NATAREL (SELESAIโœ”๏ธ)

By Park_sooyang

4.4K 2.4K 749

Budayakan membaca deskripsi sebelum terjun ke cerita๐Ÿ”ช Ada satu insiden yang membuat Rea, si anak baru yang k... More

Prolog
1 | Kerusuhan
2 | Uang Kembalian
3 | Kacamata
4 | Intrepide
5 | Kunci Motor
6 | Apartemen
7 | Ponsel Keramat
8 | Diborgol Polisi
9 | Penyesalan Rio
10 | Taruhan
11 | Mysterious Rider
12 | Pacar Settingan?
13 | Mau Bolos Bareng?
14 | Sandiwara
15 | Sport Merah
16 | Ide Gila Dua Murid Gila
17 | Revan VS Nata
18 | Bakmi Iblis
19 | Lunch
20 | Night Screams
21 | Tanpa Kabar
22 | Dikejar Pasukan Gen Petir
23 | Purnama
24 | Dramatis
25 | Panic Attack
26 | Trik Psikologi
27 | Dialog Senja
28 | Perasaan Konyol
29 | Rea Berbohong
30 | Kehadiran Oma
31 | Kaos Olahraga
32 | Aksi Zizad Lagi
33 | Secangkir Matcha
34 | Tanding Voli
35 | Hangout Penuh Drama
36 | Kevin Mencurigakan
37 | Tabiat Kevin
38 | Perkara Cokelat
39 | Gerbang Sekolah
40 | Anak Jalanan
41 | Hareudang
42 | Komplikasi
43 | Atas Jembatan
44 | Keduanya Ketiduran
45 | Dunianya Hancur
46 | Kegiatan Baru Nata
47 | Skandal
48 | Ambigu
49 | Celaka Karena Rea Lagi
50 | Sandiwara Lagi
51 | Gentleman Sesungguhnya
52 | Terlibat Kebakaran?
53 | Ulah Geng Ferdian Lagi
54 | Bukti Ketulusan Nata
55 | Hidup Untuk Apa?
57 | Candu Baru
58 | Menjelajah Rumah Pacar
59 | Gosip Gila
60 | Uji Nyali
61 | Night Changes
62 | Ruang Siaran
63 | Luar Jakarta
64 | Semuanya Telah Usai
65 | Danau, Hujan, Momentum
66 | Remuk Redam
67 | Nata Yang Sebenarnya
68 | Dare Romantis
69 | Ibu Kandung Sebenarnya
70 | Nata Akan Pergi
Extra Part

56 | Confess di Kuburan dan Duka

28 19 2
By Park_sooyang

"Lucu, ya, confess di kuburan? Kesannya kayak disaksikan orang-orang di tempat umum, bedanya sekarang orang-orangnya pada meninggal semua."


"Dia emang cinta pertama gue. Tapi lo... cinta terakhir gue. Kita juga udah mantan jauh sebelum dia meninggal, sementara lo pacar gue sampai kita nikah, gimana? Masih cemburu?"


"Thank you, ya, Von, traktirannya."

"Yep. Kalo mau pesen lagi, silakan."

Rea terperangah. "Ceritanya baru jadian sama Karin, nih?" tebaknya antusias.

Devon menggeleng. "Murni karena lagi pengen traktir. Enak aja."

"Oh, iya." Rea berhenti mengunyah spaghetti sebentar, sebelum menatap Devon. "Katanya ada yang mau lo bicarain sama gue? Apaan?"

Devon menyengir. "Ah, ntaran. Kunyah dulu. Habisin dulu makanannya."

Rea mengangkat satu jempol. "Woke."

"Mau tambah lagi minumnya?" tawar Devon sambil memegang segelas jusnya.

"Boleh."

Devon menggeser minumannya yang masih utuh itu di hadapan Rea. Rea menariknya mendekat, sebelum dia hendak meminumnya setelah selesai mengunyah, tanpa sengaja minuman itu tumpah membuat baju yang Rea kenakan basah. Devon dan Rea sama-sama terkejut.

"Aduh! Hati-hati makanya, Re!"

Rea menarik dua lembar tisu dan mengelapnya. "Gue ke toilet bentar, ya?" pamitnya buru-buru.

Kepergian Rea menerbitkan senyum penuh arti Devon. Laki-laki itu meraih sesuatu dalam saku celana. Membuka kotak persegi panjang, memperlihatkan sebuah kalung berliontin cantik. Kalau dibayangkan Rea memakai ini... pasti dia akan lebih cantik lagi.

Rea kembali beberapa menit kemudian. Devon menutup kotaknya dan memasukannya lagi ke dalam saku tanpa Rea sadari.

"Udah? Nggak mau ganti baju lagi aja?"

Rea menggeleng. "Nggak usah. Ntar juga kering, kok, kan nggak sampe sejam gue keluar, hehe. Eh, cepet, lo mau ngomong apaan?"

Devon tersenyum karena Rea tak sabaran. Mungkin inilah saatnya laki-laki itu mengungkapkan semuanya, mumpung sedang berdua dengan Rea di meja itu. Itu artinya tidak ada pengganggu momen keduanya. Demi apapun laki-laki itu deg-degan luar biasa. Pengalaman ini memang bukan untuk yang pertama kali baginya, tapi rasanya akan tetap sama, gugup.

Devon berdeham sebentar, bersiap akan berbicara. "Re, sebenarnya gue-"

"What the f*ck!" Rea berdiri menyadari sesuatu. Rautnya keliatan panik.

Devon menatapnya bingung, sebelum Rea meneruskan, "Jepit rambut gue kok nggak ada, ya?" Gadis itu meraba-raba rambutnya, dan tidak menemukan benda berharga yang akhir-akhir ini selalu dipakainya itu. Rea meneruskan observasinya ke lantai-lantai yang tadi dia pijak.

"Apa ketinggalan di toilet?" tebak Devon, berusaha menenangkan kepanikan Rea.

Rea mengangguk ragu sebelum berpamitan ke toilet lagi.

Devon lagi-lagi tersenyum geli, kini sambil geleng-geleng menatap punggung mungil itu berlari. Tingkah Rea satu tadi benar-benar lucu.

•••

Devon mengelus sebentar belakang kepala Rea, menenangkan seiring dengan langkah keduanya yang beriringan keluar restoran. "Udah, cuma masalah jepit rambut nggak usah digalauin. Beli lagi, kan, juga bisa? Atau mau gue beliin?"

Benar, Rea terlihat termenung menyedihkan seolah dia baru saja kehilangan harta benda paling berharga sedunia.

"Masalahnya... tuh jepitan dari Nata, Von. Kalo hilang... gue ngerasa nggak becus jaga barang pemberian dia. Nata juga belinya mikir-mikir dulu, gue suka apa enggak, gue nolak apa enggak."

Entah kenapa mendengar ungkapan Rea yang satu itu, menyayat hati Devon. Sepertinya memang benar dugaannya, Rea dan Nata pasti memiliki perasaan yang sama walaupun mereka pacarannya pura-pura. Lantas, buat apa lagi Devon mencintai cewek yang justru mencintai orang lain?

"Sori, ya, gue jadi ngerusak suasana lo tadi," lanjut Rea merasa tidak enak telah mengabaikan Devon terus dan lebih mementingkan jepitan rambutnya.

"Santai aja." Mata Devon tanpa sengaja menemukan sesuatu di tudung jaket Rea dua detik berikutnya. Pelan-pelan, dia mengambilnya. "Tunggu dulu, ini... yang lo cari, bukan?" Laki-laki itu memperlihatkan benda itu di depan mata Rea persis.

Mulut Rea terbuka antusias. "Iya!" Gadis itu menerimanya, kini terlihat sangat lega. Senyum lebarnya terbit, bersyukur.

Devon tersenyum geli. "Akhirnya... lo senyum lagi." Laki-laki itu mengacak-acak rambut Rea gemas. "Gitu, dong."

Rea menghela nafas lega lagi. "Iya, gue kira udah hilang aja nih, jepitan. Ternyata guenya yang ceroboh." Dia menyengir malu. "Oh, ya, lo mau ngomong apa tadi?" tanya Rea gemas dengan dirinya sendiri. Sedari tadi gadis itu selalu saja merusak suasana dan dirasanya sekarang adalah waktunya yang tepat mempersilakan Devon untuk bicara.

Devon menghentikan langkah. Langkah Rea ikut berhenti juga.

"Lo inget nggak, lo pernah bilang sama gue... kalo lo udah nggak mau disakitin dan nggak mau percaya lagi sama laki-laki? Lo udah nggak percaya sama cinta sejati."

"Iya. Dan?"

"Dan gue nggak mau lo terluka cuma karena lo takut cinta, Re. Gue juga nggak mau lo ragu," ucap Devon serius. "Jangan lepaskan orang yang lo sukai."

Dahi Rea berkerut berusaha memahami, tapi otaknya berjalan lambat. "Maksud lo?"

Senyum sok kuat Devon masih terbit. "Ini tentang Nata," jawabnya.

"Re." Kali ini laki-laki itu merendahkan suaranya. "Gue yakin lo punya perasaan yang sama kayak Nata. Terus lo nggak mau terluka lagi karena cinta. Makanya, lo mendorong dia pergi, kan?"

Rea menelan ludah. Bagaimana bisa Devon tahu dia menyukai Nata? Padahal yang satu itu, Rea belum pernah menceritakannya, kan?

"Tapi dengan mendorongnya pergi, gimana kalo lo kehilangan dia? Apa lo bener-bener rela gitu aja? Apa lo nggak akan lebih terluka lagi?"

Rea bungkam. Pertanyaan bertubi-tubi dari Devon yang satu itu ada benarnya juga. Apa Rea tidak merasa kehilangan? Apa dia rela? Apa Rea siap terluka lagi? Otaknya terus berpikir seiring dengan perkataan yang keluar dari mulut Devon.

"Re, lo inget lo pernah nabrak orang, yang ternyata orang itu preman, tapi ternyata lo ditipu?"

"Iya, dan lo nolong gue?"

Devon mengangguk-angguk. "Sebenarnya gue nolong lo... demi bisa ngalahin Nata, Re. Dia yang duluan mau nolong lo. Dia juga sempet mau minjem uang ke gue. Waktu gue tahu uang itu buat lo yang sedang didesak di rumah sakit karena orang yang nggak sengaja lo tabrak, gue langsung buru-buru bantu lo ngedahului Nata."

Rea mengerjap, berusaha mencerna cerita laki-laki itu.

"Re, gue rasa cukup sampe sini aja kita ketemu," lanjut Devon. Sekali itu, membuat Rea mengerutkan kening tidak paham.

"Maksud lo?"

"Maksud gue, sampe sini aja kita jalan-jalan gini berdua."

Rea mengerjap lagi. Kenapa? Pertanyaan satu itu hanya bersuara dalam hati.

"Harusnya gue ngebiarin adik gue bahagia, bukan malah ngerebut kebahagiaannya, kan?" Devon seolah berbicara seperti itu kepada dirinya sendiri. Dia tertawa kecil dengan hampa. "Gue sebenarnya mau ngomong sesuatu itu karena gue mau bilang... gue sayang sama lo." Devon menatap Rea. "Bukan kayak adik sendiri, tapi gue emang bener-bener cinta sama lo, Re."

Rea lebih terkejut saat kalimat terakhir itu keluar. Dia tidak tahu harus membalas apa, jadi hanya memilih bungkam. Rea terlalu... speechless. Ternyata dugaannya benar, Devon memang menyukainya. Mungkin jauh sebelum keduanya bisa sedekat ini.

"Tapi, sejak tahu ternyata lo nggak ada rasa sama gue—keliatan dari sikap lo sama Nata dibandingkan sama gue itu beda banget, gue jadi sadar. Dari awal harusnya gue lebih baik mundur aja, kan?"

Lagi-lagi, senyum sok kuat Devon membuat Rea merasa bersalah. Tapi rasa bersalahnya tidak bisa memaksakan perasaannya untuk membalas perasaan Devon, kan?

"Gue ngungkapin sekarang, nggak ada maksud atau berharap lo balas perasaan gue, enggak." Devon menggeleng mantap. "Gue bilang gini cuma pengen lo tahu aja, nggak lebih."

Hening.

Senyum tipis Rea terbit. "Makasih, ya, buat semuanya?"

Devon melebarkan senyumnya lagi. "Oke, gue duluan, ya?" pamitnya berjalan mendahului Rea begitu aja.

Rea menatap punggung tegapnya nanar.

Di langkah ke tiga, Devon berbalik. Menatap Rea seolah itu adalah kali terakhir. "Happy new year, Re."

Rea melambai. "Hati-hati di jalan."

Devon pergi meninggalkan Rea yang masih enggan untuk berjalan. Dia masih berpikir. Melihat punggung tegap Devon yang mulai menjauh, mungkin Rea rasa, dia harus mengambil keputusan sematang-matangnya sekarang sebelum semuanya benar-benar terlambat.

Seperti yang Devon katakan, sebelum dia merasa kehilangan, lebih baik dia membalas perasaannya sekarang.

•••

Nata tidak menangis seperti saat-saat dia kehilangan gadis yang benar-benar pergi dari hidupnya ini dulu. Dia hanya tersenyum hampa ketika berhadapan dengan batu nisan yang sudah keliatan kumuh, tapi masih cantik dengan taburan bunga-bunga di atas tanahnya. Batu nisan yang bertuliskan, 'Vquenzaa Raziya Zavina binti Cahyo' lalu di bawahnya adalah tanggal lahir serta wafatnya.

"Nata."

Panggilan yang terdengar tak asing di telinga saat Nata berdiri, membuatnya spontan menoleh ke belakang. Dan ternyata benar, jauh di antara batu-batu nisan sana sekitar sepuluh meter, yang memanggilnya tak lain adalah Rea. Tapi, bagaimana bisa mereka bertemu di kuburan?

Apakah ini kebetulan karena Rea juga tengah mengunjungi makam seseorang?

Nata mendekati Rea lebih dulu, meninggalkan batu nisan yang beberapa menit lalu dibacakan doa dan diajak ngobrol, seolah baru nisan itu bisa membalas pertanyaannya ketika Nata bertanya.

"Lo lagi ngunjungi makam siapa?"

Bukannya menjawab, justru Rea menarik kedua lengan Nata yang lebih besar dan berat darinya mendekat. Tatap keduanya bertemu untuk kesekian kalinya.

"Nat, sebenarnya... gue juga sayang sama lo." Ungkapan itu datang dari mulut Rea tanpa diminta. Tanpa paksaan, tanpa bentakan ataupun candaan. "Sebenarnya gue nolak lo karena gue nggak mau terluka lagi karena lelaki. Tapi sejak tahu kelakuan lo terhadap gue keliatan banget kalo lo emang bener-bener sayang sama gue, gue jadi yakin kalo cinta lo itu tulus."

Nata tiba-tiba mendekap punggung mungil Rea erat. Rea membalas dekapannya tak kalah erat. Keduanya memejamkan mata.

"Makasih, Re, makasih!"

"Gue yang harusnya banyak-banyak ngucap makasih sama lo, Nat."

Nata melepaskan dekapan dan beralih mengangkat kedua pergelangan tangan Rea. Menatap kedua matanya dalam dan antusias.

"Jadi... sekarang kita pacaran beneran?"

Rea tersenyum, mengangguk-angguk mantap. "Iya."

Nata tidak perlu memastikan kalau Rea berbohong apa tidak lewat matanya, dia sudah meyakini hal ini dari lama. Laki-laki itu melepas tangannya dan mengerlingkan mata jahil.

"Iya apaaa? Yang serius, ah." Dia melipat kedua tangannya di dada, melirik Rea. Menunggu respons gadis itu.

Senyum Rea tidak luntur justru makin melebar. "Iya, Nata, kita pacaran."

"Pacaran apa? Kontrak? Pura-pura? Settingan?"

"Pacaran beneran, bukan pura-pura lagi." Jujur saja, Rea merasa malu mengungkapkan hal seberani itu. Seolah ini untuk pertama kalinya confess ke seorang cowok—walaupun cowok itu duluan yang confess.

"Coba ulangi." Nata memancing Rea dengan jahil.

"Ulangi apa lagiii?" Rea keliatan gemas. Walaupun yang ditampakkannya begitu, dalam hati Rea benar-benar malu.

"Reaaa, mulai hari ini kita pacaran beneran, kan?" tanya Nata memancingnya lagi dengan nada paling manis sedunia. "Bukan pura-pura lagi, kan?"

"Iyaaa, Nata de coco." Rea melipat kedua bibirnya ke dalam, menahan senyum yang dirasa akan makin melebar, salah tingkah.

"Iya doang." Nata berpura-pura merajuk dengan kedua tangan dilipat di dada. "Iya apaan?" salaknya belum puas.

"Iya, Nataaa, ish!" Rea mencubit lengan atas Nata, cowok itu tidak meringis karena cubitannya tidak keras, tidak pula menghindar.

"Enggak... iya sayang?"

"Ihhhh!" Rea memukul-mukul dada Nata kekanakan, sungguh dia malu luar biasa sekarang.

Nata tertawa puas. "Lucu, ya, confess di kuburan? Kesannya kayak disaksikan orang-orang di tempat umum, bedanya sekarang orang-orangnya pada meninggal semua."

Rea tersadar, matanya menelusuri sekitar. Orang yang hidup di sekitar hanya mereka berdua? Rea tidak berbohong saat dia ingin bicara serius begini dengan Nata bukan di tempat ini. Namun, ketergesaannya memaksanya untuk mengungkapkan saat ini juga, saat ada kesempatan berhadapan langsung dengan Nata, sampai-sampai dia lupa kalau masih di kuburan.

Gadis itu mendadak merinding. Kedua tangannya tiba-tiba memeluk satu lengan kekar Nata.

"Ya udah, sekarang kita keluar dari sini. Pamali nggak, sih?"

Nata mencubit hidung Rea gemas. "Dasar penakut."

•••

"Tadi itu makam siapa, Nat?"

Ada keheningan sebentar sebelum akhirnya Nata menjawab, "Cinta pertama gue."

Jawaban itu keluar tanpa pikir panjang dan rasanya jahat kalau Rea mendengarnya. Ada sebagian dari hati Rea yang tercubit waktu Nata mengatakan 'cinta pertama'.

Hei, Rea tahu dia memang bukan yang pertama. Tapi tidak bisakah Nata jangan mengeluarkan kata itu?

Memang dasarnya tidak peka, Rea hanya bilang, "Oh."

Setelahnya tidak ada percakapan lagi diantara mereka. Rea memutuskan diam, sementara Nata kini menatap gadis yang sekarang resmi menjadi pacarnya dengan jahil. Terlihat sekali dari raut wajah Rea yang mengartikan kalau gadis itu tengah merajuk sekarang. Laki-laki itu tidak merasa bersalah mengatakan hal tadi kelewat santai karena memang benar kok.

"Re."

"Apa?"

Nata menyentuh pundak kanan Rea, otomatis gadisnya itu menoleh, wajahnya kembali lagi ke Rea yang ketus.

"Dia emang cinta pertama gue. Tapi lo... cinta terakhir gue. Kita juga udah mantan jauh sebelum dia meninggal, sementara lo pacar gue sampai kita nikah, gimana? Masih cemburu?"

Rea menelan ludah, merasakan semburat merah merambat sampai ke pipinya. Kalimat Nata membuat Rea memalingkan wajah, salah tingkah.

"Siapa juga yang cemburu?"

"Reee, lo tahu nggak?"

"Apaan?" Melirik sebentar, Rea mengedikan bahu. "Ya nggak tahu."

"Berarti jodoh."

"Kenapa gitu?"

"Ya karena jodoh nggak ada yang tahu." Nata tertawa puas sendiri, sementara Rea mencubit pinggangnya gemas.

"Basi lo."

Setidaknya, sampai bunyi ponsel Rea dari saku jeans berbunyi, aksi keduanya saling berhenti.

Rea mendekatkan ponselnya ke satu telinga setelah menarik tombol hijau. "Halo? Karin?"

•••

Ada terlalu banyak kejutan semenjak Rea pindah lagi ke Jakarta. Karin selalu menyembunyikan masalahnya sendiri hingga Rea yang sudah lama bersahabat dengannya merasa tidak berguna ketika gadis itu tiba-tiba pergi. Pergi karena ulahnya sendiri. Pergi karena suatu hal yang tidak pernah dia ceritakan kepada orang lain selain Rea, Bunda, dan siapapun yang pernah tinggal di rumahnya.

Pergi meninggalkannya...

Rea merasa tidak berguna menjadi sahabat Karin. Dia yang tidak pernah ada untuk Karin, kini menyesal. Selalu memikirkan masalahnya sendiri tanpa menyadari kalau sahabatnya itu jauh lebih terpuruk darinya. Gadis itu tidak menyalahkan Karin yang menghindar akhir-akhir ini, entah karena malu akan kehamilannya, atau dia menyerah, takut rahasianya bocor kalau dekat-dekat Rea. Justru Rea menyalahkan dirinya sendiri yang tidak peka.

Seharusnya dia selalu ada untuk menguatkan Karin. Seperti dulu... menjaganya... menjaganya agar tidak melakukan hal-hal di luar kendali seperti hari ini.

Gadis itu benar-benar pergi. Pergi di saat semua orang mulai sayang kepadanya termasuk Devon. Pergi menyisakan tangisan semua orang termasuk bundanya.

Bundanya menangis meraung, menyesal, terlalu sakit.

Seharusnya sebagai seorang ibu, walaupun ini juga bukan keinginan anaknya, harusnya Bunda menguatkan anaknya, kan? Kenapa bunda Karin lebih memilih reputasi ketimbang menjaga anaknya sendiri?

Rea kira Bunda Karin sesayang itu dengan Karin sesuai apa yang dibangga-banggakan Karin tentang bundanya. Kenyataannya, Bunda Karin juga bisa semarah itu dengan anaknya, hingga membuat Karin makin terpuruk dan pada akhirnya menyerah.

Jasad Karin ditemukan sudah tak berdaya. Karin memang benar-benar ingin mati dengan cara lompat diri dari jembatan. Petugas keamanan, polisi, serta beberapa warga setempat sempat mencari berjam-jam jasad Karin. Dan baru dievakuasi siang hari.

Karin bunuh diri loncat dari jembatan pagi hari. Pagi hari di saat orang-orang sedang sibuk dengan kehidupan masing-masing. Pagi hari di saat Rea sedang makan bersama Devon, siangnya bersenang-senang dengan Nata karena baru saja jadian.

Rea benar-benar merasa tidak berguna. Dia merasa bersalah hingga tidak bisa untuk tidak menangis paling kencang di antara teman-temannya.

Gadis itu tumbang di atas tanah, menangis meraung. Kedua tangannya yang mengepal memukul keras-keras tanah yang didudukinya. Lagi, lagi, dan lagi. Pertahanannya runtuh. Dia kehilangan sahabat yang paling berharga-lebih dari apapun, untuk selamanya.

Semua orang yang tahu juga sama-sama merasa kehilangan. Teman-temannya terkejut bukan main begitu kematian Karin diberitakan di televisi hingga tanpa sengaja mendengar reporter bilang bahwa mayat korban ditemukan tengah mengandung dan keguguran. Rea tidak bilang, dan tidak mengakui semuanya karena tidak mau Karin makin terluka di alam sana karena Rea tidak menepati janjinya.

Pemilik dua pasang kaki dibalut sepatu yang berdiri di sebelahnya, mulai berjongkok, pelan-pelan mendekap gadisnya yang benar-benar keliatan hancur, menenangkan. Kepala Rea jatuh lemas di dada Nata, menangis di sana sejadi-jadinya.

Dua tangan Nata sibuk mengelus-elus kepala dan bahu Rea sayang. Menghirup aroma shampoo di puncak rambutnya. Laki-laki ikut merasa hancur, untuk pertama kalinya dia melihat Rea menangis separah ini. Ini baru sahabatnya, tidak terbayang bagaimana dulu gadis ini melewati masa-masa kematian ibunya? Apakah dia lebih sakit lagi?

Kepergian Karin tidak sia-sia karena di dalam hati Rea, Zara, Lauren, Audrey, dan teman-teman yang lain, gadis itu tetap abadi.

Continue Reading

You'll Also Like

891K 87.8K 49
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
16.1M 1.6M 72
Galak, posesif, dominan tapi bucin? SEQUEL MY CHILDISH GIRL (Bisa dibaca terpisah) Urutan baca kisah Gala Riri : My Childish Girl, Bucinable, Gala...
11.6K 2.2K 35
โ€ข ๐๐ž๐ซ๐ญ๐š๐ก๐š๐ง ๐ฌ๐š๐ฆ๐ฉ๐š๐ข ๐ฉ๐ž๐ซ๐š๐ฌ๐š๐š๐ง๐ฆ๐ฎ ๐ฉ๐š๐๐š๐ง๐ฒ๐š ๐›๐ž๐ง๐š๐ซ-๐›๐ž๐ง๐š๐ซ ๐ฌ๐ž๐ฅ๐ž๐ฌ๐š๐ข. โ€ข โ€ข โ€ข Ziva dan Azka adalah sepasang kekasi...
3.4K 1.4K 27
Perihal berbagi, bukan cuma memberi barang ataupun harta saja. Memberikan kasih sayang, ataupun orang yang kita sayang, juga merupakan bagian dari be...