjalani pertunangan ini.

"Kenapa kau tidak menikah saja? Om Bima bakalan bahagia dan juga sudah pasti takkan menanyakan pernikahan lagi padamu" Lana menangkis alasan Tirtan dengan mudah.

Tirtan mengangkat sebelah alisnya. "Hal yang sama juga ingin kuucapkan padamu." Lana berjengit tidak suka pada pria itu. Sambil tetap menampakkan wajah tenang Tirtan kembali berbicara dengan nada dingin. "Pernikahan hanya membuat perasaanku terikat. Mungkin nanti aku akan menikah, tapi bukan saat ini. Saat pekerjaanku lebih membutuhkan perhatian daripada seorang istri." Secara gamblang, pernyataan Tirtan membuat Lana semakin kesal saja.

"Pada intinya, pengaturan waktu pertunangan ini tidak merugikan siapa-siapa."  Tirtan kemudian melancarkan kalimat penaltinya, "Bagaimana? Apakah kamu menolak membantuku, padahal aku telah membantumu dengan tetap mempertahankan hubungan ini?" Tirtan tersenyum manis. "Tolonglah."

Lana tahu ucapan 'tolong' yang barusan didengarnya sarat akan rayuan gombal Tirtan. Tapi dia tidak dapat memungkiri bantuan Tirtan dalam menyenangkan hati orangtuanya. Mau tidak mau Lana melihat sisi logisnya, pertunangan tetap berjalan dan para tetua tetap tenang. Tidak ada ruginya. Lana mengakui itu dalam hati. Juga tidak ada untungya bagiku. Tambah Lana dalam hati, tetap saja jengkel dengan sikap Tirtan yang sok peduli pada ayahnya, walaupun sebenarnya Tirtan memang peduli akan kebahagiaan ayahnya. Tapi tetap saja! Lana tidak ingin mengakui sisi diri Tirtan yang penuh kasih itu.

"Tapi bila pada akhirnya kita akan berpisah, tetap saja ada yang akan tersakiti. Terutama orangtua kita. Niat awal ingin membahagiakan mereka malah berujung memosisikan mereka sebagai korban utama kejahatan kita." Lana memaparkan kondisi yang kemungkinan akan terjadi pada mereka semua, membuat Tirtan terdiam.

Setalah terdiam sesaat, Tirtan menjawab kondisi Lana. "Tak bisakah kamu bayangkan kemungkinan lainnya? Bisa jadi kita malah takkan berpisah sama sekali."

"Maksudmu kita bisa saja menikah? You wish! Bukannya tadi kamu sendiri yang mengatakan tidak mau menikah?" Lana mempertanyakan ketetapan Tirtan.

"Itukan saat ini, aku tak tahu kalau nanti. Segala kemungkinannya bisa saja terjadi, sayang. Dan kalau harus menikah denganmu aku takkan keberatan kok." Tirtan tersenyum kalem.

"Jangan panggil aku sayang! Kita bukan siapa-siapa. Dan juga aku yang keberatan kalau harus menikah denganmu!" Akhirnya Lana mencak-mencak.

"Sayang, kita tak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Yang terpenting adalah saat ini orangtua kita merasakan ketenangan."

"Itu kata-kata orang yang tak bertanggung jawab."

"Alana, kenapa setiap perkataanku kamu selalu putar balikkan?" Tirtan kembali merayu.

"Karena aku tidak percaya padamu." Lana menarik napas sesaat kemudian melanjutkan, "Kita tidak akan menikah. Tidak." Lana menatap tajam mata Tirtan.

"Kenapa? Aku mau saja menikah denganmu. Kamupun bisa saja mau menikah denganku." Tirtan sebenarnya sependapat dengan Lana, namun entah kenapa Tirtan tetap mengungkapkan hal yang dapat membuat Lana semakin kesal.

"Berarti itu pernikahan tanpa cinta." Tandas Lana langsung.

"Cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu, hun." Tirtan semakin meyakinkan Lana.

"Argh! Kenapa kita membahas pernikahan? Kita sedang membicarakan hal lain kan?"

"Kamu yang pertama kali mengucapkan kata menikah. Bukan salahku berarti." Ucap Tirtan dengan tawa yang berusaha ditahannya.

Lana menggeratakkan giginya tanda frustasi. Berbicara dengan Tirtan selalu membuatnya frustasi, walaupun kadang juga dapat menenangkannya. Lana benci mengakui itu.

"Honey? Are you alright?" Tirtan memandang cemas pada Lana yang tampak bagaikan jiwanya melayang perlahan keluar dari tubuh. Sekarang Tirtan mulai menyesali kelakuannya menggoda Lana sedari tadi. "Lana, aku minta maaf bila cara penyampaianku salah. Tapi bisakah kita bekerjasama kali ini? I beg you." Tirtan bersuara dengan lembut penuh permohonan. Walaupun ini adalah pertama kalinya ia memohon pada seorang wanita selain almarhumah ibunya tapi ia tidak merasakan perasaan janggal sedikitpun. Tirtan sedikit heran dengan fakta ini.

"Please?" Tirtan masih memohon.

Lana memandang wajah Tirtan yang penuh permohonan padanya, berpikir dan menimbang-nimbang lumayan lama dan akhirnya mengatakan,

"Oke." Persetujuan Lana akan hal ini dilakukan dengan berat hati tentunya.

"Thank's honey." Tirtan tersenyum senang sembari spontan memeluk erat tubuh Lana.

Lana memelototkan mata dan memanyunkan bibirnnya. Ia bergerak kaku ingin melepaskan pelukan Tirtan yang membuat degupan jantungnya sedikit meningkat. Setelah Tirtan sadar dan melepaskan perlahan pelukannya, Lana  berdiri sambil menenteng tasnya pergi dari ruangan Tirtan yang semenjak tadi sangat ingin dilakukannya. Tirtan turut berdiri mengantarkan Lana sampai kedepan pintu ruangannya. "Terima kasih tempuranya." Tirtan memajukan tubuhnya kearah wajah Lana hendak melakukan kebiasaannya mengecup kening Lana.

Lana yang melihat tanda-tanda itu segera memalingkan wajahnya kearah lain. "Jangan cium-cium sembarangan." Ucapnya menatap kearah pintu yang masih tertutup rapat.

"Kita tunangan kan?" Tirtan mengingatkan dengan becanda.

"Kamu adalah tunangan yang menjalin affair dengan sekertarismu, remember?" Tandas Lana langsung.

"Sepertinya aku memang harus meluruskan masalah ini terlebih dahulu, agar tunanganku ini tak cemburu, cemburu buta pula." Tirtan tersenyum lucu sambil terus menatap wajah Lana yang mulai bersemu. "Safe drive, hun." Diurungkan niatnya untuk mengecup Lana alih alih menangkup lembut pipi Lana dengan sebelah tangannya sementara tangan lainnya membukakan pintu ruangannya untuk Lana.

Lana hanya mengangguk kaku sembari melangkah keluar ruangan Tirtan.

Tirtan memandang kepergian Lana dengan senyum sembari menutup kembali pintu ruangannya. Ia tahu dibalik mood dan emosi Lana yang mudah naik dan turun, Lana adalah orang yang logis dan baik hati. Jadi itulah sebabnya Lana dengan mudahnya walaupun berat hati menyetujui permintaannya.

Begitu Tirtan kembali duduk di kursi dibalik meja kerjanya, Erisa menghambur masuk dengan tatapan yang dapat diproduksi untuk mematikan berbagai macam serangga, "Apa maksudnya tadi?!" Erisa membentak Tirtan.

Tirtan menatap datar Erisa. Memilih mengabaikan bentakan Erisa barusan. "Panggilkan office boy untuk membereskan sisa makan siangku." Tirtan berkata tak peduli pada Erisa.

Seketika Erisa berbalik kesudut ruangan tempat satu set sofa dan meja kaca diletakkan. Tatapannya mengarah ke kotak makanan yang belum sempat dibereskan oleh Tirtan diatas meja kaca itu. Ia berbalik kembali membentak Tirtan. "Tirtan!"

Kali ini pandangan Tirtan mengarah lurus pada wajah Erisa. Ekspresi yang ditunjukkan Tirtan kali ini adalah ekspresi tajam dan dingin, mematikan. Erisa seketika tersadar akan posisinya di kantor ini. "Ma, maaf." Decitnya ketakutan.

Tirtan mengangkat sebelah alisnya mendengar kata maaf Erisa. Saatnya menyingkirkan hal yang tak berguna.

***

Lana mengemudikan mobilnya kembali ke kantornya dengan perasaan tak menentu. Ia baru saja menyetujui permintaan Tirtan. Akankah ini akan baik-baik saja nantinya? Ia takut menjadi pihak yang dirugikan, bahkan terluka akhirnya. Bukan berarti ia akan terluka, namun ia hanya berjaga-jaga akan segala kemungkinan yang terjadi.

Beberapa bulan terakhir semenjak pertunangannya dengan Tirtan, ia tidak tahu lagi bagaimana perasaannya yang sesungguhnya. Banyak hal yang mengombang-ambingkan perasaannya, dari Tirtan dan seyumnya yang menawan, kecupan-kecupannya dan juga Enggar yang berhasil menghancurkan hatinya berkeping-keping. Lana saat ini benar-benar tak tahu lagi dengan perasaannya sendiri. Ia bingung. Dan dalam kebingungannya itu ia dengan mudahnya memberikan persetujuannya pada permintaan konyol Tirtan. Sekarang yang ada adalah rasa cemas, benarkah keputusannya menyetujui permintaan Tirtan?

Belum lagi sekertaris Tirtan yang bernama Erisa itu. Saat dirinya keluar dari ruangan Tirtan tadi tatapan Erisa seakan ingin melahapnya hidup-hidup. Lana tak terintimidasi sedikitpun, ia justru merasa sedikit kasihan pada Erisa karena entah bagaimana ia tahu Tirtan akan memutuskan wanita itu. Lana kemudian menghapus rasa ibanya dan menatap angkuh pada Erisa dan berlalu begitu saja tanpa menoleh dua kali pada Erisa. Ia takkan kalah dari Erisa, takkan.

Lana tersenyum, merasa puas dengan dirinya sendiri. Ia tak peduli dengan statusnya sebagai tunangan pura-pura Tirtan saat ini. Lana akan berlaku sebagai tunangan posesif pada Tirtan, hingga Tirtan tahu konsekuensi dari Lana bila ia ingin memperpanjang pertunangan ini. Rasakan! Lana tertawa puas. Meskipun suatu saat nanti mereka akan kembali menjadi orang asing satu sama lainnya, Lana tak peduli. Saat ini ia akan berusaha semampunya menyiksa Tirtan dengan ke-posesif-annya.

Lana kembali tersenyum puas akan solusi yang berhasil disusunnya serta cara menyiksa Tirtan karena dengan seenaknya meminta perpanjangan waktu pertunangan ini darinya. Namun rasa cemas itu kembali menelusup kedalam hatinya, karena hati kecilnya pasti mengetahui bahwa entah bagaimana caranya, ia pasti akan merasa terluka. Hanya berharap lukanya tidak terlalu dalam. Tidak sedalam itu.

***

  

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Like it? Vote and comment.



Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

4.4K 792 33
Berkisah tentang Maya beserta pria yang tak di sangka akan menjadi jodohnya Eajxwendy anak_ayambiru 2023
608K 85.1K 36
Mili sangat membenci kondisi ini. Di usianya yang baru 22 tahun, dia dikejar-kejar oleh Mamanya yang ingin menjodohkannya karena Mili harus menikah s...
3.3K 605 5
Joshua tahu masa lalu telah menciptakan jarak di antara hubungannya dan Dahayu yang semula sedekat nadi. Hanya kecewa yang masih membekas, amarah yan...
602K 41K 48
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...