NATAREL (SELESAI✔️)

By Park_sooyang

4.4K 2.4K 749

Budayakan membaca deskripsi sebelum terjun ke cerita🔪 Ada satu insiden yang membuat Rea, si anak baru yang k... More

Prolog
1 | Kerusuhan
2 | Uang Kembalian
3 | Kacamata
4 | Intrepide
5 | Kunci Motor
6 | Apartemen
7 | Ponsel Keramat
8 | Diborgol Polisi
9 | Penyesalan Rio
10 | Taruhan
11 | Mysterious Rider
12 | Pacar Settingan?
13 | Mau Bolos Bareng?
14 | Sandiwara
15 | Sport Merah
16 | Ide Gila Dua Murid Gila
17 | Revan VS Nata
18 | Bakmi Iblis
19 | Lunch
20 | Night Screams
21 | Tanpa Kabar
22 | Dikejar Pasukan Gen Petir
23 | Purnama
24 | Dramatis
25 | Panic Attack
26 | Trik Psikologi
27 | Dialog Senja
28 | Perasaan Konyol
29 | Rea Berbohong
30 | Kehadiran Oma
31 | Kaos Olahraga
32 | Aksi Zizad Lagi
33 | Secangkir Matcha
34 | Tanding Voli
35 | Hangout Penuh Drama
36 | Kevin Mencurigakan
37 | Tabiat Kevin
38 | Perkara Cokelat
39 | Gerbang Sekolah
40 | Anak Jalanan
41 | Hareudang
42 | Komplikasi
44 | Keduanya Ketiduran
45 | Dunianya Hancur
46 | Kegiatan Baru Nata
47 | Skandal
48 | Ambigu
49 | Celaka Karena Rea Lagi
50 | Sandiwara Lagi
51 | Gentleman Sesungguhnya
52 | Terlibat Kebakaran?
53 | Ulah Geng Ferdian Lagi
54 | Bukti Ketulusan Nata
55 | Hidup Untuk Apa?
56 | Confess di Kuburan dan Duka
57 | Candu Baru
58 | Menjelajah Rumah Pacar
59 | Gosip Gila
60 | Uji Nyali
61 | Night Changes
62 | Ruang Siaran
63 | Luar Jakarta
64 | Semuanya Telah Usai
65 | Danau, Hujan, Momentum
66 | Remuk Redam
67 | Nata Yang Sebenarnya
68 | Dare Romantis
69 | Ibu Kandung Sebenarnya
70 | Nata Akan Pergi
Extra Part

43 | Atas Jembatan

30 17 7
By Park_sooyang

"Kak Nata masuk RS?"

Rea menghentikan langkah di belakang dua cewek adik kelasnya di anak tangga atasnya yang tengah mengobrol.

"Iya, katanya, sih, tawuran."

"Nggak mungkin, lah, sampe masuk RS. Kayaknya, dikeroyok, deh?"

Rea turun mendekat. "Rumah sakit mana?"

Kedua gadis itu terlonjak kaget saat tiba-tiba Rea nongol dari belakang mereka dan menyerang pertanyaan.

"Eh, Kak Rea... a-anu, Kak—

Rea mengikis jarak hingga membuat keduanya mundur turun dua anak tangga. "Rumah sakit mana, gue tanya?!"

Dibentak galak seperti itu dalam jarak begitu dekat, mereka menunduk ketakutan. Salah satu gadis itu berusaha menjawab dengan tenang sambil perlahan memberanikan diri menatap Rea.

"P-permata, Kak. Kakak nggak tahu? Kakak, kan, pacarnya...?"

Rea tersenyum getir. Seharusnya Rea tahu lebih dulu sebelum semua orang tahu, kan?

"Thanks."

Rea terlalu sibuk mengurusi pelaku yang membuat Mike juga terbaring di rumah sakit, hingga dia tidak tahu kemana Nata dari kemarin. Semua kejadian terlalu tiba-tiba, datang di waktu yang sama. Rea menaiki anak tangga, hingga sampai di kelas kosong dekat ruang teater. Katanya, di ruangan itu bertempat gerombolan biang rusuh anak 12, salah satunya Zizad. Tempat itu jauh dari ruang guru, di tingkat paling atas sebelah ruang teater karena ruangan itu diisi hanya saat ada jadwal-jadwal tertentu.

Empat orang di dalam yang tengah merokok sambil bersenda gurau, mendadak menghentikan aktivitasnya masing-masing begitu melihat kemunculan seorang cewek dengan wajah seolah menahan emosi dari arah pintu yang rusak.

PLAK!

Mereka lebih terkejut saat salah satunya ditampar dan ditarik kasar kerah jaketnya. Rea menatap tajam orang itu.

"Gue udah pernah bilang, kan? Siapapun yang nyakitin Mike, dia berurusan sama gue," desis Rea. "DENGER NGGAK LO? HAH?!"

Ketiga teman Zizad tidak ada yang maju untuk melerai. Salah satu dari mereka hendak membalas Rea, tapi gadis itu sudah memukul kasar perut Zizad lebih dulu. Menendangnya hingga mundur beberapa langkah dekat dinding belakang. Dan beralih memukul rahang, lalu tulang keringnya. Semua terjadi seolah angin lalu, begitu cepat tanpa disuruh. Tidak memberi kesempatan korbannya membalas sedikitpun.

Rea sudah seperti orang kesurupan. Setelah sukses membuat Zizad lemah, Rea mengangkat salah satu kursi terdekat, hendak melemparnya—tapi salah satu teman Zizad dengan cepat mencegahnya.

•••

Secarik kertas yang dilipat tiga kali tekukan, dibanting di atas meja ruang tamu. Tidak terlalu keras suaranya, tapi mampu membuat tubuh seseorang tersentak.

Oma baru saja selesai dari sekolah Rea. Rea mendapat surat peringatan karena telah melakukan kekerasan di sekolah kepada anak cucu pemilik yayasan. Anak cucu pemilik yayasan, tapi kelakuan mirip anak setan. Sangat tidak pantas. Di depan keluarga terlihat baik-baik saja, tapi di sekolah berbuat seenaknya, seolah lingkungan sekolah adalah kekuasaannya hingga semua orang dibuat takut kepadanya. Terakhir, berpura-pura paling tersakiti saat dilaporkan telah menyerang orang, padahal dia sendiri yang berbuat duluan.

Rea berpikir, kok ada saja ya, orang yang jelas-jelas dianya yang salah, bukannya ngerasa bersalah dan meminta maaf tapi malah merasa paling tersakiti.

Walaupun terkadang jelas buktinya Zizad yang bersalah, tetap saja cowok itu punya banyak dekengan. Banyak yang membela termasuk guru-guru. Kalau saja tidak ada apalah itu reputasi, mungkin Zizad sudah dikeluarkan dari dulu. Perlakuan guru-guru memang terkadang membuat Rea muak karena memperlakukan murid-muridnya tidak adil.

Apalagi sekarang, Rea harus berhadapan dengan Oma karena surat peringatan sialan itu. Dan salah satu isi suratnya adalah, jika Rea melakukan kesalahan yang sama, Rea kemungkinan akan dikeluarkan. Sial.

"Dia yang rundung Mike duluan, Oma."

Rea memang tidak peduli siapa yang telah dipukuli. Mau itu anak Presiden, anak atau cucu ketua apapun, Rea tetap tidak merasa takut. Toh buat apa juga dia takut jika tidak melakukan kesalahan? Mereka hanya ditakuti karena jabatan, kan?

"Emang Ibu atau ayah kamu pernah ngajarin kamu lepas kontrol?" Oma berdiri di antara meja dan sofa.

Di dekat meja, Rea mengepalkan jemarinya. Emosi masih menjalari dadanya karena efek belum puas memukuli Zizad habis-habisan. Kalau bisa, ingin sekali dia memukuli guru-gurunya sekalian karena perlakuan tidak adil sekolah itu.

"Kamu itu anak cewek, kan? Sadar nggak kamu itu cewek? Siapa yang ngajarin kamu? Siapa, Oma tanya?!"

Wajah Rea diangkat dengan berani. Menatap mata Omanya yang seperti menyala-nyala. Mata keduanya saling menumbuk tajam untuk pertama kalinya. Akhirnya, Rea berhasil menatap mata itu begitu lama.

"Kalo Oma di posisi aku, pasti Oma juga nggak akan terima dan ngelakuin hal yang sama, kan?"

"Kamu tahu, kamu diskorsing dua minggu?"

Siapa yang peduli?

"Kamu tahu siapa yang kamu lawan?"

Tidak ada jawaban atau bantahan walaupun Oma melempar berbagai pertanyaan. Pertanyaan yang Rea rasa tidak perlu menjawabnya karena sudah jelas. Retorik.

Mike masuk rumah sakit, ditambah Rea yang berulah di sekolah, membuat tekanan darah Oma naik.

"Anak cucu pemilik yayasan!" Perkataan Oma yang terakhir terdengar menekan seolah agar Rea bisa mendengarnya lebih jelas.

"Udah tahu," sahut Rea santai sebelum merenggangkan kepalan tangan, dan melanjutkan langkah menuju anak tangga.

Tidak mendengarkan Oma yang lagi-lagi mengomel dan meneriaki namanya, bahkan sampai Rea nyaris masuk kamar.

•••

"Lo udah nggak waras, Re," geleng Lauren gelisah melirik sana-sini.

Dentuman musik dan sorakan-sorakan orang-orang di dalam bar mengusik telinga siapapun yang baru pertama kali menginjakkan kaki di sini, termasuk Lauren.

Rea terkekeh. Di depannya, sudah ada tiga botol bir dan beberapa gelas. "Nikmatin aja kali, Ren." Gadis itu meneguk satu gelas bir lagi (entah untuk yang ke berapa kali) membuat kedua mata Lauren membulat sempurna.

Lauren baru pertama kali ini menyaksikan dua orang sekaligus, mabuk di depannya persis. Zara sudah sempoyongan dan mengigau-ngigau tidak jelas dengan kepala yang dibanting-banting pelan di atas meja.

"Lo kok nggak mabuk, sih, Re?"

Satu alis Rea terangkat saat cewek itu tengah menuangkan air bir ke dalam gelas kecil lagi. Wajah Lauren terlihat masih gelisah sana-sini. Satu botol birnya terlihat masih disegel.

"Lo nggak minum?" tanya Rea. Tidak heran karena Lauren memang bukan tipikal gadis seperti dia.

Lauren menggeleng-geleng kuat, menolak. "Gue masih waras."

Rea tertawa ngakak. Tangannya berhenti menuang, lalu meletakkan botol di sebelah gelas. "Secara nggak langsung lo barusan ngatain kalo gue nggak waras?" Satu tangannya menepuk-nepuk kepala Lauren pelan. "Anak pinter. Jatah lo gue ambil, ya?"

Lauren mendengus kesal. "Lo tuh ya, kalo punya masalah, cerita, dong. Jangan malah minum. Itu sama sekali nggak bisa bikin masalah lo cepet tuntas, Rea sayang." Gadis itu melirik Zara sebentar sebelum kembali menatap Rea khawatir.

"Lo tahu, kan, bokapnya Zara pejabat terkenal? Kalo sampe ada yang kenal dia di sini, Zara bisa abis."

Rea mematahkan tulang lehernya ke kanan-kiri dengan santai hingga berbunyi. Tadi, Rea, Lauren, dan Zara sudah sampai di rumah sakit permata, menjenguk Nata. Tapi dokter belum mengizinkan masuk selain keluarga dari pasien.

"JUPITER!!"

Lauren dan Rea sama-sama terkejut mendengar teriakan Zara yang masih menidurkan kepalanya di atas meja. Keduanya saling tukar pandang bertanya-tanya.

"Lo jangan genit-genit sama cewek lain, ih!" lanjut Zara masih memejamkan mata dengan kerutan dahi kesal.

"Jupiter siapa?" tanya Lauren kepada Rea.

"Meneketehek." Rea mengedikan bahu. "Jacky, kali?" tebaknya sambil memegang sisi kepala, pening. Mungkin efek karena sudah kebanyakan minum.

"Hah? Nggak mungkin, lah." Lauren menggerak-gerakan bahu Zara. "Sadar, Ra—eh, eh!" Gadis itu berdiri dan dengan sigap menangkap tubuh Zara yang nyaris terjatuh karena gerakannya.

"Bawa pulang, Ren," titah Rea khawatir.

"NGGAK! GUE MAU JUPRI!" Zara merengek sambil menaraik-narik manja satu lengan Lauren yang dibalut cardingan.

"Jacky?"

Zara mengangguk-angguk manja. "Telpon dia!"

Lauren tampak menatap Rea bingung, lalu Rea mengangguk seolah meminta Lauren menuruti apa yang Zara mau. Lauren pun akhirnya menelpon Jacky di ponselnya. Lama akhirnya terhubung, Jacky di seberang sana terkejut mendengar perkataan Lauren yang memintanya ke bar menemui Zara.

"Lo sama Zara? Ke bar?"

"I...iya, Jack. Zara butuh lo. Nih, kalo nggak percaya." Lauren menempelkan ponselnya ke telinga Zara yang masih bergerak-gerik sempoyongan dan ditahan oleh Lauren agar tidak jatuh.

Zara cengengesan. "Halo..."

Di seberang sana, Jacky melirik layar ponselnya yang masih terhubung. Dia kenal betul pemilik suara itu. Tapi biasanya ketika berkomunikasi dengannya selalu marah-marah, kan? Kenapa sekarang terdengar kayak orang sedang kesurupan?

"Jacky..., sini, dong.... Kangen."

Rea dan Lauren menganga tidak percaya kalau Zara mengatakan hal demikian kepada seorang Jacky. Jacky yang biasanya musuh sekali dengan Zara karena selalu berantem di sekolah, musuh bebuyutannya, mendadak Zara sekarang berubah lembut?

"Gue ke sana sekarang."

Kalimat itu memutus sambungan sepihak. Rea dan Lauren masih bingung. Kenapa Zara mendadak ingin bertemu Jacky dalam keadaan mabuk? Zara bergerak ingin meneguk birnya lagi, tapi Lauren dan Rea mencegah. Kasihan melihat Zara yang sudah sempoyongan dan tertawa-tawa tidak jelas sambil menyebut-nyebut nama Jacky.

Ketiganya menunggu-nunggu kedatangan Jacky. Lauren dan Rea kerepotan mengurusi Zara yang hendak melakukan hal-hal aneh, salah satunya, dompet Zara sendiri nyaris dipotong-potong seperti bawang dengan cutter yang entah dari mana asalnya sudah di atas meja.

Sesekali ada lelaki berhidung belang yang menggoda-goda, tapi Rea dengan galak mengusirnya dengan ancaman akan menendang wajahnya.

Ternyata benar, sepuluh menit kemudian, Jacky datang sendirian. Rautnya setengah khawatir.

"Noh, Jacky datang." Lauren menggerakkan satu bahunya yang disenderi kepala Zara. Menyadarkan temannya itu. Kepala Zara otomatis ditegakkan perlahan. Tatapan sayunya bertemu dengan tatapan penuh tanya oleh Jacky.

"Udah lama?" tanya Jacky, entah kepada siapa, tapi tatapannya mengarah kepada dua orang di kanan-kiri Zara.

Zara terlihat bergegas berdiri, berlari ke arah Jacky dengan sumringah sambil merentangkan tangan. Memeluk pinggangnya erat membuat Jacky mengangkat kedua tangannya ke atas, tersentak mundur. Melempar tatapan bertanya-tanya ke arah Rea dan Lauren. Tapi keduanya mengedikan bahu tidak tahu.

Tidak paham dengan Zara yang mendadak manja begini kepadanya. Jemari Jacky bergerak menyibak helaian rambut Zara, menyentuh dahinya dengan punggung tangan.

"Dia kenapa, sih?" tanya Jacky begitu menyadari dahi Zara tidak panas.

"Bawa pulang aja, Jack," saran Rea.

"Gue?" Jacky menunjuk dirinya sendiri memastikan. Otak cowok itu mendadak membeku hingga sekujur tubuhnya saat tiba-tiba mendapatkan kecupan lembut di bibirnya.

Rea dan Lauren yang masih berdiri di depan keduanya juga menyaksikan secara live pun tak kalah terkejutnya.

Zara mengalungkan kedua lengannya ke leher Jacky. Matanya terpejam saat berjinjit, dan lagi-lagi kepalanya bergerak mencium bibir Jacky untuk yang ke dua kalinya. Kali ini lebih lama. Nafas Jacky tertahan. Jacky terlihat tidak berkutik sama sekali, seolah patung yang tidak bisa melakukan apa-apa.

•••

Lauren dan Rea mengantar Jacky yang membopong tubuh Zara seperti karung beras hingga area parkir. Keduanya masih menampilkan senyum yang belum juga luntur melihat kedua sejoli itu setelah kejadian tadi.

"Hati-hati bawa Zaranya!"

"Kalo sampe lecet dikit, mampus lo sama kita-kita."

"Iye, iye, Mak."

"Mak apa?!"

"Mak... Mak..." Jacky terlihat tengah berpikir sebentar. "Mak Emak-an." Jacky menyengir sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil Zara.

"Nggak jelas," cibir Rea malas.

Lauren melambaikan tangan saat mobil itu mulai berjalan membelah jalanan di malam hari. Setelah mobil itu tidak terlihat lagi, Lauren menatap Rea.

"Rea..., mau pulang..."

Rea mencekal satu lengan Lauren. "Nggak. Temenin. Bentaran doang, kok. Habis itu pulang. Janji." Satu jari kelingkingnya diangkat sebentar. Tidak ada balasan, justru rengekan Lauren.

Lagi-lagi tubuh Lauren bergerak-gerak manja, memaksa agar Rea mau menurutinya. Jemari kirinya meraih kunci motor Jacky di saku jaket denim Rea.

"Mau pulang sekarang... gue takut, Re..." Gadis itu menarik-narik satu lengan Rea setengah tidak tenang. Satu lengan yang lain dicekal Rea. Rea berusaha mengambil kunci motor itu, tapi Lauren menghindarkannya. Lauren terlihat berusaha ingin menjelaskan sesuatu. "Tadi tuh ada, ada—"

"Ada apa, sih, Ren?" sela Rea gamas. Tangannya masih sibuk berusaha meraih kunci. "Kuncinya siniin dulu, gila!"

Lauren melirik ke dalam bar. Rea mengikuti arah lirikannya, sebelum menghela nafas dan kembali menatap Lauren seolah paham apa yang Lauren lihat dan membuatnya makin gelisah dan jijik hingga tidak sanggup menjelaskan dengan gamblang apa yang ingin tadi dia katakan.

"Namanya juga tempat bebas. Tenang, elah. Ada gue pasti aman. Percaya, deh. Kuy."

Lauren menahan dirinya untuk tidak bergerak saat Rea menarik lengannya lagi. "Re, ah..., ngeri, ih."

Rea berdecak. "Ren, kuncinya siniin dulu." Rea berusaha menggapai kuncinya lagi, tapi Lauren lagi-lagi mengkelit, menjauhkannya dari Rea.

Akhirnya, terjadi rebut-rebutan kunci motor.

Di tengah-tengah Lauren merengek-rengek seperti anak kecil, dan Rea yang terus memaksa agar Lauren melepaskan kunci motor di genggamannya, seorang lelaki familiar keluar dari bar bersama tiga pria bertato, dan satu temannya yang juga terlihat familiar.

Kunci motor Jacky yang diperebutkan secara tidak sengaja terlempar.

Rea mendesah kesal ke arah Lauren.

Kelima lelaki di depan pintu itu bersamaan menoleh bergantian ke benda di bawah yang baru saja terlempar dari arah dua gadis di depan.

Tatapan si lelaki familiar tadi bertemu dengan manik Rea yang tidak kalah terkejutnya. Tiga lelaki bertato berjalan menuju area parkir, sementara yang lain masih bertahan di depan pintu. Di detik yang sama, lelaki yang masih memakai perban di dahi kanannya membungkuk untuk meraih kunci motor itu sebelum kembali menatap Rea lagi.

Rea berbalik memunggungi. Bersitatap dengan Lauren yang juga melempar tatapan tidak percaya kalau keduanya bertemu dengan dua lelaki itu. Kenapa dia di sini? Kenapa harus dalam situasi dan kondisi seperti ini mereka bertemu?

"Rea!"

Rea tidak berhenti berlari saat orang tadi mengejar dan meneriaki namanya. Sementara dua yang lain saling tukar tatap canggung.

•••

Rea terengah-engah hingga membuat jalannya melambat. Kakinya sudah tidak kuat lagi untuk berlari. Cowok di belakangnya menyambar lengannya hingga langkah keduanya terhenti. Tatapan keduanya lagi-lagi bertemu. Rea masih terengah-engah, namun hebatnya cowok di depannya tidak. Padahal mereka sudah berlari-larian seratus meter dari bar.

"Kenapa lari-lari, sih?"

Kedua tangan Rea mengepal sebelum salah satu yang dicekal menyentak lepas cekalannya. Matanya menatap sangsi cowok di depan.

"Kenapa, sih, lo mesti hadir di saat pikiran gue lagi down?"

Nata tertegun. "Lo... lagi ada masalah apa?"

Rea melipat kedua bibirnya ke dalam, gelisah. Melirik aliran sungai yang petang di bawah jembatan yang diinjaknya. "Lo nggak perlu tahu."

Nata mengguncang kedua pundak Rea. Menatap matanya lamat-lamat. "Lo ngasih tahu gue kalo lagi ada masalah. Itu artinya lo harus kasih tahu gue." Cowok itu menelan ludahnya khawatir menyadari raut gelisah Rea.

Rea menatapnya lagi. Kini dengan tatapan meremehkan. "Jadi, sekarang udah dibolehin minum-minum sama dokter?" Gadis itu melirik tubuh Nata dari atas sampai bawah. Cowok itu masih mengenakan seragam rumah sakit. Masih diperban di kepala dan satu tangannya, sementara tangan yang lain entah perbannya menghilang ke mana, padahal masih luka.

Nata memiringkan senyum. Cowok itu lebih mendekatkan diri hingga ujung sendalnya menyentuh ujung sepatu Rea. Rea mendongak hingga kedua maniknya bertemu lagi dengan kedua manik Nata, namun kini terlihat sangat dekat.

Gadis itu tidak mengambil langkah mundur, memilih menutupi rasa ketar-ketirnya yang lagi-lagi mengingatkannya pada kejadian awal-awal mereka bertemu. Dan di nama tempat yang sama, namun beda lokasi.

Atas jembatan.

Tubuh Rea sepenuhnya membeku, nafasnya tertahan saat kedua jari Nata mengangkat dagunya hingga dekat dengan bibir Nata. Otomatis kedua mata Rea terpejam rapat.

"Apa mulut gue bau alkohol?"

Kelopak mata Rea perlahan terbuka lagi. Perlahan, Nata menurunkan dua jarinya. Sinting, Rea kira Nata mau apa. Rea menggeleng-gelengkan kepalanya, membuang jauh-jauh pikiran kotornya. Sementara Nata menangkap gelengan itu sebagai jawaban. Tidak sadar kalau Rea sebenarnya salah tingkah.

"Gue nggak nyangka ternyata lo cukup gila." Nata menarik ujung hidung Rea pelan. "Besok-besok kalo mau minum-minum lagi ajak gue."

Continue Reading

You'll Also Like

2.5K 97 33
"Kak, kenapa kakak mau pacaran sama cia padahal kan cia ga cantik?" tanya Alicia pada kekasihnya. "Mau an emang orang nya" jawab kekasih nya itu. "ih...
6.6M 1M 75
⚠️WARNING, CERITA INI MENGANDUNG KEBENGEKAN DAN KEBAPERAN. AWALNYA NYEBELIN LAMA-LAMA NAGIH⚠️ Follow sebelum membaca ye <3 salam stres 🕸️ ...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.5M 257K 31
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
JUANDARA √ By kaaa

Teen Fiction

12.6K 194 19
FIRST STORY Jangan lupa vote! Gimana perasaan kalian saat orang tua kalian menjodohkan dengan orang yang sama sekali kamu belum ketahui sebelumnya? ...