Sinfully Obsessed

Av Song_Jia

7.6K 440 125

Love me or hate me, both are in my favor. If you love me, I'll always be in your heart. If you hate me, I'll... Mer

Prolog
Chapter One
Chapter Two
Chapter Three
Chapter Four (Full)
Chapter Five (Teaser)
Chapter Five
Sinfully Obsessed Cast
Info

Chapter Four (a)

707 44 24
Av Song_Jia


"Hot tub besar Peter di halaman belakang sudah menunggu kita." Larry menjilat bibir bak serigala lapar, tak diragukan berharap dapat menelanjangiku secepatnya. "Bukan masalah bila tidak membawa bikini, kau bisa mengenakan pakaian dalammu saja."

Yeah, pasti itu harapanmu. "Sekali lagi, tidak, terima kasih. "

Bermaksud menghindari Kingsbury bertamu--kemungkinan secara paksa--pada malam hari setelah Felicia pulang dan meninggalkanku seorang diri di rumah, aku pun menerima ajakan Sammy ke pesta yang diadakan kekasihnya. Peter sudah biasa mengadakan pesta liar setiap kali orangtuanya pergi ke luar kota seperti saat ini.

Tetapi aku mulai menyesal, mendadak prospek bertengkar dengan Kingsbury tampak lebih menggiurkan ketimbang rasa bosan dan jengkel yang kurasakan sekarang. Terkurung di rumah yang kelewat sempit untuk menampung nyaris satu sekolah tanpa pendingin ruangan memadai, hampir dibuat tuli oleh lagu metal yang diputar terlalu kencang, ditambah lagi harus mencoba bersikap ramah pada salah seorang teman Peter yang getol merayu... Singkatnya aku tak sabar ingin pulang.

Dan aku pasti sudah pulang sejak tadi bila saja tidak mengkhawatirkan Sammy. Sesuatu mengganggu pikirannya, aku melihat jelas kekalutan yang membayang di wajahnya sewaktu menjemputku sejam jam lalu. Sesampainya di sini, Peter memanfaatkan kondisi Sammy, menyodorkan sebotol vodka--yang dia curi dari gudang penyimpanan ayahnya--pada sahabatku itu.

Sammy memang selalu menampilkan persona gadis pembangkang, tetapi dia belum pernah melanggar aturan meminum alkohol bagi anak di bawah umur sampai detik ini. Sesuatu yang amat buruk pasti telah terjadi di rumahnya. Dan aku tak akan membiarkan Peter mengambil keuntungan dari Sammy yang mabuk. Akan lebih mudah seandainya Sammy bersedia kuajak pulang, namun dia terus menolak.

"Semakin mengacuhkanku, kau justru menarikku lebih dekat, Phoebe" bisik Larry tepat di telingaku. Berbeda dari efek yang ditimbulkan Kingsbury, napas berbau rokok Larry menyebabkan aku ingin muntah.

Peter dan sebagian besar partygoer yang hadir malam ini berasal dari sekolah menengah pertamaku--di sana jugalah dulu Sammy dan Peter bertemu. Meski sekarang berbeda sekolah dan tidak lagi berada di bawah kekuasaan Kingsbury, rupanya tradisi mengabaikan keberadaanku tetap dilestarikan. Sayangnya Larry, teman baru Peter, bukan berasal dari sekolah lamaku; bila tidak dia tak mungkin melancarkan rayuan gencar seperti sekarang.

"Apa kau belum pernah mendengar reputasiku?" aku bertanya acuh, sibuk mengecek pesan teks yang baru saja masuk.

"Ada apa dengan reputasimu?" Larry balik bertanya bingung.

Kau kabur dariku. Lagi.

Senyumku mengembang untuk pertama kalinya malam ini. Belakangan baru akan kusadari bahwa rasa bosan dapat memicu prahara, tetapi detik ini rasa bosan itulah yang mendorongku mengambil foto selfie berlatar keriuhan pesta Peter. Lebih sempurna lagi ketika Larry memaksakan diri ikut dalam fotoku pada detik terakhir. Menahan tawa, aku mengirim foto tersebut kepada Kingsbury.

Detik berubah menjadi menit, namun balasan Kingsbury tak kunjung datang. Setengah jam kemudian, masih tanpa balasan darinya, aku semakin kecewa. Aku mengharapkan reaksi keras, mengapa dia mengabaikan pembangkanganku justru di saat aku paling menginginkan kemarahannya?

"Berani bertaruh, gadis manis sepertimu belum pernah mengenal bad boy. Kurasa karena itu kau bersikap waspada padaku." Ocehan Larry memancing dengus samarku. Boy, seandainya kau tahu seperti apa para pria yang mengelilingiku saat tumbuh besar. "Apalagi murid pria di sekolah swasta mahalmu pasti kelewat jinak untuk bersikap layaknya pria sejati."

Membayangkan Kingsbury dan Miroslav sebagai sosok jinak, aku terpaksa mengalihkan pandangan ke dapur, di mana Sammy dan Peter berada, agar tidak meledak tertawa. Dipikir-pikir lagi, sifat sok tahu Larry cukup menghibur, meski rayuannya menjengkelkan. Mungkin aku tidak perlu bertengkar bersama Kingsbury sekedar untuk menghalau kebosanan.

"Kau tersenyum?" Larry terdengar bagai seorang pemenang ketika menyelidik ekspresiku. "Sudah kuduga, sebenarnya kau tertarik padaku--" mendadak ia terdiam. "Ah, begitu rupanya. Kau sudah memiliki kekasih."

Mengerutkan kening, aku menoleh ke arahnya. "Dari mana kau menarik kesimpulan semacam itu?"

"Tidak?" Matanya kembali berbinar penuh harap. "Kalau begitu ini cuma kesalahpahaman?" Ia menunjuk sisi kiri leherku. "Aku mengira seseorang telah menandaimu sebagai miliknya."

Darah menyerbu wajahku, seketika teringat akan gigitan Kingsbury siang tadi. Aku sama sekali tidak menyadari bahwa gigitan tersebut meninggalkan bekas. Apa dia sengaja "menandai" aku agar pria lain mundur? Itukah tujuannya?

"Ada yang lapar?" Juliette menerobos kerumunan ke arahku, membawa sepiring besar tortilla chip dan salsa yang berhasil dijarahnya dari dapur Peter. "Salsanya sangat lezat! Sebelum pulang aku harus tahu Peter membelinya dari mana-- OMG!"

Sontak mematung di tengah ruangan, kulit putih Juliette semakin memucat seolah melihat hantu. Mengikuti arah pandangnya, aku tidak yakin apakah harus tergelak atau mengamuk. Seharusnya aku tidak meragukan kegilaan Kingsbury.

Di sanalah dia, Sean Kingsbury yang agung, melangkah memasuki ambang pintu depan rumah Peter, mengangguk dan tersenyum ramah--bahkan sesekali menjabat tangan--orang-orang yang dikenalnya. Persis seperti politikus menghadapi masyarakat dan pendukungnya semasa pemilu. Tidak sulit membayangkan dua puluh tahun yang akan datang ia menjadi seorang Presiden, melihat betapa mudah dan lihai dirinya mengambil hati serta memanipulasi orang lain.

Kingsbury merupakan perwujudan kesempurnaan dan kesantunan di mata dunia.

"Siapa boneka Ken itu?" Larry menempel padaku, bertanya sembari mengawasi gerak-gerik Kingsbury dengan gaya merendahkan. "Kau mengenalnya, Phoebe?"

Tepat ketika Larry merangkul pundakku, sepasang iris biru kelabu Kingsbury terarah kepada kami. "Sayangnya iya," jawabku seraya menepis lengan Larry. "Juliette, terus awasi Sammy," aku berpesan sewaktu melewati sahabatku itu, sementara dia masih mematung menatap Mirosav yang mendampingi Kingsbury,

Singgah sejenak di mini bar, meraih dua gelas soda cherry, lantas aku meneruskan langkah menaiki tangga menuju lantai dua. Dari deretan pintu kamar yang tertutup rapat terdengar kegaduhan yang berbeda dari musik metal di lantai bawah; para pasangan kekasih tengah menciptakan musik cinta masing-masing.

Menunggu di balkon yang kupilih sebagai tempat berdiskusi, aku mendengar pekik nyaring para gadis dan seruan gaduh para pria. Tampaknya suasana pesta semakin hangat. Beberapa menit kemudian barulah sang iblis menampakkan dirinya.

"Kau bilang ingin membicarakan sesuatu, kita bisa melakukannya di sini," kataku sembari mengangsurkan salah satu gelas plastik merah berisi soda cherry yang kuambil pada Kingsbury. "Tapi sebelum itu, maukah kau memuaskan rasa penasaranku? Bagaimana caramu menemukanku di sini?"

Menyandarkan pundak lebarnya ke kusen pintu, ekspresi Kingsbury keruh selagi mencermati wajahku. "Aku memiliki koneksi," ia menerangkan secara singkat. "Kau sengaja memanasiku," tambahnya setelah hening sejenak.

Menggigit tepi gelas plastik, aku menyembunyikan senyum. Tadi siang faktor kejutan menyebabkan aku panik dan ketakutan lebih dari seharusnya. Kini, kurang lebih telah memperhitungkan reaksinya, aku bisa menghadapi Kingsbury secara lebih tenang dan bermartabat. Lagi pula dia sudah tidak semurka sebelumnya.

"Maksudmu Larry? Dia--"

"Kuharap kau tidak terlalu menyukainya," sela Kingsbury datar.

Sedikit pun tidak. "Kenapa?"

Aku mengenali kilat bengis yang melintas di mata Kingsbury; dulu aku sering melihat kilat serupa setiap kali Daddy ingin menghukum musuhnya. "Sebab kau tidak akan suka pada apa yang ingin kulakukan terhadapnya." Ia terdengar nyaris gembira.

Menempelkan pinggul pada pagar kayu balkon rumah Peter, aku menelengkan kepala, mencoba memahami jalan pikiran Kingsbury. "Kau tak akan terpancing bila tidak menyukaiku, kan? Kupikir selama ini kau membenciku?"

Menegakkan tubuh, Kingsbury maju selangkah mendekatiku seraya menghirup sodanya. Dari tepi gelas plastik tersebut, sepasang mata tajamnya menusukku, tanpa bersuara berhasil mendesakku bergerak-gerak gelisah menutupi kegugupan yang seketika menyeruak. Sihir hitam macam apa yang dia gunakan terhadapku?

Ia mengambil satu langkah lebar lagi, sampai hampir tidak ada jarak di antara kami. Menunduk menatapku sementara kedua tangannya terentang; bertumpu pada pagar di sisi kiri dan kanan pinggulku, Kingsbury setengah berbisik menggunakan nada rendah dan berat khasnya, "Apa yang kurasakan padamu tidaklah sesederhana menentukan hitam dan putih,"

Hatiku mencelos, secara tidak langsung dia membenarkan rasa bencinya terhadapku. Bukan kabar mengejutkan, mengingat perlakuannya padaku bertahun-tahun ini, tetapi sisi konyolku sedikit berharap dia akan mengucapkan dusta putih bila memang berencana memenangkan hatiku.

Mengangkat dagu keras kepala, aku membalas tatapan intensnya. "Kurasa kata yang tepat untuk menggambarkanmu adalah plin-plan," ujarku semanis madu.

Sudut bibir Kingsbury berkedut. "Tepat," akunya tanpa malu.

Tanggapannya membuatku semakin geram. "Bila kau menyukaiku meski sedikit saja, mengapa tidak pernah menunjukkan sisi terbaikmu padaku?"

Awan gelap menyelimuti manik biru kelabu Kingsbury hingga tampak semakin kelam. "Mungkin karena tidak ada setetes pun kebaikan dalam jiwaku."

Jawabannya menyentak jauh ke dalam diriku, sebab aku pun kerap berpikiran serupa dengannya; bahwa tidak ada setetes pun kemurnian di dalam jiwaku.

Berdeham melegakan tenggorokan, aku menurunkan pandangan ke dadanya, mencermati deretan kancing kemeja denimnya dengan keseriusan seorang peserta olimpiade matematika. "Tetapi kau bersikap ramah dan baik pada orang lain."

"Aku tidak merasa perlu memakai topeng di hadapanmu."

"Tolong pertimbangkan lagi, dan kenakan saja topengmu," pintaku masam.

Kingsbury mengangkat daguku menggunakan punggung ibu jarinya hingga kami kembali beradu pandang. "Topengku merupakan kebohongan. Aku tidak akan pernah berbohong kepadamu."

Keningku mengerut begitu dalam sampai terasa menyakitkan. Caranya mengucapkan semua itu menggugah hatiku agar bersyukur bahwa ia memilih selalu bersikap dan berkata jujur padaku, meskipun otakku tahu bahwa sisi jujurnya itulah yang selama ini justru menyiksaku. Dia sedang mencoba memanipulasiku.

Berusaha mendorong dada bidang Kingsbury, aku menghembuskan napas kesal. Sebuah aksi yang berbuah kesia-siaan. Dia terlalu kuat. "Baiklah, bila kau tidak mau mengenakan topeng, bisakah setidaknya kita kembali ke situasi seperti sebelumnya--saling menghindari?"

Kali ini ia benar-benar tersenyum, dan tidak merasa perlu menutupinya. "Sudah terlambat untuk kembali, dan kau bisa menyalahkan dirimu sendiri untuk itu."

"AKU?" suaraku meninggi satu oktaf. "Bagaimana bisa kau menyalahkanku?"

"Sebab aku pasti masih sanggup menahan diri seandainya kau tidak menatapku dengan cara seperti yang kau tunjukkan di country club waktu itu."

Panas merayap dari pipi ke sekujur tubuhku. "Seperti apa... caraku menatapmu?" Selagi melontarkan pertanyaan tersebut, aku menebaknya sendiri dalam hati; pasti bagaikan serigala lapar, persis cara Larry memandangku malam ini.

Kepala Kingsbury turun, mengecup ringan bekas gigitannya di leherku. "Cerminan caraku menatapmu selama ini--meski kau tidak pernah menyadarinya."

Mataku sempat terpejam menikmati sensasi sentuhan bibirnya, namun kemudian aku tersadar dan menguatkan tekad untuk melawan. "Kau pasti salah mengartikan."

Mengangkat kepala, Kingsbury menatap lekat kedua mataku. "Setiap kali kau marah dan menunjukkan kebencian pada sesuatu atau seseorang, irismu akan bersinar cokelat keemasan, berkobar penuh emosi. Seperti itulah warna matamu saat menatapku selama bertahun-tahun ini, meskipun bibirmu mengulas senyum manis."

Dia menyadarinya? "Wow, mengejutkan, ya?" suaraku kental oleh sarkasme.

Sudut bibirnya kembali berkedut. Ia melanjutkan, "Ketika kau tertawa senang dan dalam suasana hati bahagia--seringnya saat bersama kedua temanmu--iris matamu akan berkilau lebih terang, menjadi hijau cerah. Dan itulah warna matamu saat menggodaku di hadapan keluarga kita."

Sudah kuusahakan untuk mengusirnya, namun rasa tersanjung bahwa selama ini diam-diam Kingsbury mengamati detail terkecil mengenai diriku, terlanjur bercokol kuat. "Pasti sekedar efek cahaya," protesku lemah..

Seolah tidak mendengarku, ia meneruskan, "Tetapi, sewaktu kita bermain tenis, kusadari ada paduan warna lain yang baru pertama kali kulihat. Hijau keemasan." Bibirnya perlahan turun, nyaris menyentuh bibirku. "Sama persis dengan yang kupandang detik ini."

Menelan ludah dengan susah payah, aku bertanya, "Menurutmu apa artinya?"

"Nyala hasratmu terhadapku."

Cuma perlu mendongak sedikit lagi, maka bibir kami akan bertemu...

"PHOEBE! Gawat!" pekik histeris Juliette mengejutkanku dan Kingsbury. Serentak kami menengok ke arah sababatku yang berlari mendekat. "Sammy mengamuk!"


To be Continued...


Fortsätt läs

Du kommer också att gilla

162K 11.8K 26
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
1.4M 119K 27
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
967K 47.1K 47
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
16.3M 607K 35
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...