2. Max-Shanon: Hanya Untuk Di...

נכתב על ידי S_Andi

546K 5.5K 136

Kupikir, pahit itu tak akan kucecap lagi dengan adanya kehadirannya. Kupikir, ini waktuku untuk kembali memba... עוד

Prolog
2. Hujan Yang Tak Kunjung Henti

1. Aku dan Kematian Jiwaku

20.9K 1.9K 50
נכתב על ידי S_Andi

Harapanku kembali terberai ketika pria tua yang terpaksa kudatangi menolak mentah-mentah kedatangan kami untuk memintanya menjadi wali nikahku yang rencananya akan dilaksanakan pertengahan tahun depan. Duniaku runtuh seketika mendengar pernyataan yang sangat tidak pantas keluar dari mulut seorang ayah.

"Jadi maksud kedatanganmu untuk memintaku menjadi wali nikahmu?" tanyanya menaikkan alisnya sebelah, menatap kami merendahkan.

Aku mulai kehilangan controlku. Sementara kakak laki-laki ayah yang membantu kami bicara, menganggukkan kepalanya.

"Akhirnya kau menbutuhkanku juga." Dia tertawa sinis. Mengubah posisi duduknya hingga terlihat begitu angkuh.

Dalam diamku aku merasakan sesak dan sakit itu menyatu menghimpit dadaku.

"Mereka anakmu, Eden. Kamu tidak boleh begitu. Seharusnya kamu bahagia ketika mereka mencarimu. Mereka datang dengan niat baik," ucap uwak menasihati pria itu.

Yang terjadi benar-benar sesuai dengan isi kepalaku. Dia tertawa keras. Menatap kami begitu sombong. Dia --tidak pernah berubah.

"Tidak. Tidak akan pernah. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau menjadi wali nikahnya. Dia tidak akan bisa menikah karena aku tidak akan pernah memberinya ijin. Sampai kapanpun."

"Eden!!! Kamu keterlaluan kali ini!!! Sekalipun kamu tidak mau, aku yang akan menikahkan keponakanku!"

"Kenapa? Katakan kenapa? Aku --tidak pernah meminta apapun darimu. Aku juga tidak menuntut hak nafkah darimu. Kau menelantarkan kami, tapi kami tidak pernah menuntut peradilan. Mamaku juga tidak pernah menuntut akta cerai dan persidangan. Apa? Apa yang kurang dari kami?" Aku berkata dengan nafas tersengal-sengal berdiri dari dudukku. Aku benar-benar kehilangan kontrol kali ini.

Pria itu hanya menatapiku lama, kemudian tersenyum miring. Dia berdiri dari duduknya mendekatkan wajahnya padaku, berkata berbisik penuh penekanan.

"Karena ibumu sudah menyakitiku. Ibumu terlalu keras kepala. Ibumu tidak mau meminta jatah warisan dari orangtuanya untuk kehidupan kita..."

"Apa harta yang sudah membutakan matamu, Bapak Tua? Apa harta juga sudah membutakan hatimu?"

"Kamu --hanya anak kemarin sore yang tidak tahu apa-apa! Apa kamu pernah memberikan sedikit saja bentuk cintamu kepada bapakmu ini? Sedikit saja dari hasil kerjamu agar aku bangga memiliki anak sepertimu?"

Aku menyipit tajam. Gigiku bergemelutuk. Tanpa sadar aku sudah menunjuk dirinya. Aku kesetanan kali ini.

"Jadi kau berharap persenan dariku? Kau bahkan sama sekali tidak memikirkan kami, menafkahi aku dan adikku dan sekarang kau menuntut persenan dariku? Apa? Apa yang bisa kudapatkan dari seorang ayah sepertimu? Kasih sayang? Aku bahkan buta. Aku tidak tahu bagaimana sosok ayahku. Jika kau tidak mau menjadi wali nikahku...,"

"Kamu tak akan pernah menikah seumur hidupmu. Bahkan meski aku sudah mati. Karena aku tidak akan pernah mengijinkan siapapun menjadi wali nikahmu!!!"

PLASSHH!!!

Aku hilang seketika. Aku tidak bisa lagi mendengar suara orang-orang. Aku kembali linglung begitu dia meneriakiku, menancapkan belati kata-katanya di hatiku. Mungkin aku sudah mati sekarang.
Aku hanya bisa melihat mereka yang mulai cekcok. Lalu mama yang menangis dalam diam. Max yang terbengong. Dan adikku yang sudah menangis di dalam dekapan Doni.

Aku tidak akan pernah merasakan bahagia itu. Aku tidak akan pernah mewujudkan mimpiku membangun sebuah keluarga bahagia.

"Sugar!!" Sekali, aku bisa mendengar teriakan Max ketika aku melangkah pergi dari rumah panggung itu.

"Apa?!!" sentakku dengan emosi yang meluap.

"Kita bisa membicarakannya lagi."

"Apa yang bisa dibicarakan selain kehancuranku?!! Apa?! Dia memang nggak pernah mengerti! Apa kamu tahu? Satu-satunya orang yang nggak pernah ingin kutemui adalah laki-laki tua nggak punya hati itu! Dia yang membuatku begini! Dia membunuhku dengan kalimatnya! Apa aku masih harus memanggilnya ayah? Apa aku masih harus berlutut memohon padanya yang sangat egois?!! Kalau aku boleh berkata kasar, aku ingin meneriakinya bajingan! Hanya kata itu yang pantas buatnya. Nggak peduli aku darah dagingnya! Bahkan kalau boleh memilih aku nggak ingin terlahir dari tetes air maninya!!!" teriakku diluar kendaliku.

Aku bahkan tidak peduli orang menganggapku anak durhaka. Yang kutahu sekarang ini, dia berhasil meremukkan hidupku lagi setelah tujuh tahun berlalu. Aku benci dia. Aku membencinya. Yang kulihat pria tua itu cukup kaget mendengar apa yang kukatakan barusan.

"Aku bisa membunuhmu kalau kumau," sahutnya dingin menahan amarah.

Aku menoleh, menatapnya tajam. Aku mendekat meskipun Max berusaha menahan tubuhku.

"Membunuhku?" tanyaku sinis. Aku membanting gelas miliknya yang masih berisi minuman teh panas. Mengambil pecahannya yang cukup runcing dan memberikannya padanya.

"Aku tidak takut. Seharusnya kau melakukannya sejak dulu. Biar aku tidak tahu bagaimana sakitnya diremehkan. Bagaimana sakitnya dicacimaki karena aku tidak memiliki ayah. Dan aku juga tidak akan merasakan kecewa saat orang yang mengaku ayah adalah seorang bajingan seperti anda. Lakukan! Aku tidak bisa menunggu lama lagi. Semuanya memang harus berakhir bukan?"

"Kau?" Dia menatapku tak percaya. Tangannya menggenggam pecahan kaca yang kuberikan hingga menimbulkan darah menetes dari telapak tangannya. Dia meringis saat aku menyiram luka itu dengan teh hangat yang semula di sajikan untukku.

"Perih? Itu belum seberapa di banding apa yang sudah kau berikan padaku," desisku getir.

"Kau --"

"Aku ingat kau dulu pernah berteriak padaku. Suatu saat aku akan datang padamu dan aku harus menghormatimu, berlutut padamu dan kau memintaku untuk merawatmu di sisa hari tuamu?"

Dia tidak menyahut. Matanya hanya menatapiku.

"Kau memiliki anak dari istri keduamu. Perempuan. Datanglah padanya. Dan aku tidak akan pernah menbukakan pintu untukmu. Kau tau? Rasanya akan sangat menyakitkan ketika kau datang mengaku sebagai ayah tapi aku malah menendangmu. Ini pula yang kau berikan padaku saat ini."

"Shanon..,"

"Jangan pernah panggil namaku karena Shanon anakmu sudah mati!!!" teriakku bergetar.

Aku meremas rambutku lalu menutupi kedua telingaku. Bibirku bergetar menahan sakit dan ketakutan yang selalu datang sejak malam itu.

"Bajingan!! Kau bajingan!!!" teriakku kemudian memeluk lututku sendiri.

Shanon sudah mati. Seorang Shanon Cannadia sudah mati beberapa hari lalu. Yang tersisa hanya aku dalam kesendirianku. Sendiri dan hampa. Dia sukses membunuhku. Dia pembunuh! Dan aku membecinya.

Tuhan, aku membencinya!!! jeritku dalam hati

"Shanon..,"

Seseorang menyentuh pundakku. Satu tangannya lagi mengusap kepalaku begitu lembut. Tapi aku tidak merasakan apa-apa. Karena aku sudah terlanjur mati. Dia membisikiku untu menyebut nama Tuhan, meminta ampun padanya.

Bukan aku yang seharusnya meminta ampun. Tapi dia!! Laki-laki bajingan itu yang seharusnya meminta ampun!!! bantahku dalam hati.

"Apa dia sudah makan?" tanya sebuah suara lagi.

"Belum. Dia bahkan masih begini seperti orang gila," jawab seseorang yang menyentuh pundakku.

"Apa yang terjadi sebenarnya?"

"Astaga, Kak Iman. Aku nggak tahu. Dia nggak pernah cerita banyak. Setahu Milly, Shanon orang yang kuat dan dia nggak pernah kelihatan sedih."

Karena aku diajarkan untuk kuat. Tapi nyatanya aku tak sekuat yang mereka kira. Aku bukan lagi hancur. Aku --sudah mati. Aku sudah cukup lelah. Dan aku hanya menunggu waktu saat Tuhan memanggilku untuk kembali dalam pelukannya.

Pahit apa yang belum kucecap? Dikhiananti,  dicacimaki, dilecehkan, ditinggalkan, difitnah semuanya sudah kucecap tanpa ada yang tertinggal.

Ayah, apa kau tidak tahu? Bagaimana susah payahnya aku menciptakan sosok ayah di dalam imajiku agar aku bisa merasakan bagaimana bahagianya memiliki keluarga yang utuh. Aku melakukannya diam-diam setiap malam agar mama tidak tahu bahwa aku serapuh ini? Aku menginginkan sosokmu, Aku merindukan apa yang anak-anak lain rindukan.

Tapi yang terjadi bayangan itu juga telah membunuhku. Aku sudah berjalan tertatih, ayah. Tapi ayah malah membunuh jiwaku tanpa perasaan.

Apa ayah tahu? Mereka meninggalkanku. Mereka yang pernah membuatku percaya bahwa aku juga berhak bahagia nyatanya kembali membuatku tersadar dengan kepergiannya. Terlebih dengan alasannya. Karena aku bukan wanita baik-baik. Aku bahkan tidak memiliki keluarga yang utuh. Lalu aku kurang apalagi, ayah? Apa hidupku harus sedrama ini? Kalau saja ayah ingin tahu, aku benci drama. Aku membenci segala sakit dan senang yang berlebihan. Karena sakit akan selalu sakit. Dan senang perlahan akan memudar dan berganti dengan sakit. Kenapa? Kenapa harus demikian?

"Mama bilang semuanya akan baik-baik saja. Mama bilang, Shanon akan bahagia. Mama bilang --dia berbeda. Nyatanya..?"

Aku tertawa dalam tangisku. Menggelengkan kepalaku pelan dan mengangkat kedua telapak tanganku.

"Ini bukan Shanon yang kukenal," gumam seseorang dari sampingku.

Tak lama kemudian aku merasakan dua orang memelukku. Dan sayangnya aku tidak bisa membalasnya. Aku tidak bisa mengatakan apapun pada mereka karena aku seakan memiliki duniaku sendiri sekarang.

"Shanon..,"

Dia kembali berusaha memanggilku. Tapi aku hanya menatapnya. Kenapa? Kenapa tatapannya begitu mengkhawatirkanku. Dia --aku mengenalnya. Dia Milly. Tapi aku tidak bisa menyapanya.

"Mungkin dia butuh waktu untuk sendiri. Dia pasti akan baik-baik saja."

"Tapi, Kak Iman. Ini sudah hampir seminggu. Dan --"

"Ada hal berat yang terkadang kita tidak mampu untuk menerimanya. Pasti dia sedang mengalami itu. Nanti kalau dia merasa lebih baik, dia pasti akan mengatakan semuanya pada kita. Kita hanya perlu menunggu dan menemaninya."

"Dia akan baik-baik saja?"

Mendengar mereka bicara aku jadi bertanya pada diriku sendiri. Apa aku masih bisa baik-baik saja di saat aku hidup tapi terasa mati? Apa aku masih bisa mengatakan bahwa aku wanita tangguh seperti mamaku?

Tidak. Aku tidak memiliki apa-apa sekarang. Mimpi dan api pengharapan sudah padam. Bahkan Max --harapan yang tersisa pada akhirnya menyerah dan pergi. Lagi-lagi karena keegoisanku. Aku kehilangan controlku dan itu yang membuatnya pergi.

Aku menyesalinya? Aku menggeleng pelan. Untuk apa? Aku memang terlahir bukan untuk bahagia. Sebagian dari diriku terhenyak dengan kalimat yang baru saja kutanamkan dalam diriku kali ini. Mereka mengataiku pecundang.

"Sejak awal aku sendiri maka akhirnya pun aku sendiri," gumamku menatap kosong langit-langit kamarku. Aku tersenyum getir ketika mengingat bagaimana dulu aku tertatih menghadapi kesakitanku sendirian.

Pada saat aku selesai bergumam kurasakan dekapan itu mengerat.

***

Tbc

Trial sementara 1500 kata dulu. semoga masih bisa dipahami..

Edisi Max-Shanon buku kedua yaa...

25 Nov 2015
S Andi

המשך קריאה

You'll Also Like

1M 148K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
2M 9K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
79.3K 2.3K 3
BEBERAPA PART SAYA HAPUS UTK KEPENTINGAN PENERBITAN Tiara Aulia Sakit rasanya ketika mengetahui dirinya memutuskan untuk menikah dengan musuhku waktu...
10.2K 1.9K 35
{COMPLETED} Sean tidak percaya dengan bualan si peramal yang mengatakan bahwa ia memiliki permen permohonan yang bisa mengabulkan semua keinginan Sea...