Janji Setia | PJM

Bởi afreyaleisa

2.8K 534 138

Pertama Publish di Tiktok : Oktober 2021 Terbit : ❗️SOON❗️ ••••••• "Cinta bisa membuatmu bodoh dan tersiksa... Xem Thêm

KATA PEMBUKA
Prolog
1 | Sebuah Panggilan
2 | Waktu yang Berputar
3 | Bercerita Kenangan
4 | Akhir Cerita Cinta
5 | Tentang Luka
6 | EGO
7 | Keluarga
8 | Lembar Penutup
9 | Temu Tak Sengaja
11 | Birthday Surprise

10 | Liburan di Luar Rencana

40 8 7
Bởi afreyaleisa

===== WARNING!!! =====

⛔ DILARANG KERAS MENJIPLAK CERITA INI UNTUK DIPUBLIKASIKAN ULANG DI TIKTOK, INSTAGRAM, YOUTUBE,
ATAU PLATFORM LAINNYA! ⛔

==================================

Hari ini sudah akhir pekan. Jena masih menikmati waktu libur itu dengan tidur nyenyak di ranjang empuknya. Namun, suara teriakan Jin Woo mengusik telinganya.

"Jena-ya! Bangun!" teriak Jin Woo.

Jena berdecak pelan. Ia mengambil bantal dan menarik selimutnya hingga ke kepala untuk menutup telinganya dari teriakan kakaknya itu.

"Yak! Jena-ya! Mentang-mentang akhir pekan, kamu malah tidur terus! Ayo, bangun dan siap-siap sekarang!" teriak Jin Woo seraya mengetuk pintu kamar Jena dengan sembarang.

Jena mendengus kesal. Ia terlalu malas untuk bangun, tetapi Jin Woo terus saja mengoceh. Dengan terpaksa, akhirnya ia pun keluar dari kamar dengan muka bantalnya.

"Yak, Oppa! Kamu ini mengganggu waktu tidurku saja! Ini, kan, akhir pekan!" gerutu Jena dengan wajah cemberutnya.

Jin Woo geleng kepala seraya berdecak pelan. "Ayo, lekas siap-siap. Kita akan pergi liburan," ujarnya.

"Mwo? Liburan? Liburan ke mana, Oppa?"

Jin Woo bangkit dari duduknya. "Tidak usah banyak tanya. Yang penting sekarang kamu cepat siap-siap karena sebentar lagi Kookie dan Yoongi datang. Tidak malu kalau dilihat belum mandi seperti ini, eoh?"

Mata Jena membulat. "Loh, mereka juga ikut, Oppa?"

Jin Woo mendorong tubuh adiknya untuk kembali ke kamar. "Tentu saja! Sudah sana, cepat mandi! Aku sudah siapkan sarapan juga. Aku tunggu di ruang makan."

Jena berdecak dengan wajah cemberutnya. "Baiklah, aku siap-siap dulu. Jangan teriak-teriak lagi! Awas saja!" gerutunya.

"Makanya mandi jangan lama-lama!" Jin Woo pun menutup pintu kamar Jena dan meninggalkannya.

Jena segera mengambil handuk dan menuju kamar mandi. "Tumben sekali Oppa mengajak liburan. Ada angin apa?" pikirnya sesaat.

Tanpa berpikir lebih jauh, Jena pun segera membersihkan dirinya di bawah shower. Dalam setengah jam, ia sudah rapi dan wangi. Pakaiannya juga santai saja hanya dengan celana jeans dan kaos yang dibalut sweater. Setelah itu, ia pergi ke luar kamar untuk menghampiri kakaknya di ruang makan.

"Oppa, ada angin apa tiba-tiba mengajakku liburan?" tanya Jena sembari menarik kursinya untuk duduk.

Jin Woo menghidangkan masakannya ke hadapan Jena. "Kita, kan, sudah lama tidak refreshing. Kamu juga pasti bosan berada di rumah terus. Jadi, karena aku juga sedang libur, makanya aku ingin menghabiskan waktu denganmu." Jelasnya, kemudian mengedipkan sebelah matanya.

Jena menatap Jin Woo sambil menikmati sarapannya. "Yak, Oppa! Kalau kamu terus memikirkanku, lalu kapan kamu akan punya pacar?"

Jin Woo tertawa. "Pacar itu mudah dicari, tapi kalau menyenangkan adik belum tentu bisa setiap hari. Lagi pula, banyak yang mau denganku karena aku ini, kan, tampan. Masalahnya, nanti kamu akan sedih kalau aku punya pacar."

"Sungguh percaya diri sekali Oppa-ku ini," cibir Jena dengan bibir yang mengerucut.

"Masa kamu baru tahu?" kekeh Jin Woo.

TOK! TOK! TOK!

"Ah, sepertinya mereka sudah datang," komentar Jin Woo yang menatap ke arah pintu depan.

"Biar aku yang buka pintunya, Oppa!" sambar Jena sembari berdiri dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Dengan wajah semringah, ia pun membuka pintu.

"Hai," sapa tamu yang berada di depan pintu rumahnya.

Senyum Jena seketika sirna. "Mau apa kamu ke sini?"

"Jena, jangan marah padaku begitu. Mianhae," ujar pria itu dengan wajah cemberutnya. Dia adalah Tae Hyeon.

"Entahlah, Tae! Aku kesal padamu!" Jena langsung meninggalkan Tae Hyeon di sana.

Tae Hyeon pun mengekor Jena sambil terus mengucapkan maaf atas yang terjadi sebelumnya, yang mana ia meninggalkan Jena untuk bersama Jee Min di kafe.

"A-Annyeong, Hyung," sapa Tae Hyeon begitu melihat Jin Woo yang berada di ruang makan.

Jin Woo menatap Tae Hyeon. "Ah, kamu rupanya. Lama tidak bertemu." Katanya sambil melanjutkan kegiatannya lagi memotong kimbab.

"Nee, Hyung. Hm ... kalian mau pergi, ya? Rapi sekali?" tanya Tae Hyeon sembari duduk di ruang makan dan menatap kakak beradik itu.

"Nee, kami mau liburan. Kamu sendiri ada perlu apa kemari? Bertemu denganku atau Jena?" tanya Jin Woo dengan intonasi curiga.

Tae Hyeon menatap Jin Woo hati-hati. "Hyung, jangan curiga seperti itu padaku. Tadinya aku mau izin menginap di sini. Sudah lama sekali rasanya kita tidak kumpul bersama, kan? Aku merindukan kalian," ujarnya dengan mata penuh harap.

"Sayangnya, kamu datang di waktu yang salah. Kami akan pergi." Jawab Jin Woo datar.

"Apa aku tidak boleh ikut juga, Hyung? Aku bosan di rumah. Tidak ada kesibukan," Tae Hyeon terdengar merengek.

Jin Woo menatap tajam Tae Hyeon. "Aku akan izinkan kamu ikut selama tidak macam-macam. Kami mau liburan, bukan menambah pikiran. Kamu mengerti maksudku, kan?" ujarnya dengan mempertegas setiap kalimatnya.

"Nee, Hyung. Aku mengerti. Gomawoyo," Tae Hyeon pun tersenyum senang.

Jena tidak banyak bicara dengan sepupunya itu, sementara berbanding terbalik dengan Tae Hyeon yang tak henti memperhatikannya. Tiba-tiba pintu rumah mereka terbuka dan Jungkook terlihat masuk dengan membawa ransel besarnya.

"Annyeong, Hyung, Noona! Kookie datang," teriak Jungkook begitu semangat, kemudian ia tertawa geli sendiri.

Jena pun tersenyum melihat Jungkook. "Kookie, Kookie! Mulut kamu itu tetap saja tidak berhenti mengunyah, ya. Heran!" komentarnya ketika melihat Jungkook memegang roti di tangannya.

Jungkook hanya tertawa mendengar ocehan Jena. Dengan santai, ia mengambil Kimbab yang sudah disiapkan oleh Jin Woo dan melahapnya.

"Wah, ini enak! Pasti Hyung yang memasaknya," puji Jungkook dengan mulut penuh.

Jin Woo terkekeh. "Tidak perlu diragukan lagi kalau itu. Oh iya, Kookie, perkenalkan itu sepupuku. Tae Hyeon namanya. Dia akan ikut kita berlibur hari ini. Tae, kenalkan dia Jungkook, rekan kerjaku dan sudah seperti adikku juga." Ujarnya seraya memperkenalkan kedua pria itu.

"Ah, nee. Annyeonghaseyo," sapa Jungkook pada Tae Hyeon dengan menatapnya lekat beberapa saat.

Tae Hyeon balas menyapanya dengan sopan.

Tak berselang lama, Yoongi juga melenggang masuk ke rumah. "Annyeong. Maaf, aku terlambat. Tadi ada urusan sebentar. Kita langsung berangkat saja bagaimana?" tanyanya saat sampai di ruang makan.

"Baiklah. Ayo, berangkat supaya tidak terlalu siang sampai di sana," jawab Jin Woo yang baru saja selesai memasukkan seluruh makanan ke dalam kotak.

Jin Woo pun memperkenalkan Tae Hyeon juga pada Yoongi. Setelahnya, mereka bergegas untuk berangkat. Jena, Jin Woo dan Yoongi berada satu mobil, sedangkan Jungkook dan Tae Hyeon mengekor di belakang dengan mobil masing-masing.

🌼🌼🌼

Mereka sampai di vila yang ternyata adalah milik Yoongi. Jena baru mengetahuinya saat tadi di perjalanan. Mereka menghabiskan waktu hampir tiga jam karena memang wilayah vilanya berada di luar kota.

Setelah semua mobil terparkir rapi dengan sejajar, mereka turun satu per satu. Mereka meregangkan otot sejenak sebelum mengambil barang-barang yang ada di bagasi.

Jena sudah lebih dulu masuk ke ruang tengah. Tak lama, yang lain menyusul dengan membawa seluruh barang bawaan mereka.

"Wah! Yoon, vilamu besar sekali, ya? Aku tidak menyangka jika kamu sekaya ini sekarang. Padahal dulu kamu bayar uang kuliah saja agak kesulitan." Komentar Jin Woo seraya memperhatikan sekeliling ruangan.

Yoongi berdecak pelan. "Kamu ini selalu saja berlebihan, Jin. Oh iya, kitaa langsung bagi kamar saja, ya. Aku dan Jin sekamar di lantai atas yang menghadap ke danau. Kookie dan Tae, kalian sekamar saja, ya? Kamar kalian yang ada di sudut lantai dua. Jena, kamu bisa di kamar depan itu, ya. Tidak apa sendiri, kan?"

Jena melipat tangannya di dada. "Ya, tidak apa-apa. Memangnya kamu pikir aku penakut, ya? Tapi kenapa aku jadi seperti nyamuk di antara kalian. Apa kalian semua ini tidak ada yang punya pacar, eoh? Benar-benar menyebalkan!" gerutunya.

Keempat pria itu pun tertawa terbahak mendengarnya. Sementara Jena semakin kesal dibuatnya.

"Baiklah, sekarang kalian sudah kompak untuk menertawakanku!" sungut Jena dengan wajah cemberutnya.

"Yak, jangan cemberut seperti itu. Justru di sini kamulah permaisurinya, Jena." Sahut Yoongi dengan menahan kekehannya.

Jin Woo tertawa puas. "Yoongi benar. Jadi, kamu hanya perlu duduk manis dan tidak usah banyak protes. Mengerti?"

Yoongi menatap Jena. "Nah, dengar kata Oppa-mu, kan?"

Jena masih saja cemberut.

Yoongi memegangi kepala Jena dan menatapnya. "Berhenti cemberut. Kamu terlihat semakin menggemaskan kalau seperti itu. Tahu tidak?" katanya, kemudian mengacak rambut Jena.

Jena pun menjadi salah tingkah dengan perlakuan Yoongi, dan hal itu tak luput dari perhatian Tae Hyeon.

"Baiklah. Bagaimana kalau kita semua istirahat dulu? Pasti lelah, kan? Kalau kalian butuh camilan atau apapun, kalian bisa langsung ke dapur. Aku sudah menyiapkan segala yang kita butuhkan di sana." Yoongi pun menunjuk arah dapur yang berada di ujung lorong, tak jauh dari ruang tengah saat ini.

Mereka pun mengangguk paham, kemudian meninggalkan ruang tengah untuk menuju kamar masing-masing.

🌼🌼🌼

Hari sudah sore. Jena baru saja terbangun dari lelapnya. Tubuhnya langsung ambruk saat masuk ke kamar siang tadi. Ia meregangkan otot sebentar, kemudian berkaca sebelum keluar kamar untuk bergabung dengan yang lain.

Keributan kecil terdengar dari arah dapur. Jena meyakini jika itu ulah adik kecilnya, Jungkook. Sesampainya di sana, ternyata Jungkook tidak sendiri, melainkan bersama Tae Hyeon.

"Kalian sedang apa? Pasti membuat makanan," komentar Jena seraya memperhatikan dua laki-laki di depannya.

"Jungkook sedang masak ramyeon, dan aku sedang menyiapkan minuman. Kamu pasti lapar. Baru bangun, kan?" tanya Tae Hyeon dengan melirik Jena.

Gadis itu mengangguk. Diam-diam ia tersenyum kala menyadari Jungkook dan Tae Hyeon mulai akrab satu sama lain.

"Sini, aku bantu juga," Jena berusaha mengambil alih pekerjaan Tae Hyeon yang sedang menuangkan soda ke dalam mangkuk.

Jungkook dengan sigap menghentikan langkah Jena dan memutar tubuh gadis itu untuk keluar dari dapur. "Tidak usah, ya! Noona diam di ruang tengah saja sana. Biar kami yang mengerjakan semuanya. Pokoknya Noona duduk manis dan terima jadi. Titik!"

Jena menatap mereka. "Kalian kenapa menyebalkan sekali, sih? Aku, kan, hanya ingin bantu," sungutnya pura-pura marah.

"Diam di situ. Mengerti?" titah Jungkook dengan menunjuk kaki Jena agar tidak bergerak.

Jena berdecak. "Dasar! Oh iya, ke mana kedua Oppa itu?"

"Hm ... Jin Hyung sepertinya masih tidur. Kalau Yoongi Hyung tadi keluar sebentar katanya," jelas Jungkook sembari memperhatikan ramyeonnya yang akan matang.

Jena mengangguk, kemudian melangkah ke ruang makan untuk mengambil camilan yang ada di meja. Perutnya memang sudah lapar karena tadi belum makan, dan hanya makan Kimbab buatan Jin Woo.

Pintu samping terbuka dan Yoongi terlihat masuk menghampiri mereka. Ia menatap Jena sebentar, kemudian duduk di bangku, tepat di hadapan Jena.

"Hm ... kita kedatangan tamu," ujar Yoongi pelan.

"Tamu siapa, Oppa? Temanmu juga?" tanya Jena penasaran.

Yoongi mengacak rambutnya pelan. "Sebentar lagi dia akan masuk. Tunggu saja."

Benar saja. Pintu ruangan samping kembali terbuka. Namun, Jena terkejut melihat tamu yang dimaksud oleh Yoongi.

"Annyeonghaseyo," sapa Jee Min seraya memperhatikan mereka yang ada di ruangan itu, terutama Jena.

"Jim? Kenapa ada di sini?" tanya Jena dengan nada tidak suka.

Jee Min menatap Jena tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Yoongi pun menatap Jee Min. "Dia mengikuti mobil kita sejak tadi. Aku pikir kebetulan saja. Ternyata tadi aku lihat mobilnya parkir di depan. Makanya aku ajak dia bergabung ke sini. Semoga kalian tidak keberatan," Jelasnya seraya menatap Jena.

Jee Min masih tak lepas menatap Jena. Jena pun bangkit dari duduknya dan membawa Jee Min ke luar ruangan dengan diiringi tatapan dari Yoongi, Jungkook dan Tae Hyeon.

Jee Min menunduk sesaat. "Aku tahu kamu marah, Jen-"

"Untuk apa mengikutiku?" potong Jena cepat. "Kenapa kamu harus melakukan hal seperti ini? Lama-lamu kamu jadi seperti psikopat, tahu tidak?!" bentaknya.

"Aku tidak berniat mengikutimu. Tadinya aku hanya ingin bertemu denganmu. Tapi melihat kalian akan pergi bersama, akhirnya aku mengikutimu sampai kemari." Jelas Jee Min.

"Sudah aku bilang, kan, jangan menggangguku lagi? Apa kamu tidak mengerti?!" pekik Jena yang nyaris berteriak frustrasi.

"Seperti yang kamu tahu, aku tidak bisa melakukannya. Cukup sekali, Jena. Cukup sekali aku kehilangan kamu." Jee Min menatap Jena serius.

"Kamu benar-benar membuatku kesal, Jim! Sebaiknya kamu pergi dari sini!" Jena hendak melagkah pergi dari hadapannya, tetapi Jee Min menahannya.

"Aku mohon jangan pergi lagi dariku. Aku tidak akan sanggup, Jen." ujar Jee Min lirih.

Jena menghempaskan tangan Jee Min. "Di antara kita sudah tidak ada apa-apa lagi, Jim! Hubungan kita sudah selesai sejak beberapa tahun lalu! Apa kamu lupa?"

"Kamu yang memutuskan hubungan kita, Jen. Sementara aku tidak pernah setuju, kan? Apa kamu lupa?" jawab Jee Min serius.

"Kamu gila!" Jena melangkah pergi dari Jee Min.

Jee Min bergerak lebih cepat menahannya. "Lihat mataku, Jena! Katakan padaku kalau kamu tidak mencintaiku lagi. Dengan begitu, aku akan mundur!" katanya dengan menatap dalam Jena.

Jena menunduk tanpa berani menatap mata Jee Min. Aku terlalu lemah untuk menatap mata itu, Jim, batinnya.

Jee Min tersenyum. "Kamu tidak berani menatapku karena itu kelemahanmu. Kamu masih mencintaiku, Jen. Kalau kamu memang tidak mencintaiku lagi, tentunya tidak akan sulit bagimu mengatakannya dengan lantang."

Jena mengangkat wajahnya dan menatap Jee Min. "Aku memang masih mencintaimu, tapi aku-"

"Aku tidak perlu tapi. Aku hanya butuh kamu. Itu saja, Jena." potong Jee Min sebelum Jena meneyelesaikan kalimatnya.

"Oh, ada tamu lama rupanya. Kebetulan sekali," Jin Woo tiba-tiba muncul menghampiri Jena dan Jee Min dengan wajah baru bangun tidurnya.

"Hyung," gumam Jee Min pelan seraya menatap lekat wajah Jin Woo.

Jin Woo menatap Jee Min serius. "Kamu kembali lagi. Aku heran kenapa kamu segigih ini, Jee."

"Kamu pasti sudah tahu alasannya, Hyung," jawab Jee Min tanpa ragu.

Jin Woo tersenyum tipis. "Nee, arayo. Tapi bukankah Jena sudah menolakmu?"

Jee Min mengangguk pelan. "Nee, Hyung. Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja. Sampai Jena bisa meyakinkanku bahwa dia sudah berhenti mencintaiku, maka aku akan tetap mengusahakan apapun untuk kembali padanya." Jawabnya dengan menatap Jena serius.

Jin Woo menatap Jena yang hanya diam, kemudian ia kembali menatap Jee Min. "Kalau aku tidak mengizinkanmu untuk masuk lagi ke kehidupan Jena bagaimana?"

Jee Min tersenyum kecil. "Aku tahu kamu tidak akan melakukan itu, Hyung." Katanya yakin seraya menatap Jena.

Jena membuang muka tak ingin menatap ke arah pria itu.

"Aku mengerti jika Hyung tidak percaya lagi padaku, tapi aku akan berusaha menyakinkanmu kalau aku akan membahagiakan Jena ke depannya." Jee Min menatap Jin Woo penuh keyakinan.

Jin Woo berdecak pelan. "Seyakin apa kamu bisa membahagiakan Jena, Jee? Kamu saja tidak bisa membahagiakan istrimu." ujarnya dengan nada meremehkan.

Jee Min menghela napas pelan. "Hyung, hubunganku dan Ara adalah kesalahan, dan saat ini, kami sudah menyelesaikannya baik-baik."

"Jee, dengarkan aku. Kalau kamu hanya bermodalkan cinta untuk membahagiakan Jena atau perempuan lain, itu sama sekali tidak cukup." Ujar Jin Woo dengan bersidekap.

"Apa maksudmu, Hyung?"

"Sebuah hubungan itu mengandalkan kepercayaan. Kalau kepercayaan itu sudah hilang, lalu bagaimana kamu bisa membangun sebuah hubungan?" Jin Woo menatap Jee Min tajam.

Jee Min pun terdiam.

Jin Woo menunduk sedikit dan terdengar tertawa kecil. "Kalau soal membuktikan, aku percaya kamu pasti bisa membuktikannya, Jee. Ya, terbukti seperti saat ini, kamu ada di sini untuk menepati kata-katamu waktu itu. Tapi masalahnya sekarang, apakah kamu tidak akan mengulangi kesalahan yang sama saat kepercayaan itu kembali kamu dapatkan nantinya?" tanyanya dengan menatap Jee Min tajam. "Karena untuk mendapatkan semua itu mungkin saja mudah bagimu, tapi untuk mempertahankannya yang begitu sulit."

Jee Min mengangguk. "Iya, Hyung. Aku tahu itu. Aku janji tidak akan melakukan hal bodoh lainnya."

Sorot tajam dari mata Jin Woo tertuju lurus pada Jee Min. "Sekarang aku tanya padamu, Jee. Kamu sudah tahu bagaimana keadaan Jena selama tiga tahun belakangan ini, kan? Dia sudah banyak melalui hal yang berat, sampai akhirnya dia mau untuk sembuh. Lalu sekarang, kamu kembali. Itu sama saja dengan kamu mencoba membuka luka lamanya. Apa kamu bisa mengobatinya lagi nanti? Sudah cukup sakit aku melihat keadaan Jena, dan sudah pasti, aku tidak mau dia kembali seperti itu. Apa kamu bisa menjamin Jena akan baik-baik saja jika dia kembali menerima keberadaanmu?" tanyanya yang kini matanya tertuju pada Jena.

Jena hanya bisa menunduk. Ia tidak berani menatap kakak laki-lakinya itu.

"Aku akan memperbaiki semuanya, Hyung. Aku akan berusaha menebus semua kesalahanku di masa lalu. Tolong beri aku kesempatan untuk memperbaiki keadaan ini, Hyung. Aku masih sangat menyayangi Jena." Ujar Jee Min dengan suara bergetar karena menangis.

Jin Woo menatap Jee Min dengan saksama. "Bukan aku yang bisa memberimu kesempatan, tapi Jena. Aku hanya ingin mengingatkanmu tentang seberapa besar luka yang sudah kamu berikan untuknya. Aku harap kamu akan mengingat itu sampai kapanpun, Jee."

Jee Min mengangguk pelan, kemudian menatap Jena dengan pandangan penuh harap. Jena enggan mengangkat kepalanya. Ia terlalu takut jika bertatapan lama dengan Jee Min hanya akan membuatnya lemah.

Jin Woo maju satu langkah ke arah Jee Min. "Aku hanya ingin memberitahumu satu hal lagi, Jee." Ucapnya tenang, kemudian tanpa basa-basi ...

BUG!

Jin Woo melayangkan tinjunya ke wajah Jee Min.

"Oppa!" teriak Jena kaget karena tidak menduga dengan tindakan Jin Woo yang tiba-tiba itu.

Jee Min terhuyung ke samping untuk sesaat, dan kembali berdiri tegak dengan memegangi pipinya yang terasa sakit. Tinju yang dilayangkan Jin Woo sudah pernah dirasakan oleh Jee Min. Dulu, saat ia menjadi lawan tanding di kejuaraan Taekwondo.

Jin Woo merupakan atlet terbaik di Taekwondo, dan tinju serta tendangan yang dilakukannya akan berujung kekalahan dari lawan. Bahkan sering ada yang menyebutnya mematikan. Jee Min pun tahu tinju itu akan membuatnya sedikit lebam beberapa waktu ke depan.

Jin Woo menatap Jee Min tajam. "Itu hanya peringatan kecil dariku. Kamu tahu, kan? Sekali lagi saja kamu membuat Jena menderita, bukan hanya pukulan yang akan kamu dapatkan berikutnya." ujarnya tegas.

Jee Min menatap Jin Woo lekat. "Aku akan mengingat kata-katamu, Hyung."

Jin Woo pun menatap Jena sesaat yang juga sedang menatapnya dengan air mata yang mengalir. Tanpa berkata apapun, ia melangkah masuk kembali ke vila.

Jena pun membuang napas pelan, kemudian menghampiri Jee Min untuk melihat bekas pukulan yang disebabkan oleh kakaknya itu.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Jena dengan nada khawatir. Ia meraba pelan pipi kiri Jee Min.

Jee Min tersenyum menatap mata Jena. "Selama ada kamu, aku baik-baik saja, Jena. Tenang saja, ya? Aku memang pantas mendapatkan pukulan ini karena aku sudah menyakitimu." Jawabnya.

Jena menarik tangannya dari wajah Jee Min dengan cepat, tetapi pria itu segera menangkap tangan Jena dan membiarkan berada di pipinya. Jee Min menatap Jena dalam jarak yang cukup dekat.

"Kembalilah kepadaku, Jena. Aku mohon," pinta Jee Min dengan suara pelannya.

Jena memaksa melepaskan tangan Jee Min. "Mianhae, Jim," katanya, lantas berlari meninggalkan pria itu tanpa menoleh sedikit pun.

Jee Min memandangi punggung Jena yang menghilang di balik pintu. Sementara itu, seseorang tengah memperhatikan mereka sejak tadi di balkon lantai dua.

🌼🌼🌼

Langit senja sudah berganti gelap. Jam menunjukkan pukul 18:30. Satu jam lalu, Jena pergi keluar dari vila tanpa sepengetahuan semua orang. Ia berjalan keliling vila tanpa tahu tujuan, sampai langkahnya terhenti di dekat danau.

"Aku tidak mengerti apa yang membuatku sesakit ini. Padahal aku sudah mengikhlaskan semuanya." Gumam Jena seraya melemparkan batu kecil ke arah danau.

"Ah, kamu di sini rupanya," suara Yoongi dari arah belakang punggung Jena membuat gadis itu menoleh kaget.

"Oppa? Kenapa bisa di sini? Apa kamu mengikutiku?" tanya Jena dengan polosnya.

Yoongi tertawa sambil duduk di sebelah Jena. "Apa kamu lupa kalau vila ini wilayahku? Aku khawatir karena kamu sudah satu jam tidak kembali ke vila."

"Kamu tahu dari mana kalau aku tidak ada di vila?"

"Tadi aku melihatmu keluar diam-diam, tapi aku tidak mengatakannya kepada yang lain. Mereka pikir kamu sedang tidur pulas di kamar." Jelas Yoongi santai.

Jena pun mengangguk pelan. "Hm, gomawoyo, Oppa. Aku perlu sedikit udara segar, makanya aku keluar."

Yoongi tersenyum. "Aku tahu. Maaf sudah membuatmu tidak nyaman, ya." katanya serius tanpa menoleh pada Jena.

Jena menatap Yoongi.

"Maaf karena sudah mengundangnya masuk ke vila, dan akhirnya, aku harus melihatmu sedih lagi seperti sekarang," terang Yoongi menjelaskan maksud ucapannya.

Jena menggeleng cepat. "Ah, aniyo, Oppa. Ini bukan salahmu. Jinjja," elaknya.

"Sebenarnya aku bisa saja mengusirnya tadi, tapi aku pikir mungkin dia ingin menemuimu."

Jena tersenyum. "Tidak apa-apa, Oppa. Aku mengerti."

Yoongi diam tidak menjawabnya. Suasana seketika menjadi hening. Keduanya menatap ke arah danau ditemani dengan udara dingin yang berembus.

Jena menekuk lutut dan memeluknya dengan erat untuk menghangatkan diri. "Aku ... tidak tahu harus bagaimana, Oppa."

"Apa yang membuatmu bingung?"

Jena menghela napas. "Dia memintaku untuk kembali, tapi ... aku ragu."

"Kamu ragu untuk menerimanya?" Yoongi tak mengalihkan pandangannya sedikit saja pada air yang tenang di depannya.

"Aku tidak tahu apa yang membuatku merasa sakit. Seharusnya aku senang saat melihatnya kembali, tapi kenapa tidak?" gumam Jena seraya menempelkan dagunya ke lutut.

"Kamu masih mencintainya, kan?" Yoongi menoleh.

Jena menunduk. "Dalam hatiku paling dalam ..." kalimatnya menggantung dengan berat. "Ya, aku masih mencintainya."

Yoongi mengusap pelan kepala Jena. "Cinta itu perihal yang rumit, Jena. Tidak mudah untuk dipahami. Jika kamu mencari alasan apapun atas nama cinta, aku pastikan kamu tidak akan bisa menemukannya."

Jena menoleh pada Yoongi.

"Cinta tidak pernah membutuhkan alasan apapun," sambung Yoongi dengan tatapan mata yang beradu dengan Jena. "Kamu harus bisa mendengar kata hatimu sendiri, Jena."

Jena menatap Yoongi dengan berkedip beberapa kali.

Yoongi tertawa melihat reaksi gadis itu, kemudian melepas tangannya dari kepala Jena. "Aigoo! Kenapa melihatku seperti itu? Apa begitu berat kalimat yang aku sampaikan?"

Jena menggeleng sambil tertawa. "Aniyo, Oppa!" elaknya.

Yoongi terkekeh. "Begini ... Inti dari mencintai itu adalah memberi, dan jangan pernah mengharapkan balasan. Kalau mendapat balasan, berarti itu bonusnya."

"Kenapa memberi, Oppa?" tanya Jena dengan kening yang mengerut bingung.

Yoongi menggaruk tengkuknya pelan. "Ya, karena dengan kita memberikan yang terbaik untuk orang lain, kita tidak akan menyesalinya. Ketika kamu sudah melakukan yang terbaik, lalu hubungan itu akhirnya gagal, kamu tidak akan terlalu kecewa sebab itu berarti kesalahannya bukan ada padamu, melainkan pada pasanganmu. Setidaknya, seperti itulah ungkapan cinta yang aku pahami." Terangnya dengan seulas senyum di bibirnya.

"Memberi tanpa mengharap balasan ..." gumam Jena lirih.

"Pesanku kalau memang kamu belum siap untuk menjalaninya lagi, sebaliknya jangan dipaksakan karena hanya akan semakin menambah lukamu. Pertimbangkan dengan matang sebelum kamu memutuskan kembali bersamanya," ujar Yoongi serius.

Jena pun mengangguk pelan. "Nee, aku mengerti, Oppa. Gomawo," ucapnya pelan.

"Soal Jin Woo, kamu tidak usah terlalu pikirkan, ya? Dia hanya emosi sesaat tadi. Pasti akan membaik lagi nanti. Sikapnya seperti itu juga karena dia peduli padamu. Kamu adik perempuan satu-satunya dan sudah pasti dia tidak ingin kamu terluka. Dia hanya ingin melindungimu, Jena."

Jena kembali mengangguk. "Aku tahu, Oppa. Dia hanya takut aku akan mengalami hari yang buruk lagi. Aku juga tidak mau melihat Oppa sedih terus memikirkan keadaanku."

Yoongi menepuk pelan pundak Jena. "Aku mengenalnya, tapi aku tahu kamu pasti lebih mengenalnya."

Jena tersenyum. "Terima kasih, ya, Oppa. Hatiku sedikit lebih tenang sekarang."

Yoongi menundukkan kepalanya sedikit menatap wajah Jena. "Coba hapuskan dulu sedihmu. Aku ingin melihat senyumanmu yang tulus itu."

Jena pun tertawa. Entah mengapa melihat ekspresi Yoongi selalu berhasil membuatnya ingin tertawa lepas.

Yoongi merogoh saku celananya. "Ini untukmu," ujarnya sembari memberikan sebuah cokelat kepada Jena. "Siapa tahu dengan memakan cokelat, mood-mu akan kembali bagus." Kekehnya.

Jena pun menerima cokelat itu dengan senang. "Oppa, kenapa kamu ini selalu saja bisa membuat mood-ku berubah dalam sekejap?" tanyanya sembari membuka bungkusan cokelat itu dan melahapnya.

"Padahal aku tidak berbuat apapun. Hanya cokelat," jawab Yoongi yang diiringi tawanya. "Ya sudah, ayo, kita kembali ke vila. Yang lain pasti khawatir kalau tahu kamu tidak ada di sana." Ajaknya sembari berdiri dari duduknya.

Tangan Yoongi terulur ke hadapan Jena, dan gadis itu menyambutnya dengan semringah. Mereka pun berjalan beriringan dengan santai sambil menikmati embusan angin malam.

Sampai mereka tiba di halaman, Jee Min melihat kedatangan mereka dengan wajah yang semringah.

🌿

Halo.

Terima kasih udah baca ceritaku.

NEXT ? SPOILER PART 11.


Ramein dulu kolom komennya dong. Vote sampe 50 yuk 😌 Baru aku lanjut.

🍂 THANK YOU 🍂

Love, Cha ❤️

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

2.3M 166K 34
18+ Tergiur dengan kartu platinum yang di sodorkan Yoongi padanya, Rachel sampai tak mengecek apa isi surat perjanjian yang ia tanda tangani. Hingga...
758K 36.5K 39
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
54.1K 3.5K 12
Menceritakan tentang kehidupan yang berbeda ketika bersama dia yaitu Byun baekhyun, sebuah pernikahan yang tidak berawal dari rasa cinta.
7.9K 304 8
kesalahan,kebodohan,kesialan atau apalah namanya,tetap saja seseorang tidak boleh melakukan hal keji seperti itu pada dirinya sendiri. menghukum dir...