NATAREL (SELESAIโœ”๏ธ)

By Park_sooyang

4.4K 2.4K 749

Budayakan membaca deskripsi sebelum terjun ke cerita๐Ÿ”ช Ada satu insiden yang membuat Rea, si anak baru yang k... More

Prolog
1 | Kerusuhan
2 | Uang Kembalian
3 | Kacamata
4 | Intrepide
5 | Kunci Motor
6 | Apartemen
7 | Ponsel Keramat
8 | Diborgol Polisi
9 | Penyesalan Rio
10 | Taruhan
11 | Mysterious Rider
12 | Pacar Settingan?
13 | Mau Bolos Bareng?
14 | Sandiwara
15 | Sport Merah
16 | Ide Gila Dua Murid Gila
17 | Revan VS Nata
18 | Bakmi Iblis
19 | Lunch
20 | Night Screams
21 | Tanpa Kabar
22 | Dikejar Pasukan Gen Petir
23 | Purnama
24 | Dramatis
25 | Panic Attack
26 | Trik Psikologi
27 | Dialog Senja
28 | Perasaan Konyol
29 | Rea Berbohong
30 | Kehadiran Oma
31 | Kaos Olahraga
32 | Aksi Zizad Lagi
33 | Secangkir Matcha
34 | Tanding Voli
35 | Hangout Penuh Drama
36 | Kevin Mencurigakan
37 | Tabiat Kevin
38 | Perkara Cokelat
39 | Gerbang Sekolah
40 | Anak Jalanan
41 | Hareudang
42 | Komplikasi
43 | Atas Jembatan
44 | Keduanya Ketiduran
45 | Dunianya Hancur
46 | Kegiatan Baru Nata
47 | Skandal
48 | Ambigu
49 | Celaka Karena Rea Lagi
50 | Sandiwara Lagi
51 | Gentleman Sesungguhnya
52 | Terlibat Kebakaran?
53 | Ulah Geng Ferdian Lagi
54 | Bukti Ketulusan Nata
55 | Hidup Untuk Apa?
56 | Confess di Kuburan dan Duka
57 | Candu Baru
58 | Menjelajah Rumah Pacar
59 | Gosip Gila
60 | Uji Nyali
62 | Ruang Siaran
63 | Luar Jakarta
64 | Semuanya Telah Usai
65 | Danau, Hujan, Momentum
66 | Remuk Redam
67 | Nata Yang Sebenarnya
68 | Dare Romantis
69 | Ibu Kandung Sebenarnya
70 | Nata Akan Pergi
Extra Part

61 | Night Changes

41 27 5
By Park_sooyang

⚠️Warn17+

"Minta maaf adalah langkah pertama menyesali kesalahan seseorang, yang lebih penting adalah... apakah mereka akan melakukan kesalahan yang sama sesudah itu?"



"Lo kenapa tadi bisa ada di sana?"

Rea bertanya seiring dengan langkah santai keduanya beriringan memasuki area perumahan. Kedua tangannya berada dalam saku hoodie berwarna mint, sementara satu tangan Nata di dalam saku celana. Sebelumnya belum ada yang memulai topik, dan inilah topik pertama yang diawali Rea.

Devon? Cowok basket itu memilih pulang. Membiarkan dua insan menghabiskan waktu berdua. Tapi kali ini bukan momen yang pas untuk mereka bermesraan karena masalah yang belum diselesaikan.

"Terus kenapa lo bisa bareng Devon?" tanya Nata balik, menyelidiki. "Lagi?" lanjutnya malas, terlihat sekali kalau cowok itu cemburu.

"Cuma kebetulan aja," tandas Rea tegas. "Gue sendiri. Dan Devon dateng nyelametin gue dari para tua bangka tadi pas di jalan buntu."

Dahi Nata berkerut. "Kebetulan aja? Bukannya dia yang ngikutin elo?" desaknya sambil menyipitkan mata curiga. "Lo yakin nggak dibuntuti dia?"

Rea menatap seolah tidak mengerti kenapa Nata bisa berpikiran negatif tentang saudaranya sendiri. "Kalo gue dibuntutin dia, harusnya dia nolong dari awal, kan? Lo kenapa sensi dan curigaan amat, sih, sama abang lo sendiri?"

"Oke," Nata mengalihkan pandang ke depan. Menatap jalanan walaupun sepenuhnya pikirannya hanya mengarah ada cewek di sebelahnya, "cuma kebetulan," sambungnya seiring satu motor bersama dua pengendara melewati keduanya. Kemudian hening saat motor itu menjauh dan lenyap di tikungan.

"Terus kenapa tadi lo bisa ada di sana, gue tanya?"

"Dan kenapa lo nelepon gue?" Bukannya menjawab, justru Nata bertanya balik. "Sekarang gue yang nanya."

Tidak ada jawaban.

"Nggak bisa jawab, kan?" ledek Nata dengan senyum miring diselingi degusan. Senyum yang sudah lama sekali ditunjukkan, jauh pada saat awal-awal pertemuan mereka, dan senyum yang bisa mengintimidasi lawan manapun. "Karena itu jawabannya. Lo yang bikin gue dateng," lanjut Nata, nadanya kelewat santai.

Rea terdiam sebentar. Tatapannya ikut dialihkan ke depan juga. "Ya gue minta maaf kalo udah bikin lo khawatir."

"Harusnya gue yang minta maaf karena nggak datang tepat waktu."

Hening. Lagi.

"Udah sampe," kata Nata, memberitahu di sepuluh langkah keheningan itu dimulai, karena Rea terlihat melamun, sebelum akhirnya tersadar dan mengerjap.

"Gue pamit." Nata berbalik, seolah tujuannya menemui gadis itu hanya mengantarnya saja, tidak lebih. Sudah memastikan gadis itu selamat sampai tujuan saja sudah membuatnya tenang.

Rea mencekal pergelangan tangan Nata yang lebih besar dari lengannya itu di langkah pertama Nata. Otomatis langkah cowok itu terhenti dan menoleh.

"Donat, soal.... lo sama Violet... gue udah ada buktinya." Gadis itu menelan ludah, seolah baru saja menelan penyesalan. "Ternyata Violet beneran di apartemen lo. Gue liat postingannya ada lukisan yang pernah gue liat di ruang tamu apartemen lo. Diposting di hari yang sama. Dan.... gue mau minta maaf sama lo."

Segalanya jadi masuk akal sekarang.

Rea mati-matian mengubur rasa malunya terhadap cowok itu dengan pejaman mata, takut diabaikan oleh Nata, atau justru cowok itu pergi meninggalkannya. Jemarinya masih mencekal pergelangan tangan Nata yang masih belum bersuara untuk membalas.

Setidaknya sampai jemari Nata bergerak untuk balik mencekal pergelangan tangan Rea dan menariknya hingga tubuh si cewek ikut tertarik, dan otomatis keduda mata Rea terbuka sempurna. Bahkan gadis itu belum sempat mengambil nafas. Tatap keduanya bertemu dengan jarak dekat.

Jemari Rea yang lain bertahan di dada kanan Nata. Di baliknya jantung yang berdegup kencang.

"Nat..."

"Lo mau jawaban?" Bahkan nafas cowok itu saja bisa Rea rasakan sampai menampar hidung.

"Apa?" Suara Rea lebih kalem dan bahkan nyaris tidak terdengar kalau Nata tidak sedekat ini.

"Gue maafin lo nggak, yaaa?" Nata berpura-pura memiikirkan sesuatu.

Posisi mereka masih sama. Angin malam berembus menerbangkan helaian rambut Rea hingga menciptakan ilusi mata.

"Minta maaf adalah langkah pertama menyesali kesalahan seseorang, yang lebih penting adalah... apakah mereka akan melakukan kesalahan yang sama sesudah itu?" Kata itu bagai mengalir saja dari mulut Rea tanpa diminta.

"Kalo gitu, gue maafin lewat isyarat aja."

"Isyarat apaan? Isyarat hati?"

Di detik gelak tawa Rea terdengar, Nata menutup kepala Rea dengan penutup hoodie. Tawa Rea terhenti ketika pelan-pelan Nata mendekatkan wajahnya, sementara kedua tangannya masih bertahan di sisi-sisi tudung hoodie.

Seketika itu, kedua mata Rea perlahan terpejam, pikirannya berekspetasi kalau cowok ini akan menciumnya. Tapi begitu jemari Nata justru menarik kedua tali pada tudung hoodie-nya hingga menciptakan setengah kegelapan di pandangan Rea, gadis itu tersadar dan membuka mata.

"Udah, tidur sana." Nata mendorong dahi Rea pelan, seolah membuang pikiran kotornya. "Jangan begadang."

Mencebik kesal, Rea membuka penutup hoodie-nya. Kesal karena perlakuan Nata, dan kesal sekaligus benci dengan pikirannya sendiri. Gadis itu menggeram sambil mendorong dada Nata mundur.

Laki-laki itu tertawa, puas dengan wajah Rea yang tidak pernah berubah saat dirinya sedang kesal. Terlalu lucu.

"Gue harap lo mimpi buruk malem ini!" sumpah Rea.

Nata tersenyum miring, tapi bagi Rea itu manis.

"Terus lo mimpi indah, mau mimpiin wajah ganteng gue malem ini, kan?"

Otomatis Rea menggebuk bahunya. "GR BANGET, NAJIS!"

"Hahahahahaha! Bukannya yang GR itu lo? Lo mikir apa tadi?"

"Mikir apa? Kapan? Di mana? Jam berapa?" Rea berpura-pura tidak tahu.

"Barusan," jawab Nata. "Barusan lo mikir apa pas gue mau nutup kepala lo?"

"MIKIRIN APAAN, SIH?! GUE NGGAK MIKIRIN APA-APA, YA! GUE BANTING JUGA LO!!"

"Hahahahahaha! Ketahuan, kan, kalo lagi melting." Nata menunjuk-nunjuk wajah Rea jahil.

"IDIH, SAMA SEKALI NGGAK, YA!" Rea mendorong dada Nata lagi-lagi karena gemas cowok itu tak kunjung pergi, bisa-bisa Rea mati konyol di sini saking malunya, ditambah cowok itu terus menggodanya. "UDAH, AH, SANA LO PERGI JAUH-JAUH, DEH!"

Laki-laki itu menahan senyum. "Yakin? Suruh jauh-jauh? Ntar hati lo nggak rela lagi."

"APAAN, SIH?! PERGIIIII, NGGAK?!" Rea memasang gestur hendak menonjok.

"Haha, iya, iya." Nata berbalik takut. "Lagian gue balik lagi karena ada yang narik," gumamnya sengaja menyindir, tapi Rea mendengarnya.

Rea melipat kedua lengannya di dada, kekesalannya terkuras habis hingga rautnya berubah cuek. "Bodo amat, nggak denger gue."

Mereka berdua saling memunggungi. Nata hanya maju tiga langkah saja. Laki-laki itu mendongakkan kepala. Menatap langit yang bulannya tertutup awan.

"Re."

"Hm." Rea masih cemberut.

Beberapa saat tidak ada yang buka suara lagi, gadis itu berbalik. Nata masih mendongak dan memunggunginya. "Ngapain, sih?" Gadis itu melangkah penasaran dan berhenti tepat di sebelah kiri Nata. Ikut mendongak.

"Mendung gitu," komentar Rea.

"Bintangnya kasihan, ya, sendirian?"

Mata Rea menangkap satu bintang yang dimaksud Nata. "Tapi masih bisa bersinar terang. Seterang masa depan."

"Masa depan kita berdua?"

Rea mengernyit jijik. "Dih?"

Tatap keduanya bertemu. "Kok dih? Mikir apaan lagi? Mikir kita bakal sama-sama sampe tua?"

Rea menggebuk bahu Nata untuk kesekian kali, membuat laki-laki itu mengaduh pelan.

"Belum lulus juga pasti lo ninggalin gue."

Nata tertawa geli. "Yang ada juga pasti lo yang milih ninggalin gue, kayak mantan-mantan gue dulu."

"Kasihaaaan, sad boy, ya, lo?" Rea meledek dengan juluran lidah.

"Kalo gue sad boy, mungkin gue nggak bisa dapetin hati lo sekarang."

Rea jadi teringat Devon. Tapi dia menahan mulutnya agar tidak membicarakan cowok itu di depan Nata. Tidak ingin menyakitinya lagi, dan tidak ingin merusak momen keduanya malam ini.

"Hobi lo apa?"

"Lo tanya gue?"

"Ck. Nggak! Gue tanya monyet terbang! Ya yang lagi sama gue siapa lagi?!"

Nata tertawa jahat melihat Rea sebal. "Hobi gue, ya?" Laki-laki itu tampak berpikir sebentar. "Mandang wajah lo," jawabnya setelah lima detik hening.

"Ck."

"Kenapa?"

"Nggak guna banget tanya lo."

"Sekarang gue yang tanya, deh. Kalo hobi lo apa?"

"Membaca, menonton... me... Coba tebak 'me...' yang terakhir apa?" Rea tersenyum miring.

Alis sebelah Nata terangkat. "Menikah sama gue?"

"Ihhh!"

"Hahahaha. Ya, kan?"

Rea mengerling untuk berpikir sebentar. "Mencintaimu."

Nata ngakak. "Kalo menikahimu itu cita-cita gue ya?"

"Ck. Lo mah, ah. Nggak lucu."

"Ya siapa dulu yang mulai?"

"Lo, kan? Gue aminin, deh."

Nata mengacak-acak rambut Rea gemas.

Gadis itu menepuk satu pundak Nata dua kali, sementara tangan lainnya masih di dalam saku. "Sekali lagi gue minta maaf, ya?"

Nata mendengus geli sembari menurunkan tangan Rea dari pundaknya. "Kebanyakan maaf lo."

"Ya soalny—"

Ucapan Rea terpotong oleh gerakan Nata yang tiba-tiba menarik tangannya mendekat lagi, dan beralih ke belakang kepala Rea, sementara tangan lain melingkar di pinggang ramping Rea.

Kejadian itu berlangsung cepat dalam satu gerakan hingga berakhir Nata menunduk, memiringkan kepala untuk menciumnya.

•••

Rasanya seperti campuran nikotin dan mint. Jemarinya menyelusup ke helaian rambut belakang kepala, mendesak gadis itu lebih dekat. Rea hanya bisa memejamkan mata, tidak tahu harus berbuat apa, terlalu malu membalas hingga dia kesulitan bernafas.

Setidaknya sampai terdengar suara mobil yang dia hafal di luar kepala itu milik siapa, Rea mendorong dada Nata dengan kedua tangannya mundur hingga keduanya berpisah semeter, dan ciuman terlepas.

Mobil yang Rea dengar tadi membunyikan klakson saat nyaris sampai di lokasi mereka, otomatis Rea melangkah dan berhenti di sebelah Nata, memberi jalan mobil ayahnya hendak berbelok masuk gerbang.

Rea berusaha mengatur pernafasannya karena kejadian tak terduga tadi. Jujur saja, jantungnya masih sulit dikontrol, begitupula desiran di pembuluh darahnya. Rea merasakan seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di perutnya tak kunjung berhenti.

Dia melirik Nata yang masih fokus terhadap mobil yang baru saja lewat. Terlihat biasa saja, seolah tidak ada pikiran apa-apa selain itu. Seolah yang baru saja dilakukannya tidak pernah terjadi.

"Bokap gue," kata Rea tanpa ditanya.

Nata menoleh mendapati raut Rea yang terlihat kesal. Gadis itu meninju bahu Nata pelan. "Lo nyebelin, tahu nggak? Bisa-bisanya lo...." Rea menggeleng, seolah malu mengucapkan hal apa yang sudah terjadi. "...di depan rumah gue.... kalo tetangga ada yang ngeliat dan laporin ke bokap gue gimana?!"

Sudut bibir Nata terangkat. Cantik, batinnya. "Yaaaa biarin. Mereka, kan, punya mata?"

Kedua mata Rea membulat tidak percaya Nata mengatakan hal itu kelewat santai. Dia hendak meninjunya lagi lebih keras, tapi Nata seolah sudah hafal gerak-geriknya pun menghindar sembari tertawa puas.

"Rea, kok ngobrolnya di depan gerbang, nggak disuruh masuk temennya?"

Rea menghentikan aksi dan menoleh ke gerbang bersamaan dengan Nata.

Nata melambaikan tangan begitu menyadari kehadiran Irfan. "Om," sapanya.

Irfan terlihat terperangah. "Ohhh, Nata to?"

Nata mendekat dan bersalaman akrab dengan Irfan. "Gimana kabarnya, Om?"

"Alhamdulillah, sehat. Kamu sendiri? Lama banget, ya, kita nggak ketemu? Ayo, silakan masuk."

"Saya baik juga, kok," jawab Nata lalu menggeleng ramah untuk menolak. "Langsung pulang aja, Om. Kerjaan belum beres soalnya."

"Ngerjain apa? Pondasi rumah?"

Nata tertawa. "Itu, Om, kerja di restoran."

"Oh? Kamu kerja? Bukannya kamu masih sekolah?"

Nata menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Yaaa buat tambah-tambah, lah, Om."

"Memangnya orangtua kamu di mana, sih?"

Nata menyengir. Bingung harus menjawab apa. "Ada, lah, Om. Pamit, boleh nggak, Om?"

Irfan berdecak. "Kita ketemu nih jarang-jarang, loh, Nat. Ya udah, kapan-kapan kamu ke sini lagi kalo free, ya? Saya pengen kenal kamu lebih akrab lagi, Nat." Pria itu menepuk pundak Nata dua kali, kemudian berbisik, "Biar... kalo kamu udah jadi menantu Om, kita nggak canggung-canggungan lagi."

Nata tertawa lagi. "Siap, beres, Om." Laki-laki itu menjabat tangan Irfan lagi. "Duluan, ya, Om. Maaf, nggak bisa lama-lama ini." Matanya melirik jam tangan hitam di pergelangan tangan kirinya sekilas.

"Mana motor kamu?" tanya Irfan bingung tidak mendapati keberadaan motor yang seolah sudah menjadi ciri khasnya mengenali Nata.

"Ah, di halte sana, Om. Soalnya Rea ngajak jalan kaki," jawab Nata sambil melirik Rea yang membalasnya dengan kerjapan mata, ingin protes tapi tidak ada bahan protesan.

Tidak mungkin Rea jujur kepada ayahnya kalau dia sempat akan dilecehkan, kan?

Irfan mengangkat kelima jari sebentar. "Begitu, ya? Hati-hati kamu, Nat."

"Beres, Om."

Nata melambai, berbalik, dan melangkah. Saat melewati Rea, laki-laki itu mengedipkan satu matanya jahil. Rea membalasnya dengan kernyitan jijik dan berpura-pura berlagak muntah. Tapi beberapa saat kemudian, sudut bibirnya terangkat tanpa ada yang melihat kecuali Yang Maha Melihat.

•••

Rea berguling-guling di tempat tidur. Selimut, guling, boneka, berserakan di lantai, sementara sang empunya tidur dengan posisi miring dan tengkurap. Suara mangkuk yang diketuk-ketuk dari luar kamar dan pelakunya berteriak, "Bakso, bakso, baksoooo!!" terdengar jelas di telinga Rea, membuat gadis itu melenguh terganggu.

Matanya masih terpejam, namun tangannya meraba-raba sebelahnya, mencari selimut. Suara mangkuk yang diketuk bersama teriakan, lagi-lagi terdengar. Rea sudah hafal suara pelakunya milik siapa. Gadis itu menyembunyikan kepalanya di bawah bantal.

"ADUHHHH, BERISIK BANGET, SIH, MIKEEEE!! BISA DIEM NGGAK, SIH, AH!" teriaknya tanpa membuka mata.

"BAKSO PROMO BELI SATU GRATIS SEPATU!"

Suara itu terdengar tepat di celah pintu kamar Rea dan lebih keras. Sepertinya sepupu laknat Rea satu itu sengaja ingin mengganggu tidur nyenyaknya. Cahaya mentari yang masuk lewat celah jendelanya dari pagi tadi sama sekali tidak mempan membangunkannya.

Rea merapatkan bantal, menutup telinganya, berpura-pura tidak mendengar. Beberapa detik berikutnya, suara Mike makin mengecil hingga akhirnya lenyap. Baru Rea membuka bantal sambil menguap, sebelum akhirnya beringsut duduk dan merenggangkan otot-ototnya.

Gara-gara Mike, Rea susah melanjutkan mimpinya lagi. Baru setelah itu, Rea bangkit dari tempat tidur, melangkahkan kaki, memutar kunci, dan membuka pintu kamarnya itu. Hal yang pertama yang dilakukannya saat bangun tidur adalah mengambil air minum dari dalam kulkas.

Sambil menguap sekali lagi, Rea berjalan turun menuju dapur. Dia masih setengah sadar begitu menendang keras pinggul orang yang sedang berjongkok di depan kulkas.

"Minggir!"

Yang ditendang terkejut dan berdiri sambil menutup pintu kulkas. Seketika mata Rea terbuka lebar, menyadari bahwa ternyata yang ditendangnya bukan target sasarannya. Dia kira Mike, tapi ternyata sepupunya itu masih berdiri di depan kompor tengah memasak, sempat menoleh dan menahan ngakak.

Rea pasti masih bermimpi. Bagaimana mungkin ada cowoknya di sini? Tapi begitu dia mengerang kecil karena efek mencubit pipinya sendiri, baru otak Rea jadi jernih. Dan ternyata benar, Rea tidak sedang bermimpi.

Orang yang ditendangnya memang benar Nata, cowoknya.

"Baru bangun?" Pertanyaan itu keluar terdengar seolah ejekan.

Tatapan Rea masih sama, bingung. Matanya menatap tubuh Nata dari atas sampai bawah berulang-ulang.

"Lo kenapa bisa ada di sini? Sejak kapan? Dan ngapain lo pake training setelan punya Mike?" Pertanyaannya dilempar bertubi-tubi tanpa jeda yang lama.

"Kenapa setiap kali gue deket-deket pacar sendiri nggak boleh? Hm?" Nata mengangkat satu alisnya.

"Bukan gitu. Ya kenapa nggak ngabarin dulu, sih?"

Mike menoleh sementara tangannya masih sibuk mengaduk-aduk masakan, kemudian menggeleng-geleng geli menyadari tingkah Rea yang berubah di depan Nata dibanding saat bersama dirinya, lebih ngegas.

"Kenapa?"

"Kenapa apa?"

"Kenapa gue harus ngabarin lo dulu?"

"Ya, kan, gue bisa siap-siap..."

"Siap-siap apa?"

"Mandi, makan, atau apa, kek, kalo lo mau ngajakin gue keluar."

"Halah, kagak usah dipercaya si Rea, Bang. Dia kalo libur kagak pernah mandi," sela Mike, kemudian menyengir begitu Rea mendelik tajam ke arahnya.

"Eh, ngomong sekali lagi gue balang juga lo pake sendal!" Gadis itu mengancam sembari mengambil satu pasang sendal yang dipakainya. Tapi tidak ada niatan benar-benar melempari sepupunya dengan benda itu.

"Kata siapa gue mau ngajakin lo keluar?"

Rea bungkam begitu mendengar jawaban skakmat Nata. Cowok ini benar-benar membangkitkan emosinya pagi-pagi. Jadi dia memilih meredam emosinya lebih dulu dan tidak ingin meladeninya.

"Minggir." Sekali lagi, Rea memberi perintah.

Nata otomatis menyingkir dari sana dan membiarkan gadisnya itu membungkuk, mengambil minuman dari lemari es. Matanya asik memperhatikan Rea yang meneguk minuman dingin dengan tenang. Di tegukan yang ke lima, indera penciumannya tidak sengaja menangkap aroma yang membuat perutnya makin keroncongan.

"Masakan udah siap."

Mike baru saja selesai masak makanan beef dan salmon steik pakai mashed potato, lalu mereka makan bersama di meja makan. Tidak hanya makanannya yang fancy, tapi meja makan pun disulap oleh Mike menjadi meja ala restoran bintang lima.

Rea yang paling antusias mulai makan di sana. Gadis itu mengangkat satu kakinya ke kursi, tidak ada Oma dia bebas melakukan apa saja tanpa takut diomeli. Bahkan Rea sampai tidak memedulikan ada cowoknya yang tercengang saat memperhatikannya, sementara Mike terlihat biasa saja, seolah hal itu bukanlah hal yang dilihatnya untuk pertama kali.

"Gila, gila, ini kesukaan gue, nih," kata Rea sambil mengambil potongan salmon steik dengan sumpit.

"Woi, sisain buat Bang Nata, woi."

"Ya elah... gunanya lo apa? Bahan juga masih banyak, kok, di kulkas. Tinggal lo masak lagi. Ya nggak, Nat?" Rea menoleh ke arah Nata sambil menaik-turunkan alisnya jenaka.

"Heh, enak di elo ngomong gitu! Gue yang capek-capek masak! Lo bisanya cuma ngiler mulu!"

Rea mendelik sambil melirik ke arah Nata waspada. "Heh! Bisa nggak, sih, lo nggak usah malu-maluin gue di depan cowok gue?!"

"Ya elah... orang biasanya juga lo malu-maluin negara! Sok-sokan mau jaga image di depan Bang Nata."

"Eh, kalo lo ngajakin ribut lagi gue bakar baju-baju nggak guna lo, ya!"

"Nggak guna? Nggak guna kenapa lo pake terus? Mana nggak pernah izin lagi..."

Perdebatan kedua sepupu itu kemudian hanya samar-samar di telinga Nata. Sudut bibirnya terangkat sedikit, mendadak dia teringat bayang-bayang masa lalu-juga merasakan tenangnya saat menikmati ramainya suasana di meja itu yang sudah tidak pernah dia nikmati setelah sekian lama.

Walaupun hanya bertiga di rumah itu sekarang, tapi mereka bisa menyulap suasana di meja menjadi ramai walaupun bukan untuk yang pertama kali.

Entah kenapa, Nata juga teringat Devon. Dulu mereka tidak se-rival sekarang. Kalau saja bukan karena kecelakaan bodoh itu, Nata pasti sekarang sedang berkumpul di rumahnya. Bersama Ibunya... bersama Devon. Nata rindu kenangan masa kecilnya.

Kenangan di mana dia dan Devon masih seperti adik-kakak pada umumnya, bukan adik-kakak yang saling menyakiti, bukan adik-kakak yang mau menang sendiri, dan bukan adik-kakak yang saling melempar tatapan permusuhan setiap kali dipertemukan.

Andai saja meminta maaf bisa semudah membalikkan telapak tangan, tapi Nata sama sekali tidak bersalah pasca kecelakaan Devon dulu. Jadi buat apa dia meminta maaf dan mengakui kesalahannya kalau dia tidak bersalah? Bahkan tidak ada yang membelanya waktu itu. Bahkan Devon sendiri yang tahu kejadian sebenarnya saja hanya bisa diam membisu.

Mungkin itulah yang membuat Nata sekarang membenci saudaranya. Benci dengan Devon yang egois, benci dengan Devon yang tidak mau membelanya padahal mereka dulu selalu kompak, benci dengan Devon yang lebih disayang Ibu.

Continue Reading

You'll Also Like

12.6K 194 19
FIRST STORY Jangan lupa vote! Gimana perasaan kalian saat orang tua kalian menjodohkan dengan orang yang sama sekali kamu belum ketahui sebelumnya? ...
11.7K 2.2K 35
โ€ข ๐๐ž๐ซ๐ญ๐š๐ก๐š๐ง ๐ฌ๐š๐ฆ๐ฉ๐š๐ข ๐ฉ๐ž๐ซ๐š๐ฌ๐š๐š๐ง๐ฆ๐ฎ ๐ฉ๐š๐๐š๐ง๐ฒ๐š ๐›๐ž๐ง๐š๐ซ-๐›๐ž๐ง๐š๐ซ ๐ฌ๐ž๐ฅ๐ž๐ฌ๐š๐ข. โ€ข โ€ข โ€ข Ziva dan Azka adalah sepasang kekasi...
16.1M 1.6M 72
Galak, posesif, dominan tapi bucin? SEQUEL MY CHILDISH GIRL (Bisa dibaca terpisah) Urutan baca kisah Gala Riri : My Childish Girl, Bucinable, Gala...
1.3M 152K 35
"๐‘๐ข๐ซ๐ข ๐ข๐ญ๐ฎ ๐ฅ๐ž๐›๐ข๐ก ๐๐š๐ซ๐ข ๐ฌ๐ž๐ค๐ž๐๐š๐ซ ๐ญ๐ž๐ฆ๐ฉ๐š๐ญ ๐ฉ๐ฎ๐ฅ๐š๐ง๐ , ๐ค๐š๐ซ๐ž๐ง๐š ๐๐ข๐š ๐ฌ๐ž๐ ๐š๐ฅ๐š๐ง๐ฒ๐š ๐›๐ฎ๐š๐ญ ๐ ๐ฎ๐ž." Urutan baca k...