Key for Kay

By zikriyani

135K 9.2K 376

Kaynna. Cewe dingin, cuek, cerdas, namun tak tersentuh. Bahkan tak banyak yang menganggapnya ada. Bagaikan bu... More

Part 1-Babak Baru
Part 2-Sing to Song
Part 3-Come and Back
Part 4-An Apologize
Part 6-Pick up
Part 7-Kejutan
Part 8-Kepulangan Gea
Part 9-Kesialan atau Nasib
Part 10-Mata Kacamata
Part 11-Masih Dava
Part 12-Dafin Broken's
Part 13-Bully
Part 14-Pelukan
Part 15-Bidadari Kecil
Part 16-Rumit
Part 17-The Evidence
Part 18-Run Away
Part 19-Ayah
Lapak Penulis ; Promo
Part 20-Kencan Pertama
Part 21-Aku Sudah Siap
Part 22-Kebetulan
Part 23-Disappear
Part 24-The same person, but not the feeling
Part 25-Problem
Part 26-Key vs. Ray
Part 27-Bimbang
Part 28-Penjelasan
Part 29-Semakin Yakin
Part 30-Rahasia untuk Kaynna
Part 31-Menyapa Langit dengan Kertas Mimpi

Part 5-Telepon dari Key

5.1K 368 7
By zikriyani

Aku sedang memandangi kak Dafin, bukan apa-apa sih, cuma aku penasaran aja, kenapa kak Dafin bisa di Jakarta dan tiba-tiba maafin aku. Padahal dulu–dihari Dava berpulang–dia murkanya ga ketulungan.

Apa waktu telah mengubah segalanya?

Tapi mengapa waktu tidak membunuh rasaku pada Dava? Apa waktu memilih?

"Kak Kaynol" Suara anak kecil menggelegar memekakan telinga, aku mengerjap beberapa kali saat tersadar tidak hanya ada aku dan bayangan-bayangan dalam otak ku disini.

Pasti Brian, adik laki-lakiku yang berusia 5 tahun.

"Apa? Baru pulang langsung teriak-teriak aja."

Brian langsung duduk nyempil diantara aku dan kak Dafin. Mama yang baru masuk hanya melihat sekilas sambil senyum-senyum ga jelas.

"Ma, ngapain si ini cunguk pake dijemput segala? Suruh di tempat camping aja terus, kan rumah jadi adem ayem, tentrem." Aku berseru sambil melirik ke arah Brian. Sebenarnya nih ketawa udah pengen nyembur. Liat tampang absurd Brian kaya muka kecebur kolam katak yang ga ada airnya.

"Kak Kaynol kaya pitik ih."

"Paan pitik dek?"

"Ya kaka. Ngaca aja coba." Dan dengan kecepatan angin sepoi-sepoi aku bergegas melompat dari sofa menghampiri cermin di jalan menuju dapur.

"Apaan dek? Muka kaka masih cantiiiik tauu." Aku berteriak gak jelas dari depan cermin. Emang maksud Brian apaan sih?

"Hahaha" Aku mendengar tawa meledak di ruang keluarga. "Mau aja dikibulin sama anak kecil Kay, Brian kan asal ngomong aja."

Aku melongokkan kepalaku, dan kulihat Brian anteng-anteng aja sambil memainkan game di iphone kak Dafin, sedangkan kak Dafin berusaha menahan tawa sampai mukanya memerah. Sial.

Aku kembali duduk di sofa–bersama Kak Dafin dan monster kecil tentunya–yang udah ngomong asal njeplak–bikin gue repot-repot nyari kaca, dasar bocah minta dicium sepatu.

"Eh, kak Kay tempat aku camping sama temen-temen bagus loh. Terus pas malem-malem serem banget." Brian ngoceh tentang pengalamannya camping ala anak TK, sampe mulut berbusa gitu tanpa mengalihkan perhatian dari game-nya.

"Terus? Emang kamu, anak kecil, camping dimana?" Tanyaku sambil bangkit lagi, kali ini menyusul Mama ke dapur. Lagian Mama di dapur lama banget kaya udah setahun, bisa lumutan tuh entar.

"Dibelakang sekolah, kak." Jawab Brian dengan tampang polosnya.

"Cuma dibelakang sekolah, dek?" Aku membalikkan badan menatap Brian, seketika tawaku menyembur, kak Dafin yang masih ada di sini juga ikut tertawa. Tawanya mirip Dava. Iyalah orang dia Abangnya.

"Ih kok malah pada ketawa si? Daripada kak Kay liburan aja ga pernah." Bibir Brian manyun.

"Kata siapa? Kaka kan sering ke Pantai. Itu liburan kok." Aku berkacak pinggang.

Sebelum aku melanjutkan langkah lagi untuk ke dapur, aku lihat kak Dafin mengelus kepala Brian. Benar-benar mirip cara Dava memperlakukan Brian. Lalu kak Dafin jalan ke arah ku.

"Kay, ikut Kaka sebentar. Kita ngomong di luar." Aku menatap Kak Dafin 3 detik setelah itu aku mengangguk.

"Mau dibawa kemana tuh kak Kaynol nya, kak?" Brian yang sedang menonton televisi bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.

"Anak kecil ga boleh tau." Jawabku sambil terus berjalan keluar menuju teras.

"Di loakin aja kak Fin, tapi jangan lupa Brian dibagi duitnya." Brian masih menjawab sambil teriak yang aku balas pelototan sebelum akhirnya aku benar-benar menghilang dibalik tembok.

Dan, diteras depan sekarang aku dan kak Dafin duduk.

"Mau ngomong apa kak?" Aku berhasil membuka suara setelah terjadi keheningan selama beberapa puluh detik.

"Kamu ngapain ke Pantai?" Aku tidak menatap Ka Dafin, tapi mataku menerawang jauh.

"Biar kaka tebak, kamu kesana buat mengenang Dava?" Tebakan lo bener kak, batinku.

Tapi nyatanya aku ga bisa bersuara, aku hanya mengangguk kecil.

Entah kenapa setiap ada yang tahu kalau aku belum bisa melupakan Dava itu adalah kelemahan dan kekalahanku. Padahal harusnya aku bangga karena aku punya hati yang tulus, hati yang tak mudah berpaling.

Tapi, kenapa sebegini menyakitkan.

"Kay, kamu ga bisa hidup dalam bayang-bayang Dava terus." Aku menatap kak Dafin, cengkeraman tangan kak Dafin yang ada dipundakku menguat.

Aku menatap, menerawang lagi.

"Ka, kalo ada pilihan untuk melupakan Dava, Kay bakal pilih untuk melupakan Dava. Tapi pilihan itu ga pernah menghampiri Kay. Ga ada pilihan lain selain Kay harus terus mengenang Dava." Aku berusaha untuk tidak berkedip.

"Kay, pilihan selalu ada. Hanya saja kamu tidak bisa melihatnya. Kamu justru senang bermain-main di masa lalu kamu. Coba kamu jangan ke pantai lagi, jangan simpan foto Dava lagi. Satu lagi, jangan inget Dava disetiap turun hujan. Kaka tau kalian berdua sangat suka hujan." Ka Dafin menarikku dalam pelukannya. Aku menangis mengeluarkan semua perih dibalik dada bidangnya.

"Harusnya Dava ga pergi," aku kembali terisak. Tangan kak Dafin mengelus rambutku.

"Kapanpun kamu butuh bantuan kaka, kaka akan selalu ada buat kamu. Kaka emang ga bisa jadi Dava yang mengisi hati kamu, tapi kaka bisa jadi Dava yang nemenin kamu main dibawah hujan," Ka Dafin mengencangkan pelukannya.

"Inget Kay, hidup selalu memberi kita pilihan. Melangkah mencari cinta yang baru, atau tetap diam menunggu cinta yang telah meninggalkanmu." Kak Dafin mengakhiri kata-katanya dengan menghapus air mataku.

"Cewe juga harus kuat. Ga boleh cengeng." Ka Dafin mengacak rambutku lalu melenggang masuk kedalam rumah. Aku menatap punggung kak Dafin yang menghilang di balik pintu.

---

"Makasih makan malamnya loh Tante, enak banget. Kalo gitu Dafin pulang dulu deh ya. Udah malem." Kak Dafin mencium tangan Mama,

"Sama-sama Fin, besok-besok main sini lagi ya." Mama menepuk pundak kak Dafin, yang dibalas senyuman dan anggukan pasti.

"Kak Dafin nginep aja, tidur dikamar Brian." Brian turun dari kursinya lalu memegangi kaki kak Dafin.

"Besok kan kaka bisa kesini lagi." kak Dafin mengangkat tubuh Brian yang terduduk di lantai memegangi kakinya.

"Iya dek, elah manja banget sih kamu." Aku mencubit pipi Brian, gemes sama ngeselin.

"Aw! Kak Kaynol." Brian memukul tanganku. "Ah, kenapa Mama gak kasih Brian kaka laki-laki sih kaya kak Dafin gini, kenapa malah punya kaka perempuan apalagi yang modelnya kaya kak Kay gitu. Boleh dituker tambah ga, Ma?" Dengan wajah polos seenaknya Brian ngomong kaya gitu.

"Kamu kate kaka barang kali dek. Ngeselin banget sih kamu." Duh ini kalo lagi di sinetron pasti kepalaku sudah bertanduk, terus keluar asap dari telinga.

"Brian, kamu harusnya bersyukur punya kaka yang cantik kaya kak Kay." kak Dafin melirikku.

"Iya si cantik. Kaya babi kutub selatan, iya kan, Ma?" Dengan mata membulat Brian menatap Mama meminta persetujuan atas apa yang baru saja dikatakannya. Bahkan tidak ada tatapan takut kalau tiba-tiba aku menguntalnya hidup-hidup. Mama yang ditatap begitu hanya tersenyum.

"Mana ada babi kutub dek, yang ada mah babi bekuuu kalo di kutub." Aku menjawab makin ngawur.

"Jadi gak ada ya, kak?" Brian memutar bola matanya, kini menatap kak Dafin penuh tanda tanya.

"Iya Brian, gak ada babi kutub. Cewe kutub baru ada." Kak Dafin menatapku sekilas.

"Siapa kak? Kak Kaynol ya? Tapi kan kak Kaynol ga tinggal di kutub." Aku rasa dikepala Brian udah ada ribuan tanda tanya yang berputar minta penjelasan.

"Ah udah gapapa. Sana tidur aja. Kan besok sekolah." kak Dafin mengelus pipi Brian lalu mengacak rambutnya.

Brian mencium pipi Mama. Lalu berjalan menuju kamar.

"Eh dek, kok gak pamit ke kaka?" Protesku begitu Brian melewati ku begitu saja, seolah aku itu makhluk astral tak terlihat yang gak perlu dipedulikan keberadaannya.

"Takut beku. Kan kata kak Dafin, kak Kay itu cewe kutub. Kalo babi aja bisa beku, Brian juga takut ikut beku." Jawabnya polos

"Ya ampun, dek." Aku memukul keningku. Namun Brian tidak mempedulikanku yang sudah enek setengah mati sama sikapnya.

"Udah lah Kay, Brian kan masih kecil. Ya belum nyambung lah. Kamu itu ya." Mama geleng-geleng kepala.

"Eh Ma, Kay anterin kak Dafin sampai depan dulu ya."

"Iya Kay. Dafin hati-hati ya." Mama menyempatkan untuk tersenyum sebelum berlalu menuju dapur.

"Kak, hati-hati ya. Salam buat Om sama Tante." Aku melambaikan tangan.

Beberapa detik aku ngerasa muka kak Dafin berubah, tegang? Tapi hanya beberapa detik doang. Abis itu balik kaya semula.

Aku sempat melihat dia tersenyum sebelum mobil Pajero sport-nya benar-benar meninggalkan penglihatanku.

Aku membantu Mama membereskan ruang makan dan mencuci piring. Dirumah emang ga ada pembantu. Mama kan Ibu Rumah Tangga, padahal dulunya dokter. Gatau deh kenapa gamau kerja di rumah sakit lagi atau buka praktek. Katanya sih dulu pasiennya pernah ada yang meninggal, jadi kayanya trauma gitu. Tapi gatau juga si.

"Kamu ga suka sama fotocopyannya Dava kan?"

"Hah, maksud Mama?" Aku menghentikan aktivitasku menggosok piring.

"Ya siapa tau kamu jatuh cinta sama Dafin."

"Ngaco ah Mama, kak Dafin tuh udah kaya kaka buat Kay." Aku melanjutkan acara cuci piring ku.

"Tapi Dafin kayanya baik kok Kay."

"Emang baik Ma, tapi tetep aja Kay gak mau." Aku menyusun piring-piring yang sudah bersih di almari. "Kay ke kamar dulu ya Ma. Selamat malam, Mama." Aku mencium pipi Mama, setelah dibalas cium kening oleh Mama, aku bergegas meninggalkan dapur.

Baru menutup pintu, kulihat ponselku menyala.

"Ya hallo? Siapa?"

"Besok duduk sama gue lagi kan?"

Keynan. Dapet darimana nomor telpon gue, coba?

"Tergantung Gea udah balik belom."

"Pokoknya gamau tau, sebelum gue dapet temen duduk lo harus dan kudu wajib duduk sama gue."

"Buat gue itu bukan wajib, tapi haram." Aku mendecih, pemaksaan banget sih.

"Lo pikir gue babi?" Gue denger ada helaan nafas frustasi dari seberang.

"Sejenis."

"Sialan. Kay?"

"Apa panggil-panggil? Tadi ngumpat!"

"Buka skype. Ga pake tanya. Gak pake nolak. Ga pake lama."

"Apalagi sih, gue ngantuk." Ini anak maunya banyak banget. Ngeselin.

"Bentar aja."

"Iya bawel."

Begitu sambungan telepon terputus,aku mengambil laptop diatas tempat belajar, lalu menghidupkannya.

Aku membuka aplikasi skype, bener aja udah ada panggilan dari Key. Segera aku menerima panggilan itu.

Kok layarnya item?

"Hai. Udah ngantuk?"

"Itu kenapa kameranya ditutup sih? Gelap jadinya. Terus ngapain make skype?" Duh ini kayanya dari tadi aku menggerutu terus deh, ini anak bener-bener bikin naik darah.

"Ntar kalo kameranya gak gue tutupin, lo takut Kay."

"Hm. Serah deh."

"Gitu aja ngambek."

"Gak."

"Kay,"

"Hm."

"Tidur gih. Selamat malam."

Setelah itu, kameranya ga ditutup sama Key tapi cuma 3 detik dan menampilkan penampakan wajahnya yang, konyol.

Key senyum lalu dengan cepat mengakhiri panggilannya. Bener aja dia bilang kalo kameranya ga ditutup gue bakal takut, rambutnya udah acak-acakan banget. Kaya tarzan yang ga kenal salon atau ga pernah megang sisir. Tau namanya aja enggak. Ck, Dasar.

Aneh pake banget.

Aku menutup laptop dan mengembalikannya ke atas meja belajar.

Aku mematikan lampu utama kamar dan menyalakan lampu tidur. Baru sja kepalaku disambut oleh bantal yang empuk, iphone ku bergetar lagi.

Lalu aku mengambil iphone ku yang ada di meja.

Mataku memicing.

From: Unknown

Besok gue jemput ya.

apa lagi sih?

---

A/N

Makin nyebelin ya alur ceritanya?
Ga ada yang bikin wow ya?
Ya gitu deh, kan akunya abal-abal.
Bigthanks for readers.
Jangan lupa vote sama comments ya. Butuh dukungan selalu nih.

Continue Reading

You'll Also Like

1.5K 187 20
Tentang rasa yang tak pernah bisa kukatakan, namun, bisa kutuliskan.. ---- Berisi ungkapan-ungkapan hati yang (niat awalnya) jauh dari kata puitis. u...
14.6K 1.1K 13
Sebuah tumpahan pikiran perihal Nusantara, Bumi Pertiwi, Indonesia. Tentang Nusantara yang seharusnya menangis.
2.4M 45.9K 17
[Sudah tersedia di toko buku Gramedia] Kehadirannya sama sekali tidak kuinginkan sebelumnya. Dia seperti menghentikan hidupku secara tiba-tiba. Tapi...
1.3M 97.7K 43
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...