NATAREL (SELESAI✔️)

By Park_sooyang

4.4K 2.4K 741

Budayakan membaca deskripsi sebelum terjun ke cerita🔪 Ada satu insiden yang membuat Rea, si anak baru yang k... More

Prolog
1 | Kerusuhan
2 | Uang Kembalian
3 | Kacamata
4 | Intrepide
5 | Kunci Motor
6 | Apartemen
7 | Ponsel Keramat
8 | Diborgol Polisi
9 | Penyesalan Rio
10 | Taruhan
11 | Mysterious Rider
12 | Pacar Settingan?
13 | Mau Bolos Bareng?
14 | Sandiwara
15 | Sport Merah
16 | Ide Gila Dua Murid Gila
17 | Revan VS Nata
18 | Bakmi Iblis
19 | Lunch
20 | Night Screams
21 | Tanpa Kabar
22 | Dikejar Pasukan Gen Petir
23 | Purnama
24 | Dramatis
25 | Panic Attack
26 | Trik Psikologi
27 | Dialog Senja
28 | Perasaan Konyol
29 | Rea Berbohong
30 | Kehadiran Oma
31 | Kaos Olahraga
32 | Aksi Zizad Lagi
33 | Secangkir Matcha
34 | Tanding Voli
35 | Hangout Penuh Drama
36 | Kevin Mencurigakan
37 | Tabiat Kevin
38 | Perkara Cokelat
39 | Gerbang Sekolah
40 | Anak Jalanan
41 | Hareudang
42 | Komplikasi
43 | Atas Jembatan
44 | Keduanya Ketiduran
45 | Dunianya Hancur
46 | Kegiatan Baru Nata
47 | Skandal
49 | Celaka Karena Rea Lagi
50 | Sandiwara Lagi
51 | Gentleman Sesungguhnya
52 | Terlibat Kebakaran?
53 | Ulah Geng Ferdian Lagi
54 | Bukti Ketulusan Nata
55 | Hidup Untuk Apa?
56 | Confess di Kuburan dan Duka
57 | Candu Baru
58 | Menjelajah Rumah Pacar
59 | Gosip Gila
60 | Uji Nyali
61 | Night Changes
62 | Ruang Siaran
63 | Luar Jakarta
64 | Semuanya Telah Usai
65 | Danau, Hujan, Momentum
66 | Remuk Redam
67 | Nata Yang Sebenarnya
68 | Dare Romantis
69 | Ibu Kandung Sebenarnya
70 | Nata Akan Pergi
Extra Part

48 | Ambigu

30 18 2
By Park_sooyang

Rerererereeeee!

Apaaaaa, Vonnn?

Minta ajar, boleh?

Hah? Lo mau gue hajar?

Bukan itu. Maksudnya ajarin

Ajarin? Ajarin apaan? Masak?

Reeee, serius, ah.

Ajarin apa, ogeb?

Ngelukis

Lo mau jadi Seniman?

Emangnya lo nggak?

Cita-cita gue bukan Seniman.

Terus?

Mau minta ajarin di mana?!

Ke rumah gue? Gue jemput?

Jangan jemput. Gue minta antar sepupu aja.

Oke, gue tunggu.

Chatting-an itu sudah berakhir empat jam lalu, tapi pemiliknya tidak bosan-bosan membacanya berulang kali dari chat sebelumnya. Seulas senyum menggambarkan suasana hati Devon hari ini. Setidaknya sampai matanya tertuju pada seorang gadis yang masih sibuk menambahkan cat air di lukisannya yang sudah nyaris lebih sempurna kalau Rea tidak menyempurnakannya lagi.

"Lo belum bosen? Punya gue udah selesai, kan?"

Rea menoleh sebentar. "Belum. Masih pengen ngelukis aja."

Mike adalah kepercayaan Omanya Rea. Jadi, laki-laki itulah yang mengantar jemput Rea kemanapun Rea pergi. Oma percaya Mike tidak pernah berbohong karena orangtuanya juga kepercayaan Oma. Rea sampai sekarang masih heran, kenapa Oma masih sedikit tidak menyukai Irfan dan Rea? Bisa dibilang, dulu Oma pernah sempat tidak memberi restu ayahnya menikahi putri Oma (Ibu kandung Rea), itulah kenapa sampai sekarang Oma dan Irfan terlihat sedikit tidak akur.

"Muka lo masem gitu. Lagi ada yang dipikirin? Masalah apa lagi, nih? Nata lagi?"

Gerakan melukis Rea terhenti.

"Yayaya, gue paham, Re," ucap Devon jenaka, teringat dia juga tadi menanyai masalah Rea dan Nata, dan Rea melarangnya untuk membahas lagi. "Gue nggak boleh bahas dia. Tapi... perasaan gue nggak enak. Kenapa, sih, lo nolak dia? Dia baik, loh. Nggak seperti di mata orang-orang, kalo menurut gue, ya. Jangan diliat dari penampilannya, tapi-"

"Gue tahu, Von, Nata emang baik." Rea akhirnya membalas sambil meletakkan kuas di dalam segelas air yang sudah keruh karena berkali-kali dicelup berbagai warna. "Gue lebih tahu dari siapapun. Gue... kayaknya udah nggak mau percaya sama laki-laki manapun lagi. Gue cuman... ngak mau sakit hati lagi, Dev."

Entah kenapa sekali itu, Devon ikut merasakan hatinya teriris. Cowok itu mendekati Rea, mengelus pelan kepalanya. Rea tidak mendongak, tatapannya masih bertahan di depan lukisan hasil tangannya, tapi pikirannya melalang buana entah ke mana.

"Lo boleh nggak cerita sama gue, Re, tapi jangan salahin gue kalo gue bikin orang yang udah nyakitin lo babak belur."

Sekali itu Rea mendongak diiringi senyuman tulus. Tatapan keduanya bertemu. "Makasih, ya, Dev, lo juga baik banget sama gue. Rasanya... kalo gue di deket lo, gue nyaman." Devon membalas senyuman Rea, lebih tulus. Cowok itu merasa senang dengan kalimat terakhir yang keluar dari mulut Rea, gerakannya mengelus kepala Rea kini lebih lembut.

"Gue... ngerasa kayak punya Abang," lanjut Rea.

Setidaknya sampai kalimat yang lebih akhir keluar lagi, gerakan Devon terhenti, senyumnya luntur. Pikiran Rea kosong saat dirinya berdiri, sedikit berjinjit untuk melingkarkan kedua lengannya di sekeliling leher Devon yang lebih tinggi, memeluknya erat.

"Makasih, Bang."

•••

"Nata sama Devon saudaraan? Kok bisa?"

"Yeee, makanya, pulang sekolah jangan semangat-semangat, giliran berangkatnya aja males-malesan lo. Jadi ketinggalan beritanya, kan?"

"Iya, kemarin tuh, ya, seru abis. Sayangnya, gue nggak ngrekam."

"Eh, si Rani, kan, ngrekam? Ntar gue mintain, deh, rekamannya."

"Ntar gue kirimin, loh, ya!"

"Kirim di grup!"

"Beres."

"Eh! Emangnya kemarin ada acara apaan, sih? Kok kalian nggak nimbrung di grup?"

"Itu tuh, mereka berantem."

"Iya, lebih tepatnya si Devon yang mukulin Nata abis-abisan. Gila, ya? Seorang Devon ternyata bukan hanya jago di segala kompetensi, tapi juga bela diri. Nggak sia-sia gue nge-crush-in dia."

"Yeee, yang nge-crush-in dia mah, bukan lo doang, kali. Emangnya dia juga kenal sama lo?"

"Sialan."

Suara tawa yang menggema di koridor yang lumayan sepi karena waktu masih pagi itu mengusik langkah Rea hingga memelan.

"Tahu nggak, karena siapa mereka berantem?"

"Karena Rea!"

"Yeee, gue belum selesai bikin teka-teki buat Via, nyambung aja lo, Za, kayak kabel."

Lagi-lagi tawa terdengar.

Rea yakin seratus persen, satu sekolah sudah ada yang banyak membicarakannya. Dia sudah menduga kalau semua ini akan terjadi. Kini gadis itu tinggal menikmati dengan kedua tangan yang dilipat, bersembunyi di tangga terakhir, bersandar di tembok. Dia tahu kali ini siapa yang membicarakannya-adalah Bianca, Liza, dan Via-anak-anak cerewet dari kelas IPS-7 dan kadang suka ikut-ikutan ngegosip.

"Eh, Andrea anak IPA, ceweknya Nata itu?"

"Andrea siapa lagi? Kalo kita nyebut-nyebut Nata juga, ya, Andrea mana lagi selain ceweknya?"

"Wih, gila, ya, tuh cewek? Hobinya bikin onar mulu kayak sekolah ini milik nenek moyangnya aja. Semua cowok juga diembat sama dia kayak jalang."

Pembicaraan itu masih berlanjut, Rea juga setia mendengarkan.

"Hush! Ntar ada yang denger!"

"Ups."

"Iya, nih, Bianca. Asal ceplos aja ngomongnya. Kebiasaan lo!"

"Ehm." Satu dehaman yang dibuat-buat itu menghentikan tawa ketiganya. Mereka bertiga terkejut setengah mampus seolah baru saja ketahuan mencuri melihat kedatangan orang yang baru saja dibicarakan.

"Lagi ngomongin apa? Boleh ikut nimbrung nggak? Kayaknya seru," tanya Rea santai saat mendekati ketiga gadis itu.

"Ehh, ada Rea...," kekeh Liza sedikit terbata-bata, sementara kedua temannya mematung deg-degan gila. Via lebih deg-degan karena sadar dengan ucapannya yang asal ceplos tadi tentang Rea yang tidak-tidak.

"Lo... sejak kapan di sini, Re?" tanya Bianca seolah mewakili kedua temannya menanyakan hal itu.

Apakah Rea sejak tadi ada di sini? Lalu... itu artinya Rea mendengar semuanya? Via masih bungkam.

Rea bertepuk tangan seolah baru saja menyaksikan kemenangan. "Selamat!" Dia tersenyum antusias, berpura-pura semangat. "Selamat karena kalian cewek, gue nggak bisa balas kalian." Kemudian tepuk tangan itu berhenti, kini berganti dengan nada serius. Kedia lengannya dilipat di dada. "Mungkin... sebaliknya, kalo gue denger anak cowok ngomongin gue, udah gue pecel-pecel, deh, tuh orang."

Rea membuat gerakan seolah tengah mengulek-ulek bumbu masakan dengan gerakan gemas setengah marah. Tapi kemudian terhenti dan berubah terlihat ramah saat menatap ketiga gadis tadi.

"Kalian kok nggak cekikikan lagi, sih, pas gue dateng?" Nada Rea kali ini terdengar manja seolah anak kecil yang ditinggal, tidak diajak orangtuanya jalan-jalan.

"Jahat. Bisu semua sekarang. Udah, ah, gue mau ke kelas dulu, bentar lagi bel. PR gue belum selesai." Rea menatap jam tangannya sebelum melambaikan tangan dramatis. "Dadah..., silakan lanjutin lagi, ya, ghibah-nya. Tenang, malaikat tetep mencatat dosa-dosa kalian, kok."

Dia berlalu sambil merapikan poninya di sepanjang jalan dengan santai. Begitu Rea menjauh, ketiga gadis itu saling tukar tatap. Salah satunya menggelengkan kepala, menjernihkan otak.

"F*ck. Nyesel gue ngomongin dia. Dosa gue nambah."

•••

"Hih! Gunjing aja terus! Biar sekalian gue nggak ada temen! Ngomongin orang seenaknya! Emang mereka pikir..."

Rea terus mengoceh di sepanjang jalan menuju kelasnya tanpa henti. Semua orang juga tidak ada hentinya membicarakannya di belakang. Sebenarnya memang Rea tidak peduli mau dibicarakan sana-sini. Rea hanya tersinggung karena ada yang mengatainya 'jalang' di belakangnya.

Memangnya mereka saling kenal? Memangnya orang yang mengatakan hal itu kenal Rea lebih dalam? Mungkin saja orang itu sendiri yang seperti itu. Setidaknya itulah yang Rea pikirkan sambil misuh-misuh kesal hingga berakhir dahinya menabrak tulang leher seseorang.

Rea meringis, mengelus dahinya sambil buru-buru mendongak. Niatnya akan memarahi orang yang menabrak, tapi begitu melihat siapa orang itu, Rea urung. Gadis itu menstabilkan diri. Mendadak atmosfer di sekitarnya memanas dan rasanya canggung semenjak kejadian di parkiran kemarin.

Hening.

Nata masih sedikit menunduk karena lebih tinggi, menatap Rea datar. Seolah sedang tidak ada niatan berurusan dengan gadis itu lagi, Nata melanjutkan langkah melewati Rea begitu saja.

Rea memutar kepala. Arah matanya mengikuti langkah Nata yang terlihat santai, penampilan yang keren seperti biasanya. Hanya terlihat berbeda pada bagian rambutnya yang kali ini disisir rapi menutupi dahi.

Apakah... Rea salah menolaknya?

•••

Bangku itu hening walaupun berpenghuni sementara di sekitarnya tengah ramai orang-orang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Kebanyakan semua orang mengerjakan PR berjamaah. Ada juga yang santai-santai saja karena sudah selesai. Sepertinya semua murid kalau diberi PR dikerjakan, tergantung dengan siapa yang memberi.

Hari ini adalah jam pelajaran Bu Zahra. Semua pasti mengenali siapa guru itu. Guru paling killer di antara semua guru. Bu Zahra tidak pernah tanggung-tanggung kalau memberi hukuman bagi murid-muridnya yang melanggar aturan.

Rea jujur tadi bilang akan mengerjakan PR. Tapi setelah insiden bertabrakan dengan Nata tadi, mendadak perasaannya tidak tenang, fokusnya terganggu. Apalagi dia, kan, satu meja dengan cowok itu? Sial.

Rea memainkan bolpoinnya makin cemas melihat sekelilingnya tengah sibuk mengerjakan PR, sementara dirinya lupa membawa buku PR itu yang padahal sudah mengerjakan setengah tugas. Tugas yang Bu Zahra beri memakan waktu berjam-jam dan berlembar-lembar buku.

Rea memejamkan mata, dia bingung sekarang. Kalau mengerjakannya lagi di buku lain, apakah bisa selesai dalam waktu beberapa menit lagi? Gadis itu memain-mainkan bolpoinnya. Kalau biasanya, ada tugas seperti ini dan Rea bingung mengerjakannya bagaimana, teman di sebelahnya adalah jalan ninja memudahkannya. Tapi sekarang ada suatu perkara di antara keduanya-atau mungkin Rea menganggapnya seperti itu.

Bolpoin Rea jatuh dan menggelinding sebelum akhirnya berhenti tepat di sebelah sepatu Nata. Bahu Rea menegang. Matanya sedikit melirik Nata yang masih sibuk membaca buku tanpa menoleh sedikitpun.

Bagaimana ini? Sepertinya akan bodoh jika Rea diam saja karena dia hanya membawa satu bolpoin. Tidak ada cara lain lagi, Rea diam-diam menarik nafas tegang dan menghembuskannya tanpa disadari Nata. Gadis itu mulai merunduk ke bawah meja, kelima jemarinya berusaha menggapai bolpoin itu.

Rea memejamkan mata saat bolpoinnya ternyata sedikit agak jauh. Jemarinya tidak gentar dijulurkan untuk meraihnya. Gadis itu tidak sadar kalau Nata meliriknya lama. Menatap rambut Rea yang membelakanginya.

Aksen memekik saat dialah yang pertama dari semua orang di kelas menyadari Rea tengah merangkak di bawah meja tepat di dekat kaki Nata. Semua orang yang melihatnya sudah pasti juga berpikiran hal yang sama.

"ANDREA, LO NGAPAIN, BEGO?!"

"Sialan, mata gue ternodai."

"Gile."

Nata mendelik saat semua orang menatap ke arahnya dan Rea yang ada di bawah. Rea juga tidak kalah terkejutnya, gadis itu buru-buru bangun saat akhirnya berhasil mengambil bolpoin hingga kepalanya tanpa sengaja kepentok laci meja.

"AWH!"

Tangan Nata bergerak mengikuti kata hati nyaris mengelus kepala Rea dan bertanya apakah Rea baik-baik saja-tapi otaknya menyuruhnya untuk berhenti di tengah jalan hingga akhirnya urung.

Rea bangkit berdiri sambil meringis menatap seisi ruangan yang menatap ke arahnya dengan tatapan yang terkesan ambigu. Kedua bola mata Rea membulat waktu otaknya baru terkoneksi kenapa semua orang menatapnya seperti itu.

"LO-"

"APA?! GUE CUMA NGAMBIL BOLPOIN!" Rea menunjukkan bolpoinnya sebagai bukti dengan raut setengah panik bercampur kesal.

Sebagian murid terlihat masih tidak percaya, sebagiannya lagi lega dan meminta maaf karena sudah mengira Rea yang tidak-tidak.

"Ya elah, kirain ngapain."

Farel dan Jacky tambah tertawa saat Rea memasang gestur hendak menonjok, sebelum gadis itu duduk kembali sambil menghela nafas lega. Tepat saat itu, suara langkah kaki Bu Zahra yang sepertinya dihafal beberapa anak, seolah sihir, mampu membuat seisi kelas mendadak kembali ke habitat masing-masing hingga terdengar berisik karena langkah kaki yang terburu-buru dan bunyi derak kursi, lalu hening.

Asli, Rea deg-degan setengah mampus. Bagaimana ini? Rea belum mengerjakan apa-apa.

"Kumpulan tugas kalian minggu lalu di meja depan." Suara Bu Zahra yang baru saja masuk tiba-tiba menginstruksi semua murid.

"Baik, Bu!"

Suara itu terdengar serempak mendominasi seisi ruangan. Bunyi beberapa risleting terdengar. Semua anak mengumpulkan buku tugasnya masing-masing kepada ketua kelas.

Rea menggigit bibir bawahnya cemas saat tinggal di tempatnyalah yang tidak juga mengumpulkan buku. Gadis itu menggeleng saat ketua kelas menagih tugasnya. Lantas Nata yang di sebelahnya langsung bisa membaca raut dari wajah Rea pun membuatnya urung mengambil buku di tas.

"Andrea Wulandari," panggil Bu Zahra setelah mengecek semua buku dan absensinya. "Apakah dia tidak hadir hari ini?"

Beberapa murid menunjuk ke arah Rea yang ragu-ragu. Rea juga ragu saat mengangkat kelima jemarinya ke atas.

Bu Zahra menghela nafas. "Hanya buku kamu yang belum dikumpulkan. Kenapa-"

"Saya nggak bawa bukunya, Bu."

Bunyi penggaris yang diketuk keras-keras di atas meja itu mengejutkan sesisi ruangan. "Kenapa nggak dibawa?!"

Rea berani bersumpah, dia tidak akan lagi-lagi mengulangi hal yang sama jika kalimatnya ini memalukannya di kelas. "Maaf, Bu, lupa. Tapi saya udah mengerjakannya, kok."

Penggaris panjang itu lagi-lagi diketuk di atas meja depan. "Saya nggak peduli kamu mau berbohong sudah mengerjakannya apa tidak! Sekarang juga, kamu maju ke depan!"

Rea menghembuskan nafas pasrah. Gadis itu berdiri lalu maju ke depan kelas. Rea mengaduh saat betisnya dipukul sekali tapi tidak terlalu keras, namun efeknya membuatnya refleks mengaduh.

"Contoh buruk!"

Rea menunduk. Sebenarnya Rea tidak malu di hadapkan di depan kelas dan dipermalukan oleh guru seperti ini, dia hanya menyesal dan sedikit tersinggung dengan dua kata Bu Zahra.

Nata melihat Rea tidak tega apalagi saat Bu Zahra memukul betisnya. Cowok itu mengangkat kelima jemarinya santai membuat tatapan semua orang mengarah ke satu titik yang sama, kecuali Rea yang masih menunduk.

"Saya juga lupa bawa buku, Bu."

Suara yang kini terdengar sangat-sangat familiar di telinga Rea, itu membuatnya mengangkat kepala dan tatapannya langsung tertuju ke mejanya.

"Apa?!" Kedua mata Bu Zahra seolah menyiratkan kemarahan yang bertambah besar. Guru itu paling tidak suka jika ada murid yang tidak disiplin seperti ini.

Belum diperintah, Nata berdiri dan dengan percaya dirinya maju ke depan, di sebelah Rea dengan gestur santai seperti biasa. Rea di samping menatapnya penuh tanda tanya. Bukannya tadi di meja mereka, saat Rea masuk kelas ada buku tugas Fisikanya? Lantas kenapa cowok itu justru berbohong dan ikut-ikutan maju ke depan?

Bu Zahra menggeram sambil berdiri. "Kalian berdua ikut saya keluar!"

Continue Reading

You'll Also Like

3.4K 1.4K 27
Perihal berbagi, bukan cuma memberi barang ataupun harta saja. Memberikan kasih sayang, ataupun orang yang kita sayang, juga merupakan bagian dari be...
4.4M 261K 61
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
1.4M 20.8K 102
Buat kakak-kakak Author, teman-teman Author yang lagi bingung nyari cast buat ceritanya.... Mari merapat, disini kumpulan cast cowok yang tampan, ho...
16.1M 1.6M 72
Galak, posesif, dominan tapi bucin? SEQUEL MY CHILDISH GIRL (Bisa dibaca terpisah) Urutan baca kisah Gala Riri : My Childish Girl, Bucinable, Gala...