NATAREL (SELESAI鉁旓笍)

谞讻转讘 注诇 讬讚讬 Park_sooyang

4.4K 2.4K 749

Budayakan membaca deskripsi sebelum terjun ke cerita馃敧 Ada satu insiden yang membuat Rea, si anak baru yang k... 注讜讚

Prolog
1 | Kerusuhan
2 | Uang Kembalian
3 | Kacamata
4 | Intrepide
5 | Kunci Motor
6 | Apartemen
7 | Ponsel Keramat
8 | Diborgol Polisi
9 | Penyesalan Rio
10 | Taruhan
11 | Mysterious Rider
12 | Pacar Settingan?
13 | Mau Bolos Bareng?
14 | Sandiwara
15 | Sport Merah
16 | Ide Gila Dua Murid Gila
17 | Revan VS Nata
18 | Bakmi Iblis
19 | Lunch
20 | Night Screams
21 | Tanpa Kabar
22 | Dikejar Pasukan Gen Petir
23 | Purnama
24 | Dramatis
25 | Panic Attack
26 | Trik Psikologi
27 | Dialog Senja
28 | Perasaan Konyol
29 | Rea Berbohong
30 | Kehadiran Oma
31 | Kaos Olahraga
32 | Aksi Zizad Lagi
33 | Secangkir Matcha
34 | Tanding Voli
35 | Hangout Penuh Drama
36 | Kevin Mencurigakan
37 | Tabiat Kevin
38 | Perkara Cokelat
39 | Gerbang Sekolah
40 | Anak Jalanan
41 | Hareudang
42 | Komplikasi
43 | Atas Jembatan
44 | Keduanya Ketiduran
45 | Dunianya Hancur
46 | Kegiatan Baru Nata
47 | Skandal
48 | Ambigu
49 | Celaka Karena Rea Lagi
50 | Sandiwara Lagi
51 | Gentleman Sesungguhnya
52 | Terlibat Kebakaran?
53 | Ulah Geng Ferdian Lagi
54 | Bukti Ketulusan Nata
55 | Hidup Untuk Apa?
56 | Confess di Kuburan dan Duka
57 | Candu Baru
58 | Menjelajah Rumah Pacar
59 | Gosip Gila
60 | Uji Nyali
61 | Night Changes
62 | Ruang Siaran
63 | Luar Jakarta
64 | Semuanya Telah Usai
65 | Danau, Hujan, Momentum
67 | Nata Yang Sebenarnya
68 | Dare Romantis
69 | Ibu Kandung Sebenarnya
70 | Nata Akan Pergi
Extra Part

66 | Remuk Redam

55 42 10
谞讻转讘 注诇 讬讚讬 Park_sooyang

"Maaf, ya, lo jadi kedinginan gara-gara gue."

Motor itu sampai di depan rumah Rea persis setelah hujan reda. Gadis itu turun dari motor dengan tubuh dan pakaian sudah basah kuyup seperti Nata. Keduanya saling melempar senyum.

"Lo kedinginan?"

"Pas perjalanan, sih, iya. Kalo sekarang nggak sedingin tadi."

"Kok kebalikan?" Satu alis Nata terangkat. "Malah gue pas perjalanan hangat. Soalnya dapet pelukan."

Laki-laki itu meringis begitu mendapat cubitan di pinggangnya, lalu tertawa kecil, sebelum mengusap-usap telapak tangannya dengan gerakan cepat. Setelah merasa ada kehangatan di sana, Nata menyentuh kedua pipi Rea dengan kedua telapak tangannya hingga gadis itu merasakan sedikit kehangatan di tangan kekasihnya.

Nata melakukan hal yang sama lagi sebanyak tiga kali.

Rea tersenyum. "Lo hati-hati bawa motor. Kalo udah sampe apart kabarin," pinta Rea.

"Siap, Tuan Putri. Ntar kalo udah nyampe gue kabarin lewat chat. Kalo mau makan chat lo. Kalo mau tidur chat lo. Kalau mau ke kamar mandi sekalian chat lo." Cowok itu mengedipkan satu matanya menggoda.

"Aduhhh, ya, nggak sampe kamar mandi juga."

Keduanya tertawa. Rasanya bahagia setelah menghabiskan waktu bersama.

"Langsung mandi, biar nggak masuk angin." Jemari Nata terangkat lagi untuk mengelus pelan kepala Rea. "Habis itu minum yang anget-anget."

Rea mengangkat satu tangan ke pelipis kanan, berlagak hormat. "Siap, Kanten."

Nata mengacak-acak rambut basah Rea gemas sebelum berpamitan untuk pulang. Akhirnya motor sport itu mulai berjalan memecah hening seiring lambaian tangan Rea, sebelum pengendaranya terlihat makin mengecil dan hilang bersama suara motornya.

Rea masih tersenyum. Momen hari ini pasti akan terbawa mimpi dan akan terus tertancap di ingatan Rea sampai berminggu-minggu.

•••

"Daddy."

"Iya, Re? Kenapa?"

Rea duduk di sofa sebelah ayahnya yang tengah sibuk membaca majalah bisnis sambil sesekali menyesap secangkir kopi yang baru saja diletakkan di atas meja. 

"Pas abis tahu baru... sekitar tiga hari setelahnya, itu Daddy ke jembatan nggak?"

Rea baru berani menanyakan hal itu sekarang karena biasanya ayahnya pulang dan kelelahan, gadis itu tidak ingin mengganggu waktu istirahatnya. Dan di saat waktu yang tepat, Rea justru lupa.

Mata Irfan yang awalnya menunduk fokus terhadap majalahnya, mendadak terhenti. Kemudian mengangkat wajah ke samping, menatap putrinya sambil mengingat-ingat.

"Iya."

Alis Rea terangkat, terkejut. "Jadi bener itu Daddy? Daddy sama siapa waktu itu? Sama pacar Daddy, ya?" Raut Rea sama sekali tidak menunjukkan keantusiasan, justru terlihat tidak terima.

Kurva di bibir Irfan mengembang malu-malu. "Iya."

Rea mengguncang-guncang tubuh ayahnya kesal. "Ih... kok nggak dikenalin ke Rea dulu, sih? Kok main pacarin gitu aja, sih? Jangan-jangan pacar Daddy itu ibu-ibu kompleks sebelah, ya?"

Gumaman terkejut terdengar dari Irfan. "Sembarangan, ya, kamu. Ya bukanlah." Irfan mengalihkan perhatian kembali majalah yang dibacanya.

Dada Rea terlihat naik turun setengah emosi. Gerakannya mengguncang tubuh Irfan terhenti.

"Coba tebak siapa," titah Irfan sambil senyam-senyum membuat Rea curiga.

"Tante Ninda?"

"Hah?" Irfan menoleh lagi. "Tante Ninda itu udah punya suami, Sayang. Masa Daddy jadi pebinor, sih?"

Rea menghela nafas, berusaha menebak. "Bu Wati lagi? Bu Har?"

"Bukan, Rea sayang. Tapi pacar Daddy itu gu-"

"Irfan! Irfan, Irfan, Irfan!"

Panggilan antusias terdengar tidak sabar itu buru-buru menyita perhatian keduanya. Oma Jamilah yang baru saja pergi ke luar rumah tiba-tiba datang dari arah pintu utama. Seperti biasa, dengan satu tas branded mahal melingkari pergelangan tangan kirinya.

"Iya, Ma? Kenapa? Kok Mama keliatan seneng gitu?" Irfan yang penasaran pun menutup halaman majalahnya dan berdiri.

"Saya sudah ada calon buat kamu."

Keheningan seketika menyarapi ruangan itu. Beberapa detik belum ada yang bersuara. Rea dan Irfan sama-sama membeku, terlalu speechless dengan satu ucapan Oma itu, sementara Oma belum kunjung melenyapkan senyum senangnya. Entah keduanya membeku antara senang, bahagia, atau justru kecewa karena hal itu tidak sesuai dengan harapan.

Rea menyela sambil berdiri. "Oma, tapi Rea juga udah punya calon buat Daddy."

Irfan menoleh ke arah putrinya, seolah sudah menebak-nebak siapa calon yang Rea maksud.

Kedua mata Oma terbelalak. "Tahu apa kamu? Yang pantes nyariin calon buat papa kamu itu saya! Kamu itu cuma anak yang nggak tahu apa-apa!"

Rea menyahut dengan tegas. "Tapi, Oma-"

"Ayo, Irfan." Irfan tidak berani membantah atau menyela bahkan sampai Oma menarik satu lengannya, membawanya keluar, tubuh Irfan pasrah diseretnya keluar rumah. "Calonmu udah nunggu di depan."

Rea tidak bisa berkata apa-apa lagi selain menjatuhkan tubuhnya, menyandarkan punggungnya di kaki sofa. Termenung. Harapannya sia-sia. Harapan agar bisa menjodohkan Bu Wening dengan ayahnya. Hanya Bu Wening satu-satunya orang yang tepat bagi Rea, bukan yang lain.

Harapan agar membangun kembali kebahagiaan keluarganya. Mempunyai Ibu tiri bukanlah suatu hal yang menyenangkan. Tapi mempunyai Ibu tiri sepengertian Bu Wening adalah harapan. Harapan yang sekarang dipaksa hancur karena Omanya.

Mau setepat apapun pilihan Oma, bagi Rea tetap tidak ada yang bisa menggantikan Bu Wening di hatinya.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Telepon dari Nata. Gadis itu segera menegakkan tubuh dan menekan tombol warna hijau, sebelum mendekatkan ke telinga.

"Halo Nat, kenapa?"

"Kok suaranya lesu amat, sih, Nona Andrea? Kenapaaa?"

"Nggak apa-apa, kok, lagi kesel sama Oma aja."

"Ohhh. Saya mau laporan hal terpenting, Nona."

"Laporan apa lagi, sih?" Entah kenapa Rea mendadak berubah khawatir. "Lo nggak apa-apa, kan?"

"Tidak, Nyonya. Natarel Andreano baik-baik saja."

"Terus mau laporan apaaa?"

"Saya ingin melapor bahwa saya sudah makan."

Satu decakan kesal terdengar. "Ya ampun... kirain kenapa."

"Lo sendiri udah makan?"

"Udahlah."

"Lapor juga, Non Andrea, sekarang saya lagi keluar dan nanti akan pulang ke rumah."

"Ya ampun, sampe laporan gitu?" Rea mendengus geli.

"Ya katanya suruh ngabarin kalo apa-apa?"

"Ya maksud gue, iya bener ngabarin kalo udah sampe. Tapi, ya... nggak semuanya lo spil kegiatan lo juga. Mau matiin AC laporan, mau ganti baju laporan, mau meluk guling, nyari headset laporan. Maksud gue, laporannya nggak keseluruhannya juga lo harus spil, Nata."

Rea memijat pangkal hidungnya setengah pusing. Kelakuan pacarnya ini ada-ada saja.

"Hahahahaha! Ya nggak apa-apa, biar savage, lah."

Rasanya mood Rea yang sempat Oma rusak, kini kembali lagi karena telepon dari Nata. "Yaudah, sekarang lo lagi mau jalan, kan? Gue matiin telponnya. Fokus berkendara."

"Siap, Sayang. Eh, eh, bentar dulu. Gue juga ada laporan lagi."

"Apa lagiiii? Mau naik motor?" Walaupun kesal, Rea menahan senyumnya.

"Gue mau laporan... kalo gue sayang lo."

Hening.

"Halo?"

Rea berpura-pura batuk dan tidak bisa menahan untuk tidak tersenyum salah tingkah. "Ya?"

"Masih nyambung, kan? Halo, halo, halo?"

"Masih, Nata-ya, Oma!"

Terdengar suara Oma memanggil Rea dari luar hingga Rea menjauhkan sedikit teleponnya sebentar, sebelum berbisik, "Gue matiin dulu, ya? Dipanggil Oma."

"Oke, Sayang. Dah."

Tut... tut...

•••

Nata tidak pernah menyangka akan kembali lagi dengan keluarganya. Semalam, ibunya dan Devon datang ke apartemen. Akhirnya Devon mengungkapkan segalanya, berusaha membongkar kebenaran yang terjadi beberapa tahun silam. Mungkin, itulah yang membuat rasa bencinya terhadap Nata hilang-atau mungkin sudah lama hilang semenjak dia sadar, dia bukan lagi anak kecil yang egois.

Anak kecil yang ingin merebut kasih sayang adiknya dari orang tua, dan berdiam diri saat adiknya disalah-salahkan. Mereka sudah bukan anak kecil lagi. Mereka sudah tidak saling benci lagi. Mereka bersama kembali.

"Apa? Ibu serius? Kok nggak bilang-bilang Nata, sih, kalo Nata mau punya ayah baru lagi? Kenapa dadakan?" Nata berbicara dalam telepon seiring tubuhnya yang ditegakkan di sisi ranjang. "Oh... yaudah... Nata pulang ke rumah sekarang, ya?"

"..."

Laki-laki itu menyambar jaketnya di punggung sofa. "Nata percaya, kok, siapapun pilihan Ibu. Kan Ibu orang baik. Pasti dapet yang lebih baik juga." Kurva di bibirnya terangkat sambil mendengarkan cerita ibunya di dalam telepon.

"..."

"Nggak, kok, Bu, Nata nggak marah. Kan kebahagiaan Ibu, kebahagiaan Nata juga. Kenapa harus marah? Devon setuju juga, kan?"

Satu berita dari ibunya benar-benar berita yang mengejutkan bagi Nata karena selama ini dia clueless tentang ibunya. Nata sama sekali tidak menolak mempunyai ayah baru, atau memilih menghilang lagi dari rumah karena tidak sesuai apa yang dia harapkan.

Telepon itu dimatikan semenit kemudian. Baru hendak mencapai pintu keluar setelah memakai jaketnya, tiba-tiba ponsel Nata berdering lagi. Telepon dari kekasihnya, membuat senyum Nata otomatis mengembang dan menjawab teleponnya kurang dari lima detik.

"Halo, Sayang? Kenapa lagi? Kangen? Kebelet mau serumah sama gue, ya?"

Rea di seberang sana terdengar berpura-pura ingin muntah, membuat Nata tertawa mendengarnya.

"Natarel, lo mau tahu sesuatu, nggak?"

"Apaaa? Kasih tahu dong..."

"Bentar lagi bokap gue bakal nikah."

Alis Nata terangkat. "Hah? Serius, Re? Kapan? Di mana? Sama siapa?"

"Ya ada deh, pokoknya. Ntar pasti lo juga tahu sendiri. Rencananya, sih, tiga hari lagi. Dateng bareng gue, ya? Oma juga udah nyewa gedung buat acara akadnya."

"Wih... congrats, ya?"

"Tapi.... ada yang lebih mengejutkan lagi, nih."

"Apaan, tuh?"

"Em... gue, kan, awalnya udah nyariin calon buat bokap gue. Nah, lo inget nggak waktu abis acara tahun baru, kita di jembatan, terus gue kayak ngeliat bokap gue sama cewek?"

Nata tampak tengah berusaha mengingat-ingat sebentar. "Iya, gue inget. Dan?"

"Dan ternyata bener tebakan gue, kalo itu beneran bokap gue. Terus... cewek yang ada di sebelahnya itu cewek yang bakal nikah sama bokap gue. Cewek itu juga ternyata cewek yang selama ini akrab sama gue, dan dia yang bakal gue jodohin sama bokap gue. Lebih gilanya lagi, pas gue tahu Oma bakalan jodohin bokap sama orang, gue sempet sedih dan terpukul banget karena belum tahu kalo ternyata ceweknya tuh yang selama ini mau gue jodohin sama Daddy juga. Kaget, nggak?"

"Kok... bisa ada kebetulan lagi, ya? Pas hari Minggu, gue ketemu Oma dan nggak tahu kalo ternyata itu Oma lo. Sekarang, Oma lo jodohin bokap lo sama cewek yang lo pengen jadiin dia Ibu. Terus... lo mau tahu juga, nggak, Re? Kebetulan nyokap gue juga mau nikah lagi."

"What?! Nyokap lo juga mau nikah lagi? Kapan?"

"Tiga hari lagi juga."

"Kok samaan?"

"Hahahaha, gue juga nggak tahu. Skenario Tuhan emang mengejutkan."

"Nat."

"Iyaaa?"

"Congrats juga, ya? Yah... berarti... kalo harinya samaan, lo nggak bisa dateng ke acara bokap gue, terus sebaliknya, gue juga nggak bisa dateng ke acara nyokap lo, dong?"

"Ahh, iya juga, ya?" Nata terlihat tengah berpikir sebentar. "Ya udah, nggak apa-apa. Oh, iya, Re." Laki-laki itu melirik arlojinya. "Gue mau pulang ke rumah, nih. Mau ketemu nyokap."

"Cie... udah akur, ya? Have fun."

"Thanks. Lo juga. Buat tiga hari lagi."

Hening.

"Rea?"

"Ya?"

"Ya udah..." Nata tertawa kecil. "Kok belum dimatiin, sih?"

"Hahahaha, soriiii, gue nungguin lo matiin dulu."

"Lah, biasanya, kan, lo yang matiin dulu?"

"Ya, kan, disuruh lo. Udah ah, buang-buang waktu. Barengan aja, ya?"

Keduanya saling berhitung tiga angka mundur, sebelum telepon itu dimatikan bersamaan. Nata menggeleng-gelengkan kepalanya salah tingkah, sebelum memasukkan ponselnya ke dalam saku celana dan cabut.

•••

"Ibu tadi udah dipilihin gaun, terus sempet foto juga. Foto bareng calon ayah kalian." Bu Wening tersenyum malu-malu, sementara kedua putranya yang duduk sambil menyemil dan berangkulan-kini terlihat sangat akrab.

Mereka bersorak jahil. "Cieee..."

"Kayak apa, Bu, fotonya? Devon mau liat, dong... masa sama anaknya sendiri nggak ngasih tahu calon ayahnya kayak apa? Ya nggak, Nat?

Nata mengangguk setuju. "Iya, Nata juga mau liat, Buuu."

Senyum Bu Wening masih tercetak saat membuka galeri, memencet satu foto untuk diperlihatkan kepada kedua putranya. Dengan santainya Nata dan Devon bersamaan mencondongkan tubuhnya di antara meja untuk melihat.

Begitu mata keduanya sudah menangkap siapa dua orang yang berpose dengan tampilan pengantian, keduanya spontan membeku, gerakan mengunyah kompak berhenti, seolah di atas kepala Nata sekarang ada kilat yang menyambar, menghancurkan ekspetasi-ekspetasi yang sudah dibangunnya tinggi-tinggi, tapi runtuh saat itu juga.

Seseorang yang berfoto dengan ibu mereka tampak sangat tidak asing. Sepertinya keduanya memiliki dugaan yang sama. Dugaan yang membuat mereka saling bertukar tatap, menahan nafas, dan tidak tahu harus mengatakan apa. Tapi mereka tidak perlu saling mengatakan, eyes contact keduanya sudah saling mengatakan lebih dulu.

"Gimana? Ganteng, kan? Keliatan lebih muda dari Ibu, ya? Kayak seumuran kalian, kan? Ibu boleh dong... cerita awal-awal kita ketemu? Pasti kalian kaget dengernya. Karena ternyata... kita tuh mau dijodohin, padahal kita udah ada rencana juga mau menikah demi calon putri Ibu-alias calon adek kalian."

Putri Ibu.

Adek.

Mendengar panggilan itu akan terasa hangat dan biasa bagi Devon. Tapi, entah bagaimana dengan perasaan saudaranya di sebelahnya setelah tahu sekarang bahwa ternyata ibu mereka akan menikah dengan ayah dari kekasih Nata?

•••

"Hai, Nat, kenapa lo ngajak gue ketemu-"

Nafas Rea tertahan sejenak saat dalam satu gerakan, Nata mendekat dan mendekapnya erat, seolah tak ingin lepas.

"Re...."

Rea berani bersumpah, selama kenal dengan Nata, gadis itu tidak pernah mendengar nadanya yang bergetar dan serapuh ini. Pasti ada sesuatu yang tidak beres, yang menyebabkan air mata kekasihnya merembes.

Rea balas memeluknya, mengelus punggung Nata menenangkan. "Nat? Lo kenapa? Cerita sama gue, ya? Ada apa?"

Bukannya sejam lalu Nata baik-baik saja, dan justru tertawa bahagia bersamanya di dalam telepon karena kabar gembira pernikahan orangtua masing-masing, kan?

"Ini tentang orangtua kita, Re...."

Firasat Rea tidak enak.

"S-sebenarnya... sebenarnya gue.... anaknya Bu Wening, Re...."

Tanpa Nata melanjutkan detailnya, Rea sudah langsung bisa menebak ke mana arah pembicaraannya.

"Apa?!"

Seruan terkejut itu mampu menyakiti Nata lebih dalam, membuat isakannya makin sesak. Bu Wening? Guru mereka yang akan menikah dengan ayah Rea tiga hari lagi? Mimpi mengerikan macam apa ini?

Kedua mata Rea memanas. Wajahnya memucat. Jemarinya terkepal. Hatinya sesak. Pernyataan dari Nata dirasanya konyol. Pertahanannya runtuh. Rea terisak sembari mendorong-dorong keras dada Nata mundur.

"Bego, bego, bego!!" Mendorong Nata mundur lagi, lagi... "Lo bego, tahu nggak?! Kenapa lo baru ngomong sekarang..., Nat?" ...dan lagi. Dan Nata tidak melawan. "Kenapa? Kenapa lo... jahat?"

Rea pasti sedang bermimpi, kan?

Nata menghentikan kepalan tangan Rea yang dirasa dorongannya makin pelan seperti putus asa. Matanya terpejam rapat seiring air matanya keluar dan isakannya yang dikalahkan Rea yang makin keras. Gadis itu benar-benar merasa hancur sehancur-hancurnya. Nata menurunkan tangan Rea, menggenggamnya, menguatkan gadis itu.

"Maaf... gue nggak tahu, Re...." Tercekat. "Gue nggak tahu kalo ternyata wanita yang akrab sama lo... yang mau nikah sama bokap lo... itu nyokap gue.... gue tadinya bener-bener nggak tahu, Re... Maaf... Maaf..." Nata terbata-bata saat mengucapkannya seolah tidak mampu lagi mengucapkan kenyataan terpahit di dunia.

Tatapan hancur keduanya bertemu.

"Gue benci lo."

Tiga kata itu pada akhirnya menggugurkan Nata dari atap-atap rumah sakit, gedung belakang sekolah, gerbang sekolah tempat mereka lompat untuk masuk karena sama-sama telat, secangkir matcha di apartemen, kamar apartemen, balkon kamar, sunset-sunset di pantai pulang sekolah beserta tawa-tawanya, kuburan-tempat mereka memulai resmi berpacaran, saat-saat untuk kedua kalinya mereka berciuman-karena yang pertama tidak sengaja saat di UKS yang sempat membuat Rea gila, dan mungkin yang terakhir adalah danau, di mana mereka menari-nari di bawah naungan hujan dengan tawa bahagia tanpa ada beban, tanpa rasa sakit, tanpa mereka tahu bahwa setelahnya mereka mengetahui kenyataan yang menyakitkan.

"Maaf." Lagi, sebelum pada akhirnya Natarel Andreano berbalik untuk pergi meninggalkan Andrea Wulandari sendirian dalam sepi.

Rea menutup wajahnya, menggeleng-geleng kecewa dalam isakkan.

Hancur.

Lebur.

Hebat, Rea berkali-kali dibuat rapuh serapuh-rapunya-sempat kehilangan mamanya, paman dan bibinya, sahabatnya, dan sekarang... sekarang dia harus kehilangan kekasih tercintanya juga? Ternyata skenario Tuhan yang mengejutkan tidak semuanya begitu indah.

Hati Rea retak berkeping-keping hingga bingung caranya menyatukan hingga utuh kembali. Lututnya terasa lemas dan jantungnya berdebar cepat seperti orang yang mengalami takikardia seiring tangisannya yang meraung, menggema di taman itu.

Rea berteriak seiring tangisan, meneriaki semua amarah, keraguan, dan keputusasaan. Dan tidak ada yang menyaksikannya di sini. Karena Nata benar-benar pergi. Rea kecewa, marah, sesak luar biasa. Dunia yang dipijaknya tak lagi sama. Ulu hatinya seperti ditusuk belati paling tajam.

Kenyataannya, dia tidak pernah kehilangan Nata, hanya sadar bahwa dia memang tidak seharusnya memiliki Nata sejak awal.

Semuanya telah berakhir. Karena kalau kisah cinta mereka dilanjutkan, sama saja mereka menghancurkan kebahagiaan orangtua mereka, kan? Benar-benar pilihan tersulit. Maka, mengalah adalah satu-satunya jalan keluar. Mungkin mereka akan seperti air laut di persimpangan Pasifik dan Atlantik yang tidak bisa menyatu.

讛诪砖讱 拽专讬讗讛

You'll Also Like

1.4M 20.8K 102
Buat kakak-kakak Author, teman-teman Author yang lagi bingung nyari cast buat ceritanya.... Mari merapat, disini kumpulan cast cowok yang tampan, ho...
483K 5.5K 6
JANGAN DISIMPAN, BACA AJA LANGSUNG. KARENA TAKUT NGILANG馃き Transmigrasi ke buku ber-genre Thriller-harem. Lantas bagaimana cara Alin menghadapi kegi...
570K 67.1K 50
(cerita ini mengandung bawang+emosi) "Happy birthday.. Ara..." "Happy birthday Ara...." "Happy birthday... happy birthday... Happy birthday.... Ara...
4.4M 263K 61
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...