[4] My Lady [SUDAH DITERBITKA...

By precious_unicorn91

17.7M 487K 61.4K

[CERITA SUDAH TERSEDIA DALAM BENTUK BUKU SEHINGGA SEBAGIAN BESAR BAB SUDAH DIHAPUS] Altair Julio Devan, lelak... More

PENGUMUMAN PENTING!!! HARAP DIBACA
1. All By Myself
2. She
3. Unrequited Love
4. Feisty Girl
5. His Smile
6. Untittled
7. Not So Perfect Man
Repost part 1-7
8. Between The Two
9. Gone not Around Any Longer
10. Aeris - Her Sadness
11. Seika - Her Loneliness
12. Devan - His Anger
13. Found You
14. Treat Me Right
Re-post part 8-14
15. Fear
16. New Assistant
17. If Only
18. Touch part 1
19. Touch part 2
20. Regret
22. Say It
23. Their Anxiety
24. Win His Heart
25. Missing You
26. The Choice is Yours (I)
27. The Choice is Yours (II)
28. Family or Lover? (I)
29. Family or Lover? (II)
30. Can't Breathe Easy
31. Nothing Hurts Like Love
32. Patience
33. Chance
34. Rejection
35. Try harder
36. Only You (I)
37. Only You (II)
38. Happy Ending???
39. I Love You
40. Special Woman
41. Will You Be My Lady
42. Call Me Baby (End)
Kesan-Kesan
Bonus Story - 3.6.5
Bonus Story - Baby
Bonus Story - XOXO
F.A.Q
Sneak Peek Novel My Lady
Sneek Peek 2 Novel My Lady
PO My Lady 2, LOTB 2, dan LMR
PEMESANAN BUKU DAN PUBLISH CERITA BARU

Bonus Story - Lucky

181K 9.9K 1K
By precious_unicorn91

Devan POV


Aku menghembuskan napas panjang sambil memijat pelipisku. Menenangkan diriku agar tidak meledak akibat amarah yang susah payah kupendam.

Sabar. Ya. Aku harus sabar.

"Huaaaaaa, Mia jahaaaatt!!!" teriakan itu membuatku menghampiri anak keduaku yang menangis sambil menendang-nendangkan kaki di lantai karena mainannya yang direbut kakaknya. Untuk kesekian kalinya, anak lelakiku menangis karena keusilan kakaknya. "Ayaaaahhhh!!!"

"Mia, kembalikan mainan Dyo!" ucapku tegas pada Mia yang sedang memainkan mobil-mobilan adiknya dengan santai. Tidak memperdulikan tangisan adiknya yang meminta mainannya. "Mia, kamu dengar ucapan Ayah?"

Mia mengerucutkan bibirnya dan kemudian mengulurkan mainan di tangannya, tanpa mau menatap adiknya yang masih sesenggukkan.

"Kamu tadi merebut mainan Dyo, kamu harusnya bilang apa, Sayang?" tanyaku saat Dyo sudah berhenti menangis dan mengambil mainan di tangan kakaknya.

"Maaf." Jawabnya sambil mengerucutkan bibir. Terlihat sedih entah karena aku tegur atau menyesal membuat adiknya nangis. "Maaf, Dyo!"

Dyo tidak menjawab karena sudah sibuk dengan mainannya. Aku pun menepuk pelan punggungnya yang membuat dia berhenti bermain. Menatapku dengan mata bulatnya, mata yang sama persis dengan milik Bundanya.

"Kak Mia minta maaf sama kamu."

"Iya, Kak."

Mia kemudian bergerak memeluk Dyo dan adiknya pun balas memeluknya. Aku tersenyum dan menghela napas panjang. Untuk hari ini, aku rasa mereka tidak akan bertengkar lagi.

Tapi dimana Rea?

"Dimana Rea, Mia?" tanyaku bingung.

"Nggak tau, Yah."

Padahal tadi dia masih di sini bermain dengan kakak-kakaknya. Kemana dia menghilang?

Dia benar-benar seperti Bunda-nya, suka sekali melarikan diri.

"Rea?" panggilku mencari kesepenjuru rumah.

Ruang tamu, dapur, halaman, teras, bahkan di kamar mandi pun tidak kutemukan dia. Aku pun mulai panik. Jangan-jangan Rea keluar rumah tanpa kusadari saat aku sedang menyiapkan makan malam tadi.

Rea?"

Saat melewati kamarku, terdengar celoteh di dalamnya. Aku pun membuka pintu kamar perlahan dan melihat Rea yang sedang bermain di atas tempat tidur besar milikku. Bermain dengan boneka sapinya sambil bercerita panjang lebar.

"Bunda dimana sih?" ucapnya terdengar sedih. "Rea kangen." Lanjutnya kemudian memeluk boneka sapinya dengan erat.

Aku menghembuskan napas berat, tidak tega melihat Rea yang merindukan Bundanya. Meskipun aku sudah menjelaskan berulang kali pada ketiga anakku kenapa Bundanya tidak ada, tapi mereka tidak juga mengerti.

Entah apa lagi yang harus aku katakan pada mereka.

"Huwaaaaa, Ayaaaahhhhh." jeritan Dyo terdengar untuk kesekian kalinya.

Aku menghembuskan napas lelah dan menutup pintu kamar. Berjalan menghampiri kedua anakku yang selalu bertengkar setiap menitnya.

Memiliki anak memang membahagiakan, namun menjadi Ayah tidak lah semudah yang terlihat dan aku bisa merasakannya sekarang. Bagaimana besarnya jasa kedua orang tuaku, membesarkanku dan adik-adikku.

Karena aku rasa, aku tidak bisa sesabar mereka menghadapi anak-anakku sendiri.

***

Aku menatap ketiga anakku, yang sedang makan dengan tenang dihadapanku, sambil tersenyum lebar. Meskipun mereka baru berumur lima tahun, tapi ketiganya sudah bisa makan sendiri dengan rapih. Ketiganya pun menyantap makanan yang kumasak dengan begitu lahap. Terutama Dyo, satu-satunya anak lelakiku, yang selalu makan begitu banyak seperti Bundanya.

Anak pertamaku, Alethea Mia Devan atau Mia. Gadis ini memiliki paras persis sepertiku dan sifat yang juga tidak jauh berbeda denganku. Sebagai anak pertama, dia tegas dan juga lebih dewasa meskipun terkadang dia suka mengusili adiknya terutama Dyo. Dan di TK-nya, dia adalah juara kelas. Mungkin yang sedikit membedakan dariku, dia ramah dan mudah bergaul. Selalu tersenyum lebar pada setiap orang. Sifat yang sudah pasti diturunkan dari Aeris.

Lalu anak keduaku, Alistair Dyo Devan dipanggil Dyo. Satu-satunya jagoan tapi yang paling cengeng diantara saudari-saudarinya. Dyo memiliki wajah yang lebih mirip Aeris, dengan sifat pun yang tidak jauh dari Bundanya. Ceria, senang melucu, selalu bersemangat dan hobi makan. Satu-satunya bukti nyata bahwa ada darahku mengalir di tubuhnya adalah kebiasaannya yang sulit bangun pagi. Aku tahu itu bukan kebiasaan baik, tapi aku dan Dyo adalah patner sejati dalam membuat semua orang naik darah saat membangunkan kami.

Dan anak terakhirku, Alecia Trea Devan. Rea. Kalau Mia mirip aku dan Dyo mirip Aeris, Rea tidak mirip siapapun. Kalaupun ada yang mendekati, dia mirip dengan Kak Ares. Ya, dengan sepupuku itu. Jangan tanya aku bagaimana itu bisa terjadi, aku pun masih mempertanyakannya hingga saat ini. Rea gadis yang manis dan imut. Semua orang bilang dia begitu menggemaskan. Tapi saat dia marah, tidak ada yang berani dengannya. Dia punya aura yang sangat mengintimidasi. Tanpa perlu bicara, hanya dengan melihat, orang-orang akan terdiam dibuatnya.

Mia, Dyo, Trea. Nama yang berarti satu, dua, dan tiga dalam bahasa Yunani. Aku bukannya asal memberi nama, tapi entah kenapa begitu mendengar ketiga nama itu, aku sangat menyukainya.

Tidak terasa mereka sudah berusia lima tahun. Mereka tumbuh menjadi anak-anak yang luar biasa dan begitu membanggakanku. Dengan kepribadian unik mereka masing-masing yang mencerahkan hari-hariku. Memberikanku semangat hidup dan kekuatan tiap harinya.

Karena mereka bertiga adalah hartaku. Hartaku yang paling berharga.

***

Prangg!!!

Suara pecahan itu membuatku tersentak kaget. Aku pun langsung berdiri dari bangku di ruang kerjaku dan berjalan keluar melihat apa yang terjadi di luar sana.

Saat aku sampai di dapur, kulihat ketiga anakku yang membuat kekacauan di sana. Menjatuhkan piring belum lagi membuat dapur berantakan karena tepung terigu yang berserakan juga bahan makanan yang lain.

"Mia, Dyo, Rea! Apa yang kalian lakukan?" tegurku dengan suara cukup keras yang mengejutkan ketiganya yang tadinya sedang bermain tepung di lantai.

"Ayah." Panggil Mia yang melihatku takut dan kemudian melihati kedua adiknya yang beringsut ke balik tubuh kakak pertamanya. "Kita mau masak kue." Katanya sambil tersenyum lebar.

"Masak kue?" seruku yang kemudian menahan amarah. "Masuk ke kamar kalian sekarang!"

"Tapi Dyo mau kue." Ucap Dyo sambil menggigit jarinya. "Kue cokat."

"Rea juga mau." Sahut adiknya menimpali ucapan kakaknya.

Oh God, apalagi ini? Baru saja aku membereskan rumah setelah mereka mengacau seharian ini. Saat akhirnya aku bisa melanjutkan bekerja, mereka membuat kekacauan lainnya.

"Tidak ada kue! Lihat yang kalian lakukan! Semua jadi berantakan." Seruku begitu emosi. "Sekarang kalian bertiga, masuk ke kamar. Dan jangan keluar sampai makan malam nanti."

Ketiganya menatapku dengan mata berkaca mereka.

"Masuk kamar sekarang atau Ayah akan kasih kalian hukuman lebih berat lagi."

Ketiganya akhirnya beranjak dari lantai dan berjalan gontai melewatiku. Kudengar isakan Dyo yang kemudian ditenangkan oleh Mia.

"Ayah jahat." Lirih Dyo yang membuat napasku tercekat. Bukan ini yang ingin kudengar dari anakku. Amarah membuatku menyakiti hati anak-anakku. "Dyo mau Bunda." Lanjutnya yang membuatku semakin sedih.

Ayah pun ingin Bunda, Sayang.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 7, tidak sedikitpun kudengar suara ketiga anakku. Setelah tadi sore aku memarahi mereka, mereka terus berada di dalam kamar tanpa keluar sekalipun. Beberapa waktu berlalu, amarahku pun surut. Dan saat kemarahanku pergi, rasa penyesalan pun datang bertubi-tubi.

Seharusnya aku lebih sabar menghadapi ketiga anakku.

Aku berjalan menghampiri kamar ketiganya. Saat kubuka kamar, kulihat ketiganya yang sedang bermain bersama di karpet kamar. Menggambar dan juga mewarnai.

"Ini Ayah!" ucap Mia menunjukkan kertas dimana dia menggambar diriku.

"Ini Bunda!" sahut Dyo yang ikut memamerkan gambarnya.

"Ini Kak Mia, Kak Dyo, sama Rea!" lanjut Rea sambil tersenyum lebar.

Ketiganya meletakkan gambar tersebut berdampingan dan tersenyum puas.

"Fa ... mi ...li? Famili apa, Kak?" tanya Dyo yang melihat Mia menuliskan kata di bagian bawah kertas gambar mereka.

"Family itu keluarga. " Jawab Mia

"Keluaga?" tanya Rea bingung.

"Iya, Ayah, Bunda, Aku, Dyo, dan Rea itu keluarga. Makanya aku sayang Dyo dan Rea." Ucap Mia sambil memeluk langsung kedua adiknya yang masih kebingungan. "Aku juga sayang Ayah dan Bunda."

"Dyo juga! Dyo sayang semuanya!"

"Rea juga! Rea sayaaaaaang semuanya!"

Mataku terasa panas melihat ketiga anakku. Rasa haru dan bahagia memenuhi dadaku saat ini. Melihat buah hatiku dan Aeris yang begitu kami sayangi.

"Ayaaah!!" teriak Mia sambil berhambur memeluk kakiku. "Ayah nangis?"

Aku menghapus cepat air mataku dan berjongkok di depan Mia. Tersenyum melihat kecemasan di wajah putri pertamaku.

"Ayah ga papa. Kelilipan debu tadi."

"Ih, Ayah bohooong! Kan tadi udah kita belsihin. Mana ada debu." Sahut Dyo yang memang kesulitan menyebut huruf R sejak dulu sambil memeluk leherku. "Ayah kangen Bunda ya?"

"Rea kangen Bunda, Yah." Ucap Rea yang ikutan bergelayut di leherku.

"Iya. Ayah juga kangen."

Ketiganya kemudian memelukku erat. Membuat mataku kembali memanas karena merasakan kehangatan yang diberikan ketiga anakku.

Banyak yang harus aku pelajari sebagai orang tua. Kesabaran adalah yang paling utama. Agar aku bisa mendidik mereka hingga menjadi pribadi yang baik nantinya.

"Ayah sayang Mia, Dyo, dan Rea."

"Rea juga!" sahut Rea lantang yang kemudian mengecup pipiku dengan gemas. Aku bahkan sampai tertawa geli karena dia tidak juga menyudahi kecupannya yang membuat pipiku terasa basah.

"Ih, culang! Dyo juga sayang Ayah kok." Sahut Dyo ikutan mengecup pipiku yang lain.

"Terus Mia cium yang mana dong kalau Dyo ma Rea cium pipi Ayah dua-duanya!" protes anak sulungku dengan sangat menggemaskannya. "Mia kan juga sayang Ayah."

Aku tertawa geli melihat tingkah laku ketiga anakku. Kemanjaan mereka yang hanya sekejap ini tidak ingin kulewati. Karena nanti tanpa terasa ketiganya sudah beranjak dewasa begitu saja.

"Ayah sayang Rea!" ucapku sambil mengecup pipi Rea. "Sayang juga sayang Dyo." Lanjutku mencium pipi gembil Dyo yang membuatnya terkekeh. "Dan Ayah juga sayang Mia." Kataku kemudian mencium pipi Mia yang dibalasnya dengan memberikan ciuman di pipiku.

"Sekarang siapa yang mau makan spaghetti buatan Ayah?"

Dan ketiganya pun menjawab dengan bersemangat sekaligus.

"Bunda pulaaaang!!!" seruan itu pun membuat ketiga anakku terpekik kegirangan.

Melupakan Ayahnya begitu saja dan berlari menuju Bundanya yang baru saja datang. Aku berjalan ke ruang keluarga dan melihat ketiganya yang bergelayut di leher Aeris. Aeris menciumi satu-satu anaknya sambil tertawa bahagia.

"Akhirnya kamu pulang juga, Bun." Kataku lega.

Aeris melihatku dan meringis. "Kamu hampir pingsan ya?"

"Almost. But I had so much fun with them. Thanks, Baby."

Aeris tersenyum lebar dan mengangguk. "Sama-sama."

***

Aeris POV

"Baru aku tinggal 3 hari kamu udah babak belur begini, Dev." Ejekku melihat dia yang terkapar di tempat tidur setelah menidurkan anak-anak. "Aku tiap hari sama mereka ga kaya kamu capeknya."

"Mereka benar-benar anak yang aktif. Aku kewalahan. Hebat kamu bisa mengurus mereka setiap hari hanya dibantu Bik Ina. Itu pun hanya bantu beres-beres rumah karena urusan anak-anak kamu semua yang pegang. You're an amazing woman, Baby. Really."

Aku tertawa kencang mendengar ucapan penuh kekagumannya itu. Akhirnya, dia merasakan sulitnya merawat anak. Setelah selama ini, dia lebih disibukkan oleh pekerjaannya. Tapi aku kagum pada Devan. Meskipun berat, dia sanggup mengurus ketiga anak kami sendiri tanpa bantuan sama sekali selama tiga hari sepeninggalan aku pulang ke Cimahi.

Karena belum tentu lelaki lainnya sanggup melakukan hal yang sama dengan Devan. Mengurus tiga anak kembar yang sedang dalam usia aktifnya, tidaklah mudah.

Trust me.

"Dulu kamu pernah bilang sama aku sebelum melahirkan, kalau aku tidak boleh menikah seandainya terjadi sesuatu sama kamu saat itu." Katanya saat aku merebahkan diri di sebelahnya.

"Ya, memang kenapa?"

"Dulu aku bilang tidak akan pernah mencari penggantimu."

"Ya."

"Aku rasa aku harus meralatnya. Aku tidak mungkin tidak mencari penggantimu, karena mengurus mereka bertiga sendirian seperti tiga hari ini, sudah bisa dipastikan aku akan K.O di hari keempat."

Aku pun memukul pantat seksinya –karena posisinya yang sedang tengkurap- dengan kesal.

"Enak aja! Jadi kamu mau punya istri lagi kalau aku mati?" seruku tidak bisa menyembunyikan rasa marah dan kecewaku.

Devan melirikku dan kemudian tertawa. Dia membalikkan tubuhnya dan menarikku ke dalam pelukan.

"Aku bercanda. Tidak mungkin aku mencari penggantimu. Karena kamu tidak tergantikan, Bunda."

"Jangan merayuku!" sungutku sebal.

"Tidak, aku serius. Mengurus mereka selama tiga hari membuatku sadar, aku begitu beruntung mendapatkanmu. Kami istri yang sangat sempurna untukku dan Ibu yang paling hebat bagi anak-anak kita. Kamu mendidik mereka menjadi anak-anak yang luar biasa. I'm so lucky to have you, Bunda."

"Really?"

"You're the best, Bun." Katanya sambil tersenyum lembut.

Aku mendekatkan wajahku ke Devan dan mengecup bibir seksinya yang kurindukan. Awalnya hanya ingin mengecup singkat, tapi karena rasa rindu yang sudah memuncak yang kami rasakan, membuat ciuman itu tidak juga usai.

"Kamu juga yang paling hebat, Ayah, dan kami beruntung memiliki dirimu."


---



Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 88.4K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
4.4K 414 4
Kumpulan fanfiction pair Sherlock Holmes × William James Moriarty dari anime Moriarty the Patriot. Mungkin mengandung OOC, head-canon, Alternate Univ...
26.2M 1.5M 76
Anggy Putri Sandjaya, berusaha membebaskan diri saat namanya digunakan untuk menutupi skandal mantan tunangan seorang pewaris tunggal keluarga Leonid...
BERLIAN By ra

Teen Fiction

444K 20.3K 31
[ COMPLETE ] Aku Berlian. Aku adalah cewek yang biasa-biasa aja kayak kalian semua. Gak ada yang spesial dalam diri aku. Aku mencintai seseorang yang...