Another Confession

23.6K 3.2K 257
                                    

RENARO

Seingat Ren, terakhir yang dia lihat adalah langit kelabu. Juga hujan. Oh, ditambah cahaya jingga lampu jalan. Kala itu rasanya dingin merasuk sampai ke sumsum tulangnya, tapi sekarang dia dikelilingi hangat dan hening yang hampir damai. Si rambut pirang mengerjapkan mata, menatap langit-langit putih. Jangan-jangan dia sudah mati?

Tapi perasaan di surga nggak ada lampu Phillips deh.

Oh, dia masih hidup kalau begitu. Ren mengerjap lagi, dilema antara harus menangis bersyukur masih diberi kesempatan lain atau mengerang kesal karena harus lebih lama menderita dan sakit.

"Lo udah bangun?"

Suara itu.

Ren masih tak bergerak, memejamkan mata. "Enggak, gua udah mati kok. Tolong kubur sekarang, pak."

"Monyet."

"Anjing."

"Bangke."

"Belum."

"Ha?"

"Belum, gua belum jadi bangke. Makanya kubur gua cepetan."

Ren membuka mata mendengar suara kekehan di sisinya. Dia menoleh, mengernyit melihat wajah Dewa yang jelek banget. Pipinya bengkak, ada luka juga segaris di sana. Tapi cowok itu masih ketawa.

"Apa yang lucu?" tanya Ren, berusaha bangkit―tapi astaga, lehernya mengejang saat dia coba menggerakkan kepala. Refleks ia merintih.

"Eh, jangan gerak dulu," Dewa memaksanya rebahan lagi. "Bengkak tuh wajah lo. Untung rahangnya nggak patah."

"Tai, lu mukul gua tadi!" Ren baru ingat.

"No shit, gua cuma nyolek," Dewa memutar bola matanya, kesal. "Ya jelas gue tonjok. Nih, bekas tinju lo juga. Nggak tau makasih banget lo jadi anak."

Ren terdiam. Dia menatap langit-langit lagi, menahan nafas.

"Terus kenapa lu nggak biarin gua ketabrak aja?"

"Kasihan sama pemerintah, Ren. Lo bakal ngotorin jalan."

Ren nggak menjawab, walau ujung bibirnya sedikit terangkat karena geli. Aneh bener si Dewa.

"... kenapa lo mendadak pengen mati?"

Ren terdiam. Rahangnya sakit banget, sial. Dia mengernyit, lalu kembali datar, sebelum akhirnya mendesah.

"Pengen ke tempat nyokap."

Hening. Ren melirik ekspresi kaku si rambut hitam yang kini mengalihkan pandangan ke arah kaki tempat tidur.

"Oh," gumaman Dewa terdengar melunak, "sori."

Itu membuat dia tersenyum geli. Dewata Pratama masih punya hati, eh?

"―tapi serius, Ren. Kenapa? Lo bisa cerita ke gue."

Dan kali ini Ren tertawa. Nggak ngakak juga sih, rahangnya masih sakit, anjing. Dia cuma terkekeh, tapi cukup keras. Sumpah, lucu banget sih manusia. Setengah memaksakan diri, Ren akhirnya bangkit.

Mereka kayaknya lagi di kamar Dewa, dan Ren tidur di kasur ukuran double dengan bed cover warna biru tua. Si empunya kamar sendiri langsung negapin badan di kursi belajar, kelihatan waswas andaikata tiba-tiba Ren ambruk lagi.

"Cerita," ulang Ren dengan suara parau, penuh dengan kesinisan. "Lucu. Emang lu siapa?"

"Pacar lo, kan."

Membuat kening Ren mengernyit lagi.


DEWATA

I Don't Give a Fuck [in ed.]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant