NATAREL (SELESAIโœ”๏ธ)

By Park_sooyang

4.4K 2.4K 749

Budayakan membaca deskripsi sebelum terjun ke cerita๐Ÿ”ช Ada satu insiden yang membuat Rea, si anak baru yang k... More

Prolog
1 | Kerusuhan
2 | Uang Kembalian
3 | Kacamata
4 | Intrepide
5 | Kunci Motor
6 | Apartemen
7 | Ponsel Keramat
8 | Diborgol Polisi
9 | Penyesalan Rio
10 | Taruhan
11 | Mysterious Rider
12 | Pacar Settingan?
13 | Mau Bolos Bareng?
14 | Sandiwara
15 | Sport Merah
16 | Ide Gila Dua Murid Gila
17 | Revan VS Nata
18 | Bakmi Iblis
19 | Lunch
20 | Night Screams
21 | Tanpa Kabar
22 | Dikejar Pasukan Gen Petir
23 | Purnama
24 | Dramatis
25 | Panic Attack
26 | Trik Psikologi
27 | Dialog Senja
28 | Perasaan Konyol
29 | Rea Berbohong
30 | Kehadiran Oma
31 | Kaos Olahraga
32 | Aksi Zizad Lagi
33 | Secangkir Matcha
34 | Tanding Voli
35 | Hangout Penuh Drama
36 | Kevin Mencurigakan
37 | Tabiat Kevin
38 | Perkara Cokelat
39 | Gerbang Sekolah
41 | Hareudang
42 | Komplikasi
43 | Atas Jembatan
44 | Keduanya Ketiduran
45 | Dunianya Hancur
46 | Kegiatan Baru Nata
47 | Skandal
48 | Ambigu
49 | Celaka Karena Rea Lagi
50 | Sandiwara Lagi
51 | Gentleman Sesungguhnya
52 | Terlibat Kebakaran?
53 | Ulah Geng Ferdian Lagi
54 | Bukti Ketulusan Nata
55 | Hidup Untuk Apa?
56 | Confess di Kuburan dan Duka
57 | Candu Baru
58 | Menjelajah Rumah Pacar
59 | Gosip Gila
60 | Uji Nyali
61 | Night Changes
62 | Ruang Siaran
63 | Luar Jakarta
64 | Semuanya Telah Usai
65 | Danau, Hujan, Momentum
66 | Remuk Redam
67 | Nata Yang Sebenarnya
68 | Dare Romantis
69 | Ibu Kandung Sebenarnya
70 | Nata Akan Pergi
Extra Part

40 | Anak Jalanan

31 19 3
By Park_sooyang

"Setiap keluarga punya sejarah sendiri. Harus saling menyayangi selagi lo masih bisa nyentuh dan ngeliat mereka di bumi. Ntar lo sendiri yang rugi."



"Saya nggak benci sama Anda. Tapi saya lebih benci kalo anak kesayangan Anda yang selalu dapat perhatian lebih dari Anda. Saya cuma butuh waktu, apa itu susah?"

Tangan yang mengepal di udara hendak mengetuk pintu lagi-lagi urung begitu mendengar suara-suara dari dalam.

"Natarel, apa susahnya maafin Ibu sama kakak kamu? Kejadian itu udah masa lalu."

"Anda lupa? Anda pernah bilang kalo saya ini nggak berguna. Anda nggak pernah mau mendengar penjelasan saya hari itu. Saya—"

"Hari itu Ibu kalut—"

"Saya nggak butuh kepercayaan Anda. Yang saya inginkan cuma Anda mendengarkan penjelasan saya."

"Ibu kalut sama Kakak yang kecelakaan—"

"Karena saya? Iya?"

Jangan nangis. Tolong, jangan, nangis. Oke?

"Ibu nggak nyalahin siapapun di antara kalian berdua."

Rea menelan ludah di balik pintu.

"Tapi ibu nggak percaya dan nggak mau dengerin penjelasan saya!" Suara itu kini terdengar berubah bernada tinggi karena emosi seolah tidak mau dibantah karena merasa paling benar.

"Nata... tolong..."

"Saya ada urusan." Nada yang barusan terdengar meninggi, kini kembali berubah pelan lagi. "Anda kalo mau pulang, tinggal pulang aja. Nggak ada setan yang ngarep kehadiran Anda di sini."

"Nata..."

Kaki Rea terasa kebas berdiri di depan pintu yang di dalamnya barusan terdengar perdebatan yang memuakan dan seharusnya tidak Rea dengar. Karena kalau Rea mendengar, kejadiannya akan seperti sekarang. Rea tidak tahu harus berbuat apa.

Akhirnya gadis itu mengurungkan niatnya bertemu Nata untuk mengajaknya keluar hari ini. Rea menahan tangisan karena barusan itu tidak pernah Rea saksikan sebelumnya. Tidak terbayang bagaimana rasanya jadi wanita di dalam situ. Pasti rasanya sesak mendengar berbagai ucapan menyakitkan yang terlontar dari mulut Nata.

Satu notifikasi pesan dari dalam ponsel di saku hoodie-nya terdengar, membuat langkahnya terhenti, kepalan tangannya merenggang, perlahan merogoh ponselnya.

Persiapan ntar malem. Kumpul di rumah Zara, oke? Ntar gw jemput.

Oh, ayolah. Rea baru saja melupakan ada acara apa nanti malam karena terlalu larut dalam pikiran beberapa akhir ini hingga melupakan undangan perta ulang tahun Violet beberapa hari yang lalu. Saat jemarinya tengah mengetikan balasan untuk Karin, pintu sebelumnya yang tidak jadi Rea ketuk, terbuka. Gadis itu menoleh secepat kilat.

Nata juga menoleh terkejut saat lagi-lagi mendapati sosok gadis di hari yang sama di unit apartemennya. Laki-laki itu terlihat menahan rasa panik dan bergegas mendekati Rea, mencekal tangannya, menyeret gadis itu menjauh seolah tidak mau Rea melihat seorang wanita yang masih di dalam, keluar dan memergoki mereka berdua.

Rea terkejut setengah mampus saat tiba-tiba tangannya dicekal dan dipaksa melangkah tergesa-gesa. Langkahnya begitu cepat menyamakan langkah Nata.

"Eh, lo mau bawa gue ke mana, sih?!"

Tidak ada jawaban. Kini keduanya sampai di lift. Menaikinya hingga turun di lantai dua.

Rea memberontak, berusaha melepaskan pergelangan tangannya yang terasa menguat, walaupun susah.

Nata menarik paksa Rea agar berdiri di hadapannya persis seiring tangannya yang dilepas. Pergelangan tangan Rea memerah.

"Suka banget lo, ya, ngurusin kehidupan orang lain? Apa tadi namanya? Lagi nggak ada kerjaan?"

Entah kenapa, mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Nata yang barusan, Rea merasa terusik. Nadanya kali ini tidak begitu mengajaknya bersahabat.

Dia tidak marah dan tidak berusaha menampilkan raut sok beraninya seperti biasa, justru tidak enak karena tidak sengaja tadi menguping perdebatan Nata dengan seseorang. Seseorang yang mengaku dirinya Ibu.

Tidak masalah jika Rea tahu sosok asli dan bagaimana rupa asli Ibu Nata, tapi tetap saja Nata marah. Laki-laki itu paling tidak suka jika ada yang diam-diam mengintainya. Atau, mungkin Rea bisa disebut seperti itu walaupun itu bukan maksud dan tujuannya.

"Maaf." Akhirnya Rea mengambil jalan akhir agar tidak memulai perdebatan.

"Mau apa lo ke sini?" tanya Nata langsung.

Ngajakin jalan. Tapi nggak jadi. Lo kayaknya sibuk banget lagi ada urusan? ucap Rea dalam hati.

"Woi!"

Rea sedikit tersentak, menatap Nata yang tidak sabar menunggu jawaban Rea yang tidak kunjung dikeluarkan. "Mau jalan-jalan," jawab gadis itu seadanya.

Alis sebelah Nata terangkat. "Jalan-jalan keliling apartemen terus sampai di unit gue?"

Dasar nggak peka.

Rea menggeleng. "Maksudnya, gue mau ngajakin lo jalan-jalan." Dia menjelaskannya dengan gamblang. Ya udahlah, jujur aja biar fast.

Nata mendengus geli. "Emang bener lo nggak ada kerjaan kayaknya," ucap Nata tidak habis pikir, dan masih tidak peka. "Kenapa nggak sama Devon aja kayak biasa?"

Rea mengerutkan dahi setengah tidak terima. "Ntar gue sama Devon, lo marah karena nggak sama lo aja. Pas hari itu, gue nggak izin sama lo mau jalan sama Kevin, lo juga marah, kan?"

Kedua lengan Nata dilipat di depan dada. "Siapa bilang gue marah?"

Tuh, kan!

Tatapan keduanya bertemu beberapa saat untuk kesekian kalinya.

Rea mengepalkan kedua tangannya, berusaha menahan emosi. Kalau berbicara dengan Nata, selalu ada saja hal yang didebatkan. "Lo emang suka nggak jelas gitu, ya?"

"Nggak jelas gimana?"

"Ya nggak jelas," ucap Rea ngotot. "Kadang lo kayak pemarah banget. Nyebelin. Kadang lo baik. Kadang lo misterius. Lo juga bisa bertingkah manis. Udah kayak Power Rangers aja." Dia mengutarakan semua komentarnya. "Atau jangan-jangan... lo punya kepribadian ganda, ya?" selidik Rea sambil menyipitkan mata.

Nata menghela nafas malas. "Lo juga kadang suka nggak jelas," balas cowok itu membalikan kata. "Kadang lo kayak pemarah banget. Kadang lo manja, bawel, resek. Kadang juga lo kayak minta ditonjok, tapi sayangnya lo cewek. Kadang lo juga gemesin, nyebelin. Kadang lucu, kadang kayak preman." Laki-laki itu juga ikut mengomentari semua tentang Rea. "Jangan-jangan lo hari ini lagi amnesia, ya?" tebaknya balas menuduh.

Raut Rea berubah tidak terima. Bibirnya mengerut dengan alis hampir menyatu, merajuk. Apalagi saat komentar Nata tentangnya pada opsi kejelekan Rea. Dan yang paling menyebalkan, pada opsi terakhir. Gadis itu tidak terima dikatai 'preman' dan 'amnesia'.

"Gue nggak amnesia!" protes Rea ngegas. "Gue masih inget diri gue sendiri itu siapa!"

"Iya... dan lo nggak inget kalo lo itu benci banget sama gue, kan? Kenapa hari ini lo malah ngajak kencan?" Nata masih dengan raut santainya, memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana—senyumnya ditarik jahil.

"Siapa yang ngajakin kencan, sih?!"

Nata diam-diam menahan tawa menyadari raut lucu Rea. "Ya... kata lo mau jalan-jalan berdua sama gue? Itu apa namanya kalo bukan kencan?"

"Gue nggak bilang berdua, ya!"

"Ya terus? Rame-rame? Siapa aja?"

"AHH! tahu ah! Resek lo!" Rea melipat kedua lengannya, berbalik membelakangi Nata.

"Lah? Gue tanya, siapa aja? Kok malah ngatain, sih?"

"Terserah lo aja. Capek gue ngomong sama lo, sumpah."

Rea berbalik membelakangi Nata, masih dengan kedua lengannya yang dilipat di depan dada sebelum melirik ke belakang tanpa menoleh. Perlahan, dia melanjutkan langkah menuju tangga di depannya yang menghubungkan sampai lantai bawah.

Padahal, sekarang Rea nyaris mencapai tangga pertama, tapi tidak ada cegahan sama sekali dari Nata. Tunggu, buat apa juga dia berharap dicegah pergi? Nata saja sudah jelas-jelas tidak peduli, malah memancing keributan lagi.

Kenapa juga harus mengajak Nata jalan-jalan kalau pada akhirnya cowok itu yang kepedean?

"Lo udah beli kado?"

Setidaknya, sampai pertanyaan itu keluar dari belakang Rea, gadis itu menghentikan langkah dan berbalik dengan raut penuh tanda tanya.

Nata akhirnya berjalan mendekat persis di depan Rea sebelum mencapai anak tangga pertama. "Gue udah beliin kado buat si anak Bahasa itu. Gue juga udah bayar orang buat bikinin buntelan kado. Lo sendiri? Udah buat kado belum?"

Astaga, Rea lupa lagi! Gadis itu saja baru ingat kalau hari ini pesta acara ulang tahun Violet karena pesan dari Karin tadi, tapi Rea lupa membelikan kado.

"Gue... lupa." Rea menjawab pasrah. Dia juga pasrah kalau ditertawakan Nata sekarang.

"Udah gue duga. Ya udah, ayo." Laki-laki itu tiba-tiba merangkul pundak Rea.

Rea tercengang sewaktu mendapatkan perlakuan tak biasa dari Nata. Rautnya masih terlihat tidak paham sebelum Nata melanjutkan, "Gue antar beli kado, sekalian jalan-jalan sesuai permintaan lo."

•••

"Re."

"HA?"

"Masalah yang tadi, lo jangan bilang siapa-siapa, ya?"

"HAH? APA, NAT? JAMBLING PEPAYA?"

Nata di depan berdecak. "MASALAH TADI JANGAN BILANG SIAPA-SIAPA!" teriaknya keras-keras, berusaha memperjelas kata-kata yang tidak didengar Rea karena kebisingin angin dan kendaraan yang sedang mereka tumpangi di antara bunyi-bunyi klakson kendaraan lain.

"OH!" Rea menyengir. "Maksud lo yang katanya, lo nggak punya ibu, urus aja diri lo sendiri, nggak usah ikut campur. Yang itu?"

"Kapan gue bilang gitu? Gue nggak bilang gitu, ya!"

"Gue kira... lo remaja cengeng, ternyata lo remaja pemberontak."

"Eh, gue serius waktu bilang gue tuh nggak punya Ibu."

Rea mencubit pinggang Nata hingga terdengar ringisan. "Semua orang punya ibu!" seru Rea tepat di dekat telinga Nata. Walaupun terhalang helm, Mata masih bisa mendengarnya. "Entah dia di bagian dunia lain atau udah nggak ada. Dia pasti ada di suatu tempat. Emangnya lo Zizad, cowok yang lahirnya dari telur?" Rea memutar matanya malas saat tiba-tiba membicarakan Zizad.

"Setiap orang punya sejarahnya sendiri."

"True, angguk Rea. "Setiap keluarga punya sejarah sendiri. Harus saling menyayangi selagi lo masih bisa nyentuh dan ngeliat mereka di bumi. Ntar lo sendiri yang rugi."

Dialog berhenti di situ. Kini keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Tidak ada pemandangan yang indah di sepanjang jalan selain beberapa jajaran pedagang kaki lima di trotoar, badut yang tengah menghibur anak-anak, beberapa remaja yang asyik pacaran.

Tapi yang mengejutkan Rea dan Nata, dari arah belakang mereka, ada sekelompok pengendara berjaket couple yang selalu mengikuti arah belok kendaraan Nata. Sepertinya membuntuti keduanya.

"Pegangan yang kenceng, gue mau ngebut."

Motor melaju makin cepat waktu keduanya menyadari akan hal itu dari kaca spion. Rea refleks memeluk pinggang Nata erat, tidak mau celaka dan mati konyol hanya karena dikejar-kejar geng motor semacam mereka.

Tidak ingin tinggal diam, gerombolan pengendara di belakang juga kian melajukan motornya secepat mungkin mengejar kendaraan di depannya.

Tidak terduga-duga, ditambah jumlah pengendara yang begitu banyak, kini motor Nata dikepung dan tidak bisa berbuat apa-apa selain turun untuk menangani mereka.

Salah satu dari mereka mendekat lebih dulu setelah turun dari motor. Ekspresinya seolah puas dan meremehkan Nata. Nata tetap tenang setelah melepas helm. Berdiri di depan Rea yang ikut turun dari motor sambil melepas helm juga.

"Wah, wah, wahhh." Suara satu orang dengan berkali-kali tepukan tangan. "Udah berapa lama, nih, kita nggak ketemu? Sehat?"

"Langsung ke intinya," kata Nata dingin. Terdengar pelan, tapi penuh penekanan, tidak ingin buang-buang waktu.

Ferdian mendengus geli. "Oi, Re." Cowok itu memanggil Rea saat melirik belakang Nata. Ternyata dia sudah tahu namanya.

Rea hanya menatap Ferdian dan diam di belakang Nata tidak merespons. Gadis itu jadi teringat kejadian tempo lalu pernah habis di tangan geng motor itu. Membayangkannya lagi-lagi Rea merasa ngeri.

"Sehat?" Ferdian lanjut bertanya walaupun tidak ada respons dari Rea.

Sementara teman-temannya di belakang tampak menggoda-goda Rea dengan siulan, kedipan mata, atau semacamnya, membuat gadis itu ilfeel sendiri.

"Kalian tahu ini jalan umum?" Nata menunjuk jalan raya sesungguhnya. Jalan ini memang terlihat sepi, hanya ada dua-tiga kendaraan sesekali berlalu lalang. "Di sana luas buat kalian lewati. Jangan suka ngehalangin jalan orang lain kalo ingin selamat."

Mereka tertawa. Entah menertawai ucapan Nata yang tidak lucu sama sekali, atau dengan orang yang berbicara kelewat santai.

Kini Ferdian menampilkan ekspresi datar setelah melenyapkan tawanya. "Lo yang bikin lengan Reza patah tulang?" Cowok itu akhirnya mengutarakan inti dari tujuannya menghalangi jalan Nata hari ini.

"Lo nuduh gue?" tanya Nata sedikit tidak terima. "Ada bukti lo nuduh gue?"

"Buktinya ada di Reza," desis Ferdian.

Fyi, Reza masuk rumah sakit mengalami patah tulang karena diserang. Kini dia koma dan belum ada penjelasan apapun dari mulutnya. Tapi dengan seenaknya, Ferdian menuduh Nata sebagai dalangnya.

Nata mendengus geli. "Sejak kapan lo temenan sama si brengsek itu?"

Tatapan tajam keduanya masih beradu, setidaknya terputus oleh teriakan, "Lo yang brengsek!"

Satu kepalan tinju nyaris mengenai wajah Nata—kalau saja laki-laki itu tidak segera berpaling menghindar.

Ferdian mengumpat, serangannya meleset.

Lagi-lagi dia hendak melayangkan tinju dari arah sisi kepala Nata yang satu—tapi Nata lebih cepat menghindar. Membuat mata Ferdian melotot jengkel tidak terima, lalu menariknya kasar. Cowok berambut gondrong itu kini melayangkan tendangannya di atas kepala Nata, tapi Nata tetap saja berhasil menghindar dengan merunduk.

Nata belum melawan sama sekali, seolah menikmati dan ingin bermain-main. Dia memancing Ferdian dengan kode telunjuknya, menantang.

Awalnya Ferdian menertawakan Nata remeh. Tapi karena Nata berhasil menghindar terus, pukulan Ferdian kian brutal. Dan kini yang terjadi adalah perkelahian one by one. Lagi.

Sementara itu di belakang, Rea mundur perlahan saat sebagian cowok dari mereka berusaha mendekati dan menggodanya. Mata Rea fokus mengawasi gerak-gerik mereka. Menjaga diri agar tidak disentuh seujung kuku pun. Tubuhnya terlalu mahal untuk para cowok semacam mereka.

"Geulis pisan, euy."

"Satu jam berapa, Kak?"

"Hai, Cantik."

"Gasss pepet."

Salah satu dari mereka hendak merangkul bahu Rea, tapi Rea merunduk, berusaha menghindar.

Laki-laki berambut kebiruan itu cengengesan. "Jangan panik, Say. Pengen deket aja."

"Cantik-cantik kok sombong," celetuk yang lain.

"Kasih nomor teleponnya, dong."

Dan berbagai gangguan lainnya. Semua itu tidak ada yang Rea tanggapi sama sekali. Hanya raut sinis yang ditampilkannya.

Terlihat, Nata terbaring di bawah Ferdian yang berusaha memberikan pukulan bertubi-tubi pada wajahnya—tapi Nata berusaha melindungi kepalanya dengan kedua lengan di depan wajah. Jadinya, Ferdian memukuli habis kedua lengan Nata yang masih terlihat kuat melindungi wajah.

Rea yakin seratus persen, kedua lengan Nata pasti terasa nyeri dan sangat terluka.

"Jutek amat. Cantiknya ilang, lho."

Rea menatap lebih tajam salah satu dari mereka. Mereka tidak bosan membuatnya jengkel dan risih. Harus bagaimana Rea sekarang? Melakukan perlawanan? Lihatlah, lima orang di depannya. Dia tidak mau kejadian tempo lalu terulang lagi.

Nata masih melindungi dirinya, tidak ada yang melindungi Rea. Apakah dia juga harus melakukan hal yang sama karena tidak ada yang melindunginya?

"Bisa, jangan norak? Kayak nggak pernah ngeliat cewek cantik aja." Gadis itu akhirnya bersuara sambil mengibaskan helaian rambutnya angkuh.

Nata masih menghindari pukulan di kepalanya. Kedua lengannya lama-lama sakit karena lebam. Tapi wajahnya masih utuh. Jengah dipukuli, Nata akhirnya melakukan perlawanan lagi. Ferdian memang dari dulu tidak pernah berubah, sangat keras kepala. Biar dia kasih pelajaran lagi. Biarpun tahu Nata lebih kuat darinya, cowok itu tidak pernah menyerah menyakiti Nata.

Lelaki itu akhirnya bangkit hingga menendang alat vital Ferdian sampai tumbang, memilih opsi mengakhiri perkelahian.

Nata mengangkat tangan. "Sori, gue bosen lo ngajak main terus. Sampe sini aja, ya?"

Sial. Padahal dia hanya ingin membuat babak belur, tapi Nata justru menyingkat perlawanannya?

Tatapannya langsung beralih ke arah Rea yang tengah  menepis laki-laki yang berusaha menggodanya sana-sini. Tatapan keduanya bertemu sebentar. Nata hendak mendekat, tapi Ferdian di bawahnya, mengunci erat kedua kaki Nata, membuat cowok itu susah melangkah.

Rea melintir tangan cowok yang nyaris menamparnya. Yang lain tidak terima, dalam satu gerakan Rea menendang alat vitalnya membuat dua orang yang lain mundur merasa ngeri. Sementara satu orang yang tersisa langsung maju, namun ditendang perutnya duluan oleh Rea hingga tumbang. Kini tiga orang lawan satu.

Rea memukul tengkuk salah satu cowok yang maju dengan sikutnya hingga membuat cowok itu tumbang dan jatuh pingsan. Tiga dari mereka sudah limbung karena ulahnya. Sisa dua cowok lagi.

Satu cowok yang sempat mengatai Rea 'sombong' (walaupun benar) hendak menyerang, dengan malas Rea menculek kedua matanya hingga cowok itu mengerang tidak bisa membuka mata sambil mundur-mundur tak tahu arah.

Berandalan yang Rea tendang perutnya bangkit dan memeluk Rea dari belakang, namun sejurus kemudian cowok itu dibuat gemetar dan memberontak sambil terbatuk-batuk saat Rea berhasil menyerang dengan membantingnya ke depan hingga kini satu lututnya mendorong dagu cowok itu mendongak sampai-sampai lehernya tercekik, Rea berjongkok di atasnya.

Hanya tinggal satu cowok. Tatapan keduanya saling beradu.

Cowok itu yang tadi mengatai Rea 'jalang' dan berbagai macam hinaan lainnya. Dia juga paling aktif menggoda Rea, tapi saat gadis itu selalu menghindar, cowok itu yang pertama melakukan perlawanan dengan hampir menampar Rea. Tapi sekarang, melihat teman-temannya tumbang satu persatu dengan serangan sesingkat itu oleh seorang gadis, tubuhnya terlihat gemetar, menatap Rea ngeri.

Rea melirik di belakangnya, Nata masih dikeroyok. Terlihat lengah hampir dipukul sana-sini, namun dengan  hebatnya, dia bisa menghindari beberapa pukulan itu walau dua kali mendapat pukulan di wajah dan perutnya.

Tatapan Rea kembali menatap cowok di bawahnya yang sepertinya sudah kehabisan nafas. Akhirnya Rea berdiri membiarkan cowok itu terbatuk-batuk.

Kini menatap satu berandalan yang masih sisa. "Panggil ambulans," perintahnya pelan.

"Panggil ambulans segera kalo lo nggak mau temen-temen lo dan lo mati. Jangan lapor polisi. Kalo lo lapor... lo tahu Irfansyah? Pengacara Law Firm korporat top ibukota?" Rea bersedekap sinis. "Gue anaknya."

Continue Reading

You'll Also Like

570K 67.1K 50
(cerita ini mengandung bawang+emosi) "Happy birthday.. Ara..." "Happy birthday Ara...." "Happy birthday... happy birthday... Happy birthday.... Ara...
3.4K 1.4K 27
Perihal berbagi, bukan cuma memberi barang ataupun harta saja. Memberikan kasih sayang, ataupun orang yang kita sayang, juga merupakan bagian dari be...
4.4M 262K 61
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
11.7K 2.2K 35
โ€ข ๐๐ž๐ซ๐ญ๐š๐ก๐š๐ง ๐ฌ๐š๐ฆ๐ฉ๐š๐ข ๐ฉ๐ž๐ซ๐š๐ฌ๐š๐š๐ง๐ฆ๐ฎ ๐ฉ๐š๐๐š๐ง๐ฒ๐š ๐›๐ž๐ง๐š๐ซ-๐›๐ž๐ง๐š๐ซ ๐ฌ๐ž๐ฅ๐ž๐ฌ๐š๐ข. โ€ข โ€ข โ€ข Ziva dan Azka adalah sepasang kekasi...