LEANDER

By TaniaMs

191K 13.5K 744

Hidupku berjalan normal selama 17 tahun belakangan. Namun, keanehan mulai terjadi. Belakangan ini, kepalaku s... More

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14-END

1

31.1K 1.4K 27
By TaniaMs

Selamat malam!

Kita berjumpa lagi di lapak baru wkwkwk

Kali ini dengan kisah Leander. Berhubung aku belum ada ide buat lanjutin kisah Leandra karena terlalu lama dianggurin, lapaknya Leandra aku hide dulu. hehehe *gampar aja hayati bang*

Well, semoga suka ya sama Leander yang kalem-kalem tapi bikin sakit hati :)

HAPPY READING!

AWAS TYPO!


"Leander!"

Leander terlonjak dari lamunannya. Dia mendelik pada tersangka yang membuatnya kaget. "Bisa tidak, kau memanggilku tanpa berteriak?"

Leandra memutar bola matanya jemu. "Aku sudah memanggilmu dari tadi," ujarnya. "Kau saja yang tuli."

Leander semakin mendelik pada saudara kembarnya itu. Bahkan sampai sekarang, diusianya yang sudah menginjak 17 tahun, dia masih tidak percaya bahwa dia berbagi rahim yang sama dengan Leandra selama sembilan bulan.

Karakter mereka sangat bertolak belakang. Dia lebih pendiam, bicara jika hanya seperlunya, namun bukan berarti dia tidak menikmati keberadaan orang-orang disekitarnya. Dia suka berada di tempat ramai, meskipun hanya sebagai pendengar yang baik.

Kebalikan dari Leander, Leandra adalah tipikal orang yang blak-blakan. Gadis itu dengan terang-terangan mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. Bahkan dengan tak tahu malunya mengejar seniornya beberapa bulan yang lalu. Dibanting berkali-kali tidak membuat saudaranya itu menyerah, malah membuatnya tambah semangat. Yeah, pada akhirnya dia berhasil membuat Daren itu jatuh cinta.

"Ayo, kita akan makan malam!"

Leander mengeluarkan kakinya dari air danau yang terasa sangat sejuk, dan bangkit berdiri. Tanpa menurunkan gulungan celananya, dia berjalan menuju penginapan.

New Zealand benar-benar menakjubkan. Tidak heran ibunya-Nicole-merengek pada ayahnya-Justin-untuk membawanya ke sana. Disaat kota-kota lain semakin bagus karena pengaruh zaman, kota kecil di sini masih berusaha mempertahankan alamnya. Gunung-gunung yang menjunjung tinggi, serta pepohonan yang rimbun mengelilingi danau yang berada di depan penginapan mereka.

Hampir dua minggu mereka berada di New Zealand, namun Leander merasa masih sangat sebentar. Bahkan dia sedikit berat untuk meninggalkan negara ini dalam beberapa jam ke depan.

Justin-benar-benar ayah dan suami terhebat!-membawa mereka sekeluarga ke New Zealand dalam rangka merayakan ulang tahun pernikahannya dengan Nicole yang ke-19. Leander tak heran jika selama mereka di sini wajah Nicole sangat berseri-seri. Yeah, selain tempat yang menakjubkan Nicole dan Justin juga punya kenangan tersendiri dengan tempat tersebut.

"Mom, aku ingin mengganti celana dulu," teriak Leander sambil menaiki tangga menuju lantai dua.

"Cepatlah sedikit! Kau tidak tahu kami sudah kelaparan?!" protes Luciana, yang lebih sering mereka panggil Lucy. Gadis itu satu tahun di bawahnya. Sedang menjalani tahun terakhirnya sebagai siswi high School, bersama dengan kembarannya, Alena.

Seperti dirinya dan Leandra, Alena dan Luciana juga memiliki kepribadian yang saling bertolak belakang. Alena yang lahir lebih dulu memiliki sifat penurut yang sangat disukai oleh semua orang, sedangkan Luciana tipikal pemberontak dan sangat suka berbicara sesuka hatinya.

Leander mengganti celana jeans panjangnya dan jeans selutut dan memakai sepatu ketsnya. Dia berjalan ke cermin dan menyisir rambutnya-dengan tangan-sambil lalu. Bukan penampilan yang dia perhatikan. Melainkan giginya yang sejak beberapa hari belakangan terus berdenyut. Well, tidak setiap saat. Hanya pada saat menjelang malam, dan itu membuatnya curiga. Lagipula, giginya tidak berlubang sama sekali.

Leander semakin mendekatkan wajahnya pada cermin, dan memperhatikan gigi taringnya baik-baik. Jika berlubang, bukankah biasanya yang sering terkena adalah gigi graham?

"Rasanya gigi taringku tidak sepanjang ini," gumam Leander.

"Astaga!"

Leander tersentak, dan menjauhkan wajahnya dari cermin. "Apa?!" balasnya kesal.

"Kami kelaparan di bawah sana sedangkan kau malah sibuk memperhatikan wajahmu di cermin," omel Lucy. "Gadis-gadis New Zealand masih waras, jadi mereka tidak akan tertarik padamu. Yeah, kecuali kau melompat ke depan mobil yang sedang melaju. Kau akan jadi pusat perhatian. Percayalah."

Leander menyeringai. "Bicaramu barusan persis seperti orang yang tidak menggunakan otaknya sama sekali."

Tanpa memedulikan wajah Lucy yang sudah memerah karena emosi, Leander berlalu di sampingnya dengan santai.

OOoOoOoOo

Leander berguling-guling tak karuan di atas ranjangnya. Dia, beserta keluarganya mendarat di New York satu jam yang lalu. Perjalanan yang memakan waktu satu hari hari lebih itu seharusnya menguras tenaga, namun anehnya sudah satu jam dia berbaring di ranjangnya yang nyaman, matanya tak kunjung terpejam. Dia bahkan tidak merasakan lelah sedikit pun.

Keesokan paginya, Leander menuruni tangga menuju ruang makan dengan menyeret kakinya. Memegang pegangan tangga erat, seolah jika dia tidak melakukannya dia akan jatuh terguling. Dia tidak tidur semalaman. Tidak bisa tidur lebih tepatnya. Dia baru memejamkan mata selama lima belas menit sebelum akhirnya dia mendengar teriakan spektakuler ibunya di depan pintu kamarnya, mengatakan bahwa sarapan sudah siap.

"Lean, wajahmu benar-benar merusak selera makanku," komentar Lucy begitu dia baru saja memasuki ruang makan.

Leander mendelik, namun tidak membalas. Yang harus dia lakukan saat ini hanyalah sarapan, lalu tidur seharian di kamarnya. Aneh sekali kantuk baru menyerangnya ketika matahari mulai terbit. Dia tidak pernah insomnia sebelumnya.

"Lucy, jaga ucapanmu," ujar Justin pelan.

"Ups," balasnya dengan raut wajah tak bersalah dan menampilkan seringai andalannya pada Justin.

"Kau itu benar-benar." Leandra berdecak tak suka.

"Sudahlah, Leane. Makan sarapanmu." Nicole angkat bicara.

"Hm, Mom. Dad. Siang nanti aku ingin keluar." Alena berdehem. "Temanku berulang tahun, jadi kami akan memberikannya kejutan."

"Teman?"

Itu pertanyaan ayahnya. Justin sangat mendetail. Ayah mereka itu tidak bisa menerima alasan yang hanya setengah-setengah. Yeah, meskipun sedikit tidak menyenangkan karena Justin harus selalu tahu apa yang akan dan sedang mereka lakukan, kapan mereka pulang, bersama siapa mereka akan pergi. Well, semua itu hanya diberlakukan pada empat wanitanya. Nicole yang utama. Lalu disusul Leandra, Alena dan yang terakhir, Lucy.

Alena mengangguk. "Kau ingat Caron? Dia pernah ke sini sebelumnya."

"Well, tentu saja boleh," sahut Nicole cepat, bahkan saat Justin belum membuka mulutnya untuk menbalas ucapan Alena, membuat laki-laki itu mendelik pada istrinya.

"Aku akan pulang sebelum makan malam," lapornya lagi.

"Nikmati harimu, sayang," ujar Nicole. "Lean, kau tidak suka sarapanmu?" tanya Nicole saat Leander hanya menusuk-nusuk omelette di piringnya.

Leander mendongak, dan berusaha tersenyum pada Nicole. Dia tidak ingin ibunya kecewa. Lagi. Beberapa hari sebelum keberangkatan mereka ke New Zealand dia membentak-bentak Nicole dengan kurang ajarnya dan mendapatkan sebuah tamparan dari Justin akibat ulahnya itu. "Aku mengantuk, itu saja." Leander bangkit dari duduknya, meskipun saat itu kepalanya semakin pusing dan pandangannya mulai berkunang-kunang. "Aku akan sarapan nanti."

Baru beberapa langkah menjauhi meja makan, pandangannya semakin buram. "Sial," gumamnya sebelum akhirnya tubuhnya tumbang dan kegelapan menelannya.

"Astaga, LEANDER!" jerit Nicole panik.

oOoOoOoOo

"Dia sudah sangat kelelahan. Tapi tampaknya dia tidak sadar pada kondisinya itu. Harusnya dia tidur yang cukup," ujar dokter. "Apa dia menderita insomnia?"

Nicole menggeleng. "Tidak. Kurasa tidak."

Dokter itu mengangguk. "Baiklah. Aku akan memberikan resep. Kau bisa menebusnya di apotek."

"Hanya itu?" tanya Nicole. "Dia tidak terkena penyakit yang berat, bukan?"

Dokter itu pun tersenyum. Mengerti akan kekhawatiran seorang ibu seperti Nicole. "Tidak. Yang dia butuhkan hanyalah istirahat yang cukup."

"Terima kasih." Justin menyalami dokter itu, dan menatap Leandra. "Leane." Hanya itu yang dia katakan, dan Leandra langsung mengerti maksud Justin. Putrinya itu pun mengantar dokter itu keluar kamar.

Nicole duduk di tepi ranjang Leander dan menggenggam tangan putranya itu. Seolah tak ingin melepaskannya. Saat melihat wajah pucat Leander, tanpa sadar dia terisak.

Justin berdecak saat isak Nicole semakin keras. Dia berdiri di samping Nicole, dan menarik kepala wanita itu hingga bersandar di perutnya. "Dia hanya kelelahan, Nic. Bukan terkena kanker ganas," komentar Justin. "Jangan bersikap seolah-olah dia akan meninggal nanti malam."

Isak Nicole berhenti tiba-tiba. Dengan kesal, dia menjauhkan wajahnya dari perut Justin dan melayangkan cubitan ke sana. "Kenapa kau kejam sekali?"

"Aku hanya bicara apa adanya," balas Justin. "Apa menurutmu Lean akan senang, begitu dia sadar dan kau sedang menangisinya?"

Nicole menggeleng.

"Nah, lebih baik kau membuat bubur. Itu akan lebih berguna jika dia bangun nanti."

"Kurasa kau ada benarnya juga."

Justin mendelik.

Nicole terkekeh, lalu berbalik untuk mencium puncak kepala Leander. "Aku akan segera kembali."

Justin tak tahan untuk tidak memutar bola matanya. Terkadang Nicole memang bertingkah menyebalkan. Seharusnya dia sudah terbiasa.

"Dad, kau keren!" Lucy mengacungkan kedua jempolnya pada Justin, begitu Nicole sudah keluar dari kamar.

Justin hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah putrinya yang terakhir itu. Dia merasa kalau Lucy sangat mengidolakannya, entah karena apa. Lidah gadis kecilnya itu sangat tajam, berada di posisi kedua setelah Leander, namun yang membuatnya kadang cemas adalah seringai putrinya itu.

"Kenapa kalian semua berkumpul di sini?"

Mereka bertiga segera menoleh pada Lean, dan mendapati laki-laki itu berusaha untuk duduk dan bersandar pada kepala ranjang.

"Kau pingsan," jawab Alena.

"Benar," Lucy ikut menyahut. "Dan membuatku terpaksa meninggalkan omellete Nicole yang benar-benar lezat karena panik melihatmu tumbang seperti pohon tua."

"Wah, terima kasih sudah khawatir." Leander menyeringai. "Aku tidak tahu kau suka padaku."

"Well, aku hanya tidak tahan jika melihat delikan Daddy karena aku tak kunjung bergerak dari kursiku," balas Lucy santai. "Dan karena kau sudah bangun dan tampak baik-baik saja, aku akan kembali melanjutkan sarapanku."

Leander memutar bola matanya kesal. "Sebenarnya siapa anak yang pertama di sini? Aku atau dia?"

Alena terkekeh pelan. Dia mengusap lengan Leander sepintas dan berkata, "Cepat sembuh, Lean."

Justin menunggu dengan sabar kedua putrinya itu keluar dari kamar, sehingga di kamar itu hanya tinggal dirinya dan Leander. Karena Lucy tidak menutup pintu kamar, Justin berusaha menjaga jalannya agar terlihat santai dan menutup pintu kamar itu perlahan.

"Kau bisa cerita padaku, Lean."

"Apa?" balas Leander tak mengerti.

"Kau tidak pernah terkena insomnia, dan tidurmu selama ini baik-baik saja." Justin menatap Leander lekat. Dia tahu dengan jelas kalau putra pertamanya itu punya hobi tidur seperti dirinya, dan tidak akan membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak penting apalagi harus mengorbankan waktu tidurnya sendiri.

"Aku hanya sedang banyak tugas. Itu saja," jawab Leander.

Mata Justin menajam. "Aku tidak suka kau berbohong padaku. Kau tahu itu, kan?"

Leander beredehem. Mungkin dia memang tidak bisa mengelak pada Justin. Lagi pula, cepat atau lambat Justin pasti akan membaca pikirannya meskipun itu akan melanggar perjanjian yang sudah mereka buat. "Aku merasa tubuhku agak aneh belakangan ini."

Justin mengangkat sebelah alisnya, menunggu penjelasan Leander lebih lanjut.

"Gigiku beberapa hari ini berdenyut hebat," ujar Leander.

"Kau sakit gigi?" tanya Justin, nyaris tertawa.

"Bukan sakit gigi seperti yang kau kira." Ketika Justin hanya menatapnya, Leander kembali berkata, "Gigi taringku berdenyut. Hanya pada saat matahari mulai terbenam. Dan tadi malam, meskipun sangat lelah aku tidak bisa tertidur. Aku tidak mengantuk."

"Sejak kapan? Sejak kapan kau tidak bisa tidur?" tanya Justin. Kali ini nada suaranya terdengar cemas. "Buka mulutmu, aku ingin melihat gigimu!"

Tepat ketika Justin baru akan memperhatikan gigi taring Leander, pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar. Tak lama setelahnya, Nicole masuk dengan nampan yang berisi mangkuk juga segelas susu. "Ah, kau sudah bangun. Syukurlah," ucapnya lega. Nicole memeriksa kening Leander dan alisnya menyatu ketika suhu tubuh Leander normal-normal saja. "Kau tidak demam. Aku sempat berpikir kau demam. Bagaimana kalau besok kau tidak usah kuliah?"

Justin memutar bola matanya, bergeser dari posisinya semula sehingga Nicole bisa duduk lebih dekat dengan Leander. "Hari ini bahkan belum mencapai siang, masih ada sore juga malam. Dia bisa sembuh dengan cepat, Nic. Asal kau tidak merecokinya terus," balas Justin. "Besok dia sudah bisa kuliah. Dan tidak. Kau tidak boleh membujukknya untuk membolos."

"Aku ini ibu yang perhatian, kau tahu?" sungut Nicole. "Tidak seperti seseorang yang mengaku sebagai ayahnya."

Justin mendengus. "Kita bicara nanti, Lean."

"Apa yang ingin kalian bicarakan?" tuntut Nicole sambil mengarahkan sesendok bubur pada Leander.

"Intinya, ibu yang perhatian tidak perlu tahu." Justin menyeringai dingin, lalu berjalan meninggalkan kamar. Tepat ketika dia akan menutup pintu, dia mendengar protes Leander karena disuapi oleh Nicole.

"Demi Tuhan, Mom! Aku bisa menyuap bubur ini sendiri, oke?"


oOoOoOoOo

Pekanbaru, 21-11-2015

20:41


Continue Reading

You'll Also Like

15.3M 217K 8
Sudah terbit
29.2M 2.5M 70
Heaven Higher Favian. Namanya berartikan surga, tampangnya juga sangat surgawi. Tapi sial, kelakuannya tak mencerminkan sebagai penghuni surga. Cowo...
14.7M 1.5M 53
[Part Lengkap] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [Reinkarnasi #01] Aurellia mati dibunuh oleh Dion, cowok yang ia cintai karena mencoba menabrak Jihan, cewek...
ZiAron [END] By ✧

Teen Fiction

7.7M 734K 69
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA, SEBAGIAN PART DI PRIVAT ACAK. TERIMAKASIH] _________________________________________________ (16+) Hanya kisah kedua pasang...