The So-Called Date

23.3K 3K 194
                                    

DEWATA

Dewa mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah dia duga, Ren masih ngebo pukul enam pagi. Dengan kesal dia mematikan panggilan di ponsel lantaran sama sekali nggak ada jawaban dari seberang.

Dia berangkat juga akhirnya ke rumah Ren.

Jangan tanya darimana dia tahu―tentu saja dia tahu! Dia Dewata Pratama, for God's sake. Nge-hack sistem keamanan sekolah buat nyari data anak nggak bakalan susah. Dia cuma butuh ROG, koneksi internet yang lancar, Taro rasa seaweed dan waktu sepuluh menit.

Ta-daa.

Dia sampai di depan pagar rumah Ren satu perempat jam kemudian. Dilihatnya jeruji besi setinggi 3 meter yang hanya terkunci dengan satu gembok, dan dia mengeluarkan dua paperclip yang sudah dia ubah bentuknya menjadi kait. Nggak butuh lama baginya untuk menjebol keamanan level TK itu. Dia harus bicara dengan si rambut pirang tentang ini nanti.

Dewa ngeloyor langsung masuk, melewati pos satpam yang kosong dan suram. Dia heran, tapi cuma angkat bahu. Dan whoa, dia tahu Ren anak orang paling kaya di sekolah, tapi nggak nyangka juga rumahnya bisa segede itu. Pilarnya, astaga, mungkin berdiameter lebih dari seratus senti.

"PERMISI," teriaknya sopan begitu membuka pintu utama. "RENAAA, GUE DATENG!!!"

Hening. Suaranya menggema di ruang tamu dan ruang keluarga yang langit-langitnya tinggi banget gila.

"REEEN!!!"

Dewa mengerang. Masa untuk kencan pertama dalam hidupnya dia sudah harus menginvasi rumah sang pasangan? Merepotkan.

Cowok itu melangkah maju, menyipitkan mata. Rumah Ren megah dari luar, angker dari dalam. Walau nggak ada debu yang mengindikasi masih ada ART keluar-masuk membersihkan kediaman tersebut, hampir semua jendela tertutup tirai putih transparan, walau daunnya dibiarkan terbuka. Nggak ada lampu yang nyala. Dewa sempat melirik foto raksasa di salah satu dinding, maniknya menelisik ekspresi serupa dua orang laki-laki di dalam sana, sebelum masuk lebih jauh.

Gimanapun juga, dia berhasil menemukan kamar Ren di lantai dua setelah nyasar ke ruang kerja pribadi, perpustakaan, serta beberapa kamar mandi. Urat di pelipisnya berkedut pas ngeliat Ren masih terbungkus selimut velvet flannel. Kamar anak itu dingin banget, relatif kosong tanpa furnitur kecuali kasur king-size dekat jendela dan meja belajar IKEA di seberang, juga gelap, mirip ruang mayat. Untung baunya nggak ikut busuk.

"Ren!" teriak Dewa lagi, kali ini sambil membuka gorden biar cahaya bisa masuk dan memberi kesempatan si pirang berfotosintesis. "Woi, anak monyet, bangun!"

Nggak ada pergerakan. Dewa mendengus.

Dia mengambil ancang-ancang, lalu berlari dan meloncat ke atas kasur. Kakinya langsung tenggelam dalam duvet. Wow, lembut sekali! Sambil menindih perut Ren, dia berteriak, "BANGUUUNNN!!!!"

"GWAAH!!!"

Berhasil.

"HUAA SETAAN!!!"

"Kampret, gue bukan setan!" Dewa menangkap kedua tangan Ren yang memukulinya. Dia menahan cowok itu sambil mengerutkan muka. "Ini gue, Dewa!"

Ren mengerjap. Dia kelihatan masih setengah sadar.

"T-Tama?"

Aduh duuh lucu banget sih nama barunya?

"Iya, itu. Cepetan bangun. Lo lupa hari ini kita nge-date?"

Nggak tau kenapa muka Ren jadi merah. Dewa mengangkat sebelah alis. Jangan bilang anak itu sakit? Aduh, jadi rempong dong nanti.

I Don't Give a Fuck [in ed.]Where stories live. Discover now