Schadenfreude

By Renanthera

15.3K 252 48

Namaku Renanthera, gadis muda yang biasa saja namun penuh dengan kesialan. Maksudku, seorang dewi agung yang... More

Chapter 1 That Boy, Starting
Chapter 2 Location: Secure Area
Chapter 3 Renanthera's Grandpa
Chapter 4 The Contract
Chapter 5 That boy: Trusted
Chapter 6 White Flag
Chapter 7 Escaped
Chapter 9 Imprisoned
Chapter 10 Recited
Chapter 11 Ares Schwartz
Chapter 12 Love Hurts
Chapter 13 Visions
Chapter 14 Re-awakening
Chapter 15 Herse (Rhoda)
Chapter 16 The Way It Was

Chapter 8 Merella Lay

817 18 4
By Renanthera

Chapter 8 Merella Lay

Aku hanya bisa menatap hampa atas badan Algo yang kelamaan melebur menjadi tanah. Udara sekitar tak membuatku menjadi baik, dan bayangan Athena masih berkutat di pikiranku. Aku memejamkan mataku dan mencoba untuk tenang, merasakan keletihan dan kebingungan di setiap sel otakku. Setidaknya aku tahu Algo masih hidup. Dan aku tahu Athena memataiku sepanjang waktu.

"Luruskan pikiranmu, Hatter." Sebuah suara gadis kasihan terdengar di dibelakangku. Aku tak membantu diriku untuk menengok ke belakang dan mengeceknya.

"Kau melakukan banyak hal hari ini." Suara itu melanjutkan dan kini Ia berjalan ke arahku dengan suara langkah kaki yang terdengar sengaja.

Aku menggeser bola mataku ke ujung mata, lalu kembali melihat debu Algo didepanku. Jasad Algo sudah rata dengan tanah. Aku mencoba menyentuhnya dan merasakan debu halus di telapak tangan. "Siapa kau?" Tanyaku sedikit berputus asa.

Gadis itu berhenti berjalan. Aku masih saja duduk di tanah membelakanginya, dan tidak membalikkan badan untuk melihat.

"Merella Lay." Ia berkata dengan yakin. "Aku datang untuk mengucapkan 'halo'."

Mendengar itu aku mengerutkan dahi, lalu memutar kepalaku kebelakang. Seorang gadis seumuran Algo berdiri dengan bertolak pinggang dan senyum ramah. Ia mengenakan jaket kulit cokelat dan celana pendek. Rambut hitamnya di kuncir dua dan diikat sehingga membuat dua bola rambut. Dan dari penampilannya, bisa dikatakan Ia memiliki wajah yang cantik dan baik, tapi aku lebih memilih tak menjawab perkataanya dan membalikkan kepala kembali.

"Biar kutebak, itu Alger Schwartz?" Suaranya menuding.

Aku mendesah, lalu menggeleng lemah. "Bukan."

"Hmm. Pasti Ia sedang bersama Ares."

Aku memutar kepalaku dan mengernyit padanya. Ares? Apa yang dia lakukan dengannya? Seakan mengetahui apa yang ada dalam pikiranku, Merella tersenyum. "Ares Schwartz, adik Alger. Kurasa mereka sedang tidak menjagamu, Hmm?" Aku agak terkejut mendengar kalimat pertamanya. Adik Algo? Tapi aku sudah merasa lelah dan mengabaikan omongannya, lalu berdiri dan memukul gaunku yang menghitam karena abu.

Merella mendengus dan mengerutkan dahi ketika aku berjalan pulang dan tidak meladeninya. Ia berbisik dan berteriak padaku, namun aku tidak menyahut. Akhirnya saat aku mendekati gerbang, aku merasakan sesuatu yang kasar memegang kakiku, lalu menyeret kebelakang dengan kasar. Aku hampir terhempas dan terjatuh ke depan, namun aku ditahan oleh kumpulan angin yang membuatku berdiri kembali. Dan saat aku menyadari apa yang terjadi, aku telah berdiri di depan Merella dengan badan tegap.

"Kau tidak akan mau membuatku marah, sayang." Ia berkata dengan suara riang yang ramah. "Oh, coba lihat dirimu. Penuh dengan luka dan memar. Apa yang terjadi?" Ia bertanya dengan nada simpatik.

Aku tak langsung menjawab. Aku berusaha menyatukan pikiranku padanya dan memfokuskan diri. Ternyata Ia memiliki wajah lucu dan baik. Memang tidak tersirat rahasia apapun dimatanya, tapi aku juga tak mau memercayai mata itu.

"Apa yang terjadi disini aku tak persis tahu." Jawabku dengan bahu terangkat. "Dan semoga aku menemukan Algo."

"Ooh..." Ia menepuk tangannya. "Algo! Sebutan yang manis. Katakan, apakah Athena ada disana?"

Aku mengedipkan mata sekilas. Berapa banyak orang hari ini yang menanyakan Athena? Apakah legenda Ia kuat memang benar? "Athena... Aku tak tahu." Kataku singkat.

"Pasti rasanya menyenangkan mempunyai kekuatan hebat dalam tubuhmu, bukan begitu?" Merella menyikut tanganku dengan senang.

"Aku... Entahlah..." Kuusap bagian belakang leherku. "Semuanya kacau ketika aku bangun."

"Yah... Yah, terlalu banyak omong." Ia memutar bola matanya, aku mengerutkan dahi. "Bisakah kita mulai sekarang?" Gadis itu meraih lenganku dengan manja dan memainkannya. "Aku tak sabar."

"Memulai apa?"

"Oh, kau akan menyukainya." Ia tersenyum. "Ucapanku, tentu saja." Merella melepaskan tanganku dan menyodorkan tangan kanannya. Aku menatap wajahnya sebentar, mukanya menampakkan kesetiaan dan keramahan. Dan saat aku hendak menjabatnya, aku salah.

***

Aku terpental sejauh sepuluh kaki dari tempatku dan mendarat  di tanah dengan wajah terlebih dahulu. Sebagai hasilnya, kurasakan hidungku patah dan mengeluarkan darah. Aku mengeluh sebentar dan mencoba bangun, rasa pening kepala merambat kembali, dan kini ditambah rasa sakit di hidungku. Aku kembali terbaring dan membuka mata perlahan. Merella berdiri di depanku. Ia tidak tersenyum dan tangannya diselubungi oleh cahaya hijau gelap. Aku membalikkan badanku dan merangkak menjauhinya. Gadis itu berjalan pelan dan mengikutiku dari belakang dan sesekali menendang kakiku dengan sepatu tingginya. Aku pun tak kuasa menahan rasa sakit dan lelah dalam diriku sehingga aku berhenti dan diam di tempat. Merella Lay kembali menatapku, lalu saat aku mengedipkan mata, Ia menghantam perutku dengan tangannya dan membuatku menjerit keras. Kurasakan pedihnya perutku dan darah yang keluar dari mulutku. Aku hampir menangis, aku tak tahu apa yang terjadi dan tiba-tiba saja aku dibunuh.

"Kukira kematian Gradon membuat rencanaku dan ayahku berjalan lancar..." Merella Lay berkata dan menendang kepalaku dengan sepatunya. "... Dan kau tahu apa, Hatter? Kukira Algo berada di pihak Martial!" Satu tendangan lagi di kepala, dan kali ini Ia menendang di bekas lukaku. Aku meringis dan menitikkan setetes air mata. Dunia kembali berputar seperti saat kontrak berlangsung, namun bedanya tak ada Algo disini.

"Hhh..." Aku mencoba bernafas dan berdiri dengan sisa kekuatan, malangnya, Merella melihatnya dan hendak kembali meninjuku. Tapi aku mengambil langkah pertama.

"Ti... dak!" Aku memaksakan badanku dan menahan tangannya dengan tanganku. Merella terperanjat, cahaya hijau ditangannya makin membesar dan memakan tanganku. Rasanya seperti membakar tanganku dan menekannya. Namun aku terus memaksakan kehendak dan mendorong tanganku dan mengembalikan cahaya hijau padanya.

Merella Lay terhempas dari tempatnya dan jatuh terjerembab. Cahaya hijau merasuki tubuhnya dan membuatnya muntah darah dan lebam di sekujur badan.

"Maafkan aku." Aku memanfaatkan waktu untuk berlari darinya sejauh mungkin, tapi yang bisa kulakukan hanyalah merangkak dan menyeret diriku dengan siku.

"Kau... Kau tidak boleh pergi!" Merella menjerit dan melempar bola hitam padaku. Aku tak bisa mengelak, bola itu masuk ke dalam diriku dan menyebabkan sirkulasi darahku terhenti sebentar dan membuatku merasakan sakit yang luar biasa. Aku menjerit terus menerus. Aku merasa jantungku diremas dan di ditusuk pada saat yang bersamaan, terlebih kepalaku yang terasa mau copot sepanjang waktu membuatku mual dan pusing. Saat itu aku masih bisa menahan tangisanku, lalu secara perlahan aku membiarkan diriku tak sadarkan diri di tanah. Meresapi sesuatu. Mungkin kematian. Tapi bisikan halus dan tangan yang menopangku membuatku kembali bangun.

Itu Algo. Ia membisikkan namaku dan menggoyangkan badanku agar aku bangun. Well, aku bangun. Dan tangisanku pecah saat melihat mukanya. Aku tak dapat menahan rasa sakitnya, dan aku juga senang Ia datang untukku. Algo menggengam tanganku yang terbakar, Ia berulang kali mengatakan semuanya akan baik-baik saja, dan yang bisa kulakukan hanyalah mengedipkan mataku dan bernafas pelan.

"... Aku... Aku belum mati." Merella Lay bangun dan memegang dadanya seakan menariknya. Sorot mata gadis itu kini menyala-nyala. Ia berdiri dan membuat tanah bergoyang. Algo menggeram, dan untuk pertama kalinya kulihat Ia merasa tertekan oleh suatu hal.

"Berpeganglah padaku, Ren." Algo berbicara dengan gigi menyatu. Aku mengangguk, lalu menggenggam jas birunya.

Merella menyebabkan tanah bergemuruh dan retak. Beberapa diantaranya saling menabrak dan hancur, tetapi itu membentuk gunung kecil yang Ia pijaki. Lapangan berubah menjadi daratan hancur dan sekitarnya berantakan. Algo memejamkan matanya beberapa lama, lalu ketika Ia membukanya tanah dibawah kami naik sehingga sama jajar dengan Merella Lay.

"Hhh... Alger..." Merella tersenyum dengan terengah-engah dan tetap memegang bagian kiri dadanya. "Kau... kau sudah kembali...?"

Algo menatap gadis itu dengan kedua matanya yang tajam. Sarat marah terlihat, dan aku merasakan Algo menggumam beberapa sihir di ujung mulutnya.

"Aku... aku senang kau masih mengenalku..." Merella akhirnya terjatuh. Gadis itu menggunakan tangannya untuk menahan, dan kali ini kulihat matanya memerah. "Ayah... ayah meninggal karena wanita itu... Algo."

Merella menangis. "Aku tak tahu... aku merasa sendiri..."

Algo tampak tak peduli dengan omongannya dan beralih menatap sekitar, dan setelah Ia merasa aman Algo melemparkan bola angin merah pada Merella. Gadis itu terkena di bagian kepala, Ia sempat mengucapkan sesuatu dengan cepat sebelum tak sadarkan diri.

Aku menatap Merella dengan perasaan lega. Musuhku berkurang satu, yang berarti aku bisa pulang ke rumah dan menjalani aktivitas rutinku kembali. Namun Algo tak memandang seperti yang kulakukan. Ia terus menatap langit dan kanan kirinya. Aku heran, lalu kembali memandang tempat Merella. Ia sudah tidak ada disana.

***

"Algo... Merella--"

"Aku tahu." Ia memotong kata-kataku. "Ia memang pandai dalam sihir menghilang." Mendengar itu aku merasa gelisah. Aku mencoba berdiri disebelah Algo, namun badanku segera oleng sehingga Algo harus menopangnya kembali. "Kau tidak boleh bangun dulu. Tetap disini--"

"Aku tak apa-apa." Jawabku dengan marah dan melepaskan diri darinya. Rasa pusing dan sakit langsung menyerbuku, tapi aku tetap berkukuh untuk berdiri. Dan tiba-tiba saja aku merasa diriku terbang. Mungkin halusinasi. Atau mungkin diriku memang terbang.

"Ren!" Algo berteriak. Aku membuka mataku. Merella Lay tersenyum hangat padaku sambil mengangkat badanku. Ia mempunyai sayap tipis dibelakang punggungnya, sayap berwarna biru transparan yang cantik. Aku berusaha menggapai daratan, tapi gadis itu membuatku terus melambung tinggi hingga nafasku sesak. Udara menekan dadaku. Dan begitu aku menatapnya kembali, Merella membisikkan sesuatu di telingaku.

"Ren... Jika aku jadi kau, aku tidak akan memilih Algo sebagai partner. Kau tahu apa? Algo bukanlah pemuda baik. Ia bukanlah pahlawan. Malah Ia adalah seekor rubah yang mengendap diantara serigala..."

Aku mencoba menjawab bisikan itu, namun Merella mendorong pundakku dan aku terjun dengan cepat ke bawah. Udara seakan menggesek badanku. Aku merapatkan gigiku dan mencoba menahan rasa pusing, Merella terbang disebelahku dan kembali tersenyum dengan senyum ramah.

"Halo, Renanthera Hatter." Ia berbicara. "Namaku Merella Lay, ayahku adalah seorang penguasa di Martial yang hebat sebelum meninggal dengan sedih di petinya."

Aku menutup mataku dan mengabaikannya, aku mencoba merasakan detak jantungku. Berdetak pelan. Segera setelah itu aku mendengar geraman dari Merella, dan sebuah tamparan mendarat di pipiku. Mata gadis itu kembali menyala.

"Dengarkan ketika orang sedang berbicara!" Teriakannya melengking di telingaku. "Ayahku meninggal karena kakekmu juga Athena! Mereka berdua membuat hidupku hancur!"

"Aku... Aku tidak tahu apa-apa Merella!" Aku balik menjerit. Kesadaranku mulai berputar kembali. "Semuanya tidak ada hubungannya denganku!"

Merella mendengus dan menggeram dengan amarah. Lalu Ia mengepalkan tangannya dan meninju padaku. "Ini yang kusebut dengan tidak tahu apa-apa!"

Sekitar dua detik kemudian aku merasakan badanku beradu dengan tanah. Debuman yang begitu keras dan menyakitkan. Aku berteriak, dan merasakan kematian akan menghampiri.

Algo berteriak di belakangku. Ia memanggil namaku, begitu juga orang di sebelahnya, suara Ares.

"Ren!" Algo menghampiriku dan memegang jantungku. Masih berfungsi. Entah bagaimana aku melakukannya, atau mengapa benda itu masih berdetak. "Ares! Kau alihkan perhatianmu pada Merella! Aku akan membawa Ren ke rumahmu!"

Ares membalikkan kepalanya lalu mengangguk. "Cepat lakukan itu dan kembalilah kesini!"

Algo mengangguk, kemudian menatapku. Aku merasakan nafasku di ujung hidungku yang mati rasa. Algo meraih tanganku dan menggenggamnya. Ia mengucapkan beberapa kata, lalu cahaya biru mengalir padaku dan membuatku perlahan tertidur. Dan ketika semuanya menjadi hitam, aku mendengar ledakan keras dan diriku dibawa lari oleh Algo.

***

"Merella Lay." Ares mengusap percikan darah di pipinya dan tersenyum. "Senang bisa bertemu denganmu kembali." Ia melebarkan tangannya.

Merella mendengus, Ia menahan dirinya dengan kuku yang beradu bersama tanah yang menyeretnya. Ares membuat pertahanan kecil berupa ledakan, dan sepertinya itu ucapan halo yang cukup untuk Merella. "Dan senang untukku juga, pembual." Merella terbatuk dan memuntahkan sebagian besar darah, lalu mengeluh.

Ares masih tersenyum, dan kini Ia menampakkan senyum khasnya. "Aku memang pembual. Aku menyayangi kakakku. Ia tahu apa yang benar dan salah. Dan aku diterima olehnya."

"Kuharap ini salah satu jebakanmu dengan membuat diriku terkaget dan langsung menyerangmu? Oh, lupakan!" Merella berdiri dam memasang kuda-kudanya.

"Aku tak berkata aku memainkan suatu peran." Ares berkata tenang seraya menyembunyikan tanah yang bergemuruh pelan. Sejenak memang tidak ada apa-apa, namun tiba-tiba bunyi retakan terdengar dari bawah tanah. Retakan itu memanjang, dan kalau diteliti, retakan itu lebih mirip simbol-simbol yang saling berhubungan. Merella melihatnya dan menyumpah.

"Kau, kau Necromancer." Ia menggeram. Badannya sedikit gemetaran, tapi Ia menyembunyikannya dengan bertingkah sombong di depan Ares. "Aku tak takut padamu." Merella tersenyum.

Ares mengangguk mendengarnya. "Tentu kau tidak takut. Aku bukanlah sang penguasa."

"Tapi aku benar-benar tidak takut denganmu!" Merella menjerit.

Pemuda itu mendesah, lalu mengeluarkan sembilah pedang dari sisi kanan gespernya. "Tanpa sihir. Kau setuju?"

Merella tampak terenyak mendengarnya, kemudian Ia menutup matanya, dan begitu Ia membukanya Ia kembali dengan keberanian baru. "Aku setuju."

"Well, kalau begitu." Ares maju selangkah. "Ayo kita bermain."

***

Algo tengah berlari dengan terburu-buru ke rumah Ares. Ia membawa badan Ren yang tidak sadar untuk segera di obati. Darah mulai mengotori jas biru Algo yang bersih dan menyisakan bercak hitam kemudian. Peluh keringat terlihat jelas di muka Algo yang layu. Ia merasa lelah, tapi Ia tak boleh lengah sekarang. Nyawa seseorang sedang di tanggungnya.

"Ren, bertahanlah." Ia berbisik pelan. "Maafkan aku."

Dan seiring berjalannya waktu, kaki Algo mulai terasa berat dan kaku. Ia sudah sangat lelah menggendong seseorang dari bukit ke bukit. Rasa keberaniannya sedikit menciut ketika setengah perjalanan, dan Ia mulai takut. Ia takut Ren takkan selamat. Ia takut Ares tidak akan sanggup melawan Merella. Ia takut dirinya gagal. Tapi Ia segera menggelengkan kepalanya dan kembali berlari ke kediaman Ares.

***

Lelaki itu sedang asyik menonton 'pertunjukannya' sebelum Ia merasakan suara sepatu dari arah belakang.

"Corvus." Seseorang berbicara di belakangnya. Lantas pemuda itu membalikkan badannya dan tersenyum. Seorang tamu akhirnya menyadari kehadirannya yang duduk di pojok panggung dengan dua pengawal di kanan dan kiri.

"Lady Avery." Pemuda itu menganggukkan kepalanya seolah sudah mengetahui. "Senang melihatmu. Bagaimana pertunjukkan kali ini?"

Perempuan itu tak menjawabnya, Ia hanya menggeleng. "Aku tidak memerhatikannya, aku disini untuk menanyakan Merella."

"Hmm, ya."

"Jadi kau yang memanggilnya?" Gadis itu langsung bertanya ke inti cerita.

Laki-laki itu mengangkat alisnya dan tertawa kecil. Wajahnya bisa dikatakan tampan, asalkan Ia lebih memanjangkan rambutnya. Pemuda itu berpikir rambut menandakan seberapa terhormatnya kalian. "Tidak. Tapi Ia hanya datang menanyakan beberapa hal padaku."

Lady Avery mengernyitkan alis. "Beberapa hal?"

"Oh, Well." Pemuda yang dipanggil Corvus itu menyibakkan rambutnya. "Ya, beberapa hal."

"Tak ada pesan lagi?" Avery menaruh curiga di kata-katanya.

"Tidak, tidak ada." Corvus menggeleng. "Hanya hal. Hal yang lumayan penting untuk Schwartz."

Avery menaikkan dagunya dan maju selangkah. "Lumayan penting? Apakah Merella sedang mencari sesuatu?"

"Uhuh."

"Dan Ia merencanakan ini sendiri?"

"Yeah."

"Lalu Ia memberitahunya padamu?"

"Tidak juga. Ingat, hanya beberapa hal."

"Katakan hal apa itu." Avery mundur dan mencari kursi dekat Corvus.

Corvus tampak senang dengan pertunjukkannya. Dan Ia juga akan membuat permainan menjadi menyenangkan.

"Berjanjilah untuk tetap disini." Corvus tersenyum.

Avery tampak ragu pertamanya, lalu akhirnya Ia mengangguk. "Aku berjanji."

"Baik." Corvus menghela nafas dan menyenderkan tangannya ke kursi Avery. "Ingat pertarungan Gradon Hatter dan Walter Lay? Yap, itu sejarah Dunia Sihir. Tapi apakah kau mengingat seribu robot Gradon yang menyerupai aslinya? Itu ide dan buatanku. Cresworth menggunakannya untuk mengelabui Martial, tetapi saat itu aku belum melenturkan tekstur kulitnya, sehingga robot itu mudah diketahui dan dirusak oleh Martial. Lama kemudian kudengar, salah satu robot yang selamat hilang saat dikumpulkan kembali, yang berarti benda itu telah dicuri. Aku tak perlu mencari riset atau melihat dari satelit untuk mengetahui siapa pencurinya, karena aku, juga kau, pasti mengetahuinya."

"Merella Lay." Avery mengangguk dengan serius.

"Benar. Ia telah merencanakan sesuatu dengan ayahnya. Jujur, aku tak tahu apa itu. Namun, Ia membocorkan sedikit informasi padaku."

"Apa itu?"

Corvus berdeham. "Ayahnya bekerjasama dengan seorang pengusaha kaya yang tamak di suatu tempat. Ia bilang Ia akan melakukan sesuatu hal yang buruk pada Cresworth, dan menertawakan Athena."

"Yang dimaksud dengan menertawakan Athena... Membuat Athena hilang kendali?"

"Ya. Kurasa juga begitu. Ghast tentu dibawah kekuasaan Merella. Mana mungkin seorang ketua terhormat dari Martial mau melakukan ini? Dan terlebih, Ia membiarkan dirinya mati konyol. Melawan penguasa, huh? Martial memang selalu lamban dalam berpikir."

"Jadi Merella benar-benar merencanakan semua detil ini? Bagaimana dengan upacara kali ini? Apakah dia yang menyelenggarakannya?"

Corvus mengangguk. "Aku langsung sadar kalau itu adalah dia melalui tiket yang dijual. Ada inisial 'L' di pojok dekat gambar. Lalu tanda tangan Para Raja seperti palsu bagiku. Sir Thompson tak mungkin memakai huruf 'M' sebagai nama depannya, yang mana Mortus Thompson selalu memakai nama keluarganya untuk urusan penting."

"Mortus Thompson... Aku pernah mengenalnya. Ia seorang Necromancer yang terkenal." Avery menambahkan. "Mengenai hal yang dikatakan Merella, apalagi?"

Corvus menatap Avery sekilas, lalu Ia menjilat bibirnya yang kering. "Ini akan berat bagimu. Semua ini bermasalah pada Ares Schwartz." Lalu Ia kembali pada tempat duduknya.

Wajah Avery langsung menegang. Sekelebat ingatan menghantui pikirannya, sekelebat ingatan yang buruk. Cepat-cepat Avery tak menanyakan kelanjutan dan duduk dengan gelisah di tempatnya. Corvus melihatnya tampak berpikir, namun Ia lebih memilih Avery mendengar kabar ini ketimbang rasa heran memakannya.

"Merella menggunakan robot curiannya yang sudah Ia betulkan untuk mengelabui Ares dan Algo. Ia mengira dengan dengan terlukanya gadis itu Ia dapat memanggil perhatian mereka, dan itu benar. Ares dan Algo datang. Algo pasti langsung membawa gadis itu ke rumah Ares, dan sekarang hanya tertinggal Ares sendiri."

"Oh." Respon Avery dengan sedikit kecewa. "Setidaknya kita tahu Ares orang yang kuat, begitu juga Alger."

"Tapi Avery." Corvus memegang pundaknya. "Maafkan aku. Aku seharusnya berbuat sesuatu sebelum berangkat kesini, namun terlambat. Ternyata Merella memasang bom aktif dalam robot yang menyerupai dirinya. Dirinya yang asli sekarang sedang mengendap di rumah Ares. Aku takut Algo bertemu dengannya, begitu juga Ares yang tak mengetahui kalau yang Ia lawan sekarang adalah sebuah bom yang dikontrol."

Kini muka Avery tidak lagi menegang, melainkan pucat, sangat pucat. Dan sepertinya Ia hampir menangis karena pinggir matanya mulai memerah. "Aku... aku harus pergi." Ia melihat ke arah lain.

"Lady Avery." Corvus berkata dengan nada simpatik yang dibuat. "Ingatkah kau dengan janji untuk tetap disini? Duduklah dan kita lihat pertunjukan kedua."

"Tapi..." Avery mengerutkan alisnya dan menoleh pada Corvus. Wajah Corvus tampak tenang dan tak peduli, dan seharusnya Avery menyadari ini sebelumnya. "Kau berpihak pada Martial, bukan begitu?" Gadis itu melemparkan tatapan marah padanya.

Corvus menaikan alis dan mengangkat bahu. "Aku bukan miliki siapa-siapa. Aku sendiri. Aku hanya membantu bagi mereka yang membayarku."

"Kau... kau tidak peduli Cresworth?" Avery berkata dengan nada tak percaya.

"Tidak. Aku hanyalah pemuda dari Dunia Nyata yang tertarik dengan sisi lain dunia. Dan secara kebetulan aku menemukan beberapa rahasia."

"Kau bodoh." Avery mengumpat. "Kau menganggap Dunia Sihir terlalu enteng sehingga terjadi banyak peperangan. Otakmu takkan menyelamatkanmu nanti."

"Teruslah berbicara." Corvus mengangkat tangan dengan gaya meremehkan. "Ah, lihat. Ares mengeluarkan pedangnya. Ini menyenangkan." Pemuda itu mengedipkan matanya pada Avery.

Avery menaikan alisnya dan memutar kepalanya kembali pada lapangan. Ares berdiri disana, menantang dan memegang pedangya. Robot Merella juga mengeluarkan pedang, dan mereka berdua mulai menyerang. Avery menggigit bawah bibirnya setiap kali Ares hampir memenggal kepala Merella. Ia tahu jika robot itu mati Ia akan meledakkan tubuhnya sendiri, sesuai dari apa yang dikatakan Corvus mengenai bom aktif.

"Corvus." Avery berkata pelan dan tidak menggeser kepalanya.

"Hmm?"

Avery menarik nafas dan memejamkannya. Ia tak menangis, Ia hanya takut. "Kau berhutang padanya."

"Aku tahu." Corvus menjawab dengan santai. "Jika Ia masih hidup, aku akan membayarnya."

Hati Avery makin sakit saat pemuda itu mengatakannya, seraya kebenciannya pada Corvus yang terus menambah. "Dan kau adalah orang terburuk yang pernah kutemui." Ia membuang nafasnya dan kembali menatap lapangan.

"Aku juga tahu itu." Corvus mengangguk. "Semua orang membenciku."

***

Tinggal beberapa kilometer lagi dan Algo akan sampai dirumah Ares. Nafasnya memburu, dan sebagian besar bajunya tertutupi oleh darah. Ren sudah terlalu banyak mengeluarkan darah dan mukanya juga semakin pucat. Algo mengepalkan giginya seraya menjaga agar sihir tetap mengalir dalam tubuh Ren. Dan begitu Ia sampai di teras rumah Ares, kejutan dimulai.

Merella berdeham kecil ketika Algo sedang terburu-buru mencari kunci rumah, dan ketika Algo membalikkan wajahnya ke arah kanan, Ia tersentak.

Merella Lay berdiri dan bersandar dengan manja pada salah satu tiang penyangga rumah Ares. Perempuan itu memberikan senyumnya yang jahat, lalu mendekati Algo dan Ren.

"Alger." Ia berkata. "Terima kasih untuk datang berkunjung dan melengkapi rencanaku."

Algo mengernyitkan dahinya dan menjaga jarak dengan gadis itu. "Rencana?"

"Oh, ya ampun." Merella tertawa kecil. "Lancangnya aku. Jadi Alger, kau sedang berhadapan dengan Merella Lay. Diriku sendiri."

Algo diam, Ia menunggu perempuan itu berbicara kembali. "Dan yang disebelah sana, adikmu, sedang bertarung dengan Merella Lay..." Gadis itu diam sebentar untuk menunjukkan senyumnya. "... Kedua. Aku mendapatkan ide hebat ini sendiri, tapi aku mendapatkan kembaranku dari seorang profesor muda."

"Corvus." Algo menjawab sendiri. Merella tertawa.

"Laki-laki itu memang hebat. Kepalanya selalu bisa mengerti kemauanku."

"Laki-laki itu adalah racun bagi Dunia Sihir." Algo menyanggahnya. "Sekali kau memberitahu sesuatu padanya, kau akan menyesal."

"Oh, tenanglah." Merella mengibaskan tangannya. "Mungkin sekarang Ia berpihak pada Martial. Bagaimana menurutmu?"

Algo tak menjawabnya. Ia memutar kepala dan melihat ke arah lapangan. Pandangannya menerawang. "Biar kutebak. Kau mencoba mengelabui kami? Apa yang kau inginkan? Apa yang ada di dalam robot itu?"

"Alger, kau terlalu banyak bertanya. Ya, aku mengelabui kalian. Aku memakai Ghast dan robotku untuk umpan. Dan yang ada di dalam robot itu adalah benda yang sedikit unik."

Algo kembali menerawang lapangan. "Apa yang kau inginkan?"

Merella tersenyum. "Aku menginginkan Athena bangun, juga lokasi batu kristal merah."

"Batu itu belum ditemukan."

"Oh, sudah."

Algo memutar kepalanya ke Merella. "Berhentilah bersikap menyebalkan."

"Tidak aku serius!" Merella membentak. "Seseorang mengaku menemukannya melalui Internet. Ia berkata Ia menemukannya di tempat yang tak terduga."

"Siapa dia?"

"Aku tak tahu." Merella melipat tangannya. "Foto dirinya adalah burung gagak. Entah Ia mencoba membawa bencana atau apa."

Burung gagak? Algo berkata dalam hati. Terdengar familiar. "Lalu benda apa yang ada di dalam robot itu?"

Merella kembali memasang wajahnya yang Ia anggap jahat. "Oh... Hanya bom."

Algo menaikkan alisnya dan menatap Merella dengan marah. "Kau gila!"

"Aku tidak." Gadis itu berkata dengan meremehkan. "Sebentar lagi robot itu akan mati, dan ketika itu terjadi, robot itu akan meledakkan semua yang ada di panggung."

Wajah Algo kini pucat. Ia menatap Ren yang terbaring di tangannya dan bergantian menatap lapangan. Ren dan Ares dalam masalah. "Cepat katakan apa yang kau mau dan kita selesaikan ini!"

"Tidak secepat itu." Merella memprotes. "Dimana letak batu kristal merah?"

"Aku tak tahu!" Algo membentak.

"Hmm." Gadis itu diam utuk sementara dan memegang dagunya. "Rencana yang sia-sia. Kalau begitu katakan padaku..."

"Cepatlah!"

"... Bagaimana kau memperoleh kontrak dengan malaikat? Maksudku, jika aku bisa mendapatkan kontrak dengan iblis tentu aku bisa mencari lokasi batu kristal merah. Ceritakan padaku pertemuanmu hingga akhirnya kau tinggal serumah dengannya--malaikat. Semuanya." Gadis itu berkata cepat.

Merella menyibakkan rambutnya kebelakang lalu melihat Algo. Mata Algo terbelalak. Ia seperti melihat atau mengingat sesuatu yang menakutkan dan menatap Merella dengan aneh. "Kau gila." Algo berkata pelan.

"Aku tidak!"

"Ya. Kau gila. Kau berusaha mengikuti jejak ayahmu."

"Ceritakan saja." Merella mengehentakan kakinya.

Algo tampak waspada, namun Ia tahu tidak ada jalan lagi. Jika Ia mau menyelamatkan dua orang itu Ia harus menceritakannya. Menceritakan suatu kenangan yang tergolong buruk dan pahit. Algo menelan ludah meletakkan Ren di lantai. Darahnya sudah berhenti, tapi detak jantungnya belum stabil.

"Aku akan menceritakannya." Algo berkata dengan gemetar.

"Tapi berjanjilah untuk menyelamatkan mereka. Jika tidak aku akan membakarmu disini." Pemuda itu melirik gadis itu dengan pandangan marah.

"Setuju." Merella mengangguk.

Algo kembali berdiri. Ia bersandar pada salah satu tiang dan mendesah. Mata hitamnya memandang matahari, mengamati sesuatu yang tak tersirat dimatanya. "Kau ingat setahun yang lalu? Saat aku dipenjara?"

Merella mengangguk. Algo mengehela nafas dengan pelan. "Saat itulah aku membuat perjanjian itu."

***

Perempuan itu duduk di teras rumah Algo dengan tangan menahan dagunya. Sayap putihnya tidak megembang dan tampak lemah dengan debu abu yang menyelimuti. Wajah cantik tidak memengaruhi isi hatinya, dan Ia tetap pada satu pendirian.

"Aku akan terus memegang kontrak itu Algo." Ia berkata pada dirinya sendiri lalu menggosok kedua tangannya. "Mungkin kau bisa berlari dari Martial, tapi kau tidak bisa lari dari takdir."

"Dia tidak mempunyai takdir, dia membuatnya sendiri." Seseorang menyahut di belakangnya. "Kau boleh saja mengikutinya, tapi kami akan selalu mengawasimu, Frailty."

Frailty mendesah dengan kecewa. Mata birunya menatap langit dengan beku. "Algo sudah mempunyai kontrak dengan pewaris Gradon Hatter."

"Kalau begitu kau bisa kembali lagi pada kami." Orang itu menyentuh pundak Frailty. "Tugasmu selesai."

Frailty tak menjawab kata-kata itu. Ia hanya menatap sedih pada udara, dan termangu dalam udara dingin. Orang yang menyentuh pundak Frailty memeluknya, dan Frailty pun memejamkan mata.

"Kau menjemputku?" Tanya Frailty.

"Ya." Orang itu menjawab.

"Terima kasih."

"Sama-sama." Orang itu tersenyum. "Ayo kita pulang." Ia melepas pelukannya dan menggenggam tangan Frailty. Frailty membuka matanya dan menjawab senyumnya.

"Ayo." Lalu dengan kepakan sayap yang anggun, mereka berdua pergi ke langit dan meninggalkan berkas kilau di udara.

Continue Reading

You'll Also Like

1M 89.8K 44
(๐’๐ž๐ซ๐ข๐ž๐ฌ ๐“๐ซ๐š๐ง๐ฌ๐ฆ๐ข๐ ๐ซ๐š๐ฌ๐ข ๐Ÿ) ๐˜Š๐˜ฐ๐˜ท๐˜ฆ๐˜ณ ๐˜ฃ๐˜บ ๐˜ธ๐˜ช๐˜ฅ๐˜บ๐˜ข๐˜ธ๐˜ข๐˜ต๐˜ช0506 า“แดสŸสŸแดแดก แด…แด€สœแดœสŸแดœ แด€แด‹แดœษด แด˜แดแด›แด€ ษชษดษช แดœษดแด›แดœแด‹ แดแด‡ษดแด…แดœแด‹แดœษดษข แดŠแด€สŸแด€ษดษดสแด€ แด„แด‡ส€ษชแด›แด€โ™ฅ๏ธŽ ___...
192K 16.9K 18
Follow dulu sebelum baca ๐Ÿ˜– Hanya mengisahkan seorang gadis kecil berumur 10 tahun yang begitu mengharapkan kasih sayang seorang Ayah. Satu satunya k...
1.5M 77.5K 76
[๐‡๐š๐ซ๐š๐ฉ ๐Ÿ๐จ๐ฅ๐ฅ๐จ๐ฐ ๐ฌ๐ž๐›๐ž๐ฅ๐ฎ๐ฆ ๐ฆ๐ž๐ฆ๐›๐š๐œ๐š] [๐‚๐ž๐ซ๐ข๐ญ๐š ๐ญ๐ข๐๐š๐ค ๐ฆ๐ž๐ง๐ ๐š๐ง๐๐ฎ๐ง๐  ๐›๐ข๐›๐ข๐ญ-๐›๐ข๐›๐ข๐ญ ๐ฉ๐ž๐ฅ๐š๐ค๐จ๐ซ] [๐“๐ž๐ซ๐...
588K 60.5K 63
Cessa dibuat kalang kabut usai menyadari keanehan menimpa dirinya. Alih-alih mati usai jatuh dari lantai jpo, Cessa malah memasuki tubuh anak balita...