NATAREL (SELESAIโœ”๏ธ)

By Park_sooyang

4.4K 2.4K 741

Budayakan membaca deskripsi sebelum terjun ke cerita๐Ÿ”ช Ada satu insiden yang membuat Rea, si anak baru yang k... More

Prolog
1 | Kerusuhan
2 | Uang Kembalian
3 | Kacamata
4 | Intrepide
5 | Kunci Motor
6 | Apartemen
7 | Ponsel Keramat
8 | Diborgol Polisi
9 | Penyesalan Rio
10 | Taruhan
11 | Mysterious Rider
12 | Pacar Settingan?
13 | Mau Bolos Bareng?
14 | Sandiwara
15 | Sport Merah
16 | Ide Gila Dua Murid Gila
17 | Revan VS Nata
18 | Bakmi Iblis
19 | Lunch
20 | Night Screams
21 | Tanpa Kabar
22 | Dikejar Pasukan Gen Petir
23 | Purnama
24 | Dramatis
25 | Panic Attack
26 | Trik Psikologi
27 | Dialog Senja
28 | Perasaan Konyol
29 | Rea Berbohong
30 | Kehadiran Oma
31 | Kaos Olahraga
32 | Aksi Zizad Lagi
33 | Secangkir Matcha
34 | Tanding Voli
35 | Hangout Penuh Drama
36 | Kevin Mencurigakan
37 | Tabiat Kevin
38 | Perkara Cokelat
39 | Gerbang Sekolah
40 | Anak Jalanan
41 | Hareudang
42 | Komplikasi
43 | Atas Jembatan
44 | Keduanya Ketiduran
45 | Dunianya Hancur
46 | Kegiatan Baru Nata
47 | Skandal
48 | Ambigu
49 | Celaka Karena Rea Lagi
50 | Sandiwara Lagi
51 | Gentleman Sesungguhnya
52 | Terlibat Kebakaran?
53 | Ulah Geng Ferdian Lagi
55 | Hidup Untuk Apa?
56 | Confess di Kuburan dan Duka
57 | Candu Baru
58 | Menjelajah Rumah Pacar
59 | Gosip Gila
60 | Uji Nyali
61 | Night Changes
62 | Ruang Siaran
63 | Luar Jakarta
64 | Semuanya Telah Usai
65 | Danau, Hujan, Momentum
66 | Remuk Redam
67 | Nata Yang Sebenarnya
68 | Dare Romantis
69 | Ibu Kandung Sebenarnya
70 | Nata Akan Pergi
Extra Part

54 | Bukti Ketulusan Nata

26 18 2
By Park_sooyang

"Kamu lagi! Kalo dikasih tahu yang lebih tua itu nurut! Mau jadi apa kamu? Ini akibatnya kalo nggak dengerin kata-kata Oma!" Oma menarik sikut Rea, lalu menghempaskannya. "Jadi kena karma, kan?!" Lagi-lagi... "Ngerti nggak kamu, Rea?!"

...diomeli.

"Iya."

"Sekali lagi kamu nggak nurut, semua fasilitas yang Papa kamu kasih ke kamu, Oma tarik. Kamu nggak boleh main HP, laptop, uang jajan, nggak boleh keluyuran tanpa Oma awasi-"

"Rea itu udah gede!" Akhirnya, Rea memberanikan diri. Emosi mengambil alih semuanya. "Kenapa, sih, Oma selalu-"

"JANGAN POTONG UCAPAN SAYA!" Oma membentak marah persis saat ayah Rea nyaris menggapai gagang pintu utama dari depan, sebelum mengurungkan niatnya. "Kamu mau, balik ke Madiun? Ke sekolah lama kamu? Kalo kamu nggak nurut, nanti kamu kayak Mama kamu!"

"Jangan sangkut-sangkutin Mama juga."

"Kalo aja Mama kamu nurut sama saya, nggak nikah sama papa kamu itu, pasti kejadiannya nggak bakalan kayak gini!"

Masih di depan, Irfan merasa tidak berguna karena tidak pernah membela anaknya saat diomeli mertuanya.

Tenggorokan Rea tersekat. Kedua matanya memanas. "Oma pikir kalo Daddy sama Mommy nggak nikah, aku nggak kecelakaan kayak gini? Yang ada aku nggak lahir di dunia ini! Itu, kan, yang Oma mau? Oma benci sama Rea, Oma nggak mau Rea lahir, kan?"

"Jaga ucapan kamu! Oma nggak bilang gitu!"

"F*ck off."

Rea mulai melangkah menuju anak tangga tanpa memedulikan Omanya yang kini duduk di sofa sambil memijat pelipisnya. Sepertinya Oma lupa minum obat hingga membuat darahnya naik dan lagi-lagi menjadikan Rea sebagai pelampiasan.

Pelan-pelan, Irfan mulai memberanikan diri menekan gagang pintu, membukanya. Sepi. Hanya ada Mama mertuanya di ruang tamu tengah meminum obat dan air putih. Oma Rea-menatap menantunya tajam.

"Sudah saya bilang, sebaiknya kamu cari pengganti Tiana!"

Irfan terdiam.

"Anak kamu kecelakaan. Sikutnya luka-luka. Susah diberitahu. Padahal saya sudah bilang, Mike yang nyetir. Biar kejadiannya nggak seperti ini. Kamu itu gimana, sih, Ir, kalo didik anak? Mana bisa kamu jadi ayah sekaligus ibu buat Rea?" Oma menarik nafas. "Baru jadi ayah aja nggak becus jaga anaknya! Anak cewek kok malah diajarin bela diri, bukannya diajarin masak. Katanya pernah kursus masak?"

"Saya sibuk, Ma. Sekarang kurang ada waktu untuk Rea."

"Alasan aja bisanya. Makanya, cari istri lagi! Biar Rea ada yang ngurus! Masa harus saya terus? Saya ini sudah tua, sakit-sakitan!"

"Saya... belum memikirkan mau menikah lagi."

•••

Ruangan itu gelap. Cahaya lampu di jalanan terlihat sedikit memasuki celah-celah jendela, hingga menyorot tubuh Rea yang naik-turun sesenggukan. Rea selalu kalah. Rea selalu lemah menghadapi Omanya. Dia pernah ingin membantah seperti tadi, tapi baru berani melakukannya hari ini.

Sekali membantah, justru membuatnya merasa bersalah hingga akhirnya menangis.

Rea tahu Oma sakit-sakitan dan gampang marah. Tidak seharusnya Rea membantah dan keras kepala. Sepertinya, mengucapkan kata 'maaf' sudah tidak berlaku lagi karena Rea terlanjur kebawa emosi.

Setidaknya, hingga ketukan di jendelanya beberapa kali membuat tangis gadis itu mendadak berhenti walaupun masih sesenggukan. Siapa yang berani mengetuk-ngetuk jendela kamarnya malam-malam begini? Hantu? Maling? Mana ada maling yang mengetuk jendela dulu sebelum menyusup? Kalau pun hantu, Rea sudah kabur turun lebih dulu.

Tapi kali ini kesedihan mengambil alih dirinya hingga membuatnya mendekat dengan berani. Gadis itu tidak menyalakan saklar lampu kamarnya. Korden jendelanya dibuka. Mendapati sosok yang hampir mirip manusia-atau memang benar manusia?

Benar, manusia yang malam-malam selalu membuatnya terkejut kalau bertemu.

Walaupun di kamarnya gelap, Rea bisa melihat jelas wajah Nata di balkon dengan sedikit bantuan cahaya rembulan. Gadis itu menutup jendelanya kembali begitu sudah berada di balkon. Kenapa cowok ini bisa menyusup ke balkon kamar lantai duanya? Bagaimana bisa?

Nata membuka tudung jaketnya, sementara topinya masih terpakai. Di tangan kanannya, ada kresek putih dan dua botol di dalamnya, dia menyodorkan kepada Rea.

Rea menerimanya setengah panik begitu tersadar.

"Lo ngapain malem-malem nyusup ke kamar gue? Penghuni rumah gue nggak ada yang keluar. Di rumah semua. Ntar kalo pada liat-"

"Lo kena omel Oma lo lagi?" Pertanyaan Nata memotong kepanikan Rea begitu cowok itu tersadar wajah sembap Rea. Sebenarnya, saat cowok itu hendak mengetuk jendelanya tadi, sudah mendengar Rea menangis.

Rea menghela nafas, tidak mau menjawab. Gadis itu menunduk, menatap dua botol, berisi air berwarna emas. "Ini apaan?"

"Jamu."

"Jamu? Lo mau bikin gue ngelayani lo malem ini?"

Nata mendorong dahi Rea dua kali. "Otak lo jorok banget, ya? Itu jamu, buat ngilangin nyeri di perut lo!"

Rea berkedip, entah pura-pura polos atau apa.

"Biasanya, cewek, kan, kalo lagi kedatangan tamu perutnya suka keram?"

"Kok lo bisa tahu, sih, kelemahan cewek pas lagi dapet?" tanya Rea bingung sekaligus tidak menyangka kalau Nata bisa seperhatian ini. "Pernah PMS juga? Biasanya pake yang merek apa? Siang atau malam? Tipis apa tebel? Yang pakai wings apa bukan?" Rea seperti membalikan pertanyaan Nata siang tadi dengan senyum jahil.

Nata terlihat bergidik geli. Rea menertawainya, padahal wajahnya masih sembap. Tawanya mereda beberapa detik sebelum menggeleng menjernihkan otak. Nata hanya menatapnya tanpa suara.

Tanpa diperintah, Rea mengambil posisi duduk. Gadis itu menepuk-nepuk lantai di bawah kaki Nata di sebelahnya persis, memberi kode agar Nata duduk di sampingnya. Nata menurut. Angin malam sesekali berhembus.

Pemandangan dari sini cukup mengesankan. Cahaya rembulan bersinar terang dan bintang-bintang tak terhingga bertaburan menambah kesan cantik di malam hari. Suasananya cukup hening beberapa detik saat Rea berusaha meminum jamu yang Nata beri.

Sebenarnya, Rea dari kecil tidak menyukai minuman yang ada rasa jamunya. Tapi, entah kenapa dia ingin menghargai yang Nata beri. Apalagi cowok itu memberinya malam-malam, rela diam-diam menyusup bak maling demi memberi Rea jamu agar gadis itu tidak merasa nyeri di perutnya.

Nata tidak pernah membuat Rea berhenti merasakan rasa nyaman saat berada di dekatnya. Lelaki itu menyadari luka di sikut Rea. Refleks dia menariknya membuat Rea terkejut.

"Kena apa, nih?"

Rea menarik tangannya. Apakah dia harus bercerita? Kalau bercerita, apakah Nata akan membalaskan dendamnya seperti waktu itu? Bukannya justru malah bagus? Tapi sepertinya Gen Petir tetaplah geng biang onar. Tidak ada kapok-kapoknya. Jadi bakalan menjadi masalah besar, kan?

"Re."

"Ha? Oh. Ini... tadi pas pulang sekolah jatuh sama Mike."

"Jatuh dari motor?"

"Iya. Tuh anak ngendarainya ugal-ugalan, sih, sok mau jadi pembalap. Dia, kan, nggak terbiasa kebut-kebutan gitu? Nah, udah gue nasihatin, masih aja ngebut. Jadi jatuh, deh." Terpaksa Rea harus berbohong. Sori, Mike.

Mata Nata meneliti luka-luka di sikut Rea, lalu beralih ke sikut sebelahnya yang tidak apa-apa. Hanya ada luka di sikut kiri. Tapi tetap saja membuat Nata tidak berhasil menyembunyikan raut khawatirnya.

-Udah diobatin, kan?"

"Udah."

Rea membeku saat tiba-tiba Nata mencium dekat luka di sikutnya.

Mata Nata menatap mata Rea dalam dan serius. "Katanya, saliva bikin luka cepet ilang."

Tersadar, Rea segera menarik kedua tangannya. Biar cepat hilang katanya? Memangnya Nata sihir yang bisa menghilangkan luka? Modus kacanganya selalu tidak bisa Rea percaya. Gadis itu menggeleng-geleng salah tingkah.

"Lo emang nggak dingin, ya, Re, pake baju kayak gini?"

Pertanyaan Nata membuat Rea tersadar dengan baju yang dipakainya hanya tanktop dan rok abu-abu sekolah di atas lutut.

Gadis itu hanya mengedikan bahu santai. "Panas-panas gini."

"Eh? Perlu gue bacain ayat kursi biar makin panas?"

Rea langsung paham menatap Nata tajam dan memukul bahunya sekali tapi selalu terasa keras. Cowok itu hanya meringis dan mengusap bahunya.

"Lo nggak kerja?" tanya Rea begitu sadar, harusnya sekarang cowok itu masih sibuk mengantar-antar delivery food, kan?

Nata merenggangkan otot-ototnya santai. "Yahhh, gue mau libur dulu ngurusin seseorang yang sekarang kayak nggak keurus," sindir Nata melirik Rea dan tersenyum.

"Anyway, thankyou, ya, jamunya?" Rea menunjukkan setengah botol jamunya.

"Suka?"

Rea menutupnya rapat setelah menghabiskan setengahnya. "Harusnya, sih, enggak. Tapi... kalo gue nolak lagi, ntar lo makin sakit hati."

Nata tersenyum geli. Laki-laki itu mendongak menatap bintang paling terang beriringan dengan kedua lututnya yang ditekuk, sementara kedua tangannya dilipat.

"Maaf."

Satu kata itu membuyarkan pikiran kosong Nata saat menatap bintang yang berbinar sebinar mata gadis di sebelahnya.

"Maaf kalo gue nyakitin-"

"Sssst!" Satu telunjuk Nata menyentuh bibir Rea membuat gadis itu bungkam. "Jangan dipikirin lagi."

"Lo mau mundur?"

Jemari diturunkan. "Gue nggak akan pernah mundur sampe lo mau balas perasaan gue."

Rea menelan ludah. Kenapa dia tidak jujur sekarang juga justru menyembunyikan perasaannya? Padahal Rea sudah yakin akan perasaannya terhadap Nata, dan Nata sepertinya adalah orang yang tepat. Tidak pernah ada kepalsuan yang selalu Nata perbuat demi melindungi Rea. Tidak pernah ada kepalsuan di balik senyumnya. Senyum yang dulu sinis, dan sekarang begitu manis. Cowok ini... benar-benar-

"Gue sayang sama lo." Kata-kata itu keluar beriringan dengan kelima jemarinya yang menyentuh jemari Rea. Dingin.

Tatap keduanya bertemu beberapa detik sebelum Rea membalas, "Sebenarnya gue-"

"Rea."

Panggilan lain spontan membuat jemari yang nyaris saling bertautan, kini saling berjauhan. Siapa yang sudah menghancurkan momen barusan? Padahal Nata sudah memasang telinga tajam-tajam, menunggu kata-kata yang nyaris keluar saja dari mulut Rea-kalau saja tidak ada yang menggangu.

"Bokap gue." Rea keliatan panik. Bagaimana tidak panik? Malam-malam ada seseorang menemuinya di balkon kamar dan berpenampilan serba hitam, siapapun di rumah pasti mengira orang itu penjahat.

Nata berdiri.

Rea keliatan kalut menoleh bergantian ke arah jendela dan Nata. "Lo mau ngapain?!" bisiknya panik saat Nata terlihat menatap ke bawah.

"Loncat, lah."

"Gila lo?"

"Rea, buka pintunya, Nak. Kamu belum tidur, kan?"

Nata benar-benar meloncat dari balkon. Rea menahan pekikannya terkejut.

BYURRR!

Rea sepertinya lupa kalau di bawah sana ada kolam renang, bukan rerumputan yang bisa membuat tulang rentan. Dia yakin seratus persen kalau orang-orang yang ada di rumahnya juga mendengar suara dari kolam renang. Gadis itu mengawasi gerak-gerik Nata dengan panik.

Cowok itu basah kuyup dan buru-buru naik dari kolam, lalu berlarian membuka gerbang. Gerbang itu gerbang belakang rumah, padahal ada dua satpam yang menjaga. Yang satunya menjaga di depan, tapi itu mungkin keberuntungan bagi Nata karena tidak ada siapa-siapa di sana.

Panggilan dari ayahnya lagi-lagi menyadarkan Rea. Gadis itu kembali masuk kamar lewat jendela, menyalakan saklar. Angin malam berhembus menerbangkan korden jendela Rea. Dia memutar kunci dan membuka pintu.

Irfan datang celingukan ke sekeliling ruangan di kamar Rea. Di tangannya ada segelas susu.

"Tadi itu ada suara apa, sih, di kolam renang? Kayak orang nyebur. Daddy kira, kamu. Terus kalo Oma kamu sama Mike, kan, di kamar? Masa Pak Udin atau Pak Darto renang malem-malem?"

Rea menyengir. "Ah, apaan, sih, Dad? Nggak lucu. Orang nggak ada suara apa-apa juga."

Irfan terlihat tidak percaya pun mendekati jendela Rea, sebelum menyerahkan segelas susu kepada putrinya. Jendelanya masih terbuka. Semakin curiga, ayah Rea itu berjalan hingga balkon dan menatap ke bawah saat sampai pembatas balkon.

Kolam renang di bawah sepi dan gelap. Airnya yang menampilkan cahaya bulan dan bintang di langit, terlihat masih berombang-ambing, lalu perlahan bergerak pelan.

"Nihil? Terus tadi apa, ya, yang jatuh?"

Saat Irfan hendak berbalik, matanya tanpa sengaja menangkap satu botol berwarna emas, isinya tinggal setengah dan kresek yang menutupi satu botolnya yang masih penuh.

"Ini apa?" Irfan mengambil satu botol sisa.

Rea melompati jendelanya dan merebut pelan botol yang ayahnya bawa. "Ah, ini jamu. Tadi di sekolah ada yang ngasih. Katanya buat ngeredain perut keram pas lagi dapet."

Irfan mengusap-usap kepala Rea pelan. "Daddy minta maaf kalo nggak bisa jagain kamu dengan baik. Sekarang kamu jadi jarang jalan-jalan sama Daddy karena Daddy sibuk. Juga nggak bisa nganter sekolah sampe-sampe kamu kecelakaan tadi."

Rea menurunkan tangan ayahnya dan beralih memeluk pinggangnya. Rea rindu saat-saat yang seperti ini.

"Kan Daddy sibuk demi Rea? Kenapa Daddy harus minta maaf? Harusnya Rea yang berterima kasih banyak sama Daddy. Cukup Daddy selalu ada pas Rea lagi butuh aja, itu udah bikin Rea bersyukur banget bisa jadi anaknya Daddy. Daddy juga nggak galak. Nggak kayak Oma."

Irfan tertawa di kalimat terakhir Rea. Pria itu balas merangkul bahu anaknya sambil mengelus-elus kepalanya lagi. "Kalo dikasih pilihan, Daddy bakalan milih jagain Rea terus daripada ngurusin kerjaan Daddy sendiri. Yang penting selalu ada waktu buat Rea."

Rea mengusap bawah hidungnya sambil sesenggrukan. "Makasih, Dad." Rea mengeratkan pelukannya sambil mendongak, menatap mata ayahnya.

"Masuk, yuk? Di luar dingin."

Rea mengangguk. Bersama ayahnya dia berbalik, kembali masuk.

"Luka kamu udah diobatin belum?"

"Udah, lah." Memori otak Rea kembali berputar pada kejadian Nata mencium dekat lukanya-gadis itu menggeleng berusaha menghilangkan memori memalukan itu. Dia tidak boleh tersihir lagi dengan cowok kacangan semacam Natarel.

"Besok, Daddy yang nganterin kamu, ya? Gimana, sih, ceritanya kok kalian bisa jatuh dari motor? Emangnya bener, kamu yang di depan?"

Kini bersama ayahnya, gadis itu duduk di sisi ranjang bawah sebelah Irfan. "Tadi dikejar-kejar geng motor, Dad."

"Apa?" Irfan terkejut membulatkan mata. "Kamu masih ikut-ikutan geng motor?"

Rea menatap ayahnya tidak percaya dituduh begitu. "Eh, Rea nggak pernah, ya, aneh-anehan kayak gitu. Rea emang suka motor dan balapan, Dad. Tapi Rea nggak suka kalo ada geng-gengan kayak gitu. Apalagi sekarang udah nggak pernah ikut balapan. Jadi aman."

Irfan sedikit tersenyum mendengar penjelasan anaknya. "Padahal dulu Daddy juga pernah ikut tawuran antar-geng motor."

Rea terkejut. "Hah? Serius? Kok Rea baru tahu?"

"Iya, terus gara-gara kenal Mommy kamu, Daddy mengundurkan diri. Tapi... yahhh, tetep aja wajah Daddy masih bisa dikenali. Daddy pernah koma juga gara-gara dikeroyok sama musuh. Terus ada yang ngelaporin. Tapi kayaknya sampe sekarang, geng motor itu masih ada. Nggak tahu juga."

"Apa nama gengnya, Dad?"

"Geng yang nyelakai Daddy dulu namanya Gen Petir. Nggak tahu tuh masih ada apa nggak."

"Apa?!" Rea berseru histeris. Jadi geng motor sialan itu sudah ada sejak zaman muda ayahnya dulu? Kenapa sampai sekarang belum juga bubar? Apa yang membuat gengnya bertahan sampai sekarang?

"Kok kaget gitu? Kamu tahu?"

"Geng itu yang bikin Rea celaka, Dad!"

Irfan sekarang ikut terkejut. "Jadi... mereka masih ada rupanya?"

"Oh iya, Rea boleh tanya?"

Irfan tersenyum. "Tanyakan saja, Re. Masa nggak boleh?"

"Dulu, waktu Daddy masih muda, gimana, sih, kisah cinta Daddy?"

"Kok tiba-tiba tanya gitu, sih?" tanya Irfan curiga sebelum memasang raut jahil. "Kamu lagi jatuh cinta, yaa?"

"Emangnya nggak boleh?" Rea melirik Irfan sombong.

"Hahahaha, asalkan pilihan kamu tepat, Daddy dukung-ah, Daddy hampir lupa sama seseorang."

"Ada janji?"

"Bukan... Siapa itu namanya..." Irfan terlihat tengah mengingat sesuatu. "Oh, kalau nggak salah, ta, ta? Siapa, ya, yang hari itu pernah sama kamu pas di restoran?"

Rea langsung tahu siapa yang Irfan maksud. "Nata."

"Nahhh, itu, kan?"

"Hahahaha."

"Kalo ketawa pasti nggak salah lagi, nih."

"Iya, deh, ngaku. Sebenarnya, Nata yang nembak duluan, tapi Rea tolak."

"Lah? Kenapa gitu? Bukannya kamu suka?"

Rea terdiam sesaat. "Rea... masih belum yakin. Takut kayak dulu."

"Re...," panggil Irfan pelan. Satu tangannya mengelus puncak kepala anaknya lagi dengan lembut. "Menurut Daddy, Nata bukan laki-laki kayak mantan-mantan kamu sebelumnya. Keliatannya. Terus... Daddy percaya sama cerita Mike."

"Mike? Cerita apa dia, Dad?" tanya Rea penasaran sambil memperbaiki posisi duduknya.

Irfan mengerlingkan mata jahil. "Yaaa tentang Nata," jawabnya. "Dan, kalo kamu mau, Daddy restuin."

"Hah? Daddy yakin?" Rea bertanya ragu.

Pasalnya, Mike pasti menceritakan semua tentang Nata. Semua tentang Nata termasuk masa lalunya tentang geng motor, kan? Irfan mana setuju dengan tipe laki-laki semacam itu, apalagi perlakuan Nata buruk di sekolah walaupun aslinya berhati baik. Lalu... apa yang Mike ceritakan kepada Irfan yang bisa membuatnya merestui hubungan anaknya dengan Nata?

"Kata Mike juga... Nata itu keliatan emang bener-bener tulus sama kamu. Masalah kamu ingin boneka di wall climbing, padahal Nata phobia ketinggian, kan? Terus masalah Nata pura-pura sakit agar kamu menjaga dia dan nggak jadi jalan bareng cowok lain. Mungkin masih banyak lagi, kan?"

IRea sedikit malu, ternyata ayahnya sudah tahu semuanya lebih dulu dari Mike. Ya, Rea memang selalu menceritakan apa saja kepada sepupu akrabnya itu tanpa sisa.

Lagi-lagi, Rea merasa ragu dengan perasaannya ketika ada yang memaksanya untuk mengingat kembali kebaikan, pengorbanan, serta ketulusan yang Nata buat.

Apakah Nata adalah orang yang tepat untuknya?

Continue Reading

You'll Also Like

2.5K 97 33
"Kak, kenapa kakak mau pacaran sama cia padahal kan cia ga cantik?" tanya Alicia pada kekasihnya. "Mau an emang orang nya" jawab kekasih nya itu. "ih...
570K 67.1K 50
(cerita ini mengandung bawang+emosi) "Happy birthday.. Ara..." "Happy birthday Ara...." "Happy birthday... happy birthday... Happy birthday.... Ara...
17.8K 2.2K 64
Ini tentang LASKAR, LAURA dan LUKA. ***** Laskar artinya prajurit. Diharapkan ketika dewasa Laskar bisa setangguh prajurit. Tapi kenyataannya Laskar...
11.6K 2.2K 35
โ€ข ๐๐ž๐ซ๐ญ๐š๐ก๐š๐ง ๐ฌ๐š๐ฆ๐ฉ๐š๐ข ๐ฉ๐ž๐ซ๐š๐ฌ๐š๐š๐ง๐ฆ๐ฎ ๐ฉ๐š๐๐š๐ง๐ฒ๐š ๐›๐ž๐ง๐š๐ซ-๐›๐ž๐ง๐š๐ซ ๐ฌ๐ž๐ฅ๐ž๐ฌ๐š๐ข. โ€ข โ€ข โ€ข Ziva dan Azka adalah sepasang kekasi...