Rengkah Lengkara

By nataliadennoupa

767K 81.9K 4.6K

Diberikan kesempatan hidup kedua, ia bertekad tidak akan menyia-nyiakan anugerah yang Tuhan berikan padanya... More

1.1
1.2
2.1
2.2
3.1
3.2
4.1
4.2
5.1
5.2
6.1
6.2
7.1
7.2
8.1
8.2
9.1
9.2
10.1
10.2
11.1
11.2
12.1
12.2
13.1
13.2
14.1
14.2
15.1
15.2
16.1
16.2
17.1
17.2
18.1
18.2
19.1
19.2
20.1
20.2
21.1
21.2
22.1
22.2
23.1
23.2
24.1
24.2
25.1
25.2
26.1
26.2
27.1
27.2
28.1
28.2
29.1
29.2
30.1
30.2
31.2

31.1

5.9K 712 76
By nataliadennoupa

“Katakan ada siapa saja di rumahmu?” Berjalan mengitari swalayan, Tsana melihat ke kiri dan kanan tanpa menunjukkan ketertarikan pada barang-barang yang dijual. Sementara di belakang Noa mengikuti dengan mendorong troli sesekali memeriksa jam.

Sesuai arahan Lengkara, Noa menghalangi Tsana mengganggu rencana piknik sang tuan dan istrinya. Semula tidak ada masalah. Noa berhasil menggantikan sopir Tsana dan bermaksud mengirim gadis itu ke pusat perbelanjaan untuk menghabiskan waktu di sana. Namun, yang terjadi Tsana justru memaksa ingin bermain di rumah Noa. Jika tidak dipenuhi, ia akan tetap mendatangi Rengkah.

“Nona, tidak ada yang menyenangkan di rumah saya. Mengapa tidak ke tempat lain saja? Bagaimana jika ke taman di utara kota? Saya dengar ada pameran bunga langka di sana.”

Berbalik badan selagi bersedekap dada, Tsana mendekati Noa. Mendongakkan kepala karena Noa lebih tinggi darinya, Tsana berdecih tidak suka. “Mencoba memerintahku?”

“Tidak begitu, Nona. Hanya saja—”

“Jadi, siapa saja yang ada di rumahmu?”

“Nona, tolong jangan menyulitkan saya.”

“Katakan atau aku akan memesan taksi dan pergi menemui mereka sekarang juga!” Gadis dengan atasan hitam dipadukan rok pendek plaid itu sengaja memelototkan mata.

“Hanya Ibu dan kakak saya saja.” Menghela napas panjang, Noa mau tidak mau menjawab Tsana. Bagaimanapun, jauh lebih berbahaya jika Tsana melakukan sebagaimana yang dikatakannya.

Tersenyum puas, Tsana menghampiri etalase kue. “Lalu apa yang mereka suka? Apa kue di sini cocok dengan selera kakak dan ibumu? Atau, haruskah kita ke toko kue di seberang swalayan. Kudengar mereka memiliki koki dengan Michelin Star.”

Pusing menghadapi tingkah Tsana, Noa memasang wajah pasrah. “Pilih saja sesuai dengan yang Nona suka. Mereka tidak memiliki preferensi khusus.”

“Baiklah.”

***

Perjalanan menuju pantai memakan waktu seperempat jam. Tidak banyak kendaraan yang berlalu-lalang menimbang tengah terjadi pembatasan kegiatan di luar ruangan. Sejumlah destinasi wisata dijaga ketat dan hanya bisa diakses segelintir orang dengan mematuhi beragam persyaratan. Lengkara bahkan perlu waktu dua hari untuk berkoordinasi dengan pihak yang bertanggung jawab sebelum menerima izin piknik di pantai.

Memasuki area pantai, mobil melewati rimbunnya pohon pinus di kiri dan kanan jalan. Dari kejauhan mulai tampak bibir pantai dengan hamparan pasir putih yang membentang panjang. Sementara Lengkara fokus menyetir, Rengkah bersenandung riang menyantap potongan semangka yang sengaja suaminya siapkan.

“Lengkara.”

“Iya, Sayang?”

“Buka mulutmu.”

Mematuhi perintah Rengkah, Lengkara membuka mulutnya. Wanita itu menyuapinya dengan sepotong kecil semangka, lantas bertanya, “Manis?”

Menoleh sebentar, Lengkara tersenyum lebar dan mengangguk. “Sangat manis. Terima kasih.”

“Lebih manis aku atau semangka ini?”

Tidak ada jawaban dari Lengkara. Memalingkan muka, Rengkah menyesali pertanyaan sembrononya. Tanpa menyangka Lengkara yang baru saja selesai memarkirkan mobil tiba-tiba mencondongkan badan ke arah dirinya. Begitu sang istri berbalik, ia dengan lembut berkata, “Biar aku coba.”

Lengkung tipis merah mudah Lengkara dengan ramah menyentuh lengkung tipis merah mudah Rengkah. Sedikit aroma semangka tertinggal begitu keduanya tertaut mesra. Rengkah mendelikkan mata, tetapi tidak mencoba menolak tindakan agresif Lengkara.

“Em, ternyata kau lebih manis dari semangka.”

“Menyebalkan!” Rengkah menjauhkan wajah Lengkara menggunakan jari telunjuknya. “Kau membuat riasanku berantakan.” Berdeham pelan, Rengkah mencoba tetap menjaga wibawa dengan langsung berkaca membenarkan lipstiknya. Jika tidak, Lengkara akan besar kepala mengetahui betapa berdebar hati Rengkah menerima ciuman tersebut, pikirnya.

“Tanpa perlu dicoba, aku memang sudah lebih manis dari semua makanan yang ada.”

“Benarkah?”

Menyadari kata-katanya bisa menggiring Lengkara dalam konklusi yang salah, buru-buru Rengkah membenarkan. “Jangan berpikiran macam-macam. Kita masih di pantai. Aku tahu otak mesummu pasti sudah merancang skenario nakal.”

“Meskipun otakku berpikir begitu. Tapi tanpa seizinmu, aku tidak akan berani melakukan itu. Sungguh.” Mengelus pipi Rengkah, Lengkara merasa wanita di depannya sangat menggemaskan hingga ingin dipeluk setiap waktunya. “Aku mencintaimu dan menghargai setiap keputusanmu. Jika kau perlu waktu, aku akan menunggu.”

“Aku pegang kata-katamu.”

“Em.”

“Ayo, turun.” Rengkah merapikan rambutnya dan bersiap membuka pintu mobil, tetapi dihentikan Lengkara. “Kenapa?”

“Tunggu aku di sini.” Tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut, Lengkara membuka bagasi. Sigap ia mengeluarkan tikar, membentangkannya di tempat paling rindang, lalu meletakkan semua bekal dengan rapi. Barulah ia kembali ke Rengkah yang menontonnya dari mobil sejak tadi.

Selepas membuka pintu mobil, Lengkara berjongkok dan melepas I Love Vivier Bow Embellished Pump yang membalut indah kaki giok Rengkah. Seketika wanita dengan rambut digerai bergelombang itu menyadari telah lupa mengganti heels yang digunakan saat berswafoto di rumah. Belum sempat ia bicara, Lengkara sudah menggendongnya.

“Aku bisa jalan sendiri.”

“Aku ingin menggendong istriku, apakah boleh?”

“Kau sudah melakukannya, untuk apa lagi bertanya.” Rengkah mengalungkan tangannya di leher Lengkara. “Karena kau memaksa, aku tidak akan menolaknya.”

***

“Ayo, makan.”

“Tanganku kotor.” Keringat membasahi dahi pualam Lengkara yang sibuk membuat istana pasir impian Rengkah. Mendatangi si wanita, Lengkara mengibas-ibas tangan yang penuh pasir dan langsung duduk tepat di depannya. “Aku mau disuap olehmu, bolehkah?”

“Kekanakan.” Rengkah memanyunkan bibir, tetapi tetap menyiapkan makanan untuk Lengkara dan mulai menyuapi sebagaimana keinginannya. “Kau ini, kenapa tidak memperhatikan dirimu sendiri? Banyak sekali pasir di sini. Bagaimana jika itu mengenai matamu?” Mengeluarkan sapu tangan, Rengkah mengelap keringat dan pasir yang menempel di dekat pelipis Lengkara.

“Aku tidak memperhatikannya karena ada kau yang memperhatikanku.”

“Diamlah, aku tidak memintamu memberikan jawaban.” Memasukkan telur dadar ke mulut Lengkara, Rengkah kemudian mencubit gemas pipinya selagi berkata, “Pintar sekali suamiku ini.”

“Suami siapa?”

“Menurutmu wanita pintar mana yang bersedia menikahi pria tampan, kaya, tidak banyak menuntut, tapi sedikit plin-plan sepertimu, Tuan Lengkara?”

Tertawa hingga hampir tersedak, Lengkara memandang dalam Rengkah. “Kau sedang memujiku, Nyonya Lengkara?”

Rengkah berdecih dan memalingkan muka sebelum tertangkap basah tengah salah tingkah. “Aku memuji diriku sendiri. Tolong jangan besar kepala, Tuan Lengkara.”

“Baiklah, jangan marah.” Memegang tangan Rengkah dan diayun-ayunkan layaknya anak kecil, Lengkara memasang wajah polos sembari mengedip-ngedipkan mata. “Nyonya Lengkara yang cantik, pintar, baik hati, tidak sombong, dan pemilik satu-satunya hati Lengkara Sadam Tenggara. Kau selalu indah bagiku. Hanya wanita sepertimu yang layak menjadi istriku.”

“Kau memang yang paling ahli menggodaku.”

Menepikan makanan yang tersisa setengah, Lengkara tidur dengan kepala bersandar di paha Rengkah. Memandang ke atas dengan saksama, Lengkara berkata, “Langit jingga dan Rengkah Mireeya adalah perpaduan yang sempurna.”

“Jangan tidur, Lengkara. Kau baru saja selesai makan.”

“Tidak mau.”

“Lengkara.”

“Panggil aku sayang.”

Bersedekap dada, Rengkah menggeleng. “Tidak akan.”

“Sayang.” Senyum Lengkara terkembang lebih indah dari pita bertabur swarovski yang menempel mesra di surai cokelat keemasan milik Rengkah. “Hanya satu kata saja. Sangat mudah. Sa-yang. Ingin mencobanya?”

“Sekali lagi bicara sembarangan, malam ini kembalilah ke rumahmu. Jangan coba-coba datang ke halaman belakang.” Menjepit hidung bangir Lengkara, Rengkah menjulurkan lidahnya.

“Kejam sekali istriku ini.” Lengkara menenggelamkan diri dalam pelukan, tanpa memberi kesempatan Rengkah melakukan penolakan. “Baiklah, jangan panggil sayang. Aku ingin memelukmu saja.”

***

Zimmerman picnic coral birds midi dress yang Rengkah gunakan berkibar ditiup angin pantai. Menikmati debur ombak menghantam kaki dengan riang, Rengkah menutup mata dan menarik napas dalam-dalam. Kedamaian sekonyong-konyong datang; segala yang riuh dilepaskan tanpa sungkan.

“Sayang, lihat apa yang aku temukan.” Lengkara berlari menuju Rengkah dengan kedua tangan terkatup membawa sesuatu.

Ketenangan Rengkah buyar. Melihat Lengkara begitu antusias, Rengkah menduga akan dijaili dengan makhluk laut berbentuk menggelikan. Tanpa pikir panjang, ia berlari menghindar. “Aku tidak mau. Lengkara, aku tidak akan memaafkanmu jika berani menakutiku.”

“Sayang.”

Dua insan kasmaran berkejaran di sepanjang bibir pantai. Sendalu dan senja menyaksikan betapa merdu gelak tawa keduanya berpadu dalam kebahagiaan. Seakan-akan selaksa peri dan apsara sukacita turut merayakan.

Sebelum matahari tenggelam, Lengkara berhasil membawa Rengkah dalam hangatnya dekapan. Jantung keduanya berdebar kencang seolah saling bersahutan. Melepaskan dekapan, Lengkara mengulurkan tangan yang terkepal. Begitu dibuka yang ingin Lengkara berikan adalah gelang bangle dengan dua kupu-kupu bertaut mesra, satu putih dan satu hitam.

“Ini adalah kita.” Selepas memasangnya di tangan kanan Rengkah, Lengkara memandang intens iris segelap jelaga wanitanya. “Melewati banyaknya perjalanan kehidupan, semoga cinta kita tidak pernah tergoyahkan.”

“Menyebalkan! Kau membuatku ingin menangis.” Menangkupkan kedua tangan ke wajah, Rengkah menyembunyikan air mata yang hampir berlabuh di pipinya. “Ini terlalu manis. Bagaimana aku harus membayarnya? Haruskah kuucapkan terima kasih saja atau kau menginginkan ciuman sebagai gantinya?”

Terkekeh oleh perkataan Rengkah, Lengkara berkata, “Teruslah bersamaku, selamanya. Maukah kau memenuhinya?”

Rengkah mengangguk. Namun, sedetik kemudian ia menggeleng. “Aku akan memenuhinya, selama kau tidak membuatku kecewa. Lengkara, janjiku ini bersyarat. Jika kau melanggarnya, aku akan meninggalkanmu saat itu juga.”

***

“Sayang? Haruskah aku memanggilnya begitu?” Pipi Rengkah memerah. Mengelus gelang pemberian Lengkara, kupu-kupu terbang memenuhi perutnya. “Pria ini, dari mana dia belajar menjadi sangat romantis? Dia terus menggodaku. Bagaimana aku bisa tahan menghadapinya?”

Lengkara kembali ke parkiran mengambil barang yang tertinggal, sedangkan Rengkah memutuskan masuk duluan dan akan menunggu di halaman depan. Berjalan sambil bergumam sendirian, Rengkah sesekali bersenandung dalam rangka mengekspresikan hatinya yang senang. Namun, belum mencapai gerbang ia melihat seorang pria bertubuh tegap berdiri membelakang.

Mendengar suara kaki Rengkah, pria tersebut berbalik dan sepintas keterkejutan tampak di matanya. Mematung di tempat, Rengkah perlu waktu mengingat mengingat sosok itu siapa. Begitu menemukannya dalam tumpukan kenangan Rengkah Mireeya, ia meneguk saliva.

“Kau ... Harsa?”

“Ya, aku Harsa. Lama tidak berjumpa. Aku merindukanmu, Rengkah.”

Continue Reading

You'll Also Like

853K 11.4K 9
Ayudisha adalah wanita paruh baya yang menjalani masa tua dengan kesepian. Ia hidup tanpa anak dan suami. Banyak orang merasa kasihan padanya dan ter...
237K 12K 52
Amanda Shopia artis paling fenomenal dengan banyak skandal dan anehnya ia masih wara-wiri di dunia hiburan. Arogan dan angkuh, hanya wajah cantik bak...
407K 11.6K 68
(21+) GXG futa Mungkin jika mau mengerti cerita ini baca cerita I can't believe i'm loving you dulu ya guys Mengisahkan cinta yang berbeda latar bela...
71K 9.6K 31
Gaby selalu ingat pesan ibunya, selalu pancarkan kegembiraan dan jangan seret orang lain dalam masalahmu. Meskipun masalah yang datang padanya kadan...