I Don't Give a Fuck [in ed.]

By corvuscocidius

475K 51.5K 5.3K

Renaro Bramansyah kena dare buat naklukin cowok aseksual super cuek yang ngebetein abis di kelasnya. Yah, lan... More

NOTIFICATION
Truth or Dare?
Confrontation
The Game is On!
Not so Fast
Another Confession
The Acts
The Plan
The So-Called Date
How to Train Your Date
Not a Chance
Involvement
Playing Around
Welcome Back
It's You
Fun-facts/Hidden-plots

Always You (END)

37.2K 3.1K 243
By corvuscocidius

RENARO

Putih lagi, kali ini ditambah bau orang mati. Ren tahu pasti dia dimana, dan mau nggak mau cowok itu menghela nafas kesal karena tahu dia masih bisa merasakan sesuatu berdegup di dada sebelah kiri. Kelopak matanya memberat ketika dia paksa melirik ke atas. Dia menatap langit-langit kembali, nggak tahu mau ngapain.

Ren mencoba menggerakkan jemarinya dan merasakan bagian itu mati rasa. Dia melirik ke bawah kali ini, ingin bangkit, tapi sebuah rasa nyeri yang menjalar dari perut membuat nafasnya tersentak keluar dan dia terpaksa berbaring lagi. Ah ya, luka sayat di lengannya juga terasa menyengat.

Dan jujur saja, dia kaget begitu sadar satu sosok yang ia kenal ternyata tengah menatapnya horor dari tadi.

"Hei," dia mencoba bersuara dan, Tuhan, kapan terakhir kali dia minum? Suaranya serak dan membuat lehernya seperti ditusuk jarum.

"... Ren."

Dia hampir tertawa karena merasa deja vu, kemudian sadar tangannya masih digenggam oleh Dewa dari awal ia bangun. Cowok itu tampak kacau dan berantakan. Rambut hitamnya mencuat kemana-mana, mukanya begitu pucat, dan matanya...

... Ren nggak yakin apa Dewa habis nangis atau dihajar orang. Mata cowok itu kelewat bengkak dan merah.

"Jadi gua masih hidup," Ren menatap plafon yang menguning, menghela nafas lelah. "Kenapa."

Dia lebih kedengaran menuntut ketimbang bertanya, dan itu benar. Kenapa dia nggak mati, hah? Dia masih hidup itu omong kosong. Ren nggak akan pernah ngerti jalan pikiran Dewata Pratama atau bagaimana menghadapi cowok itu. Secara keseluruhan dia sudah gagal total, terbukti dari kejadian kemarin.

Ren nggak melakukan kontak mata lagi dengan cowok yang bersangkutan. Dia nggak akan berusaha apa-apa lagi. Biar Dewa tahu sekarang dia bukan manusia, tapi zombie. Itu kedengaran lebih seru ketimbang jadi subjek. Ha-ha.

"... gue nelfon ambulans."

"No shit, Sherlock," tanggap Ren datar. Dia berusaha keras tak meringis ketika Dewa mengeratkan genggaman di jemarinya mendengar respon dingin barusan.

Apa memang yang si raven harapkan? Ucapan terima kasih? You fucking kidding me?

"... gue nggak mau lo mati, Rena."

Panggilan itu. Dulu kali pertama nama tersebut keluar dari mulut Dewa, Ren merasa sangat spesial karena sebelumnya nggak pernah ada orang yang mau repot-repot memberinya panggilan akrab lain. Dan Dewa, dia akui, berhasil membuatnya merasa sangat bahagia.

"Gua udah nggak guna, Wa, sebagai subjek lu. Nggak ada untungnya dong elu nyelametin gua―ooh," sebuah ide tiba-tiba terlintas di otaknya. Ren tersenyum seakan mendapat pencerahan. "Bener juga, lu nggak mau dikira pembunuh. Sori. Lain kali gua bakal pakai orang lain."

Ren bersumpah Dewa bahkan nggak akan sadar dia nyaris mematahkan tulang jemarinya, kalau pintu kamar ia dirawat tidak terbuka dan masuk dua sosok lain yang dia kenal: Wanda plus Andira. Mereka berdua tampak kaget menyadari Ren sudah membuka mata.

"Ren!" Wanda bergegas datang  menghampiri, nadanya cemas. "Lo... lo nggak apa? Masih kerasa sakit? Astaga, lo tuh ya―"

Ocehan Wanda terhenti ketika Andira meletakkan satu tangan di bahu anak itu. Tatapannya teralih ke arah Dewa, tajam.

"Dewa, gue mau bicara sama lo di luar."

Yang dipanggil masih bergeming. Ren tahu cowok itu berusaha melubangi kepalanya hanya dengan menatap, tapi dia sendiri bersikeras memalingkan muka. Dia benci Dewa.

"Dewata Pratama, ikut gue keluar sekarang."

Nada itu tenang tapi menyeramkan. Dewa melepas genggamannya pada tangan Ren, begitu lamban, sebelum akhirnya mengikuti Andira keluar dari ruangan. Untuk sesaat tadi Ren hampir merasa kehilangan.

Kalau dalam bahasa Dewa, human contact. Pfft, cowok itu benar-benar hebat.

"Ren," panggilan Wanda menarik Ren kembali ke dunia nyata. Dia menoleh untuk bersitatap dengan cowok berambut mahoni tersebut. "Kenapa lo nyoba bunuh diri?"

"Hm?" dia mengangkat sebelah alis, "Dewa cerita semuanya ke kalian?"

Wanda mengangguk, kesal. "Dan kalau nggak ditahan sama Andira, udah gue tonjok anak itu habis-habisan."

Ren tersenyum, sebelum menyeringai. "Kalau gitu harusnya lu ngerti kenapa."

Wanda nggak bersuara, hanya mengerutkan kening. Dia tampak berusaha merangkai kata-kata yang tepat, walau sepertinya gagal.

"Tapi gue nggak ngerti!" seru anak itu tertahan. "Gue... gue emang ragu kalau awalnya Dewa bisa sama lo, tapi kemudian gue lihat kalian cocok jadi gue rasa―"

"Cocok?" ulang Ren.

Wanda menggigit bibir bawah. "Anggep gue buta soal cinta, Ren, tapi gue tahu Dewa sejak kita masih kecil, sebelum TK malah. Gue tahu dia nggak pernah tahan sama manusia lain. Dan pas dia sama lo, dia...," Wanda menarik nafas, menghentikan gestur tangannya yang semula bergerak liar.

Ren hanya menunggu.

"... dia jadi beda."

Cih.

"Karena gua subjek percobaan dia," Ren memejamkan matanya, kesal. "Semua yang dia lakuin ke gua cuma buat kepentingan laporan aja."

"Apa lo sendiri ngerasa gitu?" Wanda bertanya tajam, memicingkan mata. "Dari yang gue lihat selama ini Ren, terlepas dari persepsi lo tentang Dewa sekarang, kalian sama-sama saling suka."

"Gua benci dia," nada suara Ren sedatar papan, mengangkat tangan kanannya untuk ia gunakan menghalangi pandangan. Lampu neon sialan.

"Karena udah nyakitin elo," Wanda kini menyentuh pelan sisi tubuhnya. "Kalau lo sakit hati, berarti lo beneran sayang sama dia kan?"

"Terus apa, Wanda," Ren menutup mata, bisa merasakan air matanya mengancam untuk keluar. Dadanya mulai sesak. "Gua suka sama dia. Terus gua bisa apa?"

Ren nggak mendengar apa-apa dari Wanda, namun dalam gelap, dia bisa tahu temannya sudah bangkit, menghela nafas dan mengacak surai pirangnya dengan hati-hati.

"Lo bisa bilang ke Dewa," gumaman itu penuh penyesalan bernada sedih dan pasrah. "Lo bisa maafin dia."

Dan meninggalkan Ren yang terisak tanpa suara tepat setelah Wanda keluar dari sana.

***


Ketika sekali lagi Ren membuka mata, dia masih melihat putih. Membuatnya bosan setengah mati. Sembari menguap kecil, anak itu mengerjap, matanya melirik jam dinding yang tergantung di tembok sisi kanan ruangan.

Pukul lima sore. Tadi pas dia bangun baru jam sembilanan. Tidurnya lama banget ternyata.

"Ren."

Telinganya menegak. Ren menoleh ke sisi kiri, mengerjap melihat Andira tengah bersedekap dan menatapnya dengan ekspresi tenang. Bibir sosok bermata kelabu itu terangkat samar.

"Kak Andi, hei," dia meringis, canggung begitu sadar selama ini dia bingung ingin memanggil sepupu Dewa itu dengan sebutan apa. "Mana Wanda?"

Mungkin mata Ren perlu diperiksa juga karena dia melihat pipi Andira mendadak jadi merah, pun begitu dengan lehernya.

"Wanda lagi sama Dewa di kantin rumah sakit," pemuda itu menerangkan setelah berdeham kecil, mengalihkan tatapan. "Gue minta dia buat maksa Dewa ngisi perut. Anak itu nggak ngapa-ngapain dari tiga hari kemarin di sini selain minum air putih."

Ren nyaris tersedak liurnya sendiri. Tiga hari?  TIGA HARI! Dan dia kira dia cuma pingsan selama semalaman, God. Andira tampaknya sadar akan ekspresi horor Ren, sehingga dia terkekeh pelan.

"Lo pasti nggak notice kalau Dewa belum ganti baju juga."

Oh. Oooh sial, dia terlalu sibuk menginspeksi wajah cowok itu sehingga mengabaikan detail lainnya. Ren mengerang.

"Bego, dan kalian nggak maksa dia sama sekali?"

Ekspresi Andira mengeruh. Dia mengerutkan kening. "Gue sampai harus ngehajar dia pas Wanda nggak lihat, tapi tetep aja. Baru tadi pas Wanda bujuk lagi berhubung lo udah sadar, dia mau nurut."

"Dan dia bilang gua idiot, astaga," Ren memijat pelipisnya.

Andira mengangkat bahu. "Gue bisa paham kok. Orang yang lagi jatuh cinta emang nggak guna logikanya."

Twitch. Ren berhenti bergerak. Dia menatap kosong langit-langit di atas.

"Dewa nggak cinta sama gua, Kak."

"Yeah well you can keep telling yourself that nonsense," Andira memutar bola mata. "Gue tahu Dewa, Ren. Dia bukan tipe cowok yang peduli sama keselamatan orang lain bahkan sampai lupa sama dirinya sendiri."

"Ya karena gua subjeknya."

"Lo bisa berhenti ngungkit itu enggak?" suara Andira meninggi, tapi masih dalam dan tegas. "Gue tahu lo sakit hati. Tapi lo pikirin juga kondisinya Dewa sekarang. Lo kira gue nggak kaget setengah mati pas nyampe di RS dan liat dia berlumuran darah lo, sambil nangis, tapi ekspresinya mati gitu? Anak itu nggak pernah nangis, Ren. Bahkan dia jatuh dari pohon pas umur tiga tahun sampai patah tulang, dia nggak nangis. Pas kakaknya meninggal karena kecelakaan, dia nggak nangis. Pas SD dia di-bully sampai babak belur, dia juga nggak nangis. Tapi elo―"

Andira berhenti, menarik nafas.

"―elo yang bukan siapa-siapa, cuma subjek, hanya butuh waktu beberapa minggu buat ngehancurin tembok yang udah dibangun Dewa sejak kecil."

Ren bergeming, tercenung memandang langit-langit. Dia membiarkan informasi bertubi-tubi itu mengendap di otaknya.

Dewa pernah di-bully? Wow. Dan dia ternyata bukan anak tunggal dari awal? Kakaknya kecelakaan apa? Pas kecil dia udah pernah patah tulang dan nggak nangis? Keren. Kalau Ren, boro-boro patah tulang, kesayat kertas aja dia bakal mewek, walau bisa dia tahan sampai rumah sih.

Dan dia berhasil masuk juga ke diri Dewa? Jadi nggak cuma dia yang ngerasa kosong saat ini, begitu kah?

Kelihatannya Ren berpikir terlalu lama, karena Andira mulai terbawa emosi dan mencengkram kerah gaun rumah sakit yang ia kenakan. Wajahnya berubah seram, walau dia masih tersenyum.

Tunggu. Kenapa juga cowok itu senyum? Perasaan dari awal ketemu Andira, Ren selalu melihat pemuda itu tersenyum? Nggak capek apa, hahahah.

"Lo denger nggak apa yang gue bilang, Renaro?" desis Andira.

Kalau nggak lagi kesakitan, Ren pasti udah ngakak sekarang. Pasalnya, Andira menggertak dengan senyum di wajah, bukankah itu lucu? Alih-alih merasa terancam, dia lebih merasa terhibur.

Si rambut pirang mengambil nafas untuk merintih karena perutnya sedikit tertekuk. Saat itulah pintu ruangan terbuka, menampakkan Wanda dan Dewa melangkah masuk bersama.

"Kalo lo nggak bisa ngurus diri sendiri lagi sampai kayak gini―?? Dira! Lo ngapain?!" Wanda kelihatan kaget melihat posisi mereka.

Ren memperhatikan bagaimana ekspresi Dewa berubah dalam sepersekian detik dari kosong ke marah. Cowok itu bergerak lebih cepat dari Wanda, mencengkram bahu sepupunya dan meluncurkan tinju ke pipi Andira tanpa pikir panjang.

"Lo nyentuh dia," si rambut hitam bersuara rendah, dingin mengancam, dan Ren berharap dia bisa melihat ekspresi Dewa yang tengah memunggunginya.

"Dira!" Wanda buru-buru membantu Andira berdiri, menatap marah Dewa. "Lo harus juga mukul sepupu lo sendiri, hah?! Dasar anji―mmph!"

Belum sempat selesai umpatan Wanda, Andira sudah membekap mulut anak itu. Ren bisa melihat wajah si mahoni memerah ketika sepupu Dewa menunduk dan membisikkan sesuatu yang nggak bisa dia tangkap.

Lalu Andira melirik Dewa, kemudian menatap Ren, sebelum balik lagi ke Dewa.

"Sori," ujarnya singkat tanpa niat, menyeret Wanda begitu saja keluar dari ruangan.

Ren masih terdiam, tapi matanya memperhatikan bagaimana bahu Dewa sedikit menurun setelah beberapa momen penuh tensi tadi. Cowok itu memutar badan, kemudian kelihatan tak sadar langsung menilik keadaan Ren. Maniknya kosong memindai Ren dari ujung rambut sampai ujung kaki, tangannya refleks ikut memeriksa. Si rambut pirang sendiri langsung menahan nafas ketika jemari Dewa yang menyentuh kulitnya terasa dingin, tapi bekas sentuhannya seperti terbakar.

Dewa kelihatan sadar atas reaksi Ren dan dengan cepat menarik tangannya, lalu mengambil satu langkah mundur.

Mereka saling menatap. Dewa mengerjap.

"Lo nggak apa... kan?" nadanya ragu dan lambat. "Andi... nggak nyakitin lo barusan?"

"Lu yang udah nyakitin gua," ucap Ren datar.

Tubuh Dewa mendadak kaku lagi. Dia mengatupkan bibir, mengerutkan kening dan mengalihkan pandangan. Si rambut hitam menoleh ke arah pintu sekarang, menimbang-nimbang.

"Oke," gumamnya makin lirih, "uh, gue bakal nunggu di luar. Kalau lo butuh apa-apa gue ada di sana―"

Ren nggak tahu kapan dan kenapa, tapi begitu sadar, dia sudah menggenggam tangan Dewa yang kaku dan seperti beku. Mulutnya juga sudah terbuka, dan kata-kata yang belum dia proses di otak meluncur keluar.

"Gua butuh lu sekarang."

Si rambut pirang memperhatikan bagaimana mata Dewa melebar, sebelum tatapannya melunak, walau masih menolak melakukan kontak mata. Dia berdiri di sisi ranjang rumah sakit Ren, netranya fokus pada tangan mereka.

"Oke," bisiknya kemudian, nyaris tanpa suara.

Mereka terdiam untuk beberapa saat. Jujur saja, Ren tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia hanya memainkan tangan si rambut hitam, menyelusupkan jemarinya di antara milik Dewa. Rasanya pas.

"Tangan lu dingin banget," gumam Ren, memecah keheningan.

Dewa mengerjap, melirik anggota badan sendiri. "Oh," anak itu merespon lamban, "gue nggak tahu juga kenapa."

Ren menarik tangan Dewa lebih dekat, membuat si raven ikut maju selangkah. Dia menggosokkan telapaknya sendiri ke tangan Dewa, kemudian meniupkan nafasnya ke sana. Ren memejamkan mata, menempelkan punggung tangan Dewa ke pipinya.

"Rena?" suara Dewa terdengar retak, membuat Ren membuka mata. Dia nyaris jantungan melihat wajah cowok itu sudah begitu merah. "Gue beneran minta maaf. Gue... n-nggak tahu harus ngapain lagi. Gue bingung. Dan pas lo pingsan kemarin, dan darah lo keluar banyak banget di tangan gue, pas itu gue nyadar―"

Nafas rambut hitam tercekat, menyela kalimat.

Ren bersumpah dia hampir mati ketika Dewa membungkuk, berhati-hati menyentuhkan keningnya dengan kening Ren sendiri seakan dia satu entitas yang rapuh. Sesuatu yang hangat menetes ke pipinya, membuat Ren terperangah. Dewa mengeratkan genggaman di tangan mereka, sebelum membuka mulut, berbisik hampir tanpa suara.

"―gue takut kehilangan lo."

Nafas cowok itu kembali mengalir, hangat, menyapu pipi dan mulutnya. Ren memejamkan mata, menggigit bibirnya yang entah sejak kapan sudah gemetar.

"Gua cuma subjek―"

"Gue salah, gue minta maaf," Dewa memotongnya.

Sesuatu naik dan mengganjal di kerongkongan, membuat Ren menelan, tapi gagal menyingkirkan apapun itu.

"Gua benci lu―"

"Gue paham, lo bisa benci gue selama yang lo mau, gue bakal nunggu sampai lo maafin gue," bertambah lagi tetesan di pipi Ren, tapi si rambut pirang masih menolak membuka matanya.

"Lu udah nyakitin gua―"

"Lagi, maafin gue, lo bisa ganti nyakitin gue Rena, apapun, sampai lo puas―"

Kali ini Ren yang menginterupsi. Dia mengangkat kepala, membuat bibirnya menempel menutup milik Dewa. Bisa dia dengar bagaimana Dewa menahan nafas, terkesiap, dan mereka membuka mata di saat bersamaan.

Katakan bagaimana bisa manusia memiliki mata lebih gelap dari malam.

"Tapi lu bener," Ren berkata, entah kapan tangan kanannya sudah merangkul leher cowok itu agar tetap diam di tempat. "Gua emang bodoh. Masih mau-maunya suka sama sampah brengsek nggak punya hati macem lu, Tama."

Dewa kelihatan pias, tapi sebuah senyum tipis terukir di wajah pucatnya. Dia mengecup mata kiri Ren, membuat si rambut pirang merasakan hembusan nafas hangat memainkan anak rambutnya.

"Untuk suka sama gue, lo pasti jenius," Dewa mendesis geli.

Ren menggigit bibir, tapi kemudian tertawa. Dirinya jenius? Ha, pernyataan itu bahkan lebih konyol ketimbang imajinasinya. Dewa menarik mundur tubuhnya, memberi ruang si pirang untuk mengambil udara.

Ren mengamati bagaimana manik Dewa perlahan kembali hidup. Cowok itu menunduk untuk memberi kecupan lain di kening, kemudian mata.

"Dan gue rela jadi idiot biar bisa suka sama lo," gumamnya.

Ren memutar bola mata.

"Lu belajar nggombal dimana, Tama?" dia menyeringai. "Udaaah, hina gua aja lagi, risi tau dengernya. Nggak cocok banget sama ekspresi lu sekarang. Anjing, jadi jijik gua."

Dewa hanya meringis dibegitukan.

"Oke kalo itu mau lo, nyet," dan dia menutup lagi jarak mereka.

ANDIRA

"Gimana?"

Wanda mengacungkan jempolnya, senyum kecil tersungging di wajah manis anak itu. Andira harus menahan diri untuk nggak menarik cowok tersebut ke pelukannya ketika ada rombongan suster lewat dan langsung menahan nafas karena kagum melihat Wanda tersenyum seperti sekarang.

Ingatkan dia untuk menyuruh si rambut cokelat pakai kacamata saja pas di luar.

"Mereka udah baik-baik aja," Wanda menggerakkan lehernya, tampak lega. "Whoah. Gue nggak nyangka Dewa bisa berubah drastis kayak gitu. Pengaruh Ren lebih besar dari yang gue duga."

Andira mengangguk, dan dia menyandarkan punggung lagi di kursi tunggu. "At least sekarang gue nggak usah cemas sama hubungan mereka, hahah―ow, shit," Andira lupa bibirnya robek gegara kena tinju Dewa di kamar tadi.

"Lo nggak apa kan?" Wanda buru-buru berlutut di depannya, memeriksa. "Lo sih, bego juga pakai ngancam Ren segala. Lo kira Dewa bakal peduli kalo lo sepupunya?"

Andira meringis, tapi tersenyum. Kalau ditinju Dewa berarti bisa mendapat perhatian dan merasakan sentuhan ibu jari Wanda di bibirnya, dia bakal ngancam Ren setiap hari.

"Dan lo senyam-senyum sendiri anjing, ngeri gue," si rambut cokelat bergidik.

"Wanda," Andira memanggil, membuat cowok di hadapannya mengangkat muka. "Lo mau nginep di rumah gue malem ini?"

Wanda mendengus. "Huh, ogah. Rumah lo ternyata serem banget njir, macam sarang setan. Gue heran kok bisa betah di kamar lo doang pas kemarin-kemarin."

Andira merungut sesaat, kemudian menyeringai lagi.

"Kalau gitu gue yang nginep di rumah lo," dia berkata puas.

"H-huh?" Wanda kelihatan kaget. "Ngapain juga lo ke sana? Mau bikin kacau kamar gue?"

Andira memutar bola matanya, kesal. Masa dia mau terang-terangan bilang kalo dia pengen deket-deket sama Wanda? Dan cowok itu idiot atau apa, nggak paham sama sekali Andira hampir gila saking pengennya dia nempel sama anak itu sejak dicium di toko buku.

"Oke, oke, lain kali aja," Andira menghela nafas menyerah.

"Gue nggak bilang lo nggak boleh ke rumah gue," gerutu Wanda, bangkit dan berdiri. "Ayo berangkat sekarang."

Andira mengerjap. Dia merasa sesuatu di perutnya seperti berputar melihat wajah merah Wanda dan bagaimana cowok itu berjalan cepat-cepat meninggalkannya. Andira menahan tawa, bergegas bangkit dan menyusul Wanda.

Kalau dia memang harus menunggu, asal bisa bersama Wanda nantinya, dia nggak keberatan juga.




- FIN -

Always - Panic! At the Disco

Continue Reading

You'll Also Like

6.5M 334K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
541K 33.8K 21
Banyak orang bilang, "Orang yang memiliki senyuman paling indah adalah orang yang memiliki luka paling dalam" Dihantui masa lalu yang menyakitkan Nin...
615K 52K 23
Sequel : SINFUL Roda kehidupan semua makhluk hidup terus berputar, tidak terkecuali Gilbert dan An-Hee. Meski roda kehidupan berputar, dosa mereka ti...
729K 92.2K 33
"Kalo Mian mau cari orang lain ngga masalah. Aku sadar diri kok." . . "Gue nerima apapun keadaan lo, Gi. Ngga ada orang lain yang bisa ngegantiin lo...