1. Aku dan Kematian Jiwaku

20.9K 1.9K 50
                                    

Harapanku kembali terberai ketika pria tua yang terpaksa kudatangi menolak mentah-mentah kedatangan kami untuk memintanya menjadi wali nikahku yang rencananya akan dilaksanakan pertengahan tahun depan. Duniaku runtuh seketika mendengar pernyataan yang sangat tidak pantas keluar dari mulut seorang ayah.

"Jadi maksud kedatanganmu untuk memintaku menjadi wali nikahmu?" tanyanya menaikkan alisnya sebelah, menatap kami merendahkan.

Aku mulai kehilangan controlku. Sementara kakak laki-laki ayah yang membantu kami bicara, menganggukkan kepalanya.

"Akhirnya kau menbutuhkanku juga." Dia tertawa sinis. Mengubah posisi duduknya hingga terlihat begitu angkuh.

Dalam diamku aku merasakan sesak dan sakit itu menyatu menghimpit dadaku.

"Mereka anakmu, Eden. Kamu tidak boleh begitu. Seharusnya kamu bahagia ketika mereka mencarimu. Mereka datang dengan niat baik," ucap uwak menasihati pria itu.

Yang terjadi benar-benar sesuai dengan isi kepalaku. Dia tertawa keras. Menatap kami begitu sombong. Dia --tidak pernah berubah.

"Tidak. Tidak akan pernah. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau menjadi wali nikahnya. Dia tidak akan bisa menikah karena aku tidak akan pernah memberinya ijin. Sampai kapanpun."

"Eden!!! Kamu keterlaluan kali ini!!! Sekalipun kamu tidak mau, aku yang akan menikahkan keponakanku!"

"Kenapa? Katakan kenapa? Aku --tidak pernah meminta apapun darimu. Aku juga tidak menuntut hak nafkah darimu. Kau menelantarkan kami, tapi kami tidak pernah menuntut peradilan. Mamaku juga tidak pernah menuntut akta cerai dan persidangan. Apa? Apa yang kurang dari kami?" Aku berkata dengan nafas tersengal-sengal berdiri dari dudukku. Aku benar-benar kehilangan kontrol kali ini.

Pria itu hanya menatapiku lama, kemudian tersenyum miring. Dia berdiri dari duduknya mendekatkan wajahnya padaku, berkata berbisik penuh penekanan.

"Karena ibumu sudah menyakitiku. Ibumu terlalu keras kepala. Ibumu tidak mau meminta jatah warisan dari orangtuanya untuk kehidupan kita..."

"Apa harta yang sudah membutakan matamu, Bapak Tua? Apa harta juga sudah membutakan hatimu?"

"Kamu --hanya anak kemarin sore yang tidak tahu apa-apa! Apa kamu pernah memberikan sedikit saja bentuk cintamu kepada bapakmu ini? Sedikit saja dari hasil kerjamu agar aku bangga memiliki anak sepertimu?"

Aku menyipit tajam. Gigiku bergemelutuk. Tanpa sadar aku sudah menunjuk dirinya. Aku kesetanan kali ini.

"Jadi kau berharap persenan dariku? Kau bahkan sama sekali tidak memikirkan kami, menafkahi aku dan adikku dan sekarang kau menuntut persenan dariku? Apa? Apa yang bisa kudapatkan dari seorang ayah sepertimu? Kasih sayang? Aku bahkan buta. Aku tidak tahu bagaimana sosok ayahku. Jika kau tidak mau menjadi wali nikahku...,"

"Kamu tak akan pernah menikah seumur hidupmu. Bahkan meski aku sudah mati. Karena aku tidak akan pernah mengijinkan siapapun menjadi wali nikahmu!!!"

PLASSHH!!!

Aku hilang seketika. Aku tidak bisa lagi mendengar suara orang-orang. Aku kembali linglung begitu dia meneriakiku, menancapkan belati kata-katanya di hatiku. Mungkin aku sudah mati sekarang.
Aku hanya bisa melihat mereka yang mulai cekcok. Lalu mama yang menangis dalam diam. Max yang terbengong. Dan adikku yang sudah menangis di dalam dekapan Doni.

Aku tidak akan pernah merasakan bahagia itu. Aku tidak akan pernah mewujudkan mimpiku membangun sebuah keluarga bahagia.

"Sugar!!" Sekali, aku bisa mendengar teriakan Max ketika aku melangkah pergi dari rumah panggung itu.

2. Max-Shanon: Hanya Untuk Dikenang (we're Move To Dreame) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang