Fated to Love You

Oleh YuniSaussay

307K 19.2K 843

(SUDAH TERBIT) Daviss terjangkit penyakit aneh, dia merasa lidahnya iritasi setiap kali tidak bertengkar deng... Lebih Banyak

Pirang Albino Abran
Something Weird
5 Jurus Jitu
Let's Play! Truth or Dare?
Burning
Mission Impossible
What happen, Daviss?
Kemana Abran si congkak?
Get well soon, Abran!
The Secret Mission
Still...
Need to See U
On Fire
Good News "Naik Cetak"
vote cover
Kuis lagi
pengumuman kuis kemarin
Open Pre-Order Fated to Love You

Lost Side

13.6K 1.2K 57
Oleh YuniSaussay

Angin dingin di penghujung Desember ini mendobarak-dobrak jendela, menyerbu tubuh pemuda tanpa atasan di sudut sofa. Biar, biar saja kebekuan ini mengoyak kulitnya, menembus hingga membekukan dadanya yang masih terasa meletup-letup tanpa sebab. Benarkah tanpa sebab? Ada, tapi sikap arogansinya tak mau mengakui.

BRAK!

Theo mendobrak pintu yang tak dikunci dengan kakinya, kemudian ia menatap ngeri ruang kamar yang sudah luluh lantak seperti habis terkena bom nuklir. "Mate, kau mau mati membeku?" ia berceloteh seraya melangkah mendekat.

Bukan yang pertama kali memang, tapi tetap saja Theo merasa ngeri melihat kebungkaman sahabatnya tersebut. Seingatnya, terakhir kali ia melihat kamar Daviss hancur seperti ini saat sahabatnya itu diterpa cemburu pada Tom, mengira keturunan Wignel itu mendekati Chryssan.

"Tolong..." gumaman rendah itu nyaris tak terdengar oleh Theo, namun telunjuk yang mengarah pada sebuah lemari cukup memberi isyarat untuknya.

Theo mengambil baju hangat serta mantel dari dalam sana, berjalan mendekat dan duduk di hadapan Daviss yang masih menunduk. "Apa yang terjadi?" ia bertanya seraya menyerahkan baju hangat itu, membantu memakaikannya di tubuh keturunan Abran tersebut.

Apa yang terjadi? Daviss masih ingat bagaimana suara seseorang menyerukan namanya seraya menggedor-gedor pintu kamarnya. Tentu Daviss tau kalau itu Chryssan karena seorang Theodore tidak akan sudi membuat tangannya lecet demi mengetuk pintu kamar orang lain.

"Dav, ada seseorang yang datang." Saat itu Hanna mengingatkannya.

Ya, Hanna datang untuk mengiriminya makanan karena sebelumnya Daviss mengirim pesan singkat kalau dia lapar.

"Biarkan saja." sahutnya datar, dia benar-benar masih sebal dengan gadis semak itu. Bagaimana bisa dia berakting berpura-pura peduli padanya, ingin membantunya. Cih, benar-benar menyebalkan! Kenapa sejak awal dia tak pernah bilang kalau dia sudah memiliki kekasih? Membuat dirinya seperti orang bodoh saja, mencemaskan seseorang yang sedang asik berlibur dengan kekasihnya di luar sana.

"Dav, apa tidak dibuka saja? mungkin orang itu ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting padamu." Hanna kembali berceloteh lagi.

"AKU BILANG BIARKAN SAJA, BODOH!"

Gadis itu terkatup, tak berani membantah pemuda di sampingnya. "Baiklah."

Suara pintu di luar sana terdengar terbuka disusul dengan suara seorang gadis yang menggumamkan namanya, 'Abran, kau ada di dalam?'

"Dav..." Hanna berdiri hendak menemui seseorang di luar sana namun pemuda pirang itu justru menariknya hingga jatuh dipangkuannya.

CKLEK! Dan tepat dengan suara pintu kamarnya yang dibuka ia langsung membungkam mulut Hanna dengan bibirnya. Tak ada lumatan, hanya saling menempel dengan ketat untuk menahan rasa sakit di kakinya yang mulai menjalar karena menahan berat tubuh Hanna.

"Abra-" Daviss mendengarnya, suara Chryssan yang tercekat.

Biar saja, biar gadis itu tahu bagaimana rasanya kesakitan, sama seperti dirinya saat melihat gadis lumpur itu dipeluk seorang pemuda di depan gerbang dengan ciuman hangat di keningnya.

Saat terdengar pintu kamarnya tertutup kembali, Daviss segera mendorong tubuh Hanna ke sisi sofa yang lain, mengerang kesal bercampur nyeri di sekujur tubuhnya.

"Apa maksudnya semua ini?!" Hanna berdiri di hadapannya dengan wajah murka.

"Tidak ada."

"Kau sengaja melakukannya untuk membuat miss Chryssan cemburu? Begitukah Daviss?"

"Pergilah, Hanna." pemuda pirang ini bergumam malas.

Iris biru Hanna melebar tak percaya, dia segera memungut mantelnya yang teronggok di lengan sofa. "Kau benar-benar keparat menyebalkan dan tak punya otak!" setelah menyelesaikan kalimatnya ia langsung pergi.

Pikirannya yang sempat tercecer tadi kini sudah kembali saat mendapat tepukan dari Theo. "Aku tak tau apa masalahmu dengan Chryssan, kuharap kalian cepat berbaikan."

Daviss tak menjawab, dia masih tetap bercumbu dengan arogansinya.

"Aku melihatnya ke luar dari sini, dia menangis, mate."

"Bukan urusanku." jawabnya sewot, ia kemudian beranjak menuju ranjangnya dan mengubur diri dibawah selimut tebal. "Ke luar Theo!"

Theo mendengus, "Fine! Setidaknya selama ini aku sudah berusaha menyadarkanmu mate, membantumu dekat dengannya. Tapi rupanya kau terlalu bodoh untuk memahami semua ini."

Theo merasa kesal juga pada sahabat pirangnya, rasanya ia ingin sekali berteriak di telinga Daviss kalau dia sebenarnya mencintai Chryssan dan juga sedang dilanda badai cemburu saat ini. "Mulai sekarang terserah kau mau bagaimana! Pecundang tetap saja pecundang!"

PRANG! Sebuah jam weker baru saja menghantam pintu tepat di mana Theo berdiri, nyaris terkena kepalanya. Dasar pirang idiot! Theo mengumpat kemudian dia pergi dengan bantingan pintu.

*

*

*

Ke-esokan harinya, kelas Cross Culture Understanding.

Pagi ini Daviss sudah rapih dan siap untuk pergi ke kelas, ia berjalan cukup kesulitan dengan tongkatnya. Sial, andai saja ada ramuan perekat tulang seperti di film Harry Potter, pasti dia tak perlu susah-susah memakai tongkat seraya menahan nyeri.

Di koridor dia sempat berpapasan dengan Chryssan yang juga baru ke luar dari lorong asrama murid putri, wajahnya terlihat pucat, bibir yang setiap hari berwarna pink kali ini terlihat membiru, mata dengan lingkar hitam dan rambut kusut. Err... Daviss mengernyitkan hidungnya melihat penampilan Chryssan yang seperti zombie.

Saat sampai di kelas, Daviss mengambil tempat di meja paling belakang, sedangkan gadis semak itu duduk di tempat biasanya dengan si Simmon dan juga busuk Wignel. 'Apa benar yang dikatakan Theo kalau dia menangis? Semalaman? Tidak tidur?'

"Theo!" ia berseru saat melihat sahabatnya baru saja masuk.

"Aku duduk di sini saja," balas Theo seraya menunjuk meja kedua tak jauh dari meja Chryssan. Daviss mendengus, ia tak percaya kalau Theo ikut memusuhinya. Hell, dengan alasan apa dia bersikap begitu hah? "Hey, aku bercanda hahaha..."

"Sialan kau!" kesalnya seraya meninju lengan Theo yang sudah duduk di sampingnya.

Tak lama kemudian profesor Unwin masuk ke dalam kelas, mengabsen murid satu per satu, kemudian menjelaskan mengenai Social Diversity. Bla bla bla.. mata kuliah yang sangat membosankan, sudah kesepuluh kalinya Daviss menguap, lebih parah Theo, dia sudah digondol mimpi dengan dengkuran kecil, beberapa teman yang duduk di belakang juga tak jauh beda dengan Theo, bahkan salah satu dari mereka ada yang sampai mengigau dan mengeluarkan liur yang cukup banyak, itu sangat menjijikan.

Yang bertahan di kelas ini hanya beberapa gelintir orang saja seperti Simmon, Wignel yang matanya setengah meredup, ada Petra yang sedang mencabuti bulu hidungnya agar dia tetap bertahan dari rasa kantuk, dan hey siapa yang tidur di sana... hoho, mungkin ini akan tercatat dalam sejarah sekolah, seorang Chryssan yang selalu perfeksionis disemua mata kuliah kini sudah menjatuhkan kepalanya di atas meja.

"Baik, untuk tugas yang harus kalian kerjakan adalah membuat essay sepanjang 3000 kata, tugas ini akan dikerjakan secara berkelompok. Satu kelompok terdiri dari dua orang-"

Daviss lekas memalingkan wajahnya saat melihat tubuh Chryssan mulai menggeliat dan sekarang sudah menegakkan tubuhnya, menatap profesor Unwin dengan mata menyipit.

"Theodore Huge berpasangan dengan Tom Wignel-"

"Oh sial!" gerutuan itu keluar dari mulut si Wignel yang sok pintar.

"Emily Simmon berpasangan dengan Petra Hudrick."

"Lacey Gillian dengan Dean Martin."

Dan bla bla bla... Daviss sendiri sedang menggeram kesal karena sejauh ini namanya belum dipanggil.

"Prof, namaku belum disebutkan." Ia menginterupsi setelah mengacungkan tangan.

"Ya, Mr Abran, kau berpasangan dengan Miss Chryssan."

"WHAT?"

"Berteriak sekali lagi dalam mata kuliah saya, maka detensi akan menunggumu di akhir pekan." Hardik Profesor Unwin, "Kelas dibubarkan dan jangan lupa kerjakan Essaynya dan kumpulkan sebelum libur tahun baru!"

Daviss mengumpat setelah profesor tua itu menghilang dibalik pintu. "Cih, dasar tua bangka menyebalkan!"

*

*

*

Great hall, jam makan siang.

Ayam panggang, bebek bakar dan juga beberapa salad tersaji di meja sang Cassanova, namun Daviss terlihat enggan menyentuh salah satunya. Berbeda dengan Theo, kawannya itu seperti orang kesetanan saat melihat makanan di atas meja.

Menilik meja sebelah, seorang gadis bersurai cokelat mengembang duduk di sana dengan kedua temannya, sepertinya gadis itu pun sama halnya dengan Daviss yang kehilangan selera makan, ia hanya memangku kepalanya dengan satu tangan, sedangkan tangan satunya mengaduk-aduk bubur dengan tak berselera.

"Theo, mate. Sahabatku, berhenti makan seperti itu, kau membuatku malu." decak Daviss melihat Theo yang menyantap paha ayam di masing-masing tangannya.

"Aku sangat lapar sekali, Dav. Tadi pagi aku melewatkan sarapanku. Dan sekarang perutku menuntut balas dendam untuk menghabiskan semua makanan ini."

Kepala pirang itu melongok, menatap rambut semak di sebelah mejanya, tak jauh dari tempat duduk Theo. "Mate, katakan pada gadis tukang tidur di sebelah mejamu kalau dia satu kelompok denganku dalam essay CCU!"

Theo menoleh ke samping kirinya, "Chryssan, Daviss bilang kau satu kelompok dengannya pada tugas essay CCU."

Reina mengernyit, kemudian ia berujar lirih. "Theo, katakan padanya kalau aku sudah tau."

Theo beralih menatap sahabatnya, "Chryssan bilang dia sudah tau."

"Katakan padanya kalau tugas itu akan dikerjakan setelah makan siang."

Theo kembali menatap Reina, "Chryssan, Daviss bilang tugasnya akan dikerjakan setelah makan siang."

Gadis itu mengangguk, "Aku mengerti, tanyakan padanya mau mengerjakan di mana?"

Brengsek! Kenapa jadi dia yang repot! "Mate, Chryssan bertanya mau mengerjakan di mana?"

"Katakan padanya dia harus datang ke perpustakaa-"

Brak! Pemuda bermarga Huge itu baru saja menggebrak meja. "Bloody hell, aku bukan pos berjalan, jadi kalau mau bicara, sampaikan saja sendiri!" sungutnya kemudian membawa beberapa piring dari meja tersebut menuju meja lain, meninggalkan Daviss yang menganga di kursinya.

Sialan! Bisa-bisanya Theo meninggalkannya seperti ini, berteriak padanya? Daviss menoleh sebentar kemudian dia beranjak dari duduknya dan pergi meningalkan great hall.

Triiing! Sebuah pesan masuk mengagetkan Reina, ia lekas mengambil ponselnya tersebut dan mengecek isi pesannya.

'Perpustakaan. NOW! Jangan buang waktu berhargaku.'

D.A

Selalu seperti ini, bossy! Reina lekas membereskan barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas. "Guys, aku duluan yah."

"Kau mau ke mana?" Emi mengernyitkan keningnya.

"Perpustakaan."

"Apa kau baik-baik saja? wajahmu pucat, kau juga tidak memakan makan siangmu." temannya berujar cemas.

"Katakan saja pada si pirang itu kalau kau tidak bisa mengerjakan hari ini, masih tersisa waktu 3 hari sebelum liburan tahun baru." Tom ikut memberi saran.

Namun Reina menggeleng, ia tak cukup yakin kalau Daviss akan mau. "No, guys. Kalian tahu sendiri dia seperti apa. Oke bye... sampai ketemu di kelas berikutnya."

*

*

*

Reina melangkah gontai, ia tak cukup kuat untuk berjalan jauh tanpa berpegangan pada dinding-dinding di sepanjang jalan. Sial, kepalanya mulai berputar dan perutnya seakan diremas oleh tangan kasat mata.

Itu dia, sedikit lagi, pikirnya saat melihat pintu mahoni yang menjulang di depan sana. Perlahan ia buka pintu tua itu hingga deritan pilu terdengar ditelinganya.

Sepi!

Tentu saja, karena tak ada seorang pun yang mau menghabiskan jam makan siang mereka untuk bercumbu dengan buku-buku. Dan di mana si pirang itu? Sejauh Reina melangkah ke dalam, menyusuri rak-rak buku, ia belum menangkap rambut pirang Daviss. Apa dia tak datang? Membohonginya?

"Huuuh, seharusnya aku tak percaya padanya." tubuh lemasnya bersandar pada rak buku di belakangnya.

"Mencariku Chryssan?"

DEG! Reina segera berbalik dan di sana berdiri sosok pongah dengan buku menutupi wajahnya.

"Abran-"

"Kecewa karena tak menemukanku?" Daviss menyeringai dibalik buku yang dibacanya. "Cari buku-buku yang berhubungan dengan konflik sosial dan budaya," perintahnya kemudian, ia berjalan menuju meja panjang dan duduk di sana.

Tak mau berdebat dengan pemuda menyebalkan itu, Reina segera pergi mencari buku-buku yang tadi disebutkan. "Ini, buku mengenai beberapa kasus budaya dan sosial."

"Cari yang lain, aku sudah membaca yang itu. Isi bukunya sangat jelek sekali."

Gadis itu kembali pergi menuju rak yang lain, membelai punggung-punggung buku tua di sana dan mengambil satu buku dengan judul, 'Pernikahan beda budaya.'

Daviss berdecak saat membaca judul buku yang disodorkannya. "Mau mencobanya?" ia berujar dengan senyum mengejek.

"Setidaknya aku sudah berusaha membantu, Abran." komentarnya lirih, nyaris tak terdengar oleh telinga si pirang. Reina berbalik untuk mencari buku lain sampai sebuah tangan pucat menahan lengannya, kemudian menarikanya cukup kuat hingga tubuhnya terseret dan sial! Ia terduduk di pangkuannya.

"Chryssan..." suara Daviss begitu lembut mengetuk telinganya, Reina memejamkan matanya sekedar untuk merasakan usapan tangan dingin di pipinya. "Kau sakit?" bisiknya kemudian. "Jawab aku!"

Reina menunduk, tak sanggup untuk membalas tatapan beku si pirang, namun bibirnya berujar lirih. "Apa pedulimu Abran?"

Daviss mengatupkan bibirnya, menekan rahangnya kuat-kuat agar mulutnya tak kehilangan kontrol untuk membom bardir gadis dipangkuannya ini. "Kau sangat pucat."

Reina menggeleng, tangan ringkihnya meremas bagian depan kemeja pemuda pirang itu. "Cukup abaikan aku seperti yang kau lakukan selama ini saja, Abran."

Dan belaian halus dikedua pipinya kini berubah menjadi remasan, "Katakan lagi!"

"Cukup abaikan aku saja, Abran! Apa pedulimu pada seorang keturunan darah lumpur menjijikan sepertiku huh?"

"KAU!" Daviss menggeram, ia kemudian mendorong tubuh Reina hingga punggungnya menabrak batas meja dibelakangnya.

TIDAK! Reina cepat-cepat memalingkan wajahnya saat wajah pemuda itu semakin mendekat dengan tatapan liar, tangan yang menekan kuat tengkuknya agar mudah dijangkau olehnya.

Reina tak ingin menangis di depan pemuda keparat ini, tapi bayangan semalam tiba-tiba saja menghantam ingatannya, melihat pemuda yang sama, duduk di sofa dengan seorang gadis di pangkuannya dengan mulut saling menempel ketat. Dan posisinya saat ini pun sama dengan gadis semalam, terduduk dipangkuannya dan bibir yang dilumat putus asa.

"Chryssan..." gumam Daviss saat mencecap rasa asin pada pagutannya, "Chryssan, kau-"

Sial! ia mengumpat, tubuh gadis dipangkuannya kini sudah tak sadarkan diri.

*

*

*

'Asam lambungnya naik karena tidak mendapat asupan makanan, selain itu ada faktor kelelahan dan kekurangan cairan tubuh.'

Ucapan dokter setengah jam lalu membuat kepala Daviss rasanya ingin meledak saat ini juga, terlebih lagi karena gadis itu masih belum membuka matanya.

"Tenanglah, mate. Chryssan akan baik-baik saja." ucap Theo memberi semangat.

"Aku tak mencemaskannya."

Ck, Abran memanglah Abran, dalam keadaan seperti ini pun dia masih mempertahankan sikap arogannya, padahal jelas sekali kalau dia sangat mencemaskan Chryssan.

"Theo, cepatlah ke perpustakaan, Chryssan pingsan. Demi tuhan Chryssan pingsan Theo!" pemuda jangkung ini kembali menirukan ucapan Daviss saat menelponnya.

"Oh diamlah! Berhenti meniru ucapan tololku saat itu, Huge!"

"Hahaha, aku tak menyangka kau akan seheboh itu, mate." Daviss menutup telinganya, ia tak cukup sabar kalau harus mendengar Theo mengoceh tentang dirinya yang bertingkah bodoh selama perjalanan ke rumah sakit.

"THEODORE HUGE!" seseorang baru saja meneriakkan namanya.

"Oh hay, Simmon."

"Bagaimana keadaan Reina? Aku sudah menghubungi keluarganya tadi, 10 menit lagi mereka akan sampai."

Theo menunjuk kamar rawat di depannya. "Dia masih belum siuman, tapi dokter sudah menanganinya dengan baik, mungkin sebentar lagi baru bangun."

"Apa yang terjadi saat di perpustakaan? kenapa dia bisa pingsan begitu?"

Theo menunjuk sosok pirang yang duduk di sampingnya. "Dia membungkam Chryssan."

"APA?"

"Dengan bibirnya."

"WHAT?"

Plak! Theo meringis dengan tatapan tak terima.

"Diam, bodoh!" decak Daviss, pasalnya para perawat dan juga beberapa pasien yang sedang berlalu lalang di sana langsung menatap mereka bertiga seperti makhluk alien.

Daviss mendesah lelah, rasanya hari ini benar-benar menguras tenaga dan seluruh emosinya. Ia butuh istirahat juga, tapi ia tidak begitu tenang jika harus pergi sebelum melihat mata hazel di dalam sana terbuka.

"Emi.."

Apa lagi ini?! Daviss mendengus saat melihat beberapa orang datang.

"Mr. And Mrs. Chryssan..." Emi lekas menyambut dua orang itu dengan ramah.

"Bagaimana keadaan putri kami?" mereka bertanya bersamaan.

Theo lekas berdiri dari duduknya, begitu pula dengan Daviss yang terlihat enggan namun tubuhnya sudah berdiri tegap.

"Tak perlu hawatir Mr. And Mrs Chryssan, putri anda sudah mendapat penangan dari dokter." ujar Theo seraya mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri pada dua Chryssan di depannya. "Theodore Huge, dan ini Daviss Abran, kami teman putri anda, teman terbaik!"

God, dia sudah gila!

"Abran?" dengus seseorang dibalik punggung dua Chryssan dewasa, seorang pemuda dengan rambut jabrik tengah mengernyit dengan seringai tak kalah menyebalkan dari seringai andalan Daviss.

'SIAL!' Daviss mengumpat kesal, 'Berani-beraninya dia menyeringai padaku! Cih, jadi ini kekasih si darah lumpur Chryssan?'

"Keluarga pasien?" seorang suster baru saja ke luar dari dalam kamar rawat.

Dan semua orang di sana mengalihkan pandangannya, "Ya, kami berdua adalah orang tuanya."

"Pasien baru saja siuman, mungkin kalian ingin melihat keadaannya." Kata suster itu dengan senyum ramah, kemudian ia undur diri dari sana untuk melanjutkan pekerjaannya.

Ketika semua orang berbondong masuk, Daviss justru berbalik, menyeret kakinya menjauh dari sana.

"Mate, kau tak mau melihat Chryssan?"

"Tidak!" jawabnya pendek.

Mana sudi dia melihat drama murahan di dalam sana, Chryssan yang akan bertanya 'Aku di mana?' kemudian pemuda jabrik itu akan menggenggam tangannya, 'Tidak apa-apa, dokter bilang kau hanya kelelahan.' lalu si jabrik itu memeluknya. Cih, itu sangat menjijikan.

"Hey Abran!"

Daviss menoleh, menatap sosok jabrik di ujung sana dengan satu alis terangkat dan mata memicing tak suka. "Ada masalah denganku?"

"Ya, aku perlu bicara berdua denganmu."

*

T

B

C

*














Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

35.7K 3.4K 16
Daniel sudah cukup membuat masalah dengan hidupnya. Ia ingin menjalani tahun ketiganya di SMA dengan tenang. Namun, ia justru harus berurusan dengan...
752K 51.1K 14
Revano pernah dicium tanpa sengaja oleh seorang wanita yang sedang mabuk. Waktu berlalu, tapi dia tidak akan pernah lupa dengan sosok wanita misteriu...
612K 86.6K 41
Seumur hidup, tak ada yang pernah mengira bahwa Lucas adalah seorang gigolo. Pria ini malah dianggap sebagai playboy karier yang selalu memacari mode...
836K 19K 13
[COMPLETED] Ketika momen di mana Shasa sedang menjalani masa tenangnya sebelum masuk kuliah, tanpa sengaja dirinya bertemu dengan cowok yang merupaka...